Sekar-2
Sekar mengecek jam di tangannya dengan gelisah, sudah pukul setengah dua belas. Lutte pasti sudah pulang dari sekolahnya. Sedangkan ia masih harus membersihkan kulkas es krim, mengangkat barang-barang yang sudah kadaluarsa ke gudang dan mencari lauk tambahan untuk makan siang mereka. Semua harus dilakukan dalam waktu setengah jam.
Jam dua belas pemilik toko akan datang untuk mengecek barang yang masuk dan menggantikan Sekar selama setengah jam untuk pulang dan membawakan makan siang untuk Lutte. Meski pemilik toko adalah sahabatnya, Sekar tidak ingin aji mumpung, baginya kinerja harus ditunjukkan secara maksimal. Diberi pekerjaan dengan kelonggaran waktu saja sudah merupakan sebuah anugerah.
Sebenarnya Sekar bisa saja mencari pekerjaan lain dengan gaji lebih besar, namun Sekar tidak ingin melakukan itu. Sekar sadar bahwa ia tidak seperti yang lainnya, yang bisa menitipkan anak ke orangtua atau menyewa pengasuh saat mereka bekerja. Sekar hanya memiliki Lutte, tidak dengan yang lain. Dan ia ingin Lutte tumbuh di bawah didikan dan pengawasannya secara penuh.
"Sekar, ini udah jam dua belas lewat, kamu nggak beli lauk untuk Lutte?" tegur Winda selaku pemilik toko tempatnya bekerja sekaligus sahabatnya.
"Masih harus ngangkut barang ke gudang, Win."
"Masih bisa nanti, Sekar."
"Gapapa, harusnya ini dari pagi, cuma karena jumlah barang yang masuknya cukup banyak jadi belum sempet."
Winda menggeleng melihat betapa keras kepalanya Sekar. Bukan tanpa alasan Winda memberikan kelonggaran terhadap Sekar, semua semata-mata karena Lutte, anaknya.
Bagi Winda yang sudah tidak memiliki kedua orangtua, kehadiran sosok Ibu di sisi pasti akan sangat berharga, lebih berharga dari apa pun di dunia. Apalagi Lutte masih kanak-kanak dan membutuhkan curahan perhatian dan kasih sayang dari lingkungan sekitar, terutama Ibunya. Terlebih selama ini anak itu tidak mengenal sosok Ayahnya. Jadi sebisa mungkin Winda memberikan support untuk sahabatnya, bagaimana pun caranya.
"Ute sekolah kan hari ini? Kegiatannya pasti banyak, mungkin aja dia udah laper di rumah, Sekar."
Kegiatan tangan Sekar untuk mengangkat barang terhenti, ia kemudian menatap Winda dengan tatapan bersalah. "Kalau aku pamit sekarang nggak papa Win?"
"Kan udah udah kusuruh dari tadi, Sekar. Take your time, pulanglah, tanya gimana harinya Ute di sekolah, dia pasti seneng karena udah sekolah sekarang. Terakhir ketemu dia ngoceh terus soal tas sekolahnya yang warna pink." Winda terkekeh pelan mengingat bagaimana cara Lutte berceloteh tentang tas barunya yang baru saja dibelikan Sekar saat ia akan masuk PAUD. Kebetulan keduanya memang pecinta warna pink.
Sekar mengangguk dan melemparkan senyumannya. "Terima kasih ya Win."
Winda mengangguk. Lutte adalah kelemahan terbesar Sekar. Meski ia tidak mengetahui asal-usul maupun seluk-beluk masa lalu Sekar dan Lutte, Winda tidak ingin menghakimi seperti gossip-gosip yang beredar di luar sana. Baginya Sekar adalah sosok seorang Ibu teladan yang rela melakukan apapun demi anaknya, dan Lutte anak manis yang pandai.
"Kalau gitu aku pergi sekarang ya Win, nanti aku balik lagi."
"Pakai waktumu secukupnya Sekar, lagipula aku lagi nggak ada kerjaan lain kok habis ini."
Kadang orang yang tidak memiliki hubungan darah dengan kita bisa lebih mengerti apa yang kita butuhkan dibandingkan dengan keluarga sendiri, pikir Sekar. Keluarganya yang berada nan jauh di sana mungkin sudah tidak lagi mengakui dan mengingatnya.
Sekar menggelengkan kepalanya, masa lalu selalu saja menjadi momok yang menakutkan baginya hingga detik ini. Setelah membeli ayam goreng di warteg, lalu ia pulang ke rumah, dan menemukan Lutte yang sedang tertidur lelap.
Sebetulnya Sekar tidak tega untuk membangunkan Lutte, namun ia tidak punya banyak waktu. Sekar harus memastikan bahwa Lutte memakan makan siangnya. "Maafin Ibu ya Nak..." gumam Sekar pelan, lalu ia mencium keningnya. Setelah itu Sekar menggoyangkan bahu Lutte dengan perlahan. "Ute, Sayang..."
Lutte mengerjapkan mata dan membukanya dengan perlahan, bibirnya melengkungkan sebuah senyuman saaat melihat sosok Ibunya yang kini berada di depannya.
"Makan yuk?" ajak Sekar yang dijawab anggukkan oleh Lutte. Anak itu lantas pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sementara Sekar menyiapkan makanan mereka di tengah rumah.
"Gimana tadi sekolahnya?" tanya Sekar setelah Lutte menghampirinya.
"Tante Rasti baik, temen-temen Ute banyak yang nangis tapi Bu."
"Ute nggak nangis kan?" Sekar spontan bertanya, ia takut kekhawatiran yang hadir tadi pagi menjadi nyata. Tangannya tetap aktif menyuapi Lutte yang membuka mulutnya luas-luas.
Lutte merespon dengan gelengan karena mulutnya telah penuh oleh makanan. "Anak pintar," puji Sekar kemudian. Di dalam lubu hantinya ada kebanggaan tersendiri saat mengetahui buah hatinya dapat mandiri di hari pertamanya sekolah.
"Bu?" panggil Lutte pelan setelah menghabiskan makanan di mulutnya.
"Kenapa Sayang?"
"Tadi perkenalan, dan Ute seharusnya nyebut nama Ibu sama Ayah. Tapi Ute Cuma tau nama Ibu."
Sekar tidak bisa membendung perasaannya. Rasanya begitu sakit dan perih karena ia tidak mampu menjawabnya. Bukan bermaksud menyembunyikan, hanya saja, ia juga tidak tahu siapa ayah biologis Lutte yang telah tega memperkosanya malam itu.
"Nama Ayah Ute siapa Bu?" Lutte mengulang pertanyaannya.
Sekar geming. Bingung harus menjawab apa. Ia tahu cepat atau lambat Lutte akan menanyakan perihal ayahnya. Namun Sekar tidak menyangka akan secepat ini. Ia hanya belum menemukan jawaban yang pas mengenai pertanyaan itu.
"Ute salah ya Bu? Ute nakal?" ucap Lutte dengan menyesal. Sekar kemudian memeluk Lutte guna menyamarkan air mata yang sudah tidak dapat terbendung lagi hingga jatuh membasahi pipinya. Ia tidak ingin melihat anaknya menangis. Tidak. Sekar harus kuat demi Lutte.
"Ute anak Ibu. Cuma Ibu."
Sekar sudah menjalankan tugasnya untuk mengawasi dan menemani Lutte makan siang, dan kini saatnya ia kembali ke toko untuk kembali bekerja. Perasaan gundah tiba-tiba melandanya. Lutte anak yang cukup cerdas dan akan selalu bertanya hingga ia menemukan jawaban yang memuaskan. Jawaban Sekar tadi hanyalah perisai awal yang mungkin saja bisa hancur dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
"Mbak?"
Sebuah suara mengejutkan Sekar. Ia kemudian sedikit membungkuk dan meminta maaf. Entah sejak kapan ia melamun sampai tidak menyadari kehadiran orang lain di toko. Seorang laki-laki berkemeja biru dongker membeli sebuah minuman berenergi. Sekar mengenali wajah pria ini, beberapa kali ia sering berbelanja di tokonya. Sekar harap pria ini tidak melaporkannya yang tidak menyapa di awal kedatangan saat ia memasuki toko.
"Selamat datang, selamat berbelanja," sapa Sekar dengan kikuk. Seharusnya kalimat ini ia ucapkan saat pria ini baru saja memasuki toko.
Pria itu hanya tersenyum ramah. Lesung pipitnya yang menjadi ciri khas membuat Sekar dengan mudah mengingatnya.
"Ini aja Mas? Atau ada yang lain?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro