Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sekar-1

Mimpi buruk semestinya terjadi pada malam hari, di mana orang-orang sedang terlelap, mengistirahatkan diri. Namun bagi Sekar, mimpi buruk selalu hadir setiap waktu, tanpa perlu memejamkan mata apalagi sampai terlelap. Mimpi buruk itu selalu menghantui di setiap detiknya.

Semuanya berawal sejak malam itu, malam di mana Sekar merasa 'hidup' untuk terakhir kalinya. Malam yang mengubah segalanya.

Pukul sepuluh malam Sekar menyusuri trotoar kampus, suasana senyap dan sedikit lengang. Hari itu ia harus pulang malam karena harus mengerjakan tugas. Biasanya Sekar akan pulang bersama Davina, temannya di rumah kost, namun Davina sedang jatuh sakit, jadi Sekar tidak bisa memintanya untuk menjemput atau setidaknya menemaninya berjalan pulang.

Hujan rintik membasahi jalanan yang gelap, dingin dan licin, membuat orang lain enggan untuk keluar dari dalam kost atau pun rumah mereka. Jika tidak mengingat bahwa besok pagi ia akan mengikuti ujian lisan bersama Prof. Dedi, Sekar akan lebih memilih untuk menginap di kampus. Keputusan yang kemudian ia sesali seumur hidup.

Dari kejauhan Sekar melihat lampu mobil yang terbiaskan oleh rintik hujan. Mobil itu seperti tak berjalan dengan kecepatan konstan, dan sedikit aneh. Meski tidak ada kendaraan lain, mobil itu tidak berjalan dengan lurus. Mencoba mengabaikan, Sekar mempercepat langkah hingga mobil itu melewatinya, namun kemudian ia mendengar suara kucing yang tertabrak hingga Sekar menoleh dan melihat mobil itu berhenti.

Suara eongan kucing masih terdengar meski semakin melemah, namun sang pemilik mobil tidak beranjak dari kursi kemudi. Memenuhi naluri, kaki Sekar kemudian berjalan mendekati mobil itu dan berjongkok untuk melihat kucing yang terlindas di bawah ban. Kucing itu terlihat masih bernapas dan mengeong pelan meski sudah banyak darah yang terlihat di sekitaran tubuhnya, sepertinya sedang sekarat.

"Mas, kelu—"

Sekar tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Detik berikutnya wajah Sekar sudah tertutup oleh sebuah tote bag, dan kemudian hal mengerikan itu pun terjadi. Yang ia ingat hanya bau alkohol yang begitu menyengat, deru napas, dan suara umpatan kasar. Rontaan, teriakan, dan tangisan memohon tidak menghentikan perbuatan bajingan sialan itu. Saat itu, Sekar benar-benar hancur.

***

"Ibu! Ibu! Hari ini Ute sekolah ya?" Sekar menoleh dan melihat malaikat kecilnya sedang mengucek mata, hal yang selalu dilakukanya setelah bangun tidur. Ia adalah anak Sekar, Lutte Wandan Putri.

Sekar tersenyum, tangannya cekatan dalam mengolah jagung, buncis, wortel, dan telur puyuh dalam sebuah menu tumisan. "Iya Sayang, Ute mulai sekolah hari ini, sekarang Ute mandi ya biar nanti nggak bau."

Lutte tertawa dan mengangguk, kemudian ia mengambil handuk bergambar Mickey Mouse miliknya dan masuk ke dalam kamar mandi. Sejak mengetahui bahwa ia akan bersekolah, Lutte sangat antusias dalam mempersiapkan diri. Ia mengisi tasnya dengan sebuah buku kosong bergambar kelinci berwarna pink, sebuah kotak pensil yang terdiri dari dua pensil, sebuah penghapus dan juga rautan, dan satu set pensil warna kecil berisi dua belas warna.

Ya, kejadian malam itu mengubah segalanya dalam hidup Sekar. Sang bunga yang seharusnya mekar dengan indah harus layu dalam sekejap mata karena ulah tangan tidak bertanggung jawab.

Setelah selesai memasak, Sekar beranjak menuju kamar di mana ia dan buah hatinya tidur, merapikannya dan menyiapkan seragam untuk Lutte gunakan. Enam tahun bukanlah waktu yang sebentar, entah dari mana ia mendapat kekuatan untuk menjalani semuanya sendirian.

Lutte muncul di pintu kamar dengan handuk yang melilit tubuhnya. "Ibu Ute udah selesai!"

"Sini Sayang!" Sekar menyuruh Lutte menghampirinya, mengeringkan tubuh malaikat kecilnya dan memberikan minyak angin untuk menghangatkan tubuhnya sebelum memakaikannya seragam.

"Rambutnya mau dikucir kuda atau dikepang?"

"Yang cantik aja Bu," jawab Lutte.

Sekar tersenyum dan mulai menggerakkan tangannya untuk membuat simbul kepang, dan memberikan sentuhan akhir dengan sebuah ikat rambut bergambar strawberry. "Udah Nak, udah cantik."

Lutte bersolek di depan cermin, ia tersenyum dengan lebar. "Ute sekarang udah masuk PAUD. Nanti di sana ada tante Rasti yang ngajarin Ute. Baik-baik sama temen Ute ya, Nak. Ibu harus kerja."

Lutte menganggukkan kepalanya dengan patuh meski matanya masih tidak lepas dari bayangannya di cermin. "Siap Ibu!" ucapnya dengan semangat.

Kadang Sekar merasa miris, begitu banyak anak perempuan di luar sana yang suka bersolek dengan gaun indah mereka saat perayaan khusus seperti perayaan ulang tahun misalnya. Namun anaknya sudah cukup senang saat memakai seragam sekolahnya untuk pertama kali.

"Kalau tante Rasti bilang Ute baik di sekolah, pulang sekolah Ibu bawain coklat kesukaan Ute ya?"

"Asik!" ujar Lutte riang.

"Ayo kita berangkat, Sayang."

Sesampainya di PAUD, Sekar menemui Rasti, sahabatnya yang berprofesi sebagai guru PAUD.

"Ibu, Ibu, Ute boleh naik itu nggak?" tanya Lutte saat melihat beberapa permainan yang ada di halaman PAUD.

"Boleh Sayang, tapi tunggu sebentar ya, Ibu mau ketemu Bu Guru Rasti."

"Bu Guru?"

"Iya Sayang, Bu Guru. Kalau di sekolah Ute panggil Tante Rasti Bu Guru ya?"

"Kalau lihat dulu boleh ya Bu?"

"Ya udah, Ute lihat dulu. Ibu mau nemuin Bu Guru Rasti dulu."

Lutte mengangguk dan berdiri di depan ruang kelas, memperhatikan beberapa anak yang bermain didampingi oleh orangtua mereka.

"Ras, aku titip Ute ya?"

"Tenang aja Sekar, aku pasti jaga Ute dengan baik, kamu nggak usah khawatir."

"Aku takut Ute nangis," ungkap Sekar jujur. Sesungguhnya ia takut jika anaknya akan menangis saat memasuki fase baru dalam hidupnya. Namun Sekar tidak bisa izin dari toko hari ini, ini hari senin dan awal bulan, Sekar harus mencatat barang yang masuk dan merapikannya.

"Sejak kecil Ute anak pintar dan pemberani Sekar, dia nggak akan nangis, percaya deh sama aku."

Rasti adalah salah satu orang yang berperan penting dalam ruang lingkup hidup Sekar yang kecil. Sebagai sesame perantau yang seumuran mereka acap kali berdiskusi dan menghabiskan waktu bersama.

"Kalau begitu aku pergi dulu ya Ras," pamit Sekar kepada Rasti.

Sekar menghampiri Lutte yang masih menonton anak-anak yang sedang bermain dengan tatapan yang begitu antusias. "Ute, Ibu kerja dulu ya, Nak."

"Iya Ibu!"

Dengan langkah perlahan Sekar meninggalkan halaman PAUD, kemudian ia berpapasan dengan seorang Ibu yang tengah menggendong anaknya yang sedang menangis meraung-raung. "Alif kenapa , Bu?"

"Ini, nggak mau sekolah Mbak Sekar, harus dipaksa dulu."

Sekelumit kekhawatiran timbul di benak Sekar. Hatinya meronta, ingin mendampingi sang anak di hari pertama ia menyecap bangku sekolah, memberikan dukungan bahwa Lutte tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, karena ia ada di sana. Namun kewajibannya untuk mencari uang guna memenuhi kehidupan mereka pun harus dilakukan.

Maafin Ibu yang nggak ada di sampingmu saat kamu pertama sekolah Nak...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro