Lutte - 03
Hari ini Ibu pulang lebih awal, entah mengapa. Tapi wajah Ibu terlihat memerah dan matanya pun bengkak. Apa Ibu habis menangis? Apa ini karena aku yang meminta Ayah tadi?
"Bu...." tegurku dengan pelan. Aku menarik sedikit daster yang dikenakannya, dan Ibu masih diam.
"Ibu, Ute salah ya?" tanyaku sambil menangis. "Ibu marah ya sama Ute?"
Hanya Ibu satu-satunya yang aku punya saat malam hari. Aku tidak bisa mengunjungi Tante Aul atau pun Bu guru Rasti dan Tante Winda. Mereka pasti sudah tidur. Ibu bilang kalau malam semua orang sudah tertidur, makanya aku tidak boleh keluar.
"Ibu... Ibu jangan marah...." rengekku sambil kembali menarik bajunya.
Ibu terlihat menghela napas panjang dan menghapus air matanya sebelum berjongkok dan mensejajarkan dirinya dengaku.
"Ibu nggak marah, Sayang."
Aku menghambur ke pelukannya dan menangis. Ibu menggendongku dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain dengan cekatan menyiapkan telur dadar kesukaanku.
"Kalau Ibu nggak suka Ute panggil Om Randi Ayah. Ute nggak akan manggil Om Randi Ayah lagi." Aku berjanji sambil menunjukkan jari telunjuk dan tengahku kepada Ibu. Ibu hanya tersenyum kecil sebelum menurunkanku kembali.
"Ute Sayang, kita makan dulu ya? Ute siapin air minum kayak biasanya. Ibu takut telurnya gosong. Oke?"
Tanpa menunggu perintah kedua aku menuruti Ibu untuk mengambil teko kecil yang separuhnya terisi air, dan membawanya ke depan. Tempat kami biasa menonton televisi sambil makan berdua. Ibu menyuapiku dengan perlahan, sesekali ia menyuap untuk dirinya sendiri.
"Tadi di sekolah Ute ngapain?"
"Bu guru ngajarin lagu baru sama doa baru, terus tadi Ute ngegambar."
"Ute gambar apa?"
"Gamnar rumah, Bu."
"Coba mana buku gambarnya? Ibu mau lihat."
Aku pun berlari kecil ke dalam kamar, membuka tas gambar barbie berwarna pink milikku dan mengeluarkan buku gambar bergambar winnie the pooh dari dalamnya. Aku memberikan buku gambar itu ke Ibu yang Ibu terima dengan senyum sumringah. Sementara Ibu membuka buku gambarku, aku mencoba menyuapkan nasi dengan telur yang banyak ke dalam mulut.
"Gambhar Uthe baghus khan ya Bhu," kataku dengan mulut penuh makanan.
Ibu melirikku dengan ekor matanya yang membuatku sadar bahwa aku sudah melakukan kesalahan karena berbicara dengan mulut penuh. Aku pun mengunyah makananku sampai habis dan meminum air di gelas sampai habis.
"Ini apa? Coba jelasin ke Ibu," kata Ibu sambil menunjuk gambarku.
"Ini rumah, ini matahari, ini burung, nah yang ini Ute, Ibu dan yang satunya Ayah."
"Bu guru nyuruh gambar Ayah?" tanya Ibu seperti terlihat kesal. Aku menggeleng sebagai jawaban.
"Terus kenapa Ute gambar?"
"Kata Dirga, Di rumah itu seharusnya ada Ibu, Ayah sama Ute. Kayak Dirga sama Ibu Novi dan Ayah Akbar. Jadi Ute ikut gambar Ayah."
***
Saat itu, aku bahkan tidak menyadari bahwa Ibu adalah orang yang paling terluka dengan perkataan dan pertanyaan polos yang aku lontarkan
***
"Anak-anak bulan depan kita mau ngadain wisata ke Taman Safari! Kalian bisa liat binatang secara langsung di sana. Ada Gajah, Harimau, Badak dan masih banyak binatang lainnya."
"Beruang ada nggak, Bu?"
"Ada."
"Buaya Bu Buaya?"
"Buaya juga ada."
"Ikan ada nggak Bu?"
"Kalau liat ikan di pasar juga ada, Adi bisa liat sama Mamah nggak usah jauh-jauh ke Taman Safari."
"Di rumah Amar juga ada ikan!" sahut Amar dengan kencang.
"Rumah Dirga juga! Ikan cupang punya Abang Rasyid banyak noh!"
"Besok bilang sama Ibu, Mamah, atau Bunda kalian untuk dateng ke sini ya!" kata Bu guru dengan semangat.
"Ummi nggak dibilangin nih Bu?" tanya Arsyad.
"Sama aja, Sayang. Beda nyebutnya aja. Mau Ummi, Amma, Ibu, Bunda, Mamah, Mami pokoknya besok suruh ke sini ya!" jelas Bu guru sambil tersenyum.
"Asik jalan-jalan!" teriak Dirga.
Sementara teman-temanku sibuk berceloteh tentang rencana jalan-jalan kami, aku masih diam apakah Ibu bisa datang besok. Ibu kan harus kerja.
"Dian, Mamah kamu besok dateng nggak?" tanyaku pada Dian, salah satu temanku yang Ibunya bekerja seperti Ibuku.
"Aku nggak tau Ute. kalau nggak Mamah Bapak yang ke sekolah. Ute gimana? Ibu Ute dateng?"
Aku menggeleng pelan. Aku tidak tau apa jawabannya karena memang aku harus bertanya dulu kepada Ibu. Mungkin nanti aku akan bilang pada Bu guru. Bu guru kan teman Ibuku.
"Ayo siapa yang sudah hapal apalan doa bercermin kemarin? Ibu punya hadiah buat yang udah apal. Abis itu baru kita pulang."
"Ute apal Bu!" sahutku dengan cepat. Aku maju dengan langkah terburu tapi Dirga menghalangi langkahku dengan kakinya hingga aku terjatuh.
"Sakit!" pekikku sambil melihat lututku yang memerah. Aku menangis.
Bu guru menghampiriku dan mengomeli Dirga yang tidak hati-hati dalam meluruskan kakinya hingga aku terjatuh. Bu guru menyuruh Dirga untuk meminta maaf kepadaku yang masih menangis. Dirga akhirnya mengulurkan tangannya dan meminta maaf kepadaku.
"Maaf ya Ute, tadi Dirga pegel. Jadi nggak sengaja ngelurusin kaki. Ute sakit ya?"
Aku masih terisak, tetapi Bu guru menautkan tanganku dengan tangan Dirga.
"Nah, udah maafan kan sekarang. Ute masih mau apalannya nggak?" tanya Bu guru yang aku jawab dengan gelengan. Akhirnya Bu guru membantuku kembali ke kursi.
"Bu! Dirga mau apalan!" kata Dirga sambil maju ke depan.
Apa Dirga sengaja agar ia yang mendapat hadiah dari Bu guru?
Dirga akhirnya melakukan hapalan doa bercermin dengan baik, dan Bu guru memberikannya satu pak kertas origami warna warni yang indah. Padahal aku ingin sekali kertas origami. Mungkin aku harus bilang kepada Ibu nanti.
Aku masih terus mengucek mataku yang berair sampai menyadari ada satu pak kertas origami di mejaku. Dan Dirga sedang berdiri di sampingku.
"Kertasnya buat Ute aja, kan Ute yang harusnya apalan. Maafin Dirga ya Ute!"
Aku mengangguk pelan dan memeluk kertas origami itu sambil tersenyum. Ternyata Dirga baik.
Seperti biasa saat pulang aku menunggu Bu guru Rasti selesai beres-beres, dan aku akan diantar ke rumah Tante Aul dan Om Randi.
"Ute tunggu sebentar ya, Tante Rasti mau ketemu Ibu RW sebentar. Tunggu di sini nggak apa-apa kan? Masih ada temen-temen yang main juga."
Aku mengangguk dan mematuhi perintah Bu guru untuk bergabung bersama teman-temanku. Karena mainan perosotan penuh, aku memilih untuk naik ayunan.
"Bapaknya si Ute kemana sih?" tanya Ibu-Ibu yang sedang berdiri menunggu anaknya yang sedang bermain.
"Nggak tau. Dari awal pindah nggak pernah keliatan."
"Ibunya janda?"
"Bukan. Masa sih janda? Muda banget, mana cakep lagi."
"Kata anaknya sih bapaknya kerja. Kerja apaan kali nggak balik-balik gitu."
"Pelaut kali."
"Eh, dimana-mana pelaut juga pulang! Ini dari si Ute masih bayi merah sampe segede gini Bapaknya nggak nongol sekali pun!"
"Apa anak yatim?"
"Masa sih? Kalau anak yatim mah nggak mungkin anaknya bilang kalau Bapaknya kerja dong Bu."
"Gue denger gosip sih nih ye, tapi jangan bilang-bilang lo pade ye!"
"Kenapa Bu emangnya?"
"Katanya sih nih ye gue denger dari si Serin yang tetangga sebelah rumahnye, si Ute itu anak haram."
"Hush! Ibu ngomongnya ya. Masa sih? Mbak sekar keliatannya perempuan baik-baik."
"Ya nggak ada yang tau lah Bu, tampang kan nggak menjamin kelakuan seseorang."
"Kasian tapi ya, anak segede gitu nggak ada Bapaknya. Mana perempuan lagi."
"Ya kalau emaknya ngegodain laki orang sampe hamil di luar nikah terus nggak dinikahin sampe sekarang sih bukan salah anaknya, salah emaknya!"
"Udah yuk ah Bu, kita pulang aja. Masih pagi ngegibahin orang. Ada anaknya lagi, kasian."
"Anaknya paling nggak ngerti sama yang diomongin."
Setelah Ibu-ibu itu pergi, aku hanya sendirian di sekolah sampai Bu guru Rasti kembali.
"Loh? Ute sendiri? Kenapa nggak teriak panggil Tante tadi?" tanya Bu guru khawatir.
"Bu, Ibu kan pinter. Ute boleh nanya nggak?"
"Ute mau nanya apa emang?"
"Anak haram itu apa sih, Bu?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro