Lutte - 02
Aku pulang ke rumah dan menyetel televisi, di televisi ada film tentang dua orang yang menyebut diri mereka sebagai pacar. Ibu bilang aku tidak boleh mencontoh hal-hal yang ada di televisi. Tidak ada acara yang seru saat ini. Biasanya aku menumpang di rumah Tante Aul kalau siang untuk menonton televisi bersama. Televisi milik Tante Aul sangat besar, salurannya juga banyak. Jadi aku bisa menonton kartun sepuasku.
Tapi lagi-lagi aku ingat perkataan Ibu untuk tidak mengganggu Tante Aul yang sedang membawa bayi di dalam perutnya itu. Bayi itu sebentar lagi akan keluar dan kehadiranku bisa saja mengganggunya. Jadi Ibu bilang lebih baik aku di rumah dan berlatih menggambar.
Semua kegiatan terasa membosankan sampai akhirnya aku memilih untuk tidur siang. Ibu pasti akan datang untuk membawakanku makan siang sebentar lagi.
"Ute, Sayang."
Suara Ibu yang lembut membangunkanku, Ibu masih dengan seragam kerjanya kini berada di hadapanku dengan sebuah piring di tangannya. "Makan yuk!" ajak Ibu sambil membantuku untuk bangun. Aku mengangguk dan beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka sebelum makan bersama Ibu.
"Gimana tadi sekolahnya?" tanya Ibu begitu antusias.
"Tante Rasti baik, temen-temen Ute banyak yang nangis tapi Bu."
"Ute nggak nangis kan?" tanya Ibu khawatir.
Aku menggeleng dan melahap suapan yang diberikan oleh Ibu.
"Anak pintar," puji Ibu yang membuatku tersenyum. Aku suka saat Ibu memanggilku dengan sebutan anak pintar. Rasanya begitu bahagia.
"Bu?" tanyaku yang membuat Ibu menghentikan suapannya.
"Kenapa Sayang?"
"Tadi perkenalan, dan Ute seharusnya nyebut nama Ibu sama Ayah. Tapi Ute cuma tau nama Ibu."
Ucapanku membuat raut wajah Ibu berubah. Ibu terlihat bersedih.
"Nama Ayah Ute siapa Bu?"
Ibu diam. Ia hanya tersenyum, tetapi matanya berair seperti ingin menangis.
"Ute salah ya Bu? Ute nakal?"
Ibu malah membawaku ke pelukannya dan memelukku dengan erat.
"Ute anak Ibu. Cuma Ibu."
***
Saat berumur lima tahun, aku hanyalah anak polos dan naif yang tidak mengerti akan semua perkataan Ibu.
***
Aku sedang berada di rumah Tante Aul, menonton televisi dan menemaninya bermain bersama bayi kecilnya. Tante Aul bilang jika dulu juga aku sekecil itu, dan suatu saat aku kan besar seperti Ibu dan juga Tante Aul.
Bayi kecil itu dinamai Nindy. Nindy tidak bisa melakukan apapun selain menangis dan menyusu kepada Tante Aul. Sesekali Om Randi, ayah Nindy ikut bergabung bersama kami dan menggendong Nindy sambil menciumnya dengan begitu sayang.
"Ute kenapa?" tanya Tante Aul saat ku menjauhkan Astor kesukaanku yang sebelumnya sedang ku makan.
Aku menggeleng pelan. "Tante Aul, Ute mau pulang...."
"Ibu belum pulang, Ute nanti sendirian. Sama Tante aja di sini ya? Kan ada baby Nindy sama Om juga di sini."
"Iya Ute, bener kata tante. Sini aja ya sampe Ibu pulang kerja?" bujuk Om Randi.
"Tante, Ute boleh nanya?"
"Boleh dong, Sayang."
"Dirga punya Ibu sama Ayah. Amar juga punya Papah sama Mamah. Kenapa Ute cuma anak Ibu?"
Tante Aul membawaku ke pangkuannya, dan mengusap rambutku dengan lembut dan pelan. "Ute punya lebih banyak kok, ada Ibu, ada Tante Aul, ada Bu guru Rasti, Om Ardi, Om Randi, Tante Winda, Om Zito, Om Yira juga."
"Ute juga mau digendong Ayah kayak baby Nindy...."
Aku menangis. Teman-teman sering menanyakan soal Ayahku. Tapi aku bingung bagaimana menjawabnya selain bilang kalau Ayah bekerja seperti yang Ibu bilang.
"Ute bisa panggil Om Randi Ayah," kata Om Randi sambil mengambil alih aku dari gendongan Tante Aul.
"Beneran boleh Om?" tanyaku dengan antusias.
"Iya. Boleh kok. Sekarang Ute mau apa? Mau es krim?" tanya Om Randi yang aku jawab dengan anggukan, "ayok kita ke tempat Ibu kerja dan beli Es krim buat Ute!" ajak Om Randi.
Om Randi lalu menggendongku dan kami beranjak keluar rumah. Om Randi tinggi, saat aku digendongnya rasanya seperti terbang. Dan aku bisa melihat langit dengan lebih dekat.
"Kalau besar Ute mau jadi apa?"
"Ute mau kayak Ibu."
"Kayak Ibu?"
"Iya, Ibu kerja di tempat yang banyak jajanannya. Ute suka, Ayah."
Om Randi tertawa. Rasanya bahagia bisa memanggilnya dengan sebutan Ayah. Jadi saat Dirga dan Amar bertanya tentang Ayah nanti, aku bisa menjawabnya kalau aku punya Ayah. Mereka selama ini meledekku karena Ayah tidak pernah terlihat.
"Selamat datang, selamat berbelanja." Suara Ibu menyapa telingaku begitu aku memasuki toko yang memiliki suhu lebih dingin dari luar tadi.
"Mas Randi? Ute kenapa?" tanya Ibu sambil menghampiri kami.
"Nggak apa-apa kok Sekar, kita cuma mau beli es krim aja."
"Ute minta sama Om Randi?" tanya Ibu yang membuatku menggeleng. Aku tidak minta, tapi Om Randi yang menawarkan.
"Nggak kok, Ute nggak minta. Aku sama Aul lagi pengen es krim jadi sekalian ajak Ute ke sini."
"Ute berat Mas, sini biar saya aja yang gendong." Ibu menarikku untuk digendong olehnya, tapi aku menolak. Aku memilih untuk menyangkutkan tanganku ke leher Om Randi.
"Mau sama Ayah aja...."
"Ayah?" tanya Ibu dengan sedikit terkejut. "Sini sama Ibu!" kata Ibu sambil memaksaku untuk beralih ke gendongannya.
"Gak mau! Ute mau sama Ayah!"
Om Randi memelukku. Ia menjauhkanku dari jangkauan Ibu. Aku menangis.
"Apa maksudnya ini, Mas?" tanya Ibu kebingungan.
"Ute butuh seseorang untuk dia panggil Ayah, Sekar. Dan aku nggak keberatan akan itu."
Ibu menarikku dari Om Randi dengan gerakan cepat sehingga sangkutan tanganku pada lehernya terlepas. Ibu mencoba menggendongku tetapi aku terus memberontak dan berteriak. "Ute mau Ayah! Ute mau sama Ayah!"
"Ute!" bentak Ibu yang membuatku terdiam. Aku menangis dengan kencang tapi tidak lagi memberontak.
"Ute mau Ayah Bu... Ute mau Ayah...."
Ibu menangis. Sepertinya aku sudah salah. Aku cuma ingin Ayah. Kenapa Ibu tidak pernah memanggil Ayah untuk pulang dan bertemu denganku sebentar, agar aku bisa bermain bersama dan digendong olehnya seperti aku digendong oleh Om Randi.
Om Randi mengambil alih tubuhku dari gendongan Ibu. Setelah itu Ibu berjongkok dan menyembunyikan wajahnya.
"Ute mau Ayah...."
"Sekar, Ute butuh sosok Ayah. Kalau memang Ayahnya nggak ada, Ute bisa menganggap aku sebagai Ayahnya," kata Om Randi ke Ibu.
"Mas, tapi─"
Perkataan Ibu terpotong oleh seorang Om pembeli yang masuk ke dalam toko. Dalam tangisnya Ibu masih berusaha menyapa pelanggan itu dengan kalimatnya yang biasa.
"Ayah... Ute mau Ayah...."
Om itu melihat ke arahku sebelum menghilang di balik rak-rak tinggi.
"Mas, maaf aku harus kerja sebentar. Tolong titip Ute sebentar ya," ucap Ibu sambil mengusap air matanya dan kembali ke balik meja tempat pembayaran.
Om Randi membawaku ke tempat es krim dan menyuruhku untuk memilih. Aku menggeleng dan memilih untuk menyembunyikan wajahku di kaus Om Randi.
Sebuah sentuhan di tanganku membuat aku menoleh, om tadi memberikanku sebuah bungkusan yang bergambar koala dengan isi permen kapas berwarna merah muda di dalamnya.
"Ini buat kamu...."
Tangaku tergerak untuk mengambil permen kapas itu, dan Om itu lalu menghadiahkan sebuah usapan di kepalaku. Kemudian Om itu menghampiri Ibu di meja pembayaran.
"Mbak, permen kapasnya dua ya. Yang satu udah anak Mbak pegang. Satunya lagi bisa disimpan kalau anak Mbak nangis lagi nanti."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro