Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lutte - 01

Aku menatap tubuhku di cermin dengan penuh kekaguman. Seragam biru cerah dengan rok kotak-kotak ini membuatku terlihat jauh lebih cantik dari biasanya, Ibu pun mengatakan demikian. Hari ini Lutte Wandan Putri jauh lebih cantik dengan kuncir kepang yang Ibu buat dan jepitan rambut manis bergambar strawberry.

"Ute sekarang udah masuk PAUD. Nanti di sana ada tante Rasti yang ngajarin Ute. Baik-baik sama temen-temen Ute ya, Nak. Ibu harus kerja."

Aku mengangguk dengan semangat. Ibu sudah membelikan tas, pensil, kotak pensil, bahkan penghapus dengan wangi permen karet untukku. Semuanya berwarna pink, warna kesukaanku. Hari ini tentunya aku bersemangat untuk bersekolah.

"Siap Ibu!"

"Kalau tante Rasti bilang Ute baik di sekolah, pulang nanti Ibu bawain coklat kesukaan Ute ya?"

"Asik!" pekikku dengan senang. Selama ini Ibu bekerja di tempat penuh jajanan. Tetapi Ibu tidak pernah membawa pulang jajanan itu. Ibu bilang uangnya harus ditabung untuk sekolahku. Sepertinya sekarang Ibu sudah berubah pikiran.

Aku paling suka saat memasuki tempat Ibu bekerja, dengan ramahnya Ibu menyapa semua orang dengan kalimat Selamat datang, selamat berbelanja. Senyumannya yang begitu indah menyambut para tamu yang datang ke toko. Ah, Ibu bilang mereka pembeli bukan tamu. Apapun namanya yang jelas aku menyukai pekerjaan Ibu. Mungkin saat besar aku ingin menjadi sepertinya.

Ibu menggandeng tanganku dan berjalan ke arah kiri, di ujung jalan ada bangunan sekolah yang berisi anak-anak yang memakai seragam sama denganku. Dadaku berdebar, seperti ada yang meletup-letup. Aku tidak sabar untuk bertemu dan bermain bersama teman-teman. Ah, tapi Ibu bilang aku bersekolah untuk belajar, bukan bermain.

Setelah mengantarku dan menemui Tante Rasti, Ibu pergi bekerja. Aku memandang tante Rasti dengan penuh harap. Aku ingin diperbolehkan untuk bermain bersama yang lain. Mainan berbentuk mangkuk yang berputar-putar itu sepertinya cukup seru.

"Adit! Jangan kencang-kencang! Nanti temen kamu pusing!" teriak Tante Rasti. Tante Rasti lalu melepas tas milikku dan menyuruhku untuk bergabung dengan yang lainnya.

"Ayo anak-anak baris!"

Baru saja aku menaiki perosotan, Tante Rasti sudah menyuruh kami untuk baris. Beberapa ada yang baris bersama Ibu mereka, bahkan ada yang menangis tidak mau baris.

Ibu bilang aku tidak boleh seperti itu, kalau aku begitu Ibu tidak akan bisa bekerja, dan aku tidak bisa makan lagi nantinya. Tetapi kenapa teman-temanku seperti itu? Apa mereka tidak takut kalau mereka tidak akan bisa makan lagi?

Tante Rasti bertepuk tangan dan mulai bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Aku pun melakukan hal yang sama karena Tante Rasti menyuruhnya.

"Ikutin Bu guru ya!" kata Tante Rasti dengan semangat. Aku baru ingat jika Ibu menyuruhku untuk memanggil Tante Rasti Bu Guru saat di sekolah.

Setelah acara baris berbaris, akhirnya aku memasuki ruang kelas yang penuh dengan kertas origami warna warni. Ada berbentuk bebek, burung, pohon, bahkan ikan. Mereka semua terlihat lucu menggantung di jendela.

"Sekarang kita mulai perkenalan ya, Sayang. Yang berani duluan angkat tangan!"

Seorang anak laki-laki dengan senyum cerah dan telinga lebar mengangkat tangannya dengan penuh percaya diri. Bu guru mengacungkan jempolnya dan menemani anak itu di depan kelas.

"Ayo, kenalin namanya Sayang...."

"Nama aku Dirga Bu!" jawab anak laki-laki itu semangat.

"Dirga tau nama panjangnya?"

Anak laki-laki itu mengangguk semangat sambil memamerkan deretan gigi kecilnya yang rapih. "Dirgahayu Pamungkas."

"Wah, namanya bagus!"

"Iya dong Bu! Kan Dirga lahir pas tujuh belasan."

Ucapan Dirga membuat anak-anak lain bertepuk tangan, beberapa ada yang berdecak kagum karena tanggal ulang tahun Dirga yang sama dengan negara Indonesia.

"Nama Ibunya siapa sayang?" tanya Tante Rasti.

"Bunda Novi," jawab Dirga.

"Kalau Ayah?"

"Ayah Akbar."

"Ayo siapa lagi yang mau perkenalan dan berani kayak Dirga?" tanya Bu Guru dengan semangat.

Anak-anak lain satu persatu mengacungkan jarinya dengan semangat. Meskipun ada yang menolak awalnya, tetapi mereka tetap maju pada akhirnya.

"Ayok siapa lagi yang belum?" tanya Bu guru.

Dirga dan Amar menunjuk ke arahku. Aku ingin saja maju sejak awal, tapi aku takut.

"Ute, sini! Ayok kenalan sama temen-temennya!"

Aku masih diam sampai Bu guru menghampiri dan menggandengku untuk maju ke depan kelas.

"Kenalin ayok," bisik Bu guru di telingaku.

"Namaku Ute," jawabku singkat.

"Nama panjangnya Sayang?"

"Lutte Wandan Putri."

"Namanya bagus ya?" tanya Bu guru ke teman-teman yang dijawab anggukan oleh mereka semua.

"Nama Ibu siapa, Sayang?"

"Ibu namanya Asri Sekar."

"Nah, Ute pinter!" puji Bu guru, "sekarang Ute boleh duduk lagi ke tempat kamu!"

Aku baru saja melangkahkan kakiku untuk menuju bangku berwarna merah milikku, tetapi suara Dirga memecah keheningan.

"Ute belum ngenalin nama Ayahnya Bu! Ibu lupa ya?"

Aku berhenti melangkah, seisi kelas menatapku dengan pandangan penasaran. Tidak lama berselang, Bu guru datang menghampiriku dan menyuruhku untuk duduk di kursi.

"Sekarang kita lanjutin pelajaran pertama kita ya! Nanti Ibu kasih permen yang bisa jawab pertanyaan Ibu."

Suara Bu guru mengalihkan perhatian murid lain. Sorak sorai antusias yang berasal dari teman-temanku menjadi respon ucapan Bu guru. Topik akan siapa nama Ayahku pun terlupakan.

Sejak tadi aku ingin maju ke depan, tetapi aku tidak tau siapa nama Ayah jadi aku memilih untuk diam sampai Bu guru panggil. Sejak lahir selalu Ibu yang ada di sisiku. Sosok Ayah sama sekali tidak pernah terdengar maupun terlihat bagiku.

Ayah, Ayah ada di mana? Kapan Ayah pulang dan mengajakku bermain seperti anak-anak yang lain?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro