9. Liminal: Sembilan
"Apakah kau yakin ingin pulang hari ini, Tuan? Kurasa, mungkin ada baiknya kalau kau beristirahat paling tidak untuk sehari lagi."
Wade mengembuskan napas sekilas sembari turun dari ranjang pasien. Dilihatnya jarum infus yang masih menancap di pergelangan tangan kiri, lalu menggeleng. "Aku tidak suka beristirahat di rumah sakit, sangat menjemukan."
"Masalahnya, kau juga tak suka beristirahat di rumah, Tuan," kilah Rocky sembari melihat Wade dengan sorot penuh arti. "Jadi, aku tak tahu harus dengan cara apa agar bisa membuatmu beristirahat dari semua rutinitas."
"Aku yakin yang perlu kau lakukan sekarang adalah memanggil dokter, Rocky."
Rocky mengangguk sekali. Diputuskannya untuk tak lagi mendesak Wade. "Baik, Tuan. Aku akan segera memanggil dokter."
Segera saja Rocky keluar sementara Wade berdecak samar sembari geleng-geleng. Pikirnya, akhirnya Rocky berhenti juga merecoki dirinya perihal istirahat karena jelas itu bukanlah topik pembicaraan yang disukainya. Sebaliknya, dia paling menghindari pembahasan tersebut walau sayangnya, dia tak bisa benar-benar memarahi Rocky.
Wade sadar, Rocky hanya peduli padanya dan itu memang masuk akal. Kebiasaan bekerjanya tak main-main sehingga nyaris bisa dikatakan bahwa dia tak pernah pergi berlibur, tak pernah benar-benar beristirahat dari semua pekerjaan, persis seperti yang dikatakan oleh Rocky tadi.
Agaknya, di sini justru adalah Rocky yang merasa lelah melihat Wade bekerja. Terlebih karena Rocky pun menyadari bahwa sebenarnya dia tak perlu benar-benar bekerja.
Secara harfiah, Wade memang bukan lagi bagian dari keluarga Istana. Dia memang masih menyandang nama besar Pendleton, tetapi tidak lagi memiliki kehormatan sebagai anggota keluarga alpha. Namun, itu bukan berarti dia benar-benar tidak memiliki apa-apa lagi. Dia tetap memiliki banyak hal yang sepatutnya lebih dari cukup untuk menjadi jaminan kehidupannya, bahkan kehidupan anak cucunya hingga beberapa generasi.
Sayangnya, bagi Wade, bekerja bukanlah cara untuk mencari penghidupan. Sebaliknya, itu adalah caranya untuk menyibukkan pikiran. Satu-satunya cara halal untuknya bisa melupakan semua rasa rindu yang terus bersarang di hatinya selama bertahun-tahun. Satu-satunya cara halal untuknya bisa terus menikmati hidup.
Walau ironisnya, Wade sekarang justru sering bertanya pada diri sendiri. Apakah aku masih memiliki kehidupan?
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Wade. Jadilah dia mengerjap dan menyadari di waktu yang singkat bahwa untuk beberapa saat lamanya, dia termenung sembari melihat keluar jendela, tepatnya pada langit biru yang tampak amat cerah.
Pintu terbuka. Wade memutar tubuh dengan dugaan bahwa itu pastilah dokter yang dipanggil oleh Rocky. Namun, dia kecele.
"Estelle."
Estelle menutup pintu, lalu masuk dengan sikap kikuk. Dia tampak segan untuk melangkah dan bahkan sekadar menatap Wade. "Selamat siang, Wade. Aku boleh masuk bukan?"
"Tentu saja," jawab Wade sembari mengangguk berulang kali. "Lagi pula kau memang sudah masuk."
Langkah Estelle terhenti seketika. Wajahnya tampak memerah.
Wade mengatupkan mulut rapat-rapat. Dirutukinya diri sendiri. "Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggungmu. Aku hanya ..." Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan gemuruh yang mendadak bertabuh di dada. "... tak mengira bahwa kau akan menjengukku." Namun, mendadak saja dahinya mengerut. "Ehm. Kau datang kemari karena ingin menjengukku bukan?"
"Te-tentu saja." Estelle mengangguk cepat. Langkahnya kembali berlanjut dan kali ini, dia sambil meremas kedua tangannya yang mulai terasa lembab karena keringat. "Aku memang ingin menjengukmu. Aku ingin mengetahui keadaanmu." Dia mengamati penampilan Wade. "Apakah kau baik-baik saja?" Lalu fokusnya tertuju pada perban kecil di sisi kepala Wade. Jadilah wajahnya berubah. "Sepertinya kau tidak baik-baik saja."
Refleks saja tangan Wade naik dan memegang perban di kepalanya. "Oh, ini. Kau tak perlu khawatir. Ini hanyalah luka kecil. Bahkan dokter hanya menggunduli sedikit rambutku ketika menjahitnya. Jadi, jangan dipikirkan."
Penjelasan Wade malah membuat Estelle membayangkannya secara spontan. Digunduli dan dijahit jelas adalah tanda bahwa itu bukanlah luka kecil. Alhasil ekspresinya pun semakin menunjukkan rasa bersalah.
"Sepertinya aku salah bicara." Wade mengatupkan mulut sesaat demi merutuki diri sendiri di dalam hati. "Jadi, bagaimana kalau kau duduk dulu? Aku khawatir kakimu akan lelah kalau berdiri terlalu lama."
Estelle tampak ragu, tetapi pada akhirnya dia menerima tawaran itu. "Terima kasih."
Suasana canggung terasa ketika Estelle dan Wade duduk. Mereka justru tak mengatakan apa-apa seperti kebingungan. Terlebih lagi Estelle yang saat itu tampaknya lebih fokus pada usahanya untuk menghindari tatapan Wade.
Wade mengerutkan dahi. Sikap Estelle lagi-lagi membuatnya kebingungan. "Sebenarnya, aku tak mengira kalau kau akan menjengukku, Estelle."
Estelle sontak mengangkat wajah ketika didengarnya Wade bicara. Lalu tatapan mereka pun bertemu.
"Selain karena keluargamu sudah menjengukku beberapa hari yang lalu, aku pun ingat ucapanmu malam itu."
Estelle membeku.
"Jelas sekali kau tak ingin berhubungan denganku," ujar Wade dengan sedikit bingung. Dia tak yakin cara untuk menggambarkan peristiwa malam itu. "Maksudku, kau memintaku untuk tak mendekatimu dan karena itulah sehingga beberapa hari ini aku jadi kebingungan."
Mata Estelle memejam dramatis. "Maafkan aku, Wade. Aku sama sekali tak bermaksud bersikap demikian. Hanya saja ..." Dia menggigit bibir bawah. Tampak pergolakan di sepasang matanya. "... aku tak bisa menjelaskannya padamu."
"Estelle, apakah aku telah melalukan sesuatu padamu? Kau bisa mengatakannya. Aku tahu, mungkin saja aku menyinggungmu secara tanpa sadar."
Estelle menggeleng dan menjawab sembari menahan ringisan. "Tidak. Kau tidak menyinggungku atau melakukan apa pun, tetapi—"
"Apakah ini ada hubungannya dengan pertunanganmu dengan Lennon?"
Ucapan Estelle terputus. Wade memotong perkataannya dengan pertanyaan yang membuatnya tertegun sejenak. Dia perlu waktu sedetik untuk mencerna maksud Wade dan jadilah bola matanya membesar. "Tidak seperti itu, Wade."
"Kupikir malah sebaliknya," ujar Wade sembari tersenyum masam. Lalu dia mengangguk. "Baiklah, Estelle. Sekarang, semua jadi masuk akal dan sudah sepatutnya kau memintaku untuk tak mendekatimu, ehm berhubungan denganmu. Untuk itu akan kupastikan bahwa peristiwa ini tidak akan merugikanmu sama sekali. Kau tak perlu khawatir. Lagi pula semua orang tahu bahwa itu adalah kecelakaan."
Di waktu bersamaan, ketika Wade selesai bicara, pintu pun kembali terbuka. Rocky masuk bersama dengan dokter yang bernama Darius Antonio Lopez.
"Tuan, aku sudah—"
Ucapan Rocky terhenti seketika, langkahnya juga, tepat ketika dilihatnya bahwa di dalam bukan hanya ada Wade, melainkan juga Estelle. Ekspresinya jelas menunjukkan keterkejutan, begitu juga dengan Darius.
Rocky berhasil menguasai diri dengan cepat sehingga ekspresinya tampak netral kembali. "Selamat siang, Nona Estelle."
Estelle tersenyum kikuk. "Selamat siang, Rocky."
"Well," gumam Wade singkat. Lalu dia bangkit dari duduk. "Kau datang tepat waktu, Rocky. Kebetulan Estelle akan segera pulang."
Rocky tampak bingung. "Oh."
Di lain pihak, Estelle justru menggigit bibir. "Baiklah, Wade. Aku harus pergi sekarang dan sekali lagi, aku minta maaf. Semoga kau cepat pulih."
Wade hanya memberikan satu anggukan singkat sebelum Estelle benar-benar pergi dari sana. Setelahnya, tepat ketika pintu telah kembali tertutup, Rocky pun segera menghampirinya.
"Kuharap, aku tidak menginterupsi pembicaraan kalian, Tuan."
Wade menggeleng dan memberikan isyarat pada Darius untuk memeriksanya. "Tidak sama sekali. Sebaliknya, aku malah berterimakasih padamu." Dia menatap Rocky. "Kau datang tepat waktu."
*
Estelle buru-buru berpegangan pada dinding. Lututnya benar-benar goyah, kakinya gemetaran, langkahnya nyaris silap beberapa kali. Dia seperti tak bertenaga sama sekali, tubuhnya terasa lemah dan itu membuatnya tersadar akan sesuatu, yaitu mungkin menjenguk Wade adalah ide buruk.
Mata memejam dan kali ini Estelle benar-benar menyandarkan tubuh di dinding. Ditariknya napas dalam-dalam berulang kali, dicobanya untuk tetap tenang dalam pergulatan yang terjadi di benak.
Estelle merasa begitu buruk. Dia menyalahkan Wade untuk hal yang belum terjadi di waktu itu dan parahnya, dia pun menyebabkan Wade terluka. Jadilah dia tak mampu melindungi diri sendiri dari gempuran beragam emosi.
Butuh waktu lebih lama dari yang sempat diduga untuk Estelle bisa mengendalikan diri sepenuhnya. Itupun karena dia berulang kali membela diri sendiri di dalam hati. Dia hanya bersikap waspada dan berhati-hati. Dia hanya ingin mengambil tindakan preventif yang sayangnya sedikit kelewatan.
Estelle membuka mata dan merasa lebih tenang sekarang. Lalu dia pun memutuskan untuk segera pergi dari sana, benar-benar pergi.
Tangan Estelle sempat merasa gamang ketika memegang kemudi. Untuk itu dia menghirup udara dalam-dalam sebelum benar-benar melajukan mobil.
Berbeda dengan situasi ketika pergi tadi maka sekarang Estelle mendapati perjalanan kembalinya ke kantor diwarnai sedikit kemacetan. Lalu lintas terpantau agak mengalami kepadatan walau tak benar-benar membuatnya terjebak.
Napas tertahan di dada Estelle ketika mendapati sebuah mobil menyalip mobilnya. Untung saja dia lumayan sigap untuk menginjak pedal rem. Walau begitu tak urung juga dia mengembuskan napas panjang demi menahan rutukan yang sudah mengantre di ujung lidah.
Hari itu sungguh melelahkan. Estelle tak ingin membuang tenaga yang tersisa dengan hal percuma. Jadi, dia pun memilih untuk menyalakan musik ketimbang meluapkan emosi dengan menggerutu.
Tangan terulur. Estelle berniat untuk mencari lagu kesukaannya ketika tanpa sengaja matanya menangkap satu pemandangan janggal di spion dalam mobil. Alhasil, dahinya pun mengerut dalam upaya untuk mengingat. Apakah aku mengenal mobil itu?
Estelle tak yakin walau sebagian dirinya mengatakan bahwa dia pernah melihat mobil itu. Mungkin tak sampai mengenal, tetapi dia pernah melihatnya.
Perjalanan yang sempat tertunda berlanjut kembali sekitar lima menit kemudian. Kemudi berputar dan Estelle tak lupa menyalakan lampu sein. Mobil berbelok ke kanan bersamaan dengan dirinya yang melihat pada spion luar demi memastikan semua dalam keadaan aman.
Mata Estelle menyipit. Mobil yang dilihatnya tadi masih berada di belakangnya. Apakah dia memang satu jalur denganku atau?
Estelle tak meneruskan praduga tersebut. Sebaliknya, jantungnya mulai terpacu dengan satu desakan yang menggema di benak. Jadilah dia memutuskan untuk tak langsung pergi ke kantor, melainkan ke arah lain.
Sekarang, jantung Estelle malah tak berdetak lagi. Sebabnya, dia bisa memastikan bahwa mobil itu benar-benar mengikutinya. Dia sudah berkeliling tak tentu arah nyaris selama tiga puluh menit dan mobil itu tetap berada di belakangnya!
Estelle tak bisa bertahan. Kakinya menginjak pedal rem dengan serta merta. Mobil berhenti mendadak dan kepalanya sedikit membentur kemudi. Bersamaan dengan itu, sekilas ingatan membayang di kepalanya. Mobil itu berada tepat di belakang mobilku ketika keluar dari rumah sakit.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro