Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Liminal: Delapan

Pesta pertunangan yang semula berjalan dengan meriah dan penuh kegembiraan sontak berubah menjadi kepanikan dan kekhawatiran. Suara riuh tawa dan obrolan mendadak terhenti ketika terdengar suara jatuh yang amat kuat. Jadilah para undangan spontan bergerak, beberapa dari mereka berlari dan mendekat ke arah sumber suara. Lalu kekhawatiran mereka semakin menjadi-jadi ketika menyadari bahwa adalah Estelle dan Wade yang baru saja terjatuh di tangga.

"Estelle!"

Jerit panik kedua orang tua Estelle menggema. Roland dan Gloria segera buru-buru menghampiri Estelle yang berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Wade.

"Oh, Estelle," ujar Roland membantu Estelle. Kecemasan tampak begitu nyata di wajahnya. "Kau baik-baik saja bukan?"

Estelle meringis tertahan, lalu mengangguk. Dia berhasil duduk sembari menahan nyeri yang terasa di beberapa tempat pada tubuhnya. "Ya, Papa. Aku baik-baik saja. Aku—"

"Wade!"

Ucapan Estelle terpotong berkat kesiap Gloria. Jadilah dia berpaling dan mendapati Wade yang sama sekali tidak bergerak. Mata Wade terpejam dan ada cairan kental bewarna merah yang mengalir di bawah kepalanya.

Para undangan segera berteriak meminta pertolongan. Jadilah kepanikan yang sempat mereda sontak meluap kembali, malah semakin parah, terlebih ketika keluarga Pendleton menyadari peristiwa yang tengah terjadi.

Brianna membelalakkan mata, lalu menjerit histeris. "Wade!"

Keluarga Pendleton segera menghambur pada Wade yang bergeming di lantai sementara para omega mulai mengatur keadaan. Mereka segera mengarahkan para undangan untuk beranjak dari sana demi tak memperkeruh suasana. Terpenting, Natalie pun langsung menghubungi rumah sakit.

Di waktu bersamaan, Rocky dan Norman yang agaknya merasa heran karena Wade pergi terlalu lama pun muncul pula. Keduanya sama-sama kaget. Jadilah Norman segera menghampiri Wade sementara Rocky berkata pada Natalie.

"Maaf, tetapi biar aku yang mengurus semua ini."

Natalie ingin membantah, tetapi sesuatu melintas di benaknya. Agaknya ucapan Rocky ada benarnya. Jadilah dia mengangguk.

Tak berselang lama maka ambulans pun datang. Wade segera dievakuasi dengan menggunakan brankar. Kepergiannya diiringi oleh tangis Brianna. Dia ingin menemani Wade di rumah sakit, tetapi takdir melarangnya. Jadilah dia hanya bisa meratap keterbatasannya di dalam pelukan Charles.

Charles merengkuh Brianna dengan erat. Dibendungnya kesedihan yang berkecamuk di dalam hati demi menguatkan Brianna. "Kau tak perlu khawatir. Wade akan baik-baik saja."

Di lain pihak, Estelle membeku. Bahkan dia tak mengatakan apa-apa ketika Lennon menghampirinya dengan kepanikan yang tak kira-kira.

"Estelle, kau baik-baik saja bukan?" Lennon memegang Estelle. Diamatinya keadaan Estelle dari atas hingga bawah. Setelahnya dia pun memeluk Estelle dengan kelegaan yang tak terungkapkan. "Oh, syukurlah, Estelle. Kau tak terluka. Aku benar-benar khawatir bila ada sesuatu yang buruk terjadi padamu."

Estelle masih bergeming. Di dalam pelukan Lennon, dia sama sekali tak bergerak. Seolah dia tak bisa merespons apa-apa lagi yang terjadi di sekitar. Sebabnya, semua indranya seperti tak berfungsi lagi. Mungkin juga karena bukan keadaan sekeliling yang menjadi fokusnya, melainkan Wade.

*

Bisa dipastikan Estelle tak bisa memejamkan mata malam itu. Sayangnya, bukan kebahagiaan berkat pesta pertunangannya dengan Lennon yang menjadi penyebab, melainkan pikirannya tak bisa lepas dari Wade.

Estelle memejamkan mata dengan dramatis setelah mengganti posisi berbaring untuk kesekian kali. Bantal di bawah kepala sudah lecek, selimut pun semakin berantakan, tetapi nahasnya dia sama sekali tak bisa tidur barang hanya lima menit saja.

Rasa bersalah menghantam Estelle. Jadilah dia merutuki diri sendiri. Seharusnya kau tak bertindak demikian, Estelle. Seharusnya kau bisa menjaga sikap. Seandainya kau tak gegabah maka semua ini pastilah tak akan terjadi.

Penyesalan tak ada guna. Semua telah terjadi. Sekarang, satu-satunya yang dipedulikan oleh Estelle adalah keadaan Wade. Dia memang membenci Wade berkat peristiwa di masa lalu, tetapi bukan berarti dia tak punya hati.

Estelle menyadari dengan penuh kesadaran bahwa peristiwa yang menimpa Wade adalah kesalahannya. Dia yang bertindak di luar kendali menyebabkan Wade harus melindunginya. Jadilah Wade terluka karenanya.

Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Demikianlah pikir Estelle sembari membuka mata. Ditatapnya langit-langit kamar dalam pencahayaan temaram lampu nakas. Kuharap lukanya tak parah.

Harapan terus menggema di benak Estelle. Terus saja dipanjatkannya doa itu hingga kegelapan pun menyandera kesadarannya. Pada akhirnya, dia pun tertidur dengan berselimut gelisah tak berkesudahan.

Keesokan hari, Estelle terbangun dengan keadaan yang menyedihkan. Matanya membengkak dengan warna hitam mengerikan. Wajah kusut dan rambut berantakan. Lalu sebuah keheranan pun membuatnya mengerutkan dahi sembari melihat pada pintu.

"Apakah Kiara pergi?" tanya Estelle pada diri sendiri. Lalu dia menelengkan kepala ke satu sisi, bertambah bingung. "Sepertinya tidak mungkin. Semalam adalah pesta pertunanganku dan pastilah dia letih. Lagi pula dia tak pernah pergi ke mana pun selama hidupnya di hari Minggu." Kerutan di dahinya makin bertambah. "Jadi, mengapa dia tak membangunkanku padahal sekarang sudah pukul ..." Dia berpaling pada jam dinding dan sontak saja membelalak kaget. "... sepuluh?!"

Refleks saja Estelle buru-buru turun dari tempat tidur. Disambarkan ikat rambut di meja rias, lalu dia keluar dari kamar sembari celingak-celinguk ke sekitar.

Kebetulan sekali ada Greta. Jadilah Estelle memanggilnya dan langsung bertanya. "Mengapa sepi? Di mana Kiara? Di mana Mama dan Papa?"

Dalam hitungan detik yang amat singkat, persisnya sebelum Greta Cook menjawab pertanyaan itu, sebuah dugaan sempat melintas di benak Estelle. Mungkin Kiara sengaja tak membangunkannya pagi itu karena pesta semalam. Sepertinya keluarganya kompak membiarkannya untuk beristirahat lebih lagi.

Itu terdengar masuk akal. Estelle memang lelah, belum lagi ditambah dengan kecelakaan tak terduga yang menimpa Wade.

"Semua pergi ke rumah sakit, Nona."

Estelle tertegun. "Ke rumah sakit?"

"Ya, untuk menjenguk Tuan Wade," jawab Greta sehingga membuat Estelle semakin tertegun. Jadilah dia menunggu sejenak sebelum balik bertanya. "Apakah kau ingin sarapan sekarang, Nona? Apa yang kau inginkan untuk sarapan?"

Estelle meneguk ludah. Agaknya tidak ada sarapan di pukul sepuluh siang. Jadilah dia menggeleng. Lagi pula dia tak merasa lapar sama sekali. Sebaliknya, dia malah mengira perutnya tak merasakan apa-apa. Dia gelisah dan memutuskan untuk segera kembali ke kamar. Sekarang yang bisa dilakukannya adalah menunggu kepulangan keluarganya, terutama Kiara. Dia harus mengetahui keadaan Wade.

Keluarga Estelle pulang sekitar sepuluh menit sebelum jam benar-benar menunjukkan pukul satu siang. Estelle menunggu sejenak, lalu menuju ke kamar Kiara. Dia masuk persis ketika Kiara berniat untuk menutup pintu.

Bola mata Kiara membesar. Agaknya dia kaget dengan kehadiran Estelle yang tiba-tiba. "Oh, Tuhan, Estelle. Apa yang kau lakukan? Kau mengejutkanku."

Estelle tak menjawab, melainkan mengambil alih untuk menutup pintu. Setelahnya, dia menarik Kiara untuk duduk di sofa. Dia pun bertanya cepat. "Bagaimana keadaan Wade? Dia baik-baik saja bukan? Dia tidak sampai menderita amnesia bukan?"

Kiara mendengkus geli, lalu menggeleng sekilas. "Kita bukan hidup di naskah opera sabun, jadi kau tak perlu khawatir. Wade baik-baik saja, dia tak menderita amnesia, hanya butuh istirahat selama beberapa hari saja."

"Oh, Tuhan. Syukurlah," ujar Estelle dengan serta merta. Kelegaan menyeruak di dada dan kegelisahan yang terus membebani sepasang pundaknya sontak lenyap. "Aku benar-benar lega mendengarnya."

"Ehm." Kiara mendeham singkat. Dengan mata menyipit, dilihatnya sikap Estelle yang tampak sedikit janggal. "Sepertinya kau benar-benar mengkhawatirkan keadaan Wade."

Estelle mengerang dengan ekspresi putus asa. "Tentu saja aku sangat mengkhawatirkan keadaan Wade. Kau sendiri melihatnya semalam, dia terluka karena menyelamatkanku. Kepalanya bocor dan mengeluarkan banyak darah karena menyelamatkanku."

Tawa berderai dari bibir Kiara. Jadilah Estelle memelototkan mata.

"Bisa-bisanya kau malah tertawa, Kiara. Oh, astaga! Kau bisa tertawa karena kau tidak berada di posisiku."

Kiara berhenti tertawa dengan melewati perjuangan yang lumayan melelahkan. Jadilah air mata lucu terbit di sepasang matanya. "Aku bukannya meremehkan kekhawatiranmu, Estelle, tetapi sebenarnya kau memang tak perlu secemas itu. Kecelakaan begitu tak akan berdampak apa pun untuknya." Dia menarik napas sejenak. "Kau tidak lupa bukan? Ehm, waktu itu kau memang baru berusia sebelas tahun ketika Wade harus bertarung dengan para warrior dan Alberto sebelum dia dinobatkan menjadi alpha." Lalu dia malah mengatupkan mulutnya dengan ekspresi tak nyaman. "Walaupun dia memang tak bertahan lama menjadi alpha."

Ucapan Kiara membungkam Estelle. Jadilah dia diam dengan ingatan samar yang berputar-putar di dalam kepala. Ingatan lama yang mulai mengabur itu sontak terbayang dengan jelas sekarang dan berhasil membuatnya tertegun. Sebabnya, kala itu dia jelas menjagokan Wade karena kedekatan keluarga mereka.

Estelle menarik napas dalam-dalam. "Kau benar, Kiara. Sepertinya mengkhawatirkan Wade memang adalah hal percuma."

Kiara sependapat. Dia mengangguk beberapa kali, tetapi tak urung juga berkata. "Namun, kalau kau memang merasa tak tenang, ehm kupikir kau mungkin merasa bersalah." Dilihatnya Estelle menatap padaku dengan sorot tak berdaya. "Mungkin ada baiknya kau menjenguknya. Tak perlu lama, paling tidak hanya untuk memastikan keadaannya saja. Kupikir, itu tak akan menimbulkan masalah apa pun. Lagi pula semua orang tahu bahwa kita menjenguk Wade karena dialah yang menyelamatkanmu. Semua akan memakluminya."

"Kau benar, Kiara. Sepertinya aku memang merasa bersalah dan satu-satunya cara untuk menyingkirkan perasaan ini adalah dengan melihat keadaannya langsung." Estelle segera memutar otak, mencari waktu yang tepat. "Mungkin aku akan menjenguknya besok atau lusa. Apakah kau bisa menemaniku?"

Kiara diam sejenak. "Maaf, tetapi sepertinya tidak bisa, Estelle. Aku ada rapat penting yang tak bisa ditinggal. Jadi, sepertinya kau harus pergi sendiri." Matanya membesar. Lalu mengangguk cepat. "Kau lebih baik pergi dengan Mama atau Papa atau pergi sendiri, tetapi yang pasti, menurut saranku, sebaiknya kau jangan pergi dengan Alpha Lennon. Kupikir, itu tidak bijak sama sekali."

Sebaliknya, Estelle pikir mengajak Lennon justru adalah hal tepat. Lagi pula mungkin Lennon akan mengucapkan terima kasih pada Wade karena telah menyelamatkannya.

"Untuk kau ketahui, Estelle. Dari semalam hingga kami pulang tadi, tidak ada seorang pun dari pihak Istana yang menjenguk Wade. Jadi ...."

Kiara tak melanjutkan ucapannya dan Estelle tak memerlukannya. Penjelasan Kiara memberikan jawaban tak langsung untuknya. Jadilah dia mengembuskan napas panjang.

"Sepertinya, aku memang harus menjenguknya seorang diri."

Tepatnya, lusa. Estelle memutuskan untuk tak membuang-buang waktu. Dia memiliki sedikit waktu luang sebelum tiba jam istirahat siang kantor. Jadilah dia memanfaatkan kesempatan itu untuk menjenguk Wade.

Estelle menarik napas dalam-dalam. Lalu kakinya menginjak pedal gas. Mobil meluncur dengan mulus meninggalkan parkiran khusus kantor Montague Companies, Inc.

Perjalanan menuju ke rumah sakit terbilang lancar. Estelle tak terjebak macet sama sekali. Jadilah dia hanyut dalam keadaan tenang yang membuatnya abai dengan sekitar. Sebabnya, ketika dia tiba di rumah sakit dan keluar dari mobil, dia sama sekali tak menyadari bahwa ada sebuah lensa kamera yang memotretnya beberapa kali.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro