Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Liminal: Enam

Semua sungguh seperti tak nyata, persis mimpi yang tak ingin Estelle akhiri. Dia terpana, benar-benar tersihir oleh keindahan yang sekarang tengah memerangkapnya dalam momen bahagia. Setiap detail terasa begitu hidup dan penuh warna. Selain itu, terpenting adalah dia tak seorang diri, dia tak menikmati kebahagiaan itu seorang diri, melainkan bersama dengan orang-orang tercinta, mereka yang selama ini selalu ada untuknya, keluarga yang selalu bersama dengan dirinya.

Estelle tersenyum. Pemandangan wajah bahagia Roland, Gloria, dan Kiara mengisi retina matanya secara bergantikan. Jadilah timbul kehangatan di hatinya, lalu menyebar ke sekujur tubuh, membungkusnya secara keseluruhan dalam kedamaian.

Rasanya sungguh tak terungkap kata. Semuanya sungguh sempurna sehingga membuat Estelle yakin bahwa agaknya mimpi pun tak akan pernah ada yang seindah ini. Lantas untuk menjadi kenyataan pun rasanya seperti amat mustahil. Namun, di sinilah dia berada sekarang, di sebuah tempat paling megah di negara, tepatnya di kota Gandlerhode, yaitu Istana Kawanan Noctilux yang sudah lama terkenal akan bangunannya yang amat menakjubkan.

Istana Kawanan Noctilux serupa sebuah karya seni arsitektur yang memadukan keanggunan klasik dan kemegahan modern. Langit-langitnya yang tinggi dihiasi oleh lukisan-lukisan fresco yang indah, menggambarkan cerita-cerita legendaris Kawanan Noctilux dari masa lampau. Maka dari itu langit-langit pun diberikan lampu-lampu kristal berukuran besar, agar memancarkan cahaya yang memantulkan kilauan ke seluruh ruangan, menciptakan suasana magis yang mustahil bisa dilupakan.

Panel-panel kayu berukir memenuhi dinding-dinding Istana, masing-masing menggambarkan adegan-adegan dari sejarah panjang Kawanan Noctilux. Di antaranya, ada panel panel yang dihiasi dengan emas dan perak demi menambah kemewahan yang luar biasa.

Permadani-permadani mewah dari berbagai negeri terbentang di lantai. Diciptakannya suasana hangat yang membuat semua orang merasa tenteram. Lantas semua dilengkapi oleh keberadaan tirai sutra bewarna gading yang menghiasi jendela-jendela besar, vas-vas porselen berisi bunga-bunga eksotis, dan juga beragam perabotan yang tak kala mempesona.

Di tengah-tengah itu semua, Estelle berdiri dengan gemetar bahagia. Ada sedikit gugup yang menjalar sehingga membuatnya memejamkan mata. Dihirupnya udara dalam-dalam, dicobanya untuk tenang dengan mengatakan sesuatu yang sedikit menggelikan. Tenanglah, Estelle. Sebenarnya ini bukanlah kali pertama kau bertunangan dengan Lennon. Oh, astaga! Kalian bahkan sudah menjadi sepasang suami istri.

Sayangnya hal tersebut tak ubah bumerang untuk Estelle. Sebabnya, dia justru teringat akan kenangan lainnya. Bayangan masa lalu—atau mungkin masa depan—yang menyakitkan memenuhi benaknya. Jadilah teringat olehnya bahwa perjalanan kisah cintanya dan Lennon berakhir dalam sebuah tragedi.

Estelle membeku. Sekarang semua kebahagiaannya lenyap tak tersisa. Keberadaannya tergantikan oleh kegelisahan yang menggelayut di hati. Dia cemas, lalu bertanya pada diri sendiri. Apakah ini memang hanya mimpi? Apakah pada akhirnya aku akan merasakan penderitaan itu lagi?

Senandung tawa, celotehan riang, dan alunan musik yang sedari tadi mengisi seisi ruangan menjadi tak lagi terdengar oleh telinga Estelle. Satu-satunya yang mampu didengar olehnya detak jantungnya yang berdegup kencang dalam kekhawatiran, serupa ketakutan.

Estelle meneguk ludah. Lalu memaksa diri untuk membuka mata. Pikirnya, dia harus membebaskan diri dari belenggu menakutkan pikiran sendiri.

Mata terbuka dan jadilah pandangannya tertuju pada sosok yang berdiri di kejauhan dengan serta merta. Sosok itu tersenyum padanya dan jadilah Estelle mengembuskan napas panjang. Lalu tanpa sadar, bibirnya pun berucap. "Lennon."

*

Pesta pertunangan berjalan dengan amat meriah, persis seperti yang telah diperkirakan oleh semua orang. Jadilah bukan hanya Estelle dan Lennon yang berbahagia, melainkan semua orang yang berada di pesta itu pun merasakan kebahagiaan serupa.

Estelle dan Lennon berdiri di tengah-tengah ruangan dengan penampilan yang amat serasi. Keduanya sama-sama apik dalam balutan pakaian masing-masing, Estelle menakjubkan dengan gaun putih berkilauan sementara Lennon tampak gagah dengan setelan hitam elegan. Mereka persis seperti pasangan dari negeri dongeng.

Ucapan selamat membanjiri Estelle dan Lennon. Asalnya dari para keluarga, teman, dan juga kolega yang datang dari berbagai penjuru. Mereka berikan doa penuh ketulusan untuk masa depan mereka yang bahagia.

Suasana itu membuat Estelle tak bisa berhenti tersenyum. Terlebih ketika dilihatnya sekeliling dan dirasakannya kehangatan dari semua orang yang dicintainya. Jadilah dia pun tuut berdoa di dalam hati. Semoga saja malam indah yang penuh dengan keajaiban itu bertahan selama-lamanya.

Doa lain tak luput dipanjatkan Estelle ketika kemeriahan pesta harus membuatnya terpisah sementara waktu dari Lennon. Para tamu undangan seolah kompak memisahkan mereka dengan topik pembicaraan yang berbeda. Kala itu Estelle sempat berbincang-bincang mengenai desas-desus pengembangan perusahaan keluarga Montague sebelum pada akhirnya dia bertemu dengan Kiara. Lantas jadilah Estelle berkata.

"Aku berharap pesta pertunanganmu bisa diselenggarakan dalam waktu dekat, Kiara."

Kiara tersenyum geli, lalu menggeleng. "Bisakah aku bertunangan tanpa pasangan?"

"Oh, Kiara."

"Sudah," ujar Kiara sembari menepuk lembut tangan Estelle. Sekilas, dia pun menyipitkan mata. "Tak perlu kau pusingkan aku. Aku baik-baik saja dan lagi pula ini adalah malammu. Jadi, jangan pikirkan yang lain, kecuali dirimu sendiri."

Estelle berdecak sekilas dengan ekspresi santai. Lalu memutuskan untuk tak membahas soal itu lagi walau sejujurnya saja ada sedikit rasa penasaran yang mengisi benaknya. Maka dari itu dipandanginya Kiara yang malam itu tampak cantik dalam balutan gaun bewarna persik.

Kiara cantik, juga cerdas. Selain itu dia benar-benar mencerminkan sifat dan sikap seorang kakak pada umumnya. Dia sangat menyayangi Estelle dan memedulikan keluarga.

Demikian pula Estelle. Dia juga sangat menyayangi Kiara sehingga tak putus-putus dia berdoa untuk kebahagiaannya. Tentunya, doa itu diselingi oleh rasa ingin tahu yang sangat besar. Kira-kira pria seperti apa yang menjadi kriteria Kiara?

Sebabnya, selama ini Estelle tak pernah melihat Kiara dekat dengan seorang pria pun. Sepengetahuannya, Kiara hanya pernah sesekali makan malam dengan beberapa orang pria, tetapi itu tak serius sama sekali. Dia bisa mengetahuinya karena setelah makan malam-makan malam itu Kiara tak pernah terlihat lagi dengan mereka.

Agaknya Kiara belum menemukan pria yang tepat. Itulah praduga Estelle selama ini. Jadi, tak heran bila dia tak akan menyia-nyiakan pesta pertunangannya malam itu begitu saja.

Pesta pertunangan Estelle dan Lennon bukanlah pesta pertunangan biasa. Itu adalah salah satu acara besar Kawanan Noctilux sehingga para tamu undangan yang diundang pun pastilah bukan orang-orang biasa. Semua dari mereka adalah orang berpengaruh, terpandang, dan memiliki kekayaan, serta kekuasaan yang tak terkira.

Bola mata Estelle membesar dengan binar-binar. Ide tersebut terdengar amat menyenangkan. Mungkin saja satu dari tamu undangan itu ada yang cocok untuk Kiara.

Estelle meraih tangan Kiara, menggandengnya erat walau mereka tak pergi ke mana-mana. Mereka cukup berdiri di tempat dan melihat sekeliling. Lalu dia bertanya. "Apakah ada seseorang yang menarik perhatianmu di sini, Kiara?"

"Estelle," kesiap Kiara dengan memelototkan mata. Dia memasang ekspresi marah yang dibuat-buat. "Kau jangan berpikir yang tidak-tidak."

Estelle terkekeh samar. "Sama sekali tidak, tetapi sebaliknya. Ayolah! Coba kau lihat. Di sini ada banyak pria tampan dan aku jamin, mereka pastilah bukan orang sembarangan."

Kiara tahu itu dengan pasti, tetapi agaknya dia tak berniat untuk mengikuti saran Estelle. Jadilah dia menggeleng. "Tidak, Estelle."

"Coba dulu, Kiara. Lihat!" Estelle berusaha untuk tidak menunjuk secara terang-terangan pada seorang pria berparas tampan yang tengah tertawa. Pria itu tampak begitu hangat. "Kudengar, dia adalah utusan dari Kawanan Sylvera. Sepertinya dia adalah beta yang bernama Morgan Jonathan Cruz."

Bola mata Kiara berputar. Dia menggeleng sembari mengabaikan Estelle yang sekadar ingin memintanya untuk melihat pada Morgan. "Sudahlah, Estelle."

Namun, Estelle tak menyerah. Pikirnya, kalau Kiara tak berminat dengan Morgan maka dia bisa mencari pria lain dan itulah yang dilakukannya sekarang.

Estelle kembali mengedarkan pandangan. Bersamaan dengan itu, dia pun terus menyebutkan nama-nama mereka.

Di lain pihak, Kiara pun terus mengabaikan Estelle. Terus saja dia menggeleng. Jangankan untuk merespons, bahkan dia sekadar melirik pun tidak.

Estelle tidak menyerah. "Baiklah. Kita coba lihat yang lain," ujarnya lagi dengan semangat yang masih bergelora. Kembali diedarkannya pandangan ke sekitar dengan penuh antusias. "Bagaimana kalau—"

Ucapan Estelle menggantung di udara seiring dengan tertangkapnya wajah seorang pria yang tak diantisipasinya sama sekali. Jadilah semua kata-kata dan godaan yang akan ditujukannya pada Kiara menghilang seketika. Lidahnya menjadi kelu, pikirannya berubah kosong.

Estelle menahan napas di dada, lalu berbisik di dalam hati. Tidak mungkin.

Nyatanya bukan hanya sebatas mungkin, tetapi memang. Pria itu juga melihat padanya, bahkan lebih. Sebabnya, langkahnya yang tegap dan terarah jelas sekali tertuju padanya.

Estelle membeku. Semua keriuhan di sekitarnya lenyap dengan serta merta. Hanya terdengar olehnya degup jantungnya yang mulai berpacu dengan cepat, berbanding terbalik dengan putaran waktu yang kala itu dirasanya justru melambat.

Jarak semakin terkikis. Mata mereka bertemu dalam satu garis lurus. Pada saat itu, di detik-detik yang tersisa, Estelle teringat akan peristiwa yang sempat menimpatnya. Untuk itu maka sudah sepatutnya dia pergi sesegera mungkin dari sana. Sepatutnya dia buru-buru menghindar, bukannya malah melirihkan nama pria itu dengan nada berbisik.

"Wade."

Anehnya, justru sekarang Kiara merespons nama itu dengan ekspresi penolakan dan buru-buru. "Tidak, Estelle. Aku memang tak ingin kau sibuk mencarikanku jodoh di sini, terlebih lagi kalau pria itu adalah Wade." Dia kembali menggeleng. "Tak peduli seberapa berkuasa, kaya, dan berpengaruhnya dia, tetap saja aku tak berniat untuk berpasangan dengan seorang rogue. Kau ingat bukan? Dia sudah keluar dari kawanan. Jadi, secara harfiah maka dia bukan lagi bagian dari keluarga alpha."

Estelle bergeming. Kali ini justru dia yang mengabaikan Kiara.

"Untuk itu aku harap kau tak berpikir yang aneh-aneh sedikit pun. Dia memang sangat disegani dan dihormati orang-orang, tetapi tidak." Kiara kembali mempertegas ucapannya dan setelahnya mendadak saja matanya menangkap keberadaan pria yang tengah dibicarakannya. Jadilah matanya membesar dan nyaris terkesiap. "Wade."

Wade berdiri tepat di hadapan Estelle dan Kiara. Datang bersamanya, ada Rocky dan Norman Pendleton—adik Charles. "Halo, Estelle," sapanya sebelum beralih pada Kiara. "Kiara."

Kiara mengerjap dengan sikap salah tingkah. Dalam hati, dia berdoa semoga saja Wade tak mendengar ucapannya tadi. "Ha-halo, Wade." Lalu dia menyadari bahwa Estelle belum membalas sapaan itu. Jadilah dia mencubit kecil tangan Estelle, sembari berbisik rendah. "Estelle."

Estelle tersadar, lalu buru-buru berkata. "Wade."

"Selamat atas pertunanganmu," ujar Wade langsung tanpa tedeng aling-aling. "Aku berharap untuk kebahagiaanmu."

Estelle mengangguk. "Terima kasih."

Kala itu Estelle sudah mempersiapkan diri. Mungkin Wade akan mengatakan hal lain, tetapi dia kecele. Sebabnya, setelah itu Wade justru pergi.

"Aku permisi."

Estelle sempat mendapatkan ucapan serupa dari Rocky dan Norman sebelum mereka semua benar-benar pergi dari sana. Untuk itu dia pun mengembuskan napas panjang, merasa lega, dan lantas menyadari sesuatu: dia menahan napas sedari tadi.

*

Sebenarnya ada banyak alasan sehingga memenuhi undangan pesta pertunangan Estelle dan Lennon adalah ide yang buruk untuk Wade. Satu yang pasti adalah dia menyadari bahwa kehadirannya pastilah akan menghadirkan atmosfer tak enak untuk sebagian orang. Lebih frontalnya adalah dirinya pasti akan menjadi pusat perhatian sebagian orang—mungkin melebihi pasangan Estelle dan Lennon—walau dengan kesan yang tak enak.

Di lain pihak, Wade menyadari bahwa inilah satu-satunya alasan yang dia miliki selama 17 tahun terakhir untuk bisa menemui keluarganya secara terbuka dan sepuasnya. Sebabnya, hanya pertemuan singkat yang dirancang seperti ketidaksengajaan yang menjadi cara mereka bertemu selama bertahun-tahun.

Wade merindukan keluarganya. Begitu juga dengan keluarga. Maka dari itu dia pun tak akan menyia-nyiakan kesempatan berharganya.

Rocky dan Norman tentunya mengetahui hal tersebut sehingga mereka pun sangat bersemangat untuk menemani Wade. Terlebih lagi karena mereka khawatir akan terjadi sesuatu yang bisa memojokkan Wade.

Wade memang sempat meyakinkan Rocky dan Norman bahwa semua akan baik-baik saja. Lagi pula dia tahu diri dan tahu batasan diri. Jadi, dia pun tak akan berlama-lama. Selain karena dia tak ingin merusak suasana bahagia malam itu, dia pun tak ingin Rocky dan Norman mendapatkan masalah yang tak terduga, terlebih Norman yang mengambil keputusan ekstrim untuk turut keluar pula dari kawanan demi menguatkannya.

Maka dari itu Wade terus mengingatkan diri di sepanjang perjalanan. Dia harus menjaga sikap dan memastikan setiap tindakannya tak akan menimbulkan praduga-praduga buruk.

Sayangnya, cobaan justru datang menggoda ketika Wade baru saja melangkah masuk ke aula acara. Tatapannya tertuju begitu saja pada sosok yang menjadi pusat acara malam itu—Estelle.

Estelle tengah bersama Kiara, Wade pun tak tahu di mana Lennon. Namun, pastinya adalah Estelle tampak begitu bahagia. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang cantik dan dia benar-benar bercahaya.

Persis matahari atau bulan, seolah Estelle memang bercahaya dan menggunakan cahaya yang terpancar dari dirinya untuk menarik semua perhatian orang-orang di seluruh aula, serupa gravitasi yang tak akan membiarkan seorang pun lepas dari pesona dan daya tariknya. Lalu jadilah Wade termasuk ke dalamnya.

Wade lupa dengan batasan yang seharusnya dipegang. Pembelaannya, adalah aneh bila dia menghadiri pesta pertunangan tanpa memberikan ucapan pada tokoh utamanya. Jadilah dia berjalan dan tiba-tiba saja ketika tersadar maka dia sudah berdiri di hadapan Estelle.

Kali ini Wade benar-benar bertekad untuk tak menimbulkan masalah. Jadilah dia hanya menyapa singkat pada Estelle dan Kiara. Lalu dia pergi setelah mengucapkan selamat pada Estelle.

Beruntung untuk Wade, setelah dari sana maka dia pun bertemu dengan keluarganya. Tak tanggung-tanggung, anak kedua di keluarga Pendleton, kakak perempuan tertuanya yang bernama Delila Pendleton segera memeluknya.

"Delila." Wade senang, tentu saja. Namun, dia juga khawatir. Jadilah dia melihat sekeliling sambil berusaha melepaskan pelukan itu. "Orang-orang melihat kita."

Delila tak peduli. "Baguslah. Dengan begitu mereka pasti akan menyadari bahwa kasih sayang antar saudara itu memang benar adanya."

Wade tak berkutik. Jadilah dia membalas pelukan itu dan berkata. "Aku merindukanmu, Delila."

Delila berusaha untuk tidak menangis. Riasannya bisa berantakan. Sayangnya, air mata sudah memberontak.

"Madam," panggil Rocky setelah pelukan antara Delila dan Wade berakhir. Dia tersenyum sembari menyodorkan sehelai saputangan. "Silakan."

Delila tersenyum geli. "Kau benar-benar perhatian, Rocky," ujarnya sambil menyambut saputangan itu. "Terima kasih."

Sementara itu Wade yang sudah terbebas dari pelukan Delila pun segera memanfaatkan waktunya untuk menyapa keluarganya yang lain. Dimulai dari Freya Pendleto—anak ketiga, lalu dia pun berhadapan dengan Brianna Stellaris.

Wade tersenyum dan sekarang justru dia yang mengabaikan orang-orang. Dipeluknya Brianna dengan penuh kerinduan. "Mama."

"Wade," lirih Brianna dengan suara tersendat. Napasnya terasa sesak. Sebabnya, kala itu dadanya dipenuhi oleh beragam kebahagiaan yang tak terungkap kata. "Oh, Wade."

Berbeda dengan Delila, Brianna sama sekali tak memedulikan riasan ataupun tanggapan orang-orang. Persetan dengan itu semua. Dia adalah seorang ibu yang nyaris tidak bisa memeluk putra bungsunya selama 17 tahun. Silakan ditanya pada semua orang dan dia pasti yakin, tak akan ada wanita yang bisa tahan berada di posisinya. Mereka sama-sama masih hidup, mereka sama-sama masih saling menyayangi, mereka saling merindukan, tetapi mereka benar-benar terpisah.

Emosi serupa jelas dirasakan oleh Charles. Namun, dia mencoba menahan gejolak emosinya sebisa mungkin. Jadilah dia tak mengatakan apa-apa, hanya menepuk-nepuk punggung Wade yang terus berpelukan dengan Brianna.

"Aku senang kau datang, Wade. Kami semua sangat merindukanmu."

Perasaan haru menyelimuti hati Wade. Jiwanya terasa menghangat oleh cinta keluarganya. Namun, suasana itu tak berlangsung lama. Sebabnya, tokoh utama lainnya dalam pesta itu datang sesaat kemudian.

Lennon menghampiri. Jadilah suasana menjadi kikuk. Orang tua dan saudari Wade saling pandang sembari mencoba untuk meraba keadaan.

"Lennon," ujar Wade dengan tenang. Disambutnya kedatangan Lennon sambil mengulurkan tangan. "Selamat untuk pertunanganmu."

Lennon menyambut jabat tangan itu, juga balas tersenyum. "Tentu saja, Paman, dan tak lupa kukatakan." Sekali, dia mengayunkan jabat tangan mereka. "Selamat datang kembali di Istana."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro