Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Liminal: Empat

"Bangunlah, Estelle."

Tiba-tiba saja mata Estelle membuka nyalang, serupa membelalak. Tubuhnya terhentak secara refleks, seolah diseret paksa dari dunia kehampaan menuju kenyataan yang membingungkan. Jadilah jantungnya berdegup kencang, dadanya bergemuruh dalam guruh yang terus bertalu-talu.

Bersamaan dengan itu maka mulut Estelle pun menganga lebar. Sebabnya ada belenggu terasa, tepatnya pada paru-paru yang meronta seperti kehilangan udara dalam jangka waktu lama. Buru-buru dihirupnya udara dengan amat menggebu, dituntaskannya sesak yang membuatnya amat tersiksa.

Estelle terengah-engah dengan mata yang lantas mengitari sekitar. Dilihatnya sekeliling dengan cepat, dicobanya untuk memahami yang terjadi, tetapi rasa bingung justru terasa semakin menjadi-jadi. Dia gamang dengan kepala yang terasa kosong melompong.

Getaran kekhawatiran timbul, lalu menjalar di tiap garis saraf Estelle. Ketidakyakinan membuatnya bergeming. Dia sama sekali tak bergerak hingga satu suara menyapa indra pendengarannya.

"Oh, Tuhan. Akhirnya kau bangun juga."

Estelle berpaling secara refleks dan di waktu bersamaan ada cahaya terang menyilaukan berpendar di mana-mana. Jadilah dia menutup mata dengan serta merta.

"Kupikir, kau tak akan bangun, Estelle. Memangnya jam berapa kau tidur semalam?"

Tidur? Satu kata itu menggema di benak hingga Estelle merasakan tubuhnya mati rasa. Dia mengerjap, lalu membuka mata, dan menyadari bahwa cahaya menyilaukan itu berasal dari matahari pagi yang masuk melalui jendela. Hordengnya baru saja disingkap sehingga gelap yang sedari tadi menyelimuti kamar pun pergi tanpa tersisa.

Estelle membeku. Mata tak berkedip dan terus saja dipandangi sesosok wanita yang sekarang berjalan menghampirinya.

"Bukankah aku sudah berulang kali mengatakannya padamu? Jangan tidur terlalu larut. Lihat buktinya. Greta sudah membangunkanmu sedari tadi, tetapi kau tak kunjung bangun. Apakah memang harus aku yang turun tangan untuk membangunkanmu setiap hari?"

Estelle masih terdiam. Tak dihiraukannya semua kata-kata yang seolah berputar-putar di sekelilingnya saat itu. Fokusnya hanya satu, yaitu sekelumit perasaan yang dengan cepat berubah menjadi bongkahan aneka emosi di dalam hati.

Ada panas yang timbul di mata dan pada akhirnya Estelle pun tak mampu menahan diri. Dia turun dari tempat tidur dan langsung menghambur pada sosok itu. "Kiara."

Kiara terhenyak. Bola matanya membesar dalam keterkejutan. Jadilah kedua tangannya sontak naik, refleks tubuhnya ingin melepaskan diri dari pelukan mendadak itu, tetapi lantas dirasakan olehnya ada sesuatu yang berbeda. Pelukan itu amat kuat, seolah tak ingin kehilangannya.

"Estelle," lirih Kiara lembut. Sekarang tak ingin dia melepaskan diri dari pelukan Estelle. Sebaliknya, dia membalas pelukan itu dengan penuh kehangatan. Lalu diusapnya punggung Estelle. "Ada apa?"

Estelle tak menjawab, melainkan terus saja dipeluknya Kiara dengan sekuat mungkin. Agaknya dia tengah meyakinkan diri bahwa semua itu adalah kenyataan. Itu bukanlah mimpi seperti yang sempat dikiranya tadi.

Jari-jari Estelle mencengkeram pakaian Kiara. Wajah terbenam di lekuk leher Kiara dan dia bersumpah bahwa aroma vanila yang dihirupnya kala itu memang adalah aroma Kiara, aroma parfum kesukaan Kiara.

Estelle memeluk semakin kuat. Gejolak hatinya benar-benar tak tertahankan ketika satu kemungkinan itu menggema di dalam benak. Ini bukan mimpi, ini adalah kenyataan.

"Ehm." Kiara mendeham sesaat kemudian setelah dirasanya dia cukup memberi waktu untuk Estelle. Perlahan, dia meraih kedua tangan Estelle dan mengurai pelukan itu. "Estelle, ada apa denganmu? Apakah kau—oh, Tuhan!" Air mata yang membasahi wajah Estelle mengejutkannya. Jadilah dia menangkup wajah Estelle dengan kedua tangan. "Ada apa, Estelle? Mengapa kau menangis? Apa yang terjadi padamu? Katakan padaku."

Estelle tak bisa menjawab semua pertanyaan Kiara. Sebaliknya, air matanya kian menderas. "Kiara."

Kiara putuskan untuk mengajak Estelle duduk di tepi tempat tidur. Kali ini, dia tak lagi bertanya, melainkan dirapikannya keadaan Estelle yang sedikit berantakan. Dia mengusap air mata di kedua pipi Estelle.

Estelle meraih kedua pergelangan tangan Kiara, menggenggamnya. Lalu ditatapnya Kiara dengan pandangan berlinang. "Kau bisa mendengar suaraku, Kiara."

Dahi Kiara mengerut. Bola matanya bergerak dengan sorot tak yakin. "Ehm, Estelle. Apa maksudmu? Tentu saja aku bisa mendengar suaramu."

Kebingungan Kiara justru adalah jawaban untuk semua keraguan Estelle. Keyakinannya semakin kuat. Dia bisa menyentuh Kiara, dia pun bisa bicara pada Kiara. Kehadirannya bisa dirasakan oleh Kiara.

"Estelle," lirih Kiara ketika tak mendapatkan jawaban apa pun untuk kebingungannya. Jadilah dia menatap Estelle dengan sorot khawatir. "Apakah ada sesuatu yang terjadi? Mengapa sikapmu aneh sekali pagi ini?"

Estelle menggigit bibir bawah. Ditahannya ringisan untuk semua emosi yang sekarang bergumul di dada. Di dalam sana, ada kelegaan tak terkira. "Oh, Kiara. Kupikir, aku tak akan bisa bertemu denganmu lagi."

"Apa maksudmu? Mengapa kita tak bisa bertemu lagi? Kau jangan menakut-nakuti, Estelle. Ucapanmu tidak lucu sama sekali."

"Aku tidak menakut-nakutimu, Kiara. Sebaliknya, aku sangat ketakutan tadi." Estelle memejamkan mata. Sempat dirasakan olehnya sisa ketakutan yang tertinggal, tetapi lantas dienyahkannya semua. Dia membuang napas panjang. "A-aku mati dan kau tidak bisa mendengar suaraku sama sekali."

Wajah Kiara berubah. Matanya mendelik dengan serta merta. "Apa-apaan ucapanmu itu, Estelle. Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak." Dia geleng-geleng. "Kau pasti mimpi buruk dan itu adalah akibat dari kau yang tak pernah mendengarkan nasihatku. Jangan tidur terlalu larut dan berhenti menonton serial horor itu."

Estelle berani bersumpah. Itu bukanlah mimpi, itu memang kenyataan. Sebabnya, dia yakin tak akan ada mimpi buruk yang bisa menimbulkan ketakutan sebesar yang dirasakannya. Ketakutan itu benar-benar mengerikan hingga menghadirkan dingin yang menusuk-nusuk. Dirinya mati. Bahkan dia sempat melihat pemakamannya sendiri.

"Kita sudahi pembicaraan ini, Estelle. Aku tak ingin mendengar apa-apa lagi," ujar Kiara sembari bangkit dari duduk. "Sekarang, kau harus segera bersiap. Kita tak punya banyak waktu karena kau bangun terlambat."

Estelle yang masih berkutat dengan kegamangan pada situasi saat itu hanya bisa menatap Kiara tak yakin. "Bersiap?"

Semula Kiara ingin segera beranjak dari sana, tetapi ucapan tak yakin Estelle membuatnya melongo. "Sebentar, Estelle. Sebenarnya film horor mana yang kau tonton sebelum tidur semalam? Apakah mimpi buruk itu benar-benar menakutkan sehingga membuatmu lupa hari apa ini?"

Estelle tak bisa menjawab.

Bola mata Kiara memutar dramatis. Dia berdecak, lalu berkata. "Hari ini adalah hari pertunanganmu dengan Lennon."

Sepertinya Estelle salah mendengar. Jadilah dia mengerjang dengan ekspresi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. "Pe-pertunangan?"

"Estelle," lirih Kiara dengan suara yang jelas sekali menyiratkan kekhawatiran. Dia panik. "Jangan menakut-nakutiku."

Kali ini bukan lagi ketakutan akan kematian yang mengisi benak Estelle, melainkan kebingungan. Dahi mengerut dan dia pun turut bangkit dari duduk. "Sebentar, Kiara. Tadi kau bilang kalau hari ini adalah hari pertunanganku dan Lennon?"

Kiara mengangguk. "Ya, ini adalah hari pertunanganmu dan Lennon. Jadi, karena itulah mengapa aku membangunkanmu. Kita harus segera bersiap. Lagi pula Mama dan Papa sudah menunggumu dari tadi di meja makan."

"Mama? Papa?"

Estelle nyaris tak bisa bernapas. Diteguknya ludah yang terasa menggumpal di pangkal tenggorokan. Kala itu dirasakan olehnya bahwa detak jantungnya meningkat. Dia mencoba untuk menahan diri dari prasangka yang muncul dengan serta merta di dalam benak. Namun, dirinya memiliki keinginan tersendiri.

Tubuh Estelle bergerak di luar kesadaran. Segera saja dia beranjak dari sana. Langkahnya cepat, nyaris serupa berlari. Dia keluar dari kamar dan meninggalkan Kiara begitu saja.

"Estelle! Kau mau pergi ke mana?"

Estelle mengabaikan teriakan Kiara. Dia terus berlari dan menuruni tangga dengan terburu-buru. Tujuannya adalah ruang makan.

Kaki Estelle berhenti bergerak. Pemandangan di ruang makan membuatnya tertegun seketika.

"Estelle! Oh, Tuhan. Akhirnya kau turun juga. Ayo! Kau sarapan dulu, setelah itu kita segera bersiap."

Estelle mengerjap. Air matanya menetes dengan begitu saja.

"Tenanglah, Gloria. Kau jangan terlalu panik. Sebabnya, kulihat-lihat seperti kau saja yang akan bertunangan hari ini, alih-alih Estelle."

"Roland, kau—"

"Mama!"

Tiba-tiba saja Estelle menghambur dan memeluk Gloria dengan amat kuat. Jadilah ucapan Gloria terputus.

"Estelle," lirih Gloria dengan tatapan kebingungan yang tertuju pada Roland. Ditanyanya Roland melalui isyarat mata. Namun, Roland hanya mengangkat kedua pundak sekilas sebagai tanda tak mengerti. "Ada apa, Sayang? Apa yang terjadi? Mengapa kau tiba-tiba—"

"Mama," lirih Estelle kembali memotong ucapan Gloria. Dia mengeratkan pelukan untuk sesaat demi menuntaskan gejolak hatinya. Lalu diuraikannya pelukan untuk beralih pada Roland. "Papa."

Roland membiarkan Estelle untuk memeluknya dengan kebingungan persis seperti yang dirasakan oleh Gloria. Jadilah mereka terus saling menatap dan makin tak mengerti.

"Ehm." Roland mendeham ketika pelukan mereka berakhir. Ditatapnya Estelle dengan sorot penuh kehati-hatian. "Estelle, apakah ada sesuatu yang terjadi?"

Estelle tak bisa menjawab. Lagi pula sekarang semua kebingungan tengah mengumpul di benak dan membuat kepalanya seperti berputar-putar. Dia tak percaya dengan yang matanya lihat, dengan yang tangannya sentuh, tetapi semua memang nyata.

Gelombang kebahagiaan menghantam Estelle dengan tak kira-kira. Jadilah dia tak mampu menahan air mata yang kembali menetes, lalu menderas sehingga menjadi tangis bahagia. "Aku merindukan Mama dan Papa."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro