3. Liminal: Tiga
Wajah Wade memucat. Tubuhnya terasa dingin seketika. Dia menggeleng dalam kebingungan yang membuat dunianya berputar-putar.
"Tidak mungkin," desis Wade sembari memaksa kedua kaki untuk melangkah. Dihampirinya ranjang pasien di mana Estelle berbaring dengan mata menutup. "Kau tak mungkin mati, Estelle."
Semua itu membuat kepala Wade berdenyut. Napasnya menjadi sesak. Dia linglung dan mencoba untuk tetap sadar ketika berpaling dan melihat pada Boris.
Sorot Boris menunjukkan penyesalan yang mendalam. "Maafkan aku."
"Maaf?" Wade menyugar rambut dengan kasar. Permintaan maaf itu membuat kebingungannya semakin menjadi-jadi sehingga ditunjuknya Estelle yang memang tak bergerak lagi. "Ba-bagaimana mungkin, Boris? Tadi dia baik-baik saja. Jadi, bagaimana mungkin dia tiba-tiba tak bernyawa lagi?" Dia meringis sembari menggeleng berulang kali. "Kau jangan bercanda, Boris."
Boris menundukkan wajah. "Maafkan aku, Tuan, tetapi sepertinya dia mengalami serangan jantung mendadak."
"Serangan jantung mendadak?"
"Ya," jawab Boris sembari menarik napas. Lalu diberanikannya diri untuk sedikit mengangkat wajah demi menatap Wade walau hanya sekilas. "Seperti yang kukatakan tadi, mungkin sekali dia mengalami syok ketika sadar. Kurasa itu menjadi pemicunya."
Wade kembali menggeleng. Reaksinya menunjukkan ketidakpercayaan. Jadilah dipegangnya kedua lengan atas Boris. Dilihatnya Boris dengan tatapan tajam. "Kau jangan mengada-ada, Boris. Estelle tidak pernah mengalami serangan jantung sebelumnya. Dia sehat. Jadi—"
"Maafkan aku, Tuan, tetapi keluarganya memiliki riwayat penyakit jantung." Boris menahan napas ketika memotong ucapan Wade. Dibuatnya Wade membeku. "Mendiang ayahnya meninggal karena sakit jantung."
Sontak saja kedua tangan Wade jatuh, terkulai layu di sisi tubuh. Kenyataan itu menamparnya. Jadilah dia tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Lidahnya kelu dan seperti ada kekosongan di dalam dirinya yang berusaha untuk mengisapnya.
Kematian Estelle menjadi pukulan emosional yang melumpuhkan Wade. Perasaan kehilangan merayap masuk, menghantamnya dengan kekuatan yang tak terkira. Kesedihan memenuhi hatinya, meracuni setiap pikiran dan tindakannya, lalu meruntuhkan segala keyakinan yang pernah dimiliki olehnya.
Dalam keheningan yang memilukan, Wade merasa seperti hanyut dalam lautan emosi yang gelap dan tak berujung. Semua kelam dan dunianya seolah telah berakhir saat itu juga.
*
Hanya berselang tiga hari dari pemakaman Gloria dan sekarang keluarga Montague kembali berduka. Wajah-wajah sedih yang baru saja mencoba untuk kembali menatap masa depan menjadi tertutup lagi oleh kabut duka yang lebih tebal. Kematian mendadak Gloria adalah kehilangan yang besar untuk mereka dan Estelle mengalami hal serupa.
Satu di antara semua yang merasakan kehilangan itu, adalah Kiara Montague yang amat terpukul. Dia histeris dan berurai air mata. Kehilangan ibu dan adik dalam waktu berdekatan benar-benar membuatnya tak berdaya sehingga dia pun pingsan.
Pemakaman menjadi kacau. Orang-orang panik. Beberapa dari mereka dengan sigap membawa Kiara ke tempat yang lebih tenang dan pribadi untuk mendapatkan pertolongan sementara yang lain melanjutkan upacara pemakaman itu dengan sorot penuh simpati. Bisa dirasakan oleh mereka kesedihan yang amat mendalam di hati Kiara. Sebabnya mereka mengetahui betapa dekatnya Kiara dan Estelle selama ini.
Bisik-bisik terdengar samar di udara. Kebanyakan dari mereka mengutarakan keprihatinan untuk keadaan Kiara.
"Kasihan Kiara. Hidupnya pasti akan menjadi berat."
"Kau benar. Lagi pula takdir macam ini? Dia benar-benar menyedihkan."
"Semoga saja dia kuat menjalani ini semua."
Bersamaan dengan itu, ada pula suara bernada khawatir yang bicara, menyiratkan kecemasan yang teramat sangat di sela-sela sedu sedannya. "Kiara, kumohon. Kau harus tetap kuat."
Anehnya, tak ada yang mendengarnya seolah suara itu tak pernah ada. Namun, suara itu memang ada walau tak ada yang bisa mendengarnya, tidak seorang pun. Semua yang hadir di pemakaman itu sama sekali tak mendengar isak pilu yang telah ada sedari tadi, tepatnya sejak pemakaman dimulai.
"Kiara, maafkan aku." Suara itu kembali terdengar sembari mengiringi kepergian Kiara ke paviliun. "Aku tidak ingin melihatmu bersedih seperti ini. Aku ... aku ...."
Pemilik suara itu adalah Estelle yang kehadirannya tak lagi dapat dilihat atau dirasakan oleh manusia. Dia telah meninggalkan dunia ini, telah melepaskan tubuh fisiknya, tetapi dia masih ada berada di tengah-tengah mereka.
Roh Estelle melayang. Dihampirinya Kiara yang pingsan dengan wajah memucat. "Kiara."
Suara pilu Estelle tak ubah angin sepoi-sepoi yang melintas di antara mereka, tanpa jejak yang jelas. Jadilah dia putus asa dalam keterbatasan itu. Dia mengerang penuh lara, benar-benar merasa terhalang oleh batas-batas antara kehidupan dan kematian. Terbelenggulah dia oleh ketidakberdayaan dan tiba-tiba saja terdengar ada yang menyebut namanya.
"Estelle Montague."
Estelle tertegun. Kepanikannya terjeda oleh satu kemungkinan, ada yang bisa melihat keberadaannya. Jadilah dia buru-buru berpaling dan satu wajah menyilaukan membuatnya buru-buru menyipitkan mata. Dia tak mengenal wanita itu. "Siapa kau?"
Wanita itu menyunggingkan senyum penuh kasih. Sorot matanya memancarkan ketenangan dan kebijaksanaan. Dikenakan olehnya sehelai gaun bewarna hitam yang berkilauan. Rambutnya yang panjang juga bewarna hitam, tampak terurai dengan lembut di atas pundak, membingkai wajah cantiknya yang gemerlap laksana cahaya rembulan.
"Aku adalah Dewi Bulan."
Estelle mengerutkan dahi. "Dewi Bulan?"
"Ya," jawab Dewi Bulan sembari mengangguk sekali. Suaranya merdu, diisinya udara dengan aura kedamaian yang magis. "Aku adalah Dewi Bulan. Akulah yang akan membantumu, Estelle."
Ucapan Dewi Bulan membuat Estelle mengerutkan dahi. "Membantuku?" Diresapinya satu kata itu untuk sesaat sebelum pada akhirnya dia terhenyak oleh satu kemungkinan. Jadilah matanya membesar dan dihampirinya Dewi Bulan dengan tergesa. "Kau tahu apa yang telah terjadi padaku bukan?" tanyanya cepat tanpa mampu menahan diri. "Ini semua benar-benar tak adil. Aku baru saja kehilangan ibuku dan semalam, aku diserang oleh orang-orang tak dikenal. Ketika aku mengira bahwa aku telah selamat maka aku justru mengalami serangan jantung."
Dewi Bulan mengangguk dengan penuh empati. "Ya, Estelle. Aku mengetahui semua tragedi yang telah menimpamu. Kehidupanmu telah dipenuhi oleh hal-hal buruk yang tak terduga. Namun, percayalah, akan ada selalu cahaya untuk setiap kegelapan."
Estelle bisa merasakan kehangatan dari ucapan Dewi Bulan. Walau demikian tak bisa dipungkiri bahwa ada kebingungan yang terselip. "Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Cahaya?" Dia menggeleng dengan wajah tersiksa. "Tak ada lagi cahaya yang tersisa di dalam hidupku. Semuanya benar-benar gelap dan ini sungguh tak adil untukku. Mengapa aku harus menjalan takdir ini?"
"Setiap jiwa yang mencari arah dalam kegelapan akan menemukan bimbingan di bawah cahaya bulan," lanjut Dewi Bulan dengan suara lembut. Lalu diulurkannya tangan demi menggenggam jemari Estelle. "Dalam cobaan ini, kau telah menunjukkan tekad untuk tetap bertahan, tetapi selalu ada hal yang berada di luar perkiraan. Karena itulah aku mendatangimu, persis seperti yang kukatakan tadi, aku akan membantumu untuk memperbaiki ini semua."
Sesaat, Estelle hanya diam sembari melihat pada jemarinya yang digenggam oleh Dewi Bulan. Dirasakan olehnya sentuhan lembut Dewi Bulan yang menjangkau dirinya telah memberikan sedikit kehangatan di tengah-tengah dinginnya kehidupan yang gelap. Namun, kebingungan masih menggelora di dalam hatinya.
Estelle mengangkat wajah. Matanya yang penuh keputusasaan menatap Dewi Bulan. "Namun, bagaimana? Apa yang bisa kau lakukan untukku? Bagaimana kau bisa membantuku memperbaiki hidupku yang telah berakhir?"
Senyum kembali merekah di wajah Dewi Bulan, senyum yang menyiratkan kedamaian dan harapan. "Bagaimana bila kuberikan kau kesempatan kedua untuk mengubah semua?"
"Ke-kesempatan kedua?" Wajah Estelle berubah. Dia tampak tak percaya. "Kau tak mungkin serius bukan?"
"Apakah mungkin aku mendatangimu bila aku tak serius?"
Tidak. Itu belum cukup untuk mengusir rasa ketidakpercayaan Estelle. "Namun, mengapa? Jika kau memang ingin memberiku kesempatan kedua, lalu apa alasanmu? Mengapa kau memberiku bantuan sebesar itu?"
"Well," deham Dewi Bulan untuk sesaat. Lalu tampak ada yang berbeda dari sorot mata dan senyumnya. "Aku tak bisa memberi tahumu apa alasanku membantumu, tetapi terpenting adalah ada sesuatu yang harus kau lindungi. Kuharap kau bisa mencari tahu hal tersebut."
Kebingungan Estelle semakin menjadi-jadi. "Aku benar-benar tak mengerti."
"Kau tak perlu mengerti sekarang, Estelle. Seiring waktu berlalu maka kau akan menemukan jawaban untuk pertanyaanmu." Dewi Bulan meyakinkan Estelle dengan penuh kelembutan. Dikuatkannya Estelle dengan sorot matanya yang teduh, tetapi mampu menghunjam hingga ke sanubari terdalam. "Satu hal paling penting, kuharap kau selalu mengingat ini, percayalah pada dirimu."
Estelle merasakan ada maksud tersirat dari ucapan Dewi Bulan. Sesuatu yang membuat perasaannya menjadi tak tenang sehingga mendorong detak jantungnya untuk meningkat.
Estelle tertegun. Bola matanya membesar sembari diangkatnya tangan yang bebas. Tak mungkin.
Tangan mendarat di dada. Estelle jelas merasakan degup di dalam sana. Sontak saja dia menahan napas dan jadilah dia semakin tak mampu berkata-kata.
Dewi Bulan melepaskan genggamannya pada jemari Estelle. Lalu dipeluknya Estelle dengan penuh kasih sayang. Di telinga Estelle, dia berbisik. "Bangunlah, Estelle."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro