2. Liminal: Dua
Bukanlah hal wajar bila mengunjungi pemakaman di pukul sepuluh malam. Wade jelas menyadarinya, tetapi dia tak bisa berbuat apa pun untuk menahan keinginan hati yang menggebu selama seharian itu. Jadilah dia segera bergegas ketika pesawat jet yang membawanya dalam perjalanan lintas negara mendarat di bandara.
Wade tidak datang dengan tangan kosong. Dibawanya seikat bunga lili putih yang jelas sekali diketahuinya sebagai bunga kesukaan Gloria. Dia tersenyum dan menaruh bunga tersebut di atas makam Gloria.
"Maafkan aku, Gloria," ujar Wade sembari menarik napas dalam-dalam, dicobanya untuk sekadar mengurangi sedikit rasa berat yang mengganjal di dada. "Aku datang terlambat. Kuharap, kau tak akan memarahiku karena ini."
Senyap menyelimuti dan hadirlah hampa yang menemani kesendirian Wade. Tanpa ada siapa pun bersama dengannya maka terasalah kekosongan yang membuatnya termenung. Jadilah dia bergeming di bawah cahaya bulan purnama yang menerangi. Anehnya, kegelapan yang bersarang di hatinya tak terusik sedikit pun.
Udara dingin malam bergerak pelan dan menimbulkan gelombang angin yang terasa seperti es. Belaiannya membuat tubuh merinding seolah menyusup hingga ke tulang, menyatu dengan kesedihan yang memenuhi relung-relung jiwa.
Kesunyian terasa semakin pekat sehingga terciptalah pemandangan pemakaman yang menyedihkan, seakan memperkuat rasa kehilangan. Bayangan pepohonan yang merintih di bawah cahaya bulan pun kian menggelapkan suasana, mengingatkan Wade akan kesendirian yang selama ini telah menemaninya.
Gemerisik dedaunan yang terusik angin malam menyadarkan Wade dari lamunan kesedihan yang tak terucap. Dia mengerjap sekali, lalu mencoba untuk menekan rasa kehilangan itu sebisa mungkin. Setelahnya dia pun beranjak, ditinggalkannya makam Gloria setelah mengucap janji untuk terakhir kali. Aku akan menjaganya untukmu, Gloria. Kau tak perlu khawatir. Aku akan menjaga Estelle.
Wade masuk ke mobil dan sesaat kemudian dia pun sudah dalam perjalanan menuju ke rumah Estelle. Berkat janji yang diucapkannya maka keinginan untuk menemui Estelle semakin tak mampu dibendung. Wajah Estelle yang terus mengisi benaknya sepanjang penerbangan tadi semakin jelas mengisi benaknya.
Tak bisa Wade pungkiri, kekhawatirannya akan keadaan Estelle begitu besar. Sebabnya adalah dia mengetahui betapa Estelle sangat mencintai Gloria, terlebih setelah Estelle kehilangan Roland. Jadilah sekarang ada satu pertanyaan yang mengisi kepalanya. Apakah Estelle baik-baik saja?
Wade nyaris tiba di rumah Estelle ketika dilihat olehnya satu pemandangan ganjil. Estelle pergi dengan mengendarai mobilnya padahal malam telah larut. Jadilah perasaan khawatirnya semakin tak terbendung. Dia tak bisa membiarkan Estelle begitu saja dan diputuskannya untuk mengikuti Estelle secara diam-diam.
Selama perjalanan itu, harapan Wade hanya satu, yaitu Estelle baik-baik saja. Namun, agaknya kenyataan tidak sependapat. Sebabnya adalah dia sempat melihat dari kejauhan mengenai keadaan Estelle yang bertolakbelakang dengan harapannya, dia tampak berantakan dan kacau. Disimpulkan olehnya bahwa Estelle benar-benar terguncang dengan kematian Gloria.
Wade bisa bernapas lega ketika mengetahui bahwa Estelle dalam perjalanan menuju ke apartemen Kiara. Namun, kelegaan itu tak bertahan lama tatkala disadari olehnya sesuatu hal yang janggal. Mengapa Estelle pergi ke rumah Kiara seorang diri? Mengapa Lennon tak menemaninya? Lalu, di mana para guard yang seharusnya selalu mengawalnya?
Beragam pertanyaan membuat perasaan Wade menjadi tak enak. Jadilah untuk sesaat fokusnya sempat teralihkan sesaat. Dia merenungkan beberapa hal masuk akal yang mungkin menjadi jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut dan tiba-tiba sesuatu terjadi di luar dugaan sehingga membuat nyawanya seolah terbetot lepas dari tubuh.
Mobil Estelle ditabrak dengan amat brutal. Jadilah mobil itu terpental beberapa meter dan bergulingan beberapa kali.
Wade merasa tubuhnya menjadi dingin seketika. Tangannya gemetar dan berniat untuk melepaskan sabuk pengaman, tetapi satu pemandangan ganjil membuatnya menyipitkan mata.
Estelle berhasil keluar dari mobil. Dia mencoba untuk menjauhi mobilnya yang telah rusak parah sementara di arah berlawanan ada beberapa mobil yang tengah bersiaga, salah satunya adalah mobil yang tadi menabraknya.
Perasaan tak enak membuat Wade tak jadi melepaskan sabuk pengaman. Sebaliknya, satu kemungkinan buruk berhasil membuatnya segera melajukan kembali mobil dengan kecepatan tinggi. Mereka mengincar nyawa Estelle.
Wajah Wade mengeras. Dia menggertakkan rahang sembari meremas kemudi sekuat mungkin. Kaki menginjak pedal gas semakin dalam dan matanya tajam menatap mobil yang menuju Estelle.
Benturan terjadi. Mobil penabrak itu terpental. Wade menggeram dan segera menghentikan mobil. Dia keluar, lalu berpaling pada Estelle yang menyebut namanya dengan suara lirih.
"Wade."
Keinginan hati Wade saat itu adalah segera menghampiri Estelle dan memastikan keadaannya. Dia perlu mengetahui bahwa Estelle baik-baik saja. Namun, disadari olehnya kalau keadaan kala itu belum sepenuhnya aman.
Jadilah Wade berpaling dan ternyata tebakan benar. Beberapa orang keluar dari mobil-mobil yang mencurigakan itu. Mereka berjumlah sepuluh orang dan gestur yang mereka tampilkan memberikan sinyal tersendiri untuk Wade.
Siapa mereka? Mengapa mereka mengincar Estelle?
Sebabnya, hanya dengan sekali melihat saja sudah cukup untuk Wade mengetahui bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan, tepatnya bukanlah manusia serigala sembarangan. Mereka tampak terlatih dan menguarkan aura mematikan.
Namun, Wade tidak gentar sama sekali. Untuk urusan terlatih dan memiliki aura mematikan, dia tak kalah oleh siapa pun di dunia ini.
Wade berlari dengan tangan terkepal kuat. Dia membentak garang dan meninju seorang penyerang yang terdekat dengannya. Penyerang pertama terpental, tetapi segera bangkit dan segera menyerbunya kembali dengan wujud serigala.
Wade menghindar dengan gesit. Dia melompat mundur dan menyadari dengan cepat bahwa sepuluh orang penyerang itu telah berubah menjadi serigala. Jadilah seringai terbit di wajahnya. Dia berlari, lalu melompat, dan ketika kakinya kembali menjejak di tanah maka itu dilakukannya dalam bentuk serigala pula.
Tubuh serigala Wade besar dan kokoh. Rambutnya bewarna perak yang menghantarkan aura dingin nan mematikan ke semua penjuru tempat. Udara ternoda oleh dingin yang menusuk-nusuk sehingga tak sedikit dari serigala-serigala itu yang menggeram dengan penuh antisipasi secara alamiah.
Wade melolong panjang di kegelapan malam, seolah tengah memberikan peringatan terakhir. Namun, para serigala itu tak memedulikannya. Sebaliknya, mereka malah semakin bersemangat untuk menyerang Wade.
Pertempuran antara Wade dan para serigala tak bisa dihindari. Mereka melompat, lalu saling menerjang satu sama lain. Cakar dan taring bersiaga, tampak berkilat-kilat di bawah cahaya bulan purnama.
Di lain pihak, Estelle yang melihat pertempuran itu tak bisa melakukan apa pun. Dia merasa khawatir akan keselamatan Wade, tetapi kondisinya pun tak memungkinkan untuk ikut serta dalam pertempuran itu. Bukan hanya karena dia baru saja mengalami kecelakaan, tetapi pastinya dia tak akan mengambil risiko untuk kehidupan baru yang tengah tumbuh di dalam rahimnya.
Namun, Estelle tak kehabisan ide. Jadilah dia buru-buru kembali ke dalam mobil dan berusaha mengambil tasnya dengan susah payah. Dia segera mengeluarkan ponsel, berniat untuk menghubungi asisten pribadi Wade yang bernama Rocky Standish.
Estelle menggigit bibir bawah demi meredam gemetar yang membuat jari-jari tangannya sempat tak fokus. Ditekannya nomor Rocky dan lalu panggilan pun tersambung. Dia menunggu panggilannya diangkat dengan dada yang amat bergemuruh.
"Halo, Estelle. A—"
Estelle segera memotong ucapan Rocky. "Aku dan Wade diserang serigala tak dikenal, Rocky. Kumohon segera datang. Wade dikeroyok. Dia—"
Ponsel terhempas dari tangan dan Estelle sontak memekik. Tubuhnya limbung sehingga terjatuh ke tanah. Dia memejamkan mata untuk sesaat ketika dirasakan olehnya dunia seperti berputar-putar.
Estelle membuka mata selang sepuluh detik kemudian dan mendapati seekor serigala berjalan ke arahnya. Jadilah dia berusaha untuk bangkit. Keadaannya terdesak dan kala itu dia tak memiliki pilihan lain. Dia menekan rasa payah yang menyelimuti sekujur tubuh, bersiap untuk berubah bentuk menjadi serigala.
Namun, serigala itu tak memberikan kesempatan untuk Estelle mengumpulkan konsentrasinya. Jadilah serigala itu segera menerjang Estelle. Kedua kaki depannya menghunjamkan cakar-cakar tajam ke dada Estelle di waktu yang tepat.
Estelle terbanting ke tanah. Kepalanya membentur batu. Dia mengerang kesakitan dan serigala memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik mungkin.
Moncong serigala membuka. Sekarang diincarnya leher Estelle. Dia berencana untuk menggigit putus nadi di sana, tetapi tiba-tiba saja tubuhnya terpelanting jauh ke atas.
Serigala itu meringik dan ketika tubuhnya masih melayang di udara, ada sambaran yang bersarang di perutnya. Asalnya adalah taring-taring tajam yang tanpa belas kasih sama sekali menyobek daging di sana. Jadilah ketika dia kembali mendarat di tanah maka ususnya pun sudah terbuai ke mana-mana. Dia pun mati seketika.
Wade terengah. Didekatinya Estelle dan setitik kelegaan membuatnya bisa bernapas. Estelle jelas terluka, tetapi dia pasti akan baik-baik saja. Begitulah pikirnya.
Sekarang tak ada yang lebih penting bagi Wade selain mengakhiri pertempuran itu secepat mungkin. Dia tak ingin bertaruh dengan keadaan Estelle. Jadilah dia segera berlari dan menyerbu para serigala yang tersisa.
Wade memamerkan kecepatan dan kekuatan yang mengagumkan. Cakaran, gigitan, dan terjangannya menyerang secara silih berganti dengan presisi yang mematikan. Pergerakannya menakjubkan, perpaduan antara keanggunan dan keberanian. Jadilah tak butuh waktu lama untuknya menumbangkan semua serigala itu.
Bersamaan dengan selesainya pertarungan itu, Wade melihat kedatangan sebuah mobil yang dikenalnya. Segera saja dia berubah kembali menjadi manusia dan pengemudia mobil itu turun, lalu menyapanya.
"Tuan."
Wade meneguk ludah, getir terasa jelas di pangkal tenggorokannya. "Kau urus semua kekacauan ini, Rocky. Setelahnya, susul aku ke rumah sakit. Estelle mengalami kecelakaan. Jadi, jangan lupa untuk menghubungi Alaric," lirihnya sembari mengingat dengan jelas beta Kawanan Noctilux yang bernama Alaric Hill. "Lennon harus tahu kalau Estelle mengalami kecelakaan."
Rocky mengangguk. "Baik, Tuan."
Wade berlari dan menghampiri Estelle. Dibantunya Estelle untuk berdiri. "Ayo, kita harus ke rumah sakit sekarang."
Rasa berat menggelayuti kaki Estelle. Bukan karena dia tak lagi bisa berjalan, melainkan semua masih terlalu jelas di ingatannya, yaitu Wade adalah penyebab untuk semua penderitaan tergelap yang dialaminya.
Namun, agaknya Wade menganggap kebimbangan Estelle dengan cara berbeda. Pikirnya, Estelle sangat terguncang karena kejadian tersebut. Jadilah dia tak berpikir dua kali untuk menggendong Estelle.
Bola mata Estelle membesar. Dia kaget dan refleks mengalungkan kedua tangannya di leher Wade. "Wa-Wade! Apa yang kau lakukan?"
Wade menjawab dengan lugas. "Membawamu ke rumah sakit."
*
Tiba di rumah sakit, Estelle dalam keadaan tak sadarkan diri. Paramedis segera melakukan penanganan terhadap Estelle sementara Wade hanya bisa menunggu dengan perasaan khawatir.
Waktu berlalu. Estelle telah dipindahkan ke ruang naratetama. Kala itu Wade sempat menanyakan keadaan Estelle pada dokter yang bertugas—Boris Martinez.
"Keadaannya baik-baik saja. Dia tak mengalami luka yang berbahaya, hanya sekadar lecet. Mungkin dia akan mengalami syok ketika sadar, tetapi itu alamiah."
Wade membuang napas lega dan berniat untuk mengucapkan terima kasih, tetapi ucapan Boris selanjutnya membuat dia tertegun seketika.
"Selain itu, kandungannya baik-baik saja. Aku permisi."
Wade membeku. Dibiarkannya Boris pergi begitu saja. Dunianya seolah berhenti berputar ketika informasi itu terus menggema di benaknya. Estelle hamil? Dia dan Lennon akan segera menjadi orang tua.
Tiba-tiba saja Wade merasa paru-parunya tak bisa menghirup udara. Dia sesak. Juga merasakan nyeri yang amat menyakitkan tengah meremas jantungnya tiada henti. Jadilah dia buru-buru keluar dari kamar pasien, mencari tempat yang lebih lapang demi menekan perih di hati.
"Tuan."
Wade mengerjap. Dia mencoba menenangkan diri ketika berpaling. Ada Rocky menghampirinya. "Ada apa?"
"Aku sudah melakukan semua perintahmu, tetapi Tuan Lennon tidak akan datang ke rumah sakit."
Mata Wade membesar. "Apa kau bilang? Dia tak akan datang ke rumah sakit? Apa kau sudah mengatakan padanya kalau Estelle mengalami kecelakaan dan penyerangan?"
"Sudah, Tuan," jawab Rocky penuh keyakinan. "Aku sudah mengatakannya pada Alaric, tetapi demikianlah jawaban yang kudapatkan."
"Aneh."
Wade bukannya meragukan Rocky. Sebagai asisten pribadinya, Rocky adalah orang yang paling dipercaya olehnya. Hal itu pun bukan tanpa alasan, melainkan karena Rocky memang bisa diandalkan. Jadilah satu-satunya hal yang membingunkannya sekarang adalah bisa-bisanya Lennon bersikap demikian pada Estelle.
Sepertinya kata aneh pun tak cukup untuk menggambarkan kebingungan Wade kala itu. Jadilah tanpa berpikir dua kali dia mengambil ponsel di saku. Dihubunginya Lennon dengan mengabaikan fakta bahwa mereka tak pernah saling menelepon satu sama lain sejak bertahun-tahun yang lalu.
Panggilan tersambung. Wade menunggu dan teleponnya pun diangkat sesaat kemudian. "Halo—"
"Halo, Paman. Kuyakin kau menghubungiku karena Estelle. Benar begitu bukan?"
Dahi Wade mengerut. Bisa dirasakan olehnya ada yang berbeda dari nada suara Lennon, sesuatu yang membuat seluruh antisipasinya bersiaga. "Ya, memang itulah alasanku menghubungimu. Jadi?"
"Jadi, bukankah Alaric sudah mengatakannya pada Rocky? Aku tak akan datang ke rumah sakit dan kau ingin tahu alasannya?"
"Apa alasannya sehingga kau mengabaikan Estelle, Lennon? Dia adalah lunamu."
Lennon tertawa. "Dia bukan lunaku lagi, Paman."
Wajah Wade berubah. "Apa kau bilang?"
"Dia bukan lunaku lagi. Kami sudah berpisah. Jadi, apa pun yang terjadi padanya bukan lagi urusanku," jawab Lennon dengan santai. "Sebaliknya, bukankah sekarang Estelle telah menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya?"
"Apa maksud ucapanmu, Lennon?"
"Maksudku adalah setidaknya kau harus bertanggungjawab untuk bayi yang dikandung Estelle."
Kali ini wajah Wade memucat. "Ba-bayi?"
Lennon kembali tertawa. "Kau pikir aku tak tahu apa yang kalian lakukan dua bulan yang lalu di pesta ulang tahunku? Cih. Aku benar-benar tak mengira, Paman. Ternyata kau adalah tipe orang yang mau-mau saja meniduri istri keponakannya. Kau benar-benar tak bermoral."
Wade tak bisa bicara apa-apa. Semua berkecamuk di dalam pikirannya. Dimulai dari kondisi Estelle yang buruk, lalu sikap Estelle yang berubah dingin padanya, dan fakta bahwa Estelle sekarang tengah mengandung bayinya.
Mata Wade terpejam dramatis. "Karena itu kau tak lagi berpasangan dengannya?"
"Apakah kau tetap ingin berpasangan dengannya kalau berada di posisiku?"
Wade tak bisa menjawab.
"Jadi, kupikir semua sudah cukup jelas dan selamat menempuh hidup baru bersama dengan Estelle, Paman. Kudoakan semoga kalian bahagia."
Setelahnya panggilan berakhir. Lennon mengakhiri telepon itu secara sepihak. Sekarang tinggallah Wade yang bergeming untuk sesaat.
Rocky menunggu sejenak, lalu memutuskan untuk bicara. "Tuan?"
Wade mengerjap. Dihirupnya udara sedalam mungkin untuk menenangkan diri dari semua hal terduga yang terjadi. "Kau benar, Rocky. Lennon tak akan datang."
Rocky tak mengatakan apa-apa, terlebih karena sesaat kemudian Wade pun beranjak. Tujuannya adalah kamar pasien tempat Estelle berada. Dia masuk dan lantas bola matanya membesar.
"Estelle!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro