Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Delete Scene (Fizzo Bab 12)

BYS Group, Seoul.

Kim Seokjin terlihat sibuk di meja kerjanya dengan dua tumpukan berkas yang menggunung di sisi kanan serta kiri mejanya, hal yang wajar karena sejak kematian sang ayah ada banyak berkas yang harus ia tandatangani sebagai Presdir yang baru.

Meninggalkan fakta bawah dia telah melakukan kekejaman dengan mengusir anak di bawah umur di saat puncak terdingin tahun ini dan entah kenapa hingga detik ini tak ada sedikit pun perasaan menyesal di wajahnya bahkan ketika melihat ibunya menangis hampir setiap hari karena kepergian si bungsu.

Seokjin terlalu sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin dia memang benar-benar tak peduli dengan nasib pemuda bernama Kim Taehyung yang sudah ia hapus namanya dari daftar keluarga itu.

Keheningan yang sempat menyelimutinya beberapa waktu tiba-tiba terusik saat pintu ruangannya terbuka dengan begitu kasar seakan orang yang membukanya tengah mendobraknya, dia pun sejenak meninggalkan berkas di hadapan nya dan mengangkat kepalanya. Mendapati seorang wanita dewasa yang kembali membanting pintu dari dalam dan berjalan ke arah nya dengan raut wajah yang menunjukkan sebuah kemarahan.

"Di mana Taehyung?" sarkas wanita dewasa tersebut yang tampak menahan kemarahannya di saat Seokjin justru menatapnya dengan santai.

"Kapan Noona kembali?" tegur Seokjin yang justru mengalihkan topik pembicaraan dan membuat wanita dewasa yang tidak lain adalah kakak perempuannya, Kim Jiwon tampak sudah kehilangan kesabarannya setelah mendengar kabar bahwa si bungsu telah diusir dari rumah.

"Berhenti berbasa-basi dan cepat jawab pertanyaanku!"

"Siapa yang peduli dengan anak itu? Dia memiliki kaki untuk bisa berjalan sendiri, jadi biarkan dia menggunakan kakinya."

"Kim Seokjin!" hardik Jiwon yang masih bertahan dengan ketenangannya seakan berteriak bukanlah caranya untuk berbicara. "Kau sudah tidak waras? Bagaimana bisa kau membiarkan anak di bawah umur pergi dari rumah tanpa ada tempat yang bisa ia tuju? Sadarlah, Dia adikmu."

"Dia bukan adikku!" bantah Seokjin dengan pembawaan yang tenang seakan tengah mengimbangi ketenangan sang kakak.

"Dia adikmu. Apapun yang terjadi, Kim Taehyung adalah adik kita, kau tidak bisa mengingkari hal itu."

"Cukup, Noona!" Sebuah bentakan yang menandakan bahwa Seokjin sudah kehilangan kesabarannya. "Berhenti menguji kesabaranku!"

"Ada apa denganmu?" balas Jiwon yang tak ingin kehilangan ketenangannya saat berbicara.

"Dia bukan adik kita, hentikan sekarang karena aku sudah muak."

"Apa yang sudah kau lakukan padanya?"

Seokjin diam, tampak tak ingin menjawab tuntutan dari sang kakak yang memang telah pergi mengurus masalah perusahaan di luar negeri sebelum upacara pemakaman ayah mereka selesai sehingga wajar jika wanita itu tidak tahu apa yang sudah Seokjin lakukan kepada si bungsu.

"Kim Seokjin." Suara Jiwon sedikit mengeras dengan tangan yang kemudian bersedekap. "Kau tidak perlu khawatir dia akan membebanimu, karena aku yang akan mengurusnya."

"Noona tidak bisa melakukannya."

"Kenapa?"

"Aku sudah menghapus namanya dari daftar keluarga."

Mata Jiwon membulat sempurna dengan kedua tangan yang kemudian terjatuh, tampak kemarahan dalam sorot matanya setelah mendengar pernyataan dari Seokjin

"Kau sudah tidak waras! Bagaimana mungkin kau melakukan itu pada adikmu sendiri!!!" geram Jiwon.

"Dia bukan adikku!!!" tandas Seokjin. "Bahkan jika dia mati sekalipun, jangan pernah memintaku untuk menjadi kakaknya."

Jiwon membuang kasar nafasnya dengan tangan kiri yang berada di pinggang dan tangan kanan yang memijat keningnya yang terasa begitu panas karna perbincangan keduanya.

"Kau sudah sakit jiwa," gumamnya penuh dengan penekanan.

Lagi, Jiwon menghela nafasnya dengan kasar dan menurunkan tangannya secara bersamaan. Menatap lurus ke arah adiknya yang memberikannya tatapan tajam yang begitu tak bersahabat.

"Di mana ibu?" Jiwon kembali bertanya dengan nada bicara yang di buat setenang mungkin, menolak untuk saling adu teriakan dengan sang adik.

"Noona tidak bisa menemuinya."

"Kim Seokjin, jangan menguji kesabaranku!"

"Jika Noona ingin pergi, aku tidak akan menghalangi. Tapi ibu akan tetap tinggal bersamaku."

"Kau sadar dengan apa yang sudah kau lakukan?"

"Aku melakukan semuanya dengan sadar."

"Kau akan jatuh, suatu hari nanti kau akan menyesal karena perbuatanmu ini."

"Jika itu sampai terjadi, aku lebih memilih mati dibandingkan harus menerima anak itu lagi."

Jiwon terdiam dengan tatapan tajamnya yang masih mengunci sosok adiknya, entah iblis mana yang menguasai adiknya sehingga dia benar-benar menjadi orang yang kejam. Bahkan sepertinya tak ada lagi yang bisa menyelamatkan Seokjin dari kebenciannya terhadap Taehyung yang mungkin telah mendarah daging.

"Di mana ibu? Katakan padaku." Jiwon berujar dengan suara yang semakin mengeras namun tampak begitu tenang.

Seokjin pun mengambil kertas kosong di dalam lacinya serta sebuah pena, dia menuliskan sesuatu di sana dan kemudian menaruh kertas tersebut di ujung meja dengan kasar. Dan Jiwon pun segera meraih kertas tersebut. Bisa dilihatnya sebuah alamat yang tertera di sana sebelum ia kembali mengarahkan pandangannya pada sang adik yang sudah memalingkan wajahnya.

"Aku tidak akan tinggal diam jika sampai terjadi sesuatu pada Taehyung," tandas Jiwon yang kemudian berbalik meninggalkan Seokjin dengan kemarahan yang masih terlihat di wajahnya. Tak tanggung-tanggung, dia membanting pintu saat menutupnya dari luar.

Dan bersamaan dengan hal itu, Seokjin melempar tumpukan berkas di mejanya untuk meluapkan kemarahan.

"Arghh ..." Suara frustasi keluar dari mulut Seokjin. Dia pun beranjak sembari memijat keningnya yang mengeryit di saat tubuhnya sedikit membungkuk. Tampak kesulitan untuk mengendalikan amarahnya.

"Arghh ..." teriaknya kedua yang kembali mengisi ruang kosong tersebut, sorot mata yang semakin terlihat begitu mengerikan ketika kebenciannya terhadap Kim Taehyung semakin tak bisa ia kendalikan.

"Sampai mati pun, tidak akan aku biarkan dia bahagia." Sebuah sumpah yang keluar dari mulutnya dengan segala kebencian yang sudah mengambil alih pikiran dan tubuhnya, dia benci dan sekali benci dia akan membenci selamanya. Dan kebenciannya itu ditujukan pada Kim Taehyung, adik kecilnya yang selalu ingin menjaganya meski hal itu begitu menyakitkan baginya.

Hari itu Seokjin meninggalkan kantor lebih awal setelah suasana hatinya memburuk. Tapi ia tak kembali ke rumah karena berpikir bahwa Jiwon masih berada di sana. Menembus udara dingin, mobil yang dikendarai oleh Seokjin melintasi jembatan yang membentang di atas sungai Han.

Di jalanan yang lenggang itu perhatiannya teralihkan oleh sosok seorang pemuda yang tengah memanjat pembatas jembatan. Dia tentu saja terkejut.

"Apa yang sedang dia lakukan?"





🥀🥀🥀🥀




Sore itu sedikit keributan terjadi di Haneul Jib dan itu dikarenakan kondisi Youngjae. Taehyung yang masih berdiam diri di kamar kerap mendengar derap langkah kaki di depan kamarnya. Dia tidak tahu pastinya, tapi yang ia dengar telah terjadi sesuatu yang buruk pada Youngjae.

Dalam keadaan ini, Taehyung hanya menyiksa dirinya sendiri dengan berdiam diri seperti ini. Dia yang terluka pada nyatanya telah membuat orang lain terluka. Kehadirannya yang tak pernah diterima di manapun ia berada. Keluarga tempat di mana ia harus pulang, tak benar-benar ada. Semua hanya tipuan, semuanya palsu. Tidak ada orang yang menginginkan keberadaannya di dunia yang kejam ini.

Sore itu, Taehyung mengambil keputusan yang besar dalam hidupnya. Ketika tak ada orang di jalan yang akan ia tuju, pemuda itu meninggalkan Haneul Jib tanpa membawa apapun. Hanya pakaian hangat yang berusaha untuk melindungi dirinya dari udara yang semakin dingin.

Tak lagi memiliki uang, pemuda itu hanya berjalan. Berjalan sangat jauh hingga keberadaannya tak akan lagi menyakiti orang lain. Seoul terlalu luas bagi pemuda itu. Jalan ini terlalu menyakitkan bagi langkah kecilnya. Hingga pada akhirnya ia temukan tempat baginya untuk mengadu.

Berdiri di jembatan yang membentang di atas sungai Han, tatapan sayu Taehyung menemukan betapa luasnya permukaan sungai Han yang membentang di hadapannya. Pada akhirnya ia sampai di sana, di tempat yang membuatnya merasa sedikit tenang.

Helaan napas keluar dari mulutnya bersamaan dengan kepulan asap putih. Tangannya yang terkepal terlihat lebih mungil dari ukuran normal ketika ia mengenakan pakaian yang cukup tebal. Untuk kali pertama ia membenci musim dingin.

Di saat semuanya menjadi beku, kenapa musim dingin tidak bisa membekukan luka hatinya, kenapa musim dingin tidak bisa membekukan air matanya. Dalam diam, pemuda itu menangis.

"Jika aku pergi sekarang ... bisakah aku langsung sampai di surga?" gumaman putus asa itu terdengar menyakitkan. Dia yang masih muda membutuhkan seseorang sebagai sandaran untuk memperkuat pijakannya.

"Tapi aku sudah terlalu banyak membuat orang terluka ... apakah aku masih diizinkan untuk pergi ke surga?"

Kalimat kedua, pengaduan akan rasa sakit yang ia alami. Pemuda itu menjatuhkan pandangannya dan terisak. Kedua mata yang terpejam itu tak mampu menghalangi air mata yang terus berjatuhan. Kedua tangan itu terkepal semakin kuat hingga ruas jarinya berubah menjadi kemerahan. Dan ketika rasa sakit itu semakin menjadi, ia menggunakan salah satu punggung tangannya untuk menutupi matanya. Bahunya berguncang pelan, bukan hanya karena menggigil kedinginan, tapi juga karena rasa sakit yang terus menyiksanya.

"Kenapa aku harus dilahirkan seperti ini? Kenapa harus aku ..." lirih pemuda itu. Tapi bahkan angin pun telah dibekukan oleh musim dingin sehingga mereka mengabaikan pemuda itu.

"Ini benar-benar sakit ..."

Setelah cukup puas menangis, Taehyung mengusap kasar pipinya. Tak ada harapan yang tersisa, hanya ada keputusasaan yang tertinggal dalam genggaman tangannya. Dan dengan semua rasa sakit itu, pemuda itu bertekad untuk mengakhiri semuanya. Berpikir bahwa dengan ia menghilang untuk selamanya, mereka yang terluka karena dirinya akan sembuh. Dan dia tidak akan merasakan rasa sakit seperti ini lagi.

Tangannya yang sedikit gemetar itu mencengkram besi pembatas jembatan. Sempat terlihat ragu-ragu, Taehyung kemudian memanjat pembatas jembatan yang cukup licin itu. Namun ketika kedua kakinya hampir berdiri di atas pembatas jembatan, seseorang menarik tubuhnya dari belakang dan membuatnya terjatuh.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"Lepas! Biarkan aku mati!" Taehyung menepis pria asing itu dan mengambil langkah mundur. Setelah keputusasaan, kini ia merasakan kemarahan.

Taehyung mengangkat pandangannya dan seketika itu keterkejutan yang besar tak hanya tampak di wajahnya, melainkan juga di wajah Kim Seokjin—orang yang baru saja menyelamatkan dirinya.

"Kau?" Dahi Seokjin mengernyit. Benar-benar pertemuan yang tak terduga. Tentu saja sangat mengejutkan melihat pemuda itu ada di Seoul, terlebih dengan apa yang baru saja akan dilakukan oleh Taehyung. Sempat bingung dengan situasi itu, kemarahan itu kembali terlihat di wajahnya.

"H-hyeong—"

Plak!!!

Ucapan Taehyung terhenti, wajahnya berpaling ketika tamparan keras menghantam wajahnya. Meninggalkan sensasi panas yang menyakitkan. Terlebih yang melakukannya adalah Kim Seokjin.

"Kau sudah gila!!" bentak Seokjin. Kemarahannya semakin memuncak ketika ia melihat tindakan Taehyung.

Tak ada respon, Seokjin kembali memaki. "Jika kau ingin mengakhiri hidupmu, lakukan dengan benar! Jangan melakukannya di hadapanku!"

Napas Seokjin memberat, ia kemudian hendak meninggalkan Taehyung. Namun kala itu Taehyung langsung berlutut dan memeluk salah satu kaki Seokjin. Dengan tangisnya, pemuda itu memohon belas kasihan dari sang kakak.

"Hyeong ... aku mohon! Aku mohon jangan membuangku, Hyeong. Ini salahku, semua ini memang salahku. Aku pantas dihukum, Hyeong bisa memberikan hukuman apapun padaku. Tapi jangan membuangku seperti ini, Hyeong. Aku mohon ... aku rela menjadi apapun asal Hyeong tidak membuangku ..."

Taehyung semakin terisak dan semakin erat memeluk kaki Seokjin yang bahkan tak lagi memiliki rasa iba terhadapnya dirinya.

"Menyingkirlah dariku," tegur Seokjin dengan sikap yang dingin.

"Hyeong ... aku mohon." Taehyung bersujud, menyatukan keningnya dengan jalanan yang dingin masih dengan kedua tangan yang memegang kaki Seokjin.

"Aku tidak mau hidup seperti ini, maafkan aku. Aku mohon maafkan aku, Hyeong ... tolong, tolong selamatkan aku. Seumur hidupku, aku akan terus meminta pengampunan darimu, Hyeong. Tolong jangan membuangku seperti ini, aku mohon ... aku mohon ..."

"Pergilah!" Seokjin membentak dan langsung menendang wajah Taehyung. Membuat tubuh Taehyung bangkit dan limbung ke belakang.

"Kau tidak mengerti juga? Aku mengatakan padamu untuk tidak lagi muncul di hadapanku. Berhenti menjadi orang dungu dan pergilah ke neraka! Tidak akan ada yang peduli padamu bahkan jika kau mati kelaparan. Itu adalah hukuman yang pantas untukmu."

Setelah mengatakan hal menyakitkan itu, Seokjin meninggalkan Taehyung dan kembali ke mobilnya.

"Hyeong ... Seokjin Hyeong ..."

Taehyung kembali bersimpuh, memohon agar Seokjin tak meninggalkannya. Ia bahkan tak peduli bahwa dia harus berakhir menjadi seorang pengemis seperti ini. Dia tidak bisa lagi melanjutkan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Jiwanya perlahan telah menuju kehancuran.

"Hyeong ... aku mohon. Bawa aku bersamamu, Hyeong ..."

Isakan Taehyung semakin keras ketika ia melihat kepergian Seokjin. Tak peduli sekeras apapun ia berteriak, Seokjin tidak akan pernah kembali untuknya.

"Hyeong! Seokjin Hyeong ... Seokjin Hyeong!!!"

Di musim dingin tahun itu, seorang pemuda menangis seorang diri di tepi jalan tanpa ada satu orangpun yang berhenti untuk memastikan keadaannya. Bahkan mungkin hingga tubuhnya membeku di tempat itu, tak akan ada orang yang sudi untuk mendatanginya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro