9/28
NINOMIYA MERUMI
“Mengapa kau membuat keputusan itu tanpa berdiskusi denganku?!”
Ibu membentakku. Jelas, ini bukan yang pertama kalinya. Aku sudah terbiasa menelan semua kepahitan itu seorang diri. Biasanya, jika kami sedang berselisih, aku pasti akan bolos dari semua kegiatanku, termasuk sesi pemotretan dan wawancara.
“Untuk apa aku berdiskusi dengan Ibu? Ini keinginanku, bukan keinginan Ibu.”
Aku membalas dengan agak jengah, berusaha mempertahankan nada suara, tidak ingin mengganggu orang-orang di cafe yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka sendiri.
Sebenarnya, aku sudah mulai ‘berulah’ sejak kemarin pagi, tepatnya setelah berita tentang menghilangnya Aisaka Reina telah dikonfirmasi oleh pihak manajemennya. Aku merasa memiliki waktu yang amat terbatas, segalanya seolah runtuh bersama dengan harapan panjang yang selama ini kumimpikan.
Sedikitpun, aku tidak berminat untuk membandingkan diri dengan Reina, tetapi ‘Miru’ masih ada sangat jauh dengan level Reina. Aku tidak bisa menyangkal. Dan kupikir, daripada menghabiskan seluruh waktuku dalam ketidakpastian dan tanpa melakukan hal yang kuinginkan, aku ingin bebas lebih cepat.
Aku ingin ‘melenyapkan’ Miru.
Pagi itu, aku ada di lokasi yang sama dengan Reina, di pulau tak berpenghuni di selatan. Kebetulan, kami terlibat projek film yang sama untukmenceritakan ulang cerita putri duyung. Aku … juga menjadi salah satu saksi atas menghilangnya Reina.
Dia bukan menghilang sebagai putri duyung yang menjadi buih, tetapi benar-benar lenyap termakan cahaya kuning keemasan.
Itulah alasan paling dasar yang membuatku ingin segera berhenti. Aku ingin mencintai diriku sendiri, dan juga masa mudaku yang jelas tidak akan kembali.
Ibu tahu tempat favoritku yang lain selain di rumah sepupuku, yaitu di cafe ini. Letaknya di pinggir kota, suasananya sepi dan tenang. Ada pula penyanyi cafe yang bernyanyi santai di jam sibuk seperti ini.
Ibu menghela napas setelah kami beradu pandang selama beberapa saat, ia lalu mengatakan dengan suara kecil, “Dengarkan Ibu, Merumi.”
Aku hanya diam, membiarkan Ibu menjelaskan.
“Selama ini kau tidak tenang karena harus bersaing dengan Reina, kan? Sekarang dia sudah tidak ada dan kau malah memilih menyerah? Apakah kau tidak merasa bahwa semua usahamu selama ini telah sia-sia? Bukankah ini saatnya kau mendapatkan tempatnya?”
“Mengapa aku harus melakukannya?” tanyaku.
“Bukankah itu misi terbesarmu? Kau bisa melakukannya, Merumi. Saat ini Miru sedang naik daun, kau hanya perlu berusaha untuk mencuri perhatian publik,” jelas Ibu.
Suara gitar elektrik terdengar nyaris di seluruh bagian cafe itu. Aku melirik sebentar penyanyi yang bersiap-siap mengatur vokal dan suara. Kupikir, lebih baik aku segera mengakhiri pembicaraanku dengan Ibu sebelum dia mulai bernyanyi.
“Itu keinginan terbesarmu, bukan milikku.”
Aku mudah luluh jika itu menyangkut segala hal tentang ibuku. Semua permintaan dan keinginannya saat ini, hanya aku yang bisa mengabulkannya, karena itulah sejak awal aku menurut dan mewujudkan mimpinya.
Ibu mulai membuka mulut lagi, tetapi sang vokalis sudah mulai bernyanyi dan suara Ibu sedikit tenggelam karena perbedaan volume.
Mungkin sebaiknya aku tetap menatap lurus ke arah matanya agar ia tidak tahu bahwa aku agak kesulitan mendengar suaranya.
“Sekali lagi, dia berbohong, mencoba membuktikan bahwa cintanya nyata ketika mengungkapkannya~”
“Semua ini demi masa depanmu!” Gestur bibirnya mengatakan demikian.
“karena dia peduli padaku.”
“Aku sangat menyayangimu, Merumi.”
Demi aku? Aku hampir tersenyum sinis, tetapi untungnya masker hitamku menutupi ekspresiku. Entah untuk yang keberapa kalinya aku bersyukur harus memasang masker setiap saat. Kali ini bukan karena wajahku yang polos tanpa make up, tapi karena aku benar-benar sangat kecewa.
“Kuselalu berharap tak pernah mendengarkan kata-kata itu, kuharap aku tidak mengatakannya.”
“Aku juga,” jawabku tanpa suara, hanya menggerakkan bibir.
Ibu mulai memperhatikan sekitar dan menyadari bahwa suara musik terlalu keras.
“Kalau begitu, bagus. Ayo, kita keluar dari tempat ini,” ajaknya.
Aku tetap duduk di tempatku meskipun Ibu telah beranjak naik. Kutekan ponselku dan mengirimkan pesan dengan cepat kepadanya.
Siapa yang Ibu sayangi? Aku atau Miru?
Ibu yang membaca pesan itu langsung mengangkat kepalanya, menatapku dengan ekspresi yang sulit untuk kujelaskan.
“Pesan yang kukirim, menjelaskan hal yang tidak pernah kutulis, semuanya untuk amarah cintamu, itu sangat aneh~”
Aku menatap ibuku yang kini telah kehabisan kata.
“Apa aku harus tetap melakukannya?” Aku meneteskan air mata, tetapi segera kuhapus agar tidak membasahi maskerku. “Apa aku akan terus melakukannya sampai aku menghilang?”
***
Tema: GACHA LIRIK, IYA AKU GACHA LIRIK ABSURD ITU!!!!!
///Lempar tepung///
Maaf, selama ini aku emang sangat bego kalo nulis songfict.
Tapi ya, intinya gitu. Merumi mau berhenti.
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro