8/30
NINOMIYA CHIZUKO
"Permisi! Apakah Chizuko di sini?"
Panggilan itu datang tepat saat aku baru saja menyelesaikan misi sebagai pemburu di hari kedua festival. Kebetulan aku mendapatkan shift pagi dan berencana untuk mampir ke kelas Yuzu-Nee, karena dia memintaku untuk melakukannya.
Otomatis, semua perhatian langsung berpusat ke arahku.
Kuperhatikan orang yang mencari-cari keberadaanku. Perempuan berdasi hijau, kakak kelas, dan jelas aku mengenalinya, karena dia adalah kakak Yui.
"Ada apa, Rui-Senpai?" tanyaku.
Berbeda dengan bagaimana cara Yui mendedikasikan Yuzu-Nee dengan panggilan yang sama denganku, aku memilih memanggil kakaknya dengan sebutan senpai. Setelah dipikir-pikir, aku tidak pernah punya kesempatan berbicara lama-lama dengannya karena; Rui-Senpai lebih suka berbicara dengan kakakku; dan atau Yui terlalu posesif untuk membiarkanku berbicara denganku.
"Akh, Rui! Sedang apa di sini?" tanya Yui, yang sebenarnya tidak pernah memanggilnya kakak sama sekali.
Rui-Senpai memilih berbicara denganku, mengabaikan adiknya, "Aku perlu bantuanmu."
"Perlu bantuan apa?" tanyaku.
"Apapun itu, kau akan membantuku, kan?" tanyanya balik.
Alarm bahaya Yui tiba-tiba aktif, sebab tiba-tiba dia langsung menarikku ke belakangnya dan beradu pendapat dengan kakaknya. "Kau mau apakan Chizuko, hah?"
"Heh, bukan urusanmu!"
Baiklah, mereka berdua bertengkar lagi. Jika tidak ada yang menghentikan mereka, aku yakin akan ada keributan besar di sini. Yui memang sering tidak akur dengan kakaknya. Garis bawahi kata 'sering' karena keributan mereka sangat luar biasa membuat sakit kepala. Lebih parah daripada saat Yuzu-Nee dan Suzu beradu mulut.
Yuzu-Nee dan Suzu bisa membaca situasi untuk tidak bertengkar di publik, apalagi sampai menaikkan suara dan memancing perhatian. Berbeda dari mereka, dua saudari ini sering kali bertengkar beradu volume suara, tidak peduli dengan perhatian yang mereka dapatkan.
"Tidak apa-apa, Yui, aku sedang luang. Kalau aku bisa membantu, akan kubantu, Senpai."
Akhirnya kuputuskan untuk melerai, sebelum seisi sekolah tahu isu perang saudari.
*
Masalahnya, satu hal yang tidak kuketahui terkait bantuan yang diinginkan Rui-Senpai. Dan aku harus berdiri di atas panggung yang dingin, tanpa persiapan harus melakukan apa.
"Klub teater yang kuikuti tiba-tiba memutuskan untuk berpartisipasi dalam pengisian acara festival. Aku tidak bisa ikut karena hari ini semakin sibuk. Jadi, tolong gantikan aku, ya!"
Aku menghela napas dalam-dalam sembari memperhatikan tirai yang masih tertutup. Kami masih di backstage karena ketua OSIS sedang memberikan pidato. Para tokoh-tokoh sibuk membaca naskah drama, sementara aku hanya bisa memperhatikan gaun kembang yang kukenakan.
"Maaf, tapi kita sedang menceritakan cerita apa, ya?" tanyaku pada seorang gadis berpakaian lusuh.
Gadis itu menatapku dengan tatapan tidak percaya, sebelum akhirnya membuka suara, "Huh? Tinggal lima menit dan kau sama sekali tidak tahu?"
Aku menggelengkan kepala. Gadis itu langsung buru-buru menyerahkan buku naskah kepadaku. Kubaca judulnya sekilas, sebelum bibirku membentuk huruf o.
"Peranku apa, ya?" tanyaku.
Gadis itu menepuk keningnya, lantas bertanya, "Kau pemain cadangan?"
Aku hampir tertawa, dia berbicara seolah aku sedang ikut dalam olahraga sebagai pemain cadangan, "Aku menggantikan peran Rui-Senpai."
Gadis itu melotot, "Peran Rui?!"
Kuanggukan lagi kepalaku, walaupun aku tahu dia mendengarkan perkataanku dengan jelas.
"Kau memainkan peran ibu tiri!" serunya histeris. "Dan dialognya banyak sekali!"
Kuabaikan gadis yang sepertinya memainkan peran utama itu. Lebih baik membaca naskahnya sebelum tirai di buka.
"Oh! Dan! Dan! Kenapa mereka tidak meriasmu sedikit menor? Bagaimana pun juga peranmu seorang wanita--"
"DAN SELANJUTNYA! Persembahan acara dari klub teater!"
"Astaga sudah dimulai!" Gadis itu panik.
"Akane! Ayo!" ajak dua gadis lain yang juga berpakaian kembang sepertiku.
"Ta-tapi ibu tirinya--"
Kututup buku, lalu bersiap-siap untuk berjalan keluar dari backstage. Baiklah, aku belum membaca keseluruhan naskahnya, tetapi karena itu adalah cerita klise yang sudah kuketahui sejak kecil, kurasa aku bisa melakukan improvisasi kapan saja.
"Tenang saja. Aku akan berusaha agar persiapan klub teater tidak sia-sia!" ucapku meyakinkannya.
Gadis yang dipastikan bernama Akane-San itu mengerjap beberapa kali, lalu mengikutiku berjalan ke panggung bersama dengan dua orang lainnya yang juga mengenakan gaun kembang.
Tepukan tangan yang meriah terdengar ketika kami melangkah ke tengah-tengah panggung. Aku tidak bisa melihat penonton, hanya lampu sorot yang fokus menyorot ke arah panggung. Aku tidak akan membiarkan usaha mereka semua berakhir sia-sia karena keberadaanku. Rui-Senpai juga pasti meminta bantuanku karena yakin denganku.
Aku diam saja saat dua gadis lain tertawa cekikikan sembari membicarakan Akane-San. Sementara aku hanya diam memperhatikan Akane-San mengerjakan pekerjaannya--atau memainkan perannya. Kuarahkan langkahku ke arah keranjang yang berisi pakaian. Mendadak dua gadis tadi terdiam. Akane-San juga diam ketika melihatku. Aku tahu dia kaget, tetapi dia berusaha mempertahankan ekspresi menderitanya.
Kulangkahkan kakiku dengan lantang, membuat suara detuman keras pada sepatuku. Saat sudah berdiri di hadapannya, tuangkan semua pakaian di keranjang itu di atasnya.
"Cuci," gumamku dingin.
Akane-San menatapku lurus. Tatapannya membinar-binar, ekspresinya hampir tersenyum penuh kelegaan. Namun sebelum semua itu terjadi, kulemparkan keranjang itu ke belakang.
"Ayo, anak-anak, kita nikmati teh di taman belakang."
Ketika berjalan ke backstage untuk membiarkan Akane-San bermonolog tentang betapa menderitanya dirinya, kulemparkan senyum ke arahnya. Dia menatap kepergian kami sambil menutupi wajahnya dengan pakaian. Padahal, aku bisa melihatnya benar-benar tersenyum senang.
"Oh, betapa malangnya diriku, tinggal bersama ibu tiri dan dua kakak tiri yang kejam."
Aku tertawa dalam hati, apakah orang malang akan tersenyum seperti itu?
"Kau sangat hebat!" puji salah satu kakak tiri sambil mengayun-ayunkan tanganku dengan semangat.
"Namamu siapa?" tanya kakak tiri yang lain.
"Ninomiya Chizuko."
Lalu mereka berdua terdiam.
"Ninomiya? Kau adiknya Yuzuko?"
Kuanggukan kepala, lalu mendapati ekspresi ngeri mereka, "Memangnya kenapa?"
"Ti-tidak apa-apa."
.
.
.
Drama yang kami mainkan akhirnya sampai di titik dimana kerajaan mulai mengumumkan pencarian gadis yang berdansa dengan pangeran kemarin malam. Bermodal sebuah sepatu--yang jelas itu bukan sepatu kaca yang asli--mereka berniat membiarkan Akane-San memakai sepatu itu.
Karena Akane-San adalah pemeran utama, dia sangat sibuk. Bahkan saat tadi dia bertransformasi dengan pakaian indah, dia sangat terburu-buru. Kami tidak sempat bersapa ria. Padahal aku yakin Akane-San ingin menyampaikan banyak hal kepadaku.
Banyak para figuran yang keluar dari backstage untuk mencoba sepatu. Aku bisa melihat ekspresi mereka semua saat kaki mereka kebesaran untuk sepatu itu. Tampaknya kaki Akane-San memang kecil.
Tiba-tiba pengawal berjongkok di depanku. Padahal aku bukanlah kandidat yang wajib memakai sepatu. Aku duduk karena aku hanyalah wanita tua yang mendampingi anak-anakku mencoba sepatu.
"Eh--"
Dan sebuah bencana terjadi! Kakiku muat di sepatu itu!
Pemeran pengawal yang menyadari hal itu langsung panik, tapi tidak mencoba melepaskan sepatu itu dari kakiku. Dia malah mendongak menatapku ketakutan, seolah meminta bantuan. Padahal jelas perhatian kini sedang berpusat kepadanya.
Kubuka kipas lipatku dan menutup setengah wajahku dengan malu-malu.
"Apakah aku kelihatan semuda itu?"
Para penonton tertawa, sementara itu pengawal langsung melepas sepatu itu dariku dan memasangkan sepatu pada kandidat lain. Akane-San yang duduk di lantai masih mencoba mempertahankan ekspresi menderitanya, padahal dia terlihat sangat ingin tersenyum.
"Ini dia, gadis yang cocok memakai sepatu ini!"
Aku harus memasang wajah secemberut mungkin, padahal hatiku ingin bersorak heboh karena akhirnya semuanya berjalan dengan lancar.
Usai semuanya telah berakhir, Akane-San datang kepadaku dan menyalami tanganku kuat-kuat.
"Kau hebat sekali!" pujinya. "Ingin bergabung di klub teater?"
Aku tertawa hambar, "Haha, kau juga hebat."
"Aku Shirozawa Akane. Kau?"
"Ninomiya Chizuko."
Mata gadis itu melotot, "Eh?! Kau adiknya Yuzuko?"
...memangnya kenapa kalau aku adiknya Yuzu-Nee?
Apakah Yuzu-Nee semenyeramkan itu?
***
8/30
Tema: Dongeng
Yang dialami Chizuko di sini adalah hal yang kualami di dunia nyata.
Jadi dulu waktu SD, aku dapat peran kakak tiri di drama ini. Sebenarnya waktu itu kami hanya rebutan peran ibu peri, sebab tidak ada yang mau menjadi Cinderella (kudu dansa sama cowok, malu).
Mungkin karena aku punya muka antagonis, aku terpilih jadi kakak tiri.
Lalu waktu coba sepatu, TETIBA SEPATUNYA MUAT DONG!
Aku cengo, penonton cengo, pengawal cengo. Pemeran utama cengo karena sepatunya (sepatu sekolahnya) muat di aku. Semua cengo.
Aku langsung berdiri, lompat-lompat. "YEY! MASUK!"
Semuanya masih cengo.
Lalu aku duduk kembali ke tempatku, ngerintih, "...Sakit."
Terus, aku ngelepasin sepatu itu dan ngelempar ke dekat kaki pemeran utama.
Waktu pentas kelar, aku dipuji guru bahasa Indonesia. DAHAL PANIK EUY.
Oke, itu pengalaman yang pahit sekali kalau diingat-ingat.
Kalo aku curhat terus, entar aku malah update lewat 22.40. HIII gamao bolong.
Bubay semuah~
Cindyana H
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro