Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5/28

NINOMIYA SUZUKO

Kehebohan itu tak langsung serta merta membuat aktivitas ajar mengajar terhenti begitu saja. 

Atau bisa kubilang, semuanya masih berjalan normal seperti biasa. 

Sudah ada lebih dari tiga puluh kasus orang-orang yang menghilang tersebar acak di penjuru Jepang. Tidak ada apapun tanda-tanda yang bisa memprediksikan kemunculannya, karena semuanya bisa terjadi tiba-tiba dan begitu saja. 

Banyak pula fakta baru yang didapatkan setelah banyak kasus yang dihadapi. Orang-orang yang menghilang nyaris semuanya adalah remaja, kisaran SMP 1 hingga SMA 3. Tidak ada yang tahu pula apa hal yang dapat membuatnya menghilang. Mereka menghilang dengan berbagai warna, tetapi tetap saja itu tidak memberikan petunjuk apapun. 

Sejak fenomena itu muncul, aku merasa ayah dan ibu semakin jarang ke luar kota. Terlepas dari fakta bahwa keduanya masih bekerja, keduanya berusaha kembali tepat waktu. Baik aku, Yuzu-Nee dan Chizu-Nee mendapatkan amanah untuk pulang bersama, karena kami bertiga memang ada di SMP yang sama. 

Yuzu-Nee juga melepaskan semua pertemuan seminar--yang entah mengapa selalu diikutinya sebelumnya--sedangkan untuk Chizu-Nee, kakak keduaku masih sama seperti sebelumnya, dia tetap selalu pulang tepat waktu bahkan tanpa perlu disuruh. 

Untuk hari ini, aku sudah berpesan pada mereka berdua untuk tidak perlu menungguku, sebab hari ini adalah hari piketku. Aku bisa melihat punggung kedua kakakku yang pergi meninggalkan gerbang. Mereka tidak berjalan dekat, tetapi tetap berdampingan, tidak tampak seperti sepasang saudari.

Kami memang tidak bisa dikatakan terlalu dekat bila di sekolah, membuatku semakin sangsi bahwa ada murid yang tahu bahwa kami sebenarnya adalah saudari kandung, terlepas dari fakta bahwa kami berbagi marga yang sama. 

“Mau pulang cepat tidak? Jangan melamun,” tegur Kuroto yang sama sekali tidak membantu. 

Dia hanya duduk di atas meja, mengabaikan beberapa teman piketku yang lalu lalang dan membalikkan kursi di atas meja. Iya, dia hanya duduk tanpa berinisiatif atau berminat untuk membantuku sedikitpun. 

Aku memilih untuk tidak mengubrisnya dan mulai menyapu kolong-kolong meja yang bisa kujangkau dengan sapu. Kuroto hanya diam memperhatikanku tanpa berkomentar tentang beberapa helai rambut yang masih tertinggal di atas ubin putih. 

“Kuroto, kau bisa menunggu di luar,” ucapku. 

“Aku tidak menunggumu!” elaknya. 

“Oh, iya, iya, kau tidak menungguku. Silakan, yang tidak berkepentingan, pintu keluarnya ada di sebelah sana.” Aku menunjuk pintu kelas, mempersilakannya keluar secara terhormat. 

Kuroto menatapku kesal, mengambil tasnya dan tasku yang tergantung di mejaku. “Cepat, lho! Jangan melamun!” 

“Iya, iya,” balasku malas. 

Aku sebenarnya tahu alasan mengapa Kuroto bersedia repot-repot menungguku. Orangtuaku pasti memberinya pesan untuk pulang bersama jika aku tidak pulang bersama Yuzu-Nee atau Chizu-Nee. Persetan dengan pulang bersama sebelum fenomena itu, dia lebih suka menyibukkan diri dengan pergi ke perpustakaan atau toko buku. 

Atau mungkin, Kuroto hanya tidak ingin melihatku panik lagi setelah aku tidak sengaja membaca artikel tentang menghilangnya orang ke sekian. Semakin dekat keberadaan korban denganku, aku benar-benar akan semakin panik. 

Tak lama ketika aku tengah menyapu, suara dering telepon temanku berbunyi, yang kemudian diangkatnya dengan segera. 

“Iya, Ma, kami aman. Iya, kami sedang piket.” 

Aku terus menyapu sambil terus menyimak pembicaraan mereka secara tidak sengaja. 

“Ya, kami akan langsung pulang.” 

“Biarkan aku bicara juga!” 

Telepon diambil alih, kali ini yang berbicara adalah saudari kembarnya yang lain. “Mama kenapa hanya telepon Nayaka-Nee? Kenapa tidak telepon aku juga?” Berikutnya, orang yang sudah pasti adalah Nakahara Mayaka tertawa ringan, “Iya, iya, aku tahu. Hehehehe.” 

Mereka adalah sepasang kembar yang sekelas dengan kami. Sejujurnya, mereka masih terlalu identik dan aku tidak mampu membedakan mereka. Terkadang, ketika mengobrol dengan mereka, aku memilih cara teraman dengan langsung memanggilnya dengan nama keluarga, aku tidak peduli tentang siapa yang sebenarnya tengah kuajak berbicara, asalkan kata-kataku tersampaikan saja, itu cukup. 

Nakahara Nayaka sepertinya menyadari bahwa aku sedang memperhatikan mereka berdua, sehingga dia langsung memperlihatkan gestur meminta maaf, sedangkan aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, memberikan tanda bahwa aku tidak keberatan bila mereka berdua mengobrol di telepon lebih lama lagi. 

“Maaf ya, Ninomiya-San. Ibu kami menelepon karena hari ini adalah ulang tahun kami. Aku sudah menjelaskan bahwa kami akan pulang sedikit terlambat karena kebetulan bentrok dengan jadwal piket, tapi sepertinya ibuku lupa.” Nakahara Nayaka hanya tertawa canggung.

Sebelumnya, mungkin aku perlu memberikan sedikit klarifikasi. Kami tidak terlalu sering mengobrol dan mungkin lebih banyak mengobrol karena jadwal piket kami memang kebetulan sama. Hanya itu. 

“Kalian boleh pulang duluan. Ini tinggal sedikit,” ucapku sambil memeriksa kiri-kanan. 

Iya, ini benar-benar tinggal sedikit. Aku hanya perlu mengganti penghapus kain itu dengan yang bersih, sebab penghapus kain sudah terlalu lama tidak diganti, sehingga bisa membuat papan tulis menjadi lebih bernoda ketika menghapus coretan spidol. 

“Eh, tidak perlu--”

“Tidak apa-apa, kok. Aku sudah hampir selesai. Jangan membuat ibu kalian menunggu,” ucapku sambil tersenyum. 

“Apakah tidak apa-apa?” tanya Nakahara Nayaka dengan ragu. 

“Sungguh, tidak apa-apa,” ujarku tulus. 

“Terima kasih banyak, Ninomiya-San. Untuk hari piket berikutnya, kami berdua akan melakukan tugasmu.” 

“Tidak masalah. Ngomong-ngomong, selamat ulang tahun untuk kalian berdua,” ucapku. 

Wah, melihat melihatnya yang begitu bahagia, membuatku merasa bahwa aku adalah orang yang paling baik di dunia. Berikutnya, adik kembarnya--Nakahara Mayaka--juga sudah selesai menelepon dan kaget karena tiba-tiba diajak pulang oleh kakaknya. 

“Apa tidak apa-apa?” Sekali lagi, aku ditanyai begitu. 

Aku mengangguk dengan mantap, “Tidak apa-apa. Nikmati pesta ulang tahun kalian.”

Dia juga tersenyum lebar. Aku … merasa sudah begitu lama tidak melihat orang-orang tersenyum, apalagi setelah fenomena itu terjadi. Kebaikan kecil seperti ini bisa membuat orang lain begitu bahagia. 

Usai kepergian mereka, aku pun segera menyelesaikan pekerjaanku dan mengganti penghapus kain yang baru. Ketika hendak menyimpan sapu di loker kebersihan, aku bisa mendengar suara Kuroto memanggilku. 

“Suzu.” 

Ah, kesempatan untuk menakutinya. 

Aku langsung bersembunyi di loker bersama dengan sapu-sapu. Tempatnya tidak terlalu sempit, sehingga memudahkanku menutup pintu. Dari celah-celah loker, aku masih bisa mendengar suara Kuroto yang terus memanggilku, tetapi mendengar suaranya yang semakin mendekat membuatku ingin tertawa. 

“Suzu!”

Baiklah, mari kita kejutkan dia. 

Baru saja berpikir begitu, cahaya menyilaukan datang dari luar ruangan. Aku tidak tahu apa yang membuat cahaya itu timbul, meskipun sebenarnya cahaya itu sepertinya hanya pantulan dari cermin yang entah berasal dari mana. 

Berikutnya, setelah cahaya itu menghilang, Kuroto muncul tergesa-gesa dari pintu geser, tampak mengatur napasnya. Kuroto masuk ke ruangan kelas, memeriksa kelas yang tampaknya memang kosong. 

“Suzu! Kau di sini?” tanyanya sembari memeriksa tirai jendela. 

Dia sedang memeriksa kelas dan pasti tahu bahwa aku sedang bersembunyi di suatu tempat. Ketika dia membuka loker, aku akan mengejutkannya keras-keras. 

“Suzu! Keluarlah!” pintanya. Kali ini ia memeriksa kolong meja guru yang tinggi. 

Lebih dekat, Kuroto, akan kubuat jantungmu seperti mau lepas. 

“Suzu, ini tidak lucu,” ucapnya. 

Oh, Kuroto harus melihat wajahnya sendiri saat ini. Itu benar-benar lucu. Aku segera meraba rokku, mencoba mencari keberadaan ponselku untuk merekamnya, hingga akhirnya aku tersadar bahwa ponselku ada di dalam tas yang dibawa oleh Kuroto. 

Ah, aku tidak bisa merekamnya. 

Saat aku mendongakkan kepalaku menatap kembali celah loker, senyumanku langsung memudar begitu kulihat Kuroto terdiam begitu lama di tengah kelas. 

Dia … 

“Suzu, kumohon, keluarlah.” 

EH?! Kuroto menangis?! 

Aku langsung buru-buru mendorong pintu loker yang ternyata tidak bisa dibuka dari dalam, sehingga kini aku mulai mengetuknya agak keras dan menimbulkan kegaduhan. 

Beberapa saat kemudian, pintu loker terbuka dan yang membukanya ternyata adalah Kuroto. 

“... Uh, aku … aku hanya bercanda. Maaf.” 

Mata Kuroto tampak begitu merah, seolah menahan ledakan dalam dirinya, lalu dengan suara parau, ia berkata, “Tidak lucu.” 

“Aku benar-benar minta maaf, sungguh. Aku tidak bermaksud melakukan ini. Jangan menangis.” 

Tanpa bisa kutebak, Kuroto memelukku. 

Iya, memelukku. 

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya, tapi sepertinya sudah sangat lama sejak terakhir kali ia melakukan ini, sehingga ada sedikit perasaan canggung. 

Ya, tapi ini benar-benar murni kesalahanku, sehingga aku berinisiatif menepuk punggungnya. 

“Aku tidak apa-apa, aku tetap di sini,” kataku. 

“Ya, kau di sini.” 

… Saking terkejutnya, aku bahkan benar-benar lupa untuk mencerna apa yang terjadi. 

Aku tidak ingat, kapan terakhir kali Kuroto menangis? 

***

BENTAR BENTAR, NYUSUL. NANTI AKU UP LAGI SOALNYA UDAH MAU 22. BENTAR YAAAA!!!!!!!

AAAAAAAA

Tema: Ambil buku terdekat dan buka halaman 41

Cari kata pertamanya di mbah gugel dan temanya adalah gambar ke-9

- MENGAKUI -

Kesimpulan: temanya "I am Sorry"

Kayaknya google mikirnya mengakui kesalahan (?)

BTW INI CHAPTER KE 100 YANG BIKIN DAG DIG DUG SEKALI KAWAN.



Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro