17/30
NINOMIYA CHIZUKO
"Aku percaya kalau aku adalah reinkarnasi dari seorang tentara tempur yang gugur di medan perang." Aku membacakan hal yang tertera di layarku, sementara yang lain menyimak.
"Saat aku kecil, aku berulang kali bermimpi tentang hal yang sangat detail, mulai dari baris-berbaris sebelum berangkat untuk bertempur, menarik ring granat, memasang baju pelindung tambahan, melapisi helm dengan bahan tambahan hingga mengganti peluru. Dan aku ingat sekali, aku mati karena tertembak di kepala."
Suzu memprotes sebelum aku melanjutkan lagi, "Chizu-Nee, jangan pasang wajah yang serius seperti itu."
"Sst, kau diam saja, Anak Kecil," bisik Kuroto di sampingnya. Suzu menatapnya datar. "Ayo, lanjutkan saja."
Sejujurnya, aku mulai ngeri karena harus bercerita mengenai kejadian tepat pada 90 tahun yang lalu, tengah malam begini pula. Baiklah, aku juga tidak tahu ini fiksi atau tidak, tetapi mereka mencantumkan gambar-gambar yang membuatku mengerti kemana cerita ini akan dibawa, juga karena banyak yang mengangkat cerita ini, kurasa aku boleh memercayainya, walau hanya sedikit.
"Saat aku sedikit dewasa, ayahku pun bercerita tentang sosok Kakek yang gugur di area perang yang tak kunjung surut waktu itu," lanjutku. "Dia juga bercerita kalau tanda lahir di kepalaku mungkin tidak sekebetulan itu."
Aku menurunkan ponselku dan melihat dua bocah itu tersentak pelan dan menatapku serius. Tampaknya Kuroto dan Suzuko sangat mendalami cerita itu sendiri.
"Aku sudah selesai bercerita," ucapku. "Kalau kalian tidak bisa menangkapnya, dia bermaksud mengatakan bahwa dia adalah reinkarnasi kakeknya."
Yuzu-Nee dari atas (ranjang bertingkat kiri) menyeletuk, "Mereka mengerti, hanya saja ini terlalu menyeramkan untuk mereka."
"Aku tidak takut!" seru Suzu dan Kuroto bersamaan.
"Iya, sih. Memangnya apa yang perlu ditakutkan?" Aku tertawa.
Hal paling menakutkan di sana hanya tentang kejadian yang kebetulan seperti itu dan bagaimana dia masih bisa mengingatnya di kehidupan berikutnya. Sisanya, mungkin tidak.
"Kalau begitu aku kembali dulu ke kamarku." Kuroto bangkit dari duduknya dan membawa buku-bukunya keluar jendela.
"Kau tidak mau menginap? Katamu AC di rumahmu sedang mati?" tanyaku. "Lagipula ada dua ranjang bertingkat di sini. Masih ada satu tempat yang kosong untukmu."
"Ah, terima kasih tawarannya, Chizu-Nee, tapi aku kembali saja," tolak Kuroto.
Suzu menyambung dari belakang, "Iya, Kuroto tidak bisa tidur kalau tidak memeluk bantalnya."
"Sok tahu."
"Aku tahu kau takut, tidak perlu malu-malu."
Suzu tertawa sambil berjalan ke tempat tidurnya dan menyelimuti dirinya, lalu menggeser dekat dinding saat menyadari bahwa Kuroto masih melihat ke arahnya.
"Cup, cup, cup. Sini, Kuro-Chan. Di sini muat, kok." Suzu menepuk tempat kosong di sampingnya, sementara Kuroto langsung membuang muka.
"Aku pulang dulu. Selamat malam."
Dimanjatinya jendela, lalu ditutupnya dengan keras. Brak!
"Kuroto marah, tuh. Kau seharusnya tidak menggodanya seperti itu," tegurku.
"Biarkan saja. Biasanya juga, dia yang menjahiliku!" ucap Suzu membela diri.
"Kupikir Kuroto bukan sedang marah," gumam Yuzu-Nee.
"Maksudnya?" Aku dan Suzu mengucapkannya bersamaan.
"Tidak, tidak apa-apa. Kalian tidur saja."
* * *
17/30
Tema: Seorang anak yang merindukan ayahnya yang gugur di medan perang.
Latar waktu: 1928
Udah kuketik tapi ketiduran. Ini gimana ya ...
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro