Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15/30

KINOSHITA RUI

Kembali terjadi, perang antara aku dan Yui kemarin.

Ceritanya terjadi sangat singkat, atau mungkin terlalu singkat untuk diceritakan kembali. Waktu kejadian kurang dari lima menit. 

Waktu itu kami pulang bersama seperti biasa. Sebenarnya bisa saja kami tidak pulang bersama-sama mengingat kami hampir selalu adu mulut setiap saat, akan tetapi karena Okaa-San mengharuskan kita untuk pulang bersama, atau kami tidak boleh masuk ke rumah.

Gara-gara itu, aku beberapa kali harus pulang ke rumah bersama Yui dan Saito yang berpacaran--aku ingin menghantam kepala mereka dengan buku. Untungnya, aku sekelas dengan Saito dan mengenalnya. Saito adalah orang yang sabar dan bisa menjadi pawang untuk Yui yang liar.

Oke, kembali lagi ke cerita yang tadi, soal perang yang tak kunjung berkesudahan.

Waktu pulang sekolah kemarin, Yui bercerita tentang kedatangan pacar Yuzuko. Lalu kami menggosipinya--kami hanya akur saat sedang membicarakan orang lain--karena dia benar-benar membeli beberapa barang yang kurang berguna. Gantungan kunci kayu, tetapi akhirnya dia memberikannya kepada kami sebagai oleh-oleh.

"Tapi pantas saja Yuzu-Nee marah. Habisnya membelikan barang yang bahkan kegunaannya masih abstrak," ucap Yui.

Aku menyipitkan mata, menatapnya tidak suka. Yui memanggil Yuzuko dengan sebutan -Nee, tetapi memanggilku dengan namaku. Dasar tidak sopan.

"Gunanya kan sebagai hiasan," balasku.

Saat tengah berjalan, tiba-tiba Okaa-San menelepon meminta kami untuk singgah di supermarket. Katanya beliau ingin memasak kare malam ini, lalu ingin meminta kami membeli bahan kare. Tentu saja kami berdua jadi antusias.

Masalahnya adalah uang sakuku sendiri tidak cukup. Yui juga begitu. Dan saat menggabungkan sisa uang saku kami, jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun kami berdua optimis bahwa uang kami akan cukup jika kami benar-benar membeli bahan seadanya.

"Kita beli ini saja, murah," ucapku sembari memasukkan kare instan ke dalam keranjang.

Yui menatapku dengan wajah yang amat meyakinkan, "Tidak perlu! Kan di rumah ada kentang dan bubuk cabe, jadi kita tidak perlu beli yang instan. Lagipula yang instan kan tidak sehat."

Jika aku harus mengaku, sebenarnya Yui memang lebih sering menghabiskan waktunya di dapur dibandingkanku. Mungkin dia memang menghafal bahan makanan lebih baik daripada itu. Karena percaya padanya, akhirnya aku mengalah dan membiarkannya mengambil bahan makanan yang mungkin kami butuhkan.

Namun, sesampainya di rumah ...

"Kentang dan bubuk cabe kan sudah dipakai untuk bekal kalian siang tadi," ucap Okaa-San. "Kukira uang kalian tidak terlalu banyak, jadi kalian akan beli yang instan."

Aku langsung menatap Yui dengan tatapan sedatar-datarnya, "Tuh kan. Apa kubilang."

"Mana kutahu! Kan aku melihatnya kemarin sore!" balas Yui.

"Ya, makanya lain kali dengarkan perkataan kakakmu!" omelku. "Kalau tadi kau mendengarkanku, kita kan tidak perlu bolak-balik seperti itu. Pokoknya, kali ini kau beli sendiri. Aku tidak mau menemani!"

"Kau sendiri juga tidak tahu kan, kalau bahan makanannya sudah habis?!" bentak Yui.

Aku tidak mau kalah. "Ya! Aku memang tidak tahu, tapi setidaknya aku tidak sok tahu!"

"Ya sudah! Aku beli! Tapi kau tidak boleh makan kare-nya!"

Perkataan Yui membuatku semakin murka. Sudah jelas-jelas semua yang terjadi di sini adalah kesalahannya. "Lho?! Tadi kalau kau mendengarkanku, kan tidak akan seperti ini! Salahmu!"

"Salahmu juga! Kalau kau rajin memeriksa dapur, kau kan pasti juga akan tahu kalau kentang dan bubuk cabe memang ada waktu kemarin sore! Padahal kau juga lupa kalau menu tadi ada kentang dan bubuk cabe-nya!"

"Pokoknya salahmu!"

"Salahmu juga!"

"Salah kalian berdua." Okaa-San akhirnya melerai perdebatan kami. "Kenapa tidak telepon untuk memastikan dulu?"

"Soalnya Yui bilang ada, dengan percaya dirinya!" balasku, membela diri. 

Yui hanya diam saja dengan kening berkerut dalam, tampaknya tidak akan pernah mengakui kesalahannya walaupun dia sadar bahwa itu memang kesalahannya.

"Tapi, kau percaya dengannya kan, makanya kalian tidak jadi membeli yang instan?" tanya Okaa-San yang sontak membuatku terdiam.

Merasa bahwa Okaa-San memang menunggu jawabanku, aku akhirnya membalas singkat, "Iya."

"Kalau begitu, tidak ada yang perlu dipermasalahkan, kan?" tanya Okaa-San sambil tersenyum tipis. "Ayo, kita bertiga beli bahannya bersama-sama. Sebentar lagi ayah kalian pulang, lho."

Dan begitulah, perang saudari antara aku dan Yui akhirnya berhenti sampai di sana waktu itu. Walaupun aku dan Yui tidak saling berbicara selama kami membeli bahan makanan di minimarket, tetapi aku bisa merasakan bahwa situasi yang kami hadapi lebih dingin dari sebelumnya.

Okaa-San memang hebat dalam meleraikan pertengkaran kami. Padahal kalau Otou-San yang melihat kami ribut, aku yakin Otou-San akan ikut marah-marah--sifat temperamental kami berdua memang diwarisi dari Otou-San--dan pastinya akan membanding-bandingkan kami berdua dengan Yuzuko dan adik-adiknya.

Aku bukannya tidak ingin selalu tenang di rumah dan berdamai dengan Yui. Aku bahkan pernah menanyakan saranku kepada Yuzuko. Yuzuko bilang dia malah sering marah-marah di rumah--aku tidak terkejut sih--dan sering bertengkar sebentar dengan Suzuko, adik bungsunya. Chizuko juga tidak pernah mencoba memihak kepada siapapun atau mencoba meleraikan. Pertengkaran mereka akan surut dengan sendirinya.

Mungkin aku dan Yui terlalu keras kepala, mungkin kami membutuhkan penengah seperti Okaa-San. Situasi setiap orang berbeda dan itu terkadang membuatku berpikir, apa yang sebenarnya kami cari dari setiap pertengkaran kami? Keadilan? Pembelaan? Permusuhan? Jelas tidak ada apapun. 

Semoga saja suatu hari nanti aku dan Yui bisa lebih akur lagi.

"Rui?" Yuzuko tiba-tiba menepuk bahuku dan menatapku dengan kening berkerut.

"Ah, kenapa?" tanyaku.

"Itu, adikmu mencarimu."

Yuzuko menunjuk ke arah pintu. Otomatis pandanganku langsung tertuju ke arah pintu. Kulihat Yui sedang berdiri di depan pintu kelasku. Yang pasti dia bukan sedang menjadi pelanggan kafe kami, karena dia terlihat ragu-ragu masuk ke kelas kami.

"Eh? Mencariku? Bukan Saito?" tanyaku kepada Yuzuko.

"Iya, kok, mencarimu," balas Yuzuko. "Kok kau kelihatan bingung? Itu kan adikmu."

Ya, masalahnya ini sangat tidak wajar.

"YUI? Kau mencariku?" Saito yang sedang membawa nampan, langsung menghampiri pintu.

"Bukan. Aku mencari Rui." Kami berdua tidak sengaja bertukar kontak mata. "Ah! Rui! Sini!"

Dengan agak malas, aku berjalan menghampiri pintu, melewati Saito yang menunduk lemas seperti habis ditolak.

Kutatap Yui dengan heran, "Apa?"

Yui menempelkan spons bibir ke pipiku, "Ini ada titipan."

Tentu saja aku terkejut. Rasanya seperti diberi surat cinta tanpa nama pengirim, walaupun sebenarnya aku belum pernah mendapatkannya sekalipun. "Siapa?"

"Entah, dia hanya bilang, 'berikan ke kakakmu' begitu." Yui merapikan alat-alat yang disebutnya sebagai pelengkapan berburunya. "Sudah dulu, ya!"

Kepergian Yui membuatku terdiam mematung selama beberapa saat. Kata-kata Yui terus berputar di pikiranku bagai kaset rusak.

Berikan ke kakakmu.

Berikan ke kakak

Ke Kakak ....

Kakak ....

Aku sontak berlari ke Yuzuko yang menatapku heran, lalu meloncat-loncat dengan antusias.

"Eh? Kau sesenang itu mendapatkan satu kecupan?" tanya Yuzuko dengan heran.

***

15/30

Tema: Salah beli yang menyebabkan perang dunia.

Sebenarnya Yuzuko peka banget. Seandainya dia mendengar obrolan Yui dan Rui, dia pasti akan langsung tahu mengapa Rui sangat senang. Namun karena dia tidak mendengar, dia berasumsi bahwa Rui senang karena satu kecupan di pipi.

Sebenarnya cerita Rui-Yui ini agak kompleks. Rui, sebagai kakak merasa sangat banyak tertinggal dari adiknya. Dari masalah percintaan, memasak sampai banyak hal. Yui tidak pernah tahu soal masalah itu.

Tidak sulit mencari topik untuk pertengkaran mereka, karena sangat relate wkwkwkw.


Cindyana H

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro