10/30
ICHISAKI REN
Ini sudah kedua kalinya aku membasuh wajahku dengan air sejak datang ke sekolah pagi tadi. Teman-temanku menertawakanku karena katanya sudah tidak ada lagi tempat untuk meninggalkan cap bibir di wajahku.
Kuatur ulang rambutku yang acak-acakan. Saat kuperbaiki, kusadari warna pirang mulai terlihat dari akar rambutku. Kutarik napasku panjang-panjang, sepertinya aku harus mengecatnya lagi malam nanti.
Saat keluar dari toilet, kudapati teman-temanku ada di sudut koridor. Sebenarnya aku bukan tipikal yang suka melarikan diri, tetapi karena melihat ikatan merah di lengan merah, insting bertahan hidupku kembali menyala ketika aku menyadari bahwa mereka telah melihat keberadaanku.
Aku berlari melewati kerumunan orang-orang, berfokus ke arah jendela yang terbuka. Kulompati jendela dengan mudah, hasil yang kuterima setelah latihan yang kulakukan selama ini.
"ICHISAKI! Ini masih ada lagi buatmu!" seru mereka dari jendela.
"Maaf, ya!" balasku sambil terus berlari menelusuri taman sekolah yang sebenarnya juga ramai.
Ini festival pertamaku, sebenarnya aku tidak terlalu terbiasa dengan hal semacam ini.
"Eh! Ichisaki-Kun!"
Tiba-tiba ada panggilan dari sebelah kiri, ternyata Chisazawa, teman sekelasku. Aku hampir saja melarikan diri lagi, jika seandainya aku tidak teliti untuk mencari tahu soal tali merah di lengannya. Wajahnya merah karena dia juga mendapat banyak cap bibir.
"Chisazawa? Sedang apa di sana?" tanyaku sembari memperhatikannya duduk di bawah pohon. Dia membawa setangkai lily di tangannya.
Chisazawa menghindari kontak mataku, "J-jatuh."
Kuulurkan tangan, membantunya berdiri. "Kamu tidak apa-apa?"
"Tidak," balasnya sembari menggeleng.
"Kau juga melarikan diri dari kejaran pemburu?" tanyaku.
Chisazawa menggangguk samar. Kuhela napas agak berat, saat ini aku merasa seperti buronan jahat yang baru saja melakukan kesalahan. Sebenarnya aku ingin berdiam diri saja di rumah, tetapi keadaan di rumah tidak lebih baik daripada harus berada di sekolah yang ramai.
"Kalau begitu, ayo kita cari tempat untuk bersembunyi dari mereka," ajakku.
Chisazawa mengerjap beberapa kali, lalu bertanya, "Kita? Sembunyi sama-sama?"
Aku langsung mengangkat kedua tanganku di udara, "Kalau kau tidak mau, kita bisa sembunyi sendiri-sendiri."
"A-aku tidak bilang tidak mau," balasnya buru-buru. "Jadi, kita mau kemana?"
Kuperhatikan sekitar kami. Tenda-tenda kegiatan dari klub memenuhi taman sampai lapangan sekolah. Pandanganku terus menyisir ke sekitar, hingga akhirnya seseorang yang sedang menulis di papan tulis dengan kapur tulis, berhasil memancing perhatianku.
Persembahan Klub Teater: 10.00~11.00
Cinderella
Auditorium
"Mau menonton teater?" tanyaku kepada Chisazawa.
Tanpa diduga, Chisazawa langsung mengangguk cepat, tampaknya sangat antusias dengan tawaranku.
Kurasa, kami hanya bisa bersembunyi selama sejam.
*
Auditorium sangat ramai, tapi setidaknya kami terbebas dari para pemburu untuk beberapa saat. Saat ini ketua OSIS kami sedang melakukan pidato mengenai kelangsungan festival di hari kedua.
Chisazawa tampaknya fokus menyimak pembicaraan ketua OSIS, sementara pikiranku melayang-layang memikirkan apa yang terjadi di rumahku kemarin pagi.
Kemarin pagi, aku bertengkar dengan Ken. Sebagai seorang kakak, kurasa sangat wajar bagiku untuk memberikan pendapatku. Ken tampaknya belum terlalu menerima kembali rujuknya kedua orangtua kami. Ken mengatakan bahwa dia menerima kehadiranku, sangat. Namun untuk kehadiran Ayah, dia belum bisa.
Kemarin dia ingin kabur dari rumah, tetapi aku mencegahnya. Karena itulah kami berdua ribut besar. Sepertinya itu pertama kalinya kami bertengkar sejak reuni kami, karena sebelumnya kami memang tidak pernah bertengkar.
Akan tetapi, entah ada angin darimana, malam harinya Ken datang ke kamarku untuk minta maaf. Aku tidak pernah tahu bahwa Ken punya pribadi yang bisa memaafkan, kupikir dia masih dengan pribadi dulunya yang akan terus mendendam entah sampai kapan. Kurasa, jika pribadinya berubah menjadi lebih baik, aku harus senang.
"Baiklah, sekian dari pidatoku pagi ini. Silakan menikmati drama Cinderella, persembahan dari klub teater!"
Tiba-tiba saja ketua OSIS mengeluarkan pistol dan menembakkannya di udara. Dari sana, keluarlah kertas warna-warni dan berkilat, menghebohkan pembukaan tirai teater.
Tirai terbuka, tampaklah Cinderella yang sedang mengepel lantai dengan menderita.
Aku sudah menonton Cinderella berulang kali, bahkan ketika aku bersekolah di Inggris dulu. Cinderella adalah cerita klasik yang populer, jadi jika seandainya aku tertidur di sini dan membiarkan jalan cerita Cinderella mengalir begitu saja, aku pasti bisa menceritakan ulang cerita itu dengan lengkap dan jelas.
Ketika aku bersiap-siap untuk terlelap, tiba-tiba saja ibu tiri menumpahkan pakaian dari keranjang di atas Cinderella. Aku terlalu kaget, sampai-sampai tidak menyadari bahwa keheningan dari penonton telah ada entah sejak kapan.
"Itu Ninomiya bukan sih?" tanya Chisazawa kepadaku. "Aku tidak tahu dia ikut klub teater."
Aku tetap fokus memperhatikan panggung dan membalas tanpa mengalihkan pandanganku dari sana, "Aku juga tidak tahu."
Cerita Cinderella yang sudah kuketahui jalan ceritanya, untuk beberapa alasan menjadi sangat sulit tertebak. Aku juga tidak menyangka bisa mengikuti hampir keseluruhan jalan ceritanya tanpa terlelap atau mengantuk sedikit pun.
Bahkan setelah cerita itu selesai, aku masih berdecak kagum dalam hati.
Kurasa festival tidak seburuk itu.
***
10/30
Tema: Setangkai lily, kapur tulis, dan pistol.
/komat-kamit/ Paus harus tetap terang benderang, paus harus tetap bersinar, tidak boleh gelap, tidak boleh kelam. Kalem, paus, kalem. Kalemlah walaupun tema-nya segelap itu.
Tidak apa-apa, paus, efritings gana bi olrait.
Cindyana H
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro