Bab 7 Hitam Putih
Aku melihat lembaran kitab Bulughul Maram dengan miris, ada dua lembar yang rumpang. Tidak kumaknai. Aku meringis. Selama berjalan dari asrama belajar ke rumah Abah Sepuh, aku hanya berpikir bagaimana cara agar dua lembar kitabku terisi penuh. Aku nggak mau saat Papa mengecek kitab-kitabku ada bagian yang rumpang. Rambutku bisa berdiri tegak seperti terkena efek listrik statis kalau sampai diceramahi Papa. Mandala Parawansa itu memang sulit berekspresi, terutama kalau sedang khawatir, tapi saat moodnya dalam keadaan bagus, bicara sepanjang kereta baba ranjang pun sanggup.
"Nanti bisa murajaah kitab ama Saila, tapi kapan waktunya luang?" pikirku, "hah, aku akan memaksa Saila, apapun yang terjadi, jangan sampai Papa tahu aku malas memaknai kitab," aku mengangguk mantap. Lebih baik aku merayu teman sekamar ketimbang merelakan telingaku keriting karena Papa.
Aku berhenti di undakan teras karena melihat Harris berdiri di depan pintu. Ludahku nyangkut di kerongkongan.
"Aku tidak tahu apa yang maksudmu," Harris mengulurkan kertas, "bilang pada Papamu, aku tidak butuh bantuannya untuk hal ini. Aku tidak sememalukan yang kamu pikir."
Alisku bertaut, tidak begitu paham apa maksudnya. Tidak mau penasaran, aku memutuskan membaca selembaran kertas itu. Undangan seleksi paskibra di tingkat nasional.
"Dengar, aku ingin sukses dengan caraku sendiri, usahaku sendiri, bukan melalui jalan belakang seperti caramu." Tidak ada kalimat main-main, "kita memang berbeda, seharusnya aku menyadari ini."
Maksudnya, Harris menolak bantuanku agar dia bisa ikut seleksi paskibra? Dan apa katanya? Jalan belakang? Nepotisme maksudnya? Aku tidak akan melakukan ini jika tidak tahu kualitasnya. Aku tidak akan membuat Papa malu kalau merekomendasikan orang yang salah.
"Berhenti sok peduli padaku."
Amarah berdenyut-denyut di ubun-ubun, aku mengepalkan tangan kuat-kuat hingga ruas jariku memutih.
"Aku nggak peduli padamu. Terserah kamu mau melakukan apapun. Tapi, aku melakukan ini karena aku ingin menebus rasa bersalahku. Kamu disuruh kembali ke pesantren karena ketahuan pacaran denganku, hal ini membuat impianmu kandas, dan itu karenaku. Aku merasa bersalah, tapi... jika kamu terlalu sombong untuk menerima kebaikanku, lupakan saja!" aku menyobek surat undangan paskibra hingga berbentuk serpihan. Dengan mantap, aku menerbangkan sobekan kertas itu ke udara.
"Aku tidak butuh kebaikanmu."
"Oke, semua udah jelas." Gigiku bergemelutuk emosi, tahan diri Nawaila, sabar... sabaaar. "Aku menyesal melakukan ini."
"Menyesal?" Harris mengulang kata-kataku, ia mendongak dan saat kami bertatapan, ada api amarah yang mengendap di mata sayunya yang tajam. "Tahu apa kamu dengan kata menyesal?"
"Oh, aku sangat tahu, terutama menyesal pernah menyukai orang berhati sempit dan picik sepertimu. Aku memang menolakmu, tapi tidak seharusnya kamu defensive padaku. Lihat saja, strata sosialmu, seorang gus-putra kyai, tapi sikapmu sama sekali nggak mencerminkan itu." Semakin berani saja aku mengkritik Harris. Cowok itu memejamkan mata sejenak dan ketika membuka mata Harris berubah jadi mata senja, kemarahan sudah pergi dari matanya.
"Aku minta maaf, sebaiknya setelah ini kita menyapa sekedarnya." Lalu Harris sudah berlalu dariku.
"Aku belum selesai bicara!"
"Apalagi yang ingin kamu katakan? Bukankah aku ini orang yang berpikiran sempit dan picik? Aku takut kamu menyesal berbicara denganku."
Entah kenapa jantungku terasa ngilu. Harris, aku nggak bermaksud bilang seperti itu. Aku hanya kesal saja denganmu. Sejak kamu bilang melamarku dan kutolak, kamu selalu menghindar dariku, pura-pura tidak mengetahui keberadaanku. Aku harus bagaimana selain menyimpan kekesalanku dan memuntahkannya malam ini?
"Ya, kamu memang sangat mengecewakan!" berlawanan dengan isi hatiku, aku lantang menghujatnya, "kamu nggak pantes kusukai."
Harris menyipitkan mata ke kanan, mengabaikanku. Tatapan Harris mengingatkanku pada predator. Begitu menakutkan, berhasil menciutkan nyali. Dia bergerak dengan sangat cepat ke samping kiriku. Tubuhku bergetar ketika dia memeluk, aku terasa sangat kecil untuk tubuhnya. Dan saat itu juga suara tembakan menembus kulit teredam. Mataku membulat shock.
Harris?
"Maaf...." Ia berkata lirih, "aku memelukmu, maaf karena hatiku yang picik."
Otakku macet, tanganku meraba bahunya dan di sanalah luka tembak itu berada. Telapak tanganku basah, seiring dengan bau anyir yang menyebar di udara. Kepalaku menggeleng lemah.
"Gus Harris...." Sekarang, airmataku menuruni pipi dengan sombong, aku nggak kuasa menahannya. Sekuat tenaga aku memberontak dari dekapannya, tapi tangan Harris begitu kuat menekan tubuhku agar meringkuk aman di dadanya. Tidak berapa lama, suara tembakan kembali terdengar.
Aku sudah lupa cara berkedip. Kemudian ketika mata Harris kehilangan binarnya, aku sudah lupa cara untuk bernapas.
"Tolooooong!" saat itulah otakku kembali. Aku berteriak dan Harris tidak mampu menahan diri ambruk di lantai. Aku kepayahan menahannya, tubuhku ikut jatuh di sisinya. "Tooolong...!"
"Nizam!" Bu Nyai yang muncul, histeris.
"Tolong, selamatkan Gus Harris, Umi. Aku... aku harus mengejar penjahat itu!" rumah Kyai Sepuh mulai ramai. Aku beringsut menjauh, tapi niatku mengejar penembak gelap gagal karena Harris malah menggenggam jemariku. Aku menatap wajahnya.
"Jika ini adalah waktu terakhirku melihatmu, tolong jangan pergi... jangan."
Tubuhku seperti dihempaskan dari ketinggian lapisan ozon, suara Harris membuat airmataku menetes. Aku merasa sudah menjadi orang yang paling jahat sebab sudah menghinanya berpikiran sempit dan picik karena aku menolak lamarannya, tapi lagi-lagi aku salah menyimpulkan dirinya. Mana mungkin orang berhati sempit dan picik rela mati demi aku? Harris emang bodoh. Dia adalah cowok paling bodoh di muka bumi. Memang, aku akan terpesona kalau melihatnya meregang nyawa? Jangan pernah melindungiku jika itu membahayakan nyawamu, Harris. Siaaaaaaaaaaal! Brengsek memang putra kyaiku ini, makiku mulai tidak bisa mengendalikan emosi.
Kepalaku berkunang-kunang ketika sayup-sayup kudengar teriakan orang-orang untuk membawa Harris ke dalam rumah. Aku tidak punya cukup tenaga untuk membuka mata dan memastikan Harris baik-baik saja. Awalnya tubuhku seperti berpusing, bumi terangkat ke atas lalu memutar, membuatku limbung, kemudian gelap menyergap dua mataku.
***
Aku melihat harris mendatangiku bersama dua wanita cantik. Kulit mereka memancarkan sinar yang berkilau dengan mata berwarna hijau seperti amethyst dipertegas dengan bulu mata yang lebat dan lentik. Bibir wanita itu tidak lepas dari tersenyum. Kulihat tanganku yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan mereka.
"Harris! Harris!"
Dia tidak mendengar. Asyik tertawa-tawa dengan dua wanita mempesona itu.
"Harris!" aku tidak suka saat Harris mengabaikan aku. "Harris...." Kakiku tidak bisa digerakkan, padahal aku ingin mencapai Harris, menamparnya, memukulinya sepuas mungkin atau menendangnya. Tidak mampu lagi menyokong tubuh, aku meringkuk di tanah, menunduk dan tidak berani memanggil Harris lagi. Dia terlihat bahagia sekali.
"Nawaila," ia begitu dekat dengan telingaku, tangan Harris terulur ke pipi, mengelusnya kemudian menyeka airmata. "jangan menangis."
"Aku tidak suka melihatmu dengan mereka." aku masih tidak berani menatapnya.
"Aku tidak suka melihat airmatamu."
"Kalau begitu, kamu harus tetap di sini," aku menatapnya, "atau-"
"Kamu masih suka mengancam?" Harris mengecup bibirku. Kupikir, dia hanya memarkirkan bibirnya selama beberapa detik sampai kemudian aku sadar bahwa Harris menempelkan bibirnya pada bibirku.
Ini? Aku linglung. Aku berciuman dengan Harris? Benarkah? Aku berciuman dengan lelaki yang bukan suamiku? Aku menahan dada Harris, seharusnya aku mendorongnya menjauh tapi begitu telapak tanganku merasakan ototnya yang kuat dan hangat, otakku langsung mengambil cuti. Kami kembali berciuman, lebih panas dan menuntut. Rasa berdebar-debar memenuhi diriku.
"Nawaila. Bangun."
Kubuka mataku, Harris masih menatapku dengan mata sendu.
"Sepertinya itu suara Ni'am." Aku berjinjit, mengajak Harris berciuman lagi tapi aku seperti tertarik dalam dunia asing dan saat aku membuka mata, Ni'am menyentil keningku.
"Kamu mimpi apa?" ia sudah menginterogasi.
"Ciuman." Aku yang baru sadar langsung membekap mulut. Spontanitas konyol!
"Ciuman?" Ni'am menyipit, "siapa yang kamu cium?"
Aku menggeleng, menutup bibirku dengan dua telapak tangan.
"Astaga, adik cewekku kenapa jadi mesum gini, sih?"
Kakiku menendang bokong Ni'am, cowok itu mencelat dari ranjang dan jatuh di lantai. Ni'am mengerang tapi masih sempat mengedip genit. Ya Salam, jangan bikin kakakku reseh.
"Pasti Harris!"
Saat itu juga jantungku bekerja lebih keras hingga jemariku bergetar, Ni'am tertawa melihatnya.
"Mau lihat Harris?" tawarnya dengan nada bersahabat. Aku bersyukur karena Ni'am tidak mendesakku untuk bercerita tentang mimpi mesumku ini. Asal tahu saja, mimpi ini masih mending, hanya ciuman... sebab aku pernah bermimpi-
"Di mana Harris?" aku mengalihkan fokus, meski tidak terlalu berhasil sebab aku masih bisa merasakan bibir Harris di permukaan bibirku.
"Di kamarnya. Papa meminta agar Harris dirawat di rumah. Dan Kyai Sepuh setuju." Jelasnya dengan wajah tenang.
"Sudah siuman?"
"Sudah dan kayaknya dia nggak mimpi mesum kayak kamu."
Aku cemberut, "penembak gelapnya udah ketemu?"
Ni'am menggeleng, "siapa yang kamu curigai?"
Curiga? Nggak ada yang mencurigakan kecuali surat misterius dulu, tapi aku tidak tahu siapa pengirimnya. "Bang, tahu nggak kalau ledakan di pesantren putri itu dilaporkan karena korsleting listrik, bukan dinamit."
Alis Ni'am mengernyit. "Siapa ketua tim forensic dari kepolisian?"
Aku menggeleng, tidak begitu paham, hanya saja aku yakin bahwa pertanyaan Ni'am menemui titik terang jika bertanya pada pihak polisi sector. Tentu akan ada kunci atau setidaknya bayangan menuju pelaku penembakan. Ni'am menatapku dengan ribuan ide tentang mengungkap penjahat yang menyatroni pesantren.
"Kayaknya kita perlu bahas ini dengan Harris." Desahnya, "hati-hati, Dek. Aku tidak tahu apa-apa, tapi naluriku bilang... penjahat itu mengincarmu."
Aku setuju dengan pendapat Ni'am, "tenang, aku ini putri dari Mandala Parawansa, adiknya Ni'am Zamzami, aku tidak lugu dan polos, Bang."
"Kuharap begitu."
"Nah, bisa anterin aku ketemu Harris?"
Ni'am mengangkat tangan ke udara, "belum hari ini."
Aku mendesis tidak suka dan Ni'am terkekeh puas.
"Ciiee, kangen!" ia memeletkan lidah lalu cekikikan bahagia. Apa kepala Ni'am abis terbentur sesuatu sampai dia kelihatan kayak anak labil yang kampungan? Benar-benar menyebalkan.
***
Aku terisak di ranjang, ratusan helai tissue bertebaran di lantai. Jika manusia, tissue-tissu itu pasti sudah menjerit tentang kelakuanku yang mencampakkan mereka setelah kujadikan sebagai pengelap ingus dan airmata. Ni'am sedari tadi hanya duduk di sofa putih besar yang ada di sudut, satu-satunya sofa yang ada di kamarku.
"Dulu aja nggak mau masuk pesantren, sekarang setelah disuruh pulang malah nangis nggak berhenti," katanya, kenapa wajah Ni'am terlihat sangat menyedihkan? Seharusnya yang boleh memasang wajah terluka itu hanya aku di rumah ini. "udah kerasan ya di sana?"
Aku menggeleng. Gila aja. Seenak-enaknya pesantren, masih enak rumah sendiri-lah.
"Kangen Harris?"
Wajahku tegak, dengan malu-malu aku mengangguk dan saat Ni'am mendekat, tangisanku makin nyaring.
"Takut Harris kenapa-napa," aduku, cengeng sekali kedengarannya, "dia tertembak karena melindungiku."
Aku merasa nyaman ketika tangan kakakku mengusap ubun-ubun, hal yang sama-yang sering dilakukan Papa padaku.
"Masih ada doa untuknya," Ni'am sok dewasa.
"Tapi, Bang... Aku mau merawatnya."
Ni'am menggeleng, "itu nggak mungkin, Papa nggak akan setuju, begitu juga Ayah Harris, kalian nggak punya hubungan apa-apa, jadi tidak akan diijinkan berduaan."
Benar. Tanganku terulur, tapi tissue sudah habis. "Kenapa sih nggak boleh berduaan? Padahal niat Nawa baik, nggak mungkin juga kami pegangan tangan atau yang melanggar syariat."
"Kadang, mata lebih berbahaya dari tangan." Ni'am duduk, sebagai Kakak dia sangat mahir dalam hal menenangkan aku, "karenanya, jangan menganggap remeh berduaan, meski awalnya diniati kebaikan, setan bisa masuk dari sisi manapun, tanpa bisa dicegah."
"Abang kayak ustadz."
"Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka." Ni'am mengutip salah satu ayat Qur'an, "karena kita adalah keluarga, jadi aku akan melakukan yang terbaik untukmu."
"Nawa malu ama Harris, Bang." Aku malah curhat, berharap Ni'am mengerti.
Cowok berambut spike itu diam, membiarkan aku melanjutkan kalimat.
"Nawa malu karena pernah mengatai Harris sebagai cowok yang berhati sempit dan picik." Sekarang kepalaku tertunduk, tidak berani menatap Ni'am. aku tahu bahwa aku salah, jadi aku takut saat melihat mata cokelatnya, aku melihat sorot matanya yang kecewa. "Bahkan, meski Nawa sudah mengoloknya, Harris malah melindungi Nawa dan menjadikan dirinya sebagai tameng. Nawa sudah jahat ama Harris. Sementara Harris rela mati buat Nawa. Betapa baik dan bodohnya dia."
Ni'am menepuk bahuku sebanyak tiga kali.
"Bahkan saat keadaannya belum membaik, Nawa pergi, tidak mengatakan terima kasih atau berpamitan."
"Harris pasti mengerti." Sela Ni'am, "pikirkan dirimu, bagaimana cara untuk berhenti menangis."
Ni'am benar. Jika aku terus menangis, tidak akan membantu sama sekali. Keputusan Papa untuk memindahkan aku lagi juga benar. Dia tidak mungkin membiarkan bahaya mengincarku.
***
Hampir setiap malam, aku punya kebiasaan baru. Lama-lama, ini membuatku ketagihan. Kadang, aku merasa lucu dan cupu, seorang Nawaila diam-diam menstalkeri akun media sosial Nizam Harris. Anehnya, dari semua akunnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Harris tidak memposting apapun. Satu pun. Terakhir dia mengupdate status itu sebulan lalu. Kayaknya Harris nggak pantes disebut sebagai manusia modern, dia seperti hidup di jaman megalithikum, tanpa ponsel sebagai alat komunikasi.
"Plis, apdet status, ngetweet atau apapun... ini udah seminggu aku nggak liat kamu. Pliiiis." Aku meremas-remas tangan. Lalu doaku terkabul ketika membuka beranda Instagram. Harris memposting jemari tangan, diberi filter berupa garis melengkung dan ada keterangan yang membuatku menelan ludah.
"Yang kuingat, tangan ini pernah menyentuhmu."
Di balik rasa tidak nyaman, aku tersenyum. Siapapun yang disentuh Harris, setidaknya cowok itu baik-baik saja. Aku mengunduh fotonya, me-zoom dan meneliti tiap buku-buku jarinya, pori-pori kulit hingga kuku yang berwarna agak merah muda. Dia sudah sehat..., tidak terasa airmataku menetes.
Harris, apa kamu bisa mendengarku? Selalu baik-baik di sana, ya. Kamu boleh melindungi siapapun, tapi jangan pernah gunakan nyawamu. Berhitunglah sebelum mempertaruhkan hidup, sebab nyawamu juga sama berharganya dengan milik orang lain-sekalipun itu aku.
"Belum tidur, kan?" Papa muncul dan ia memberiku senyum sebelum melangkah mendekat.
"Ada apa, Pa?" aku berharap mata sembabku luput dari penglihatan Papa. Aku nggak akan bisa jawab kalau dia tahu bahwa aku baru saja menangis. Dan itu karena Harris. Konyol.
Papa duduk dengan wajah yang terlihat lelah. Tangan kananku terulur, menyentuh keningnya, "ini... nggak boleh berkerut."
Ia tersenyum lebar, beberapa keriput ada di sekitar mata, "untukmu, tak masalah." Jawaban yang aneh. Jujur, aku tidak mau melihat ia yang terbebani oleh masalah, terutama kalau masalah itu disebabkan aku. "Bagaimana home schoolingmu?"
"Nggak asik, Pa. Nggak punya kawan, ngerjain tugas, denger penjelasan materi, baca, aah... nggak enak pokoknya." Aku tidur dengan menjadikan paha Papa sebagai bantal, "apa masih belum ketemu pelakunya, Pa?"
Rahang Papa mengeras, hanya beberapa detik, sebab saat ia mengelus kepalaku, senyumnya terasa amat lembut dan menenangkan, "nanti, jika sudah tiba waktunya, kamu harus percaya bahwa Papa dan Mama sangat menyayangimu."
Ada ribuan tanda tanya memenuhi kepalaku. Aku sampai mengerutkan kening, menatap Papa dengan intens. "Maksud Papa?" aku duduk, rasa penasaran sudah mencapai ubun-ubun, berharap Papa menjelaskan dengan detail maksudnya.
Papa tidak berucap lagi, malah mencium keningku, "jangan tidur larut, ya." Kemudian Papa keluar dari kamar, meninggalkan aku yang tiba-tiba kelu. Sebelumnya, Papa tidak pernah seperti ini. Apa rahasia dari ini semua, Ya Allah?
***
Kabut itu gelap, lalu dari arah utara ada sebersit cahaya keemasan yang menerangi. Aku menghampiri asal cahaya itu dan menemukan Harris di sana. Ketika mengetahui kehadiranku, ia menatap sekilas kemudian memalingkan muka. Ada sorot terluka di sana-di mata hujannya.
"Lama tidak bertemu," ia tidak menatapku, seolah sedang berbicara dengan angin, "bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang kamu lihat."
"Ada banyak yang kulihat, mana yang kamu maksud?" ia sekarang berdiri, mengusap pipi dan menciumnya dengan hangat.
"Jangan menciumku seenaknya."
"Kamu tidak pernah menolaknya."
Aku merasa harga diriku sudah tenggelam di danau.
"Kenapa dengan matamu? Apa yang kamu sembunyikan dariku?" ia membuat kakiku berubah jadi lumer seperti es yang dijemur di siang bolong. Pandangannya membuatku berdebar dan meleleh. Percis orang bego. "Nawaila, aku bertanya."
"Dan aku nggak mau jawab."
"Setelah tidak berpamitan saat pergi, kamu juga menutup segala hal dariku." Tegasnya, mengancam dengan aura yang membuat dadaku bergetar penuh rindu.
Gelenganku lemah, "bukankah itu yang kamu inginkan? Kamu ingin aku pergi karena tidak bisa melihatku lagi."
Harris mundur, dia menelan ludah dan mengangguk kaku.
"Kenapa kamu tidak mau melihatku?"
Ia diam.
"Aku tahu, hubungan kita emang sudah berakhir. Tapi, aku butuh alasan."
"Sebab, kamu adalah kesalahan." Ada sesuatu yang tajam melukai hatiku, "seperti matahari yang ingin berdua dengan bulan, tapi pagi memisahkan mereka. kamu tahu apa yang tidak bisa dilakukan oleh pagi? Membunuh malam. Dan kamu adalah Sang Malam itu."
Ludahku raib. Berulang kali aku menenangkan diri dengan menelan saliva, tapi tidak bisa, kerongkonganku kering. Harris sudah menyulap diriku seperti tersesat dalam gurun yang gersang. Bak musafir yang kehabisan air dan tak ada oase di sana.
"Jangan bermain teka-teki denganku, Harris. Kumohon."
"Nawaila, pernahkah kamu berpikir sulitnya menjadi aku?" Harris membalik tubuh, dari gelagatnya, ia seperti mau pergi. Aku tidak akan membiarkannya meninggalkan aku. Kusambar jemari kanan Harris, hanya telunjuknya yang bisa kupegang.
"Aku sayang sama kamu," dan aku sudah berubah jadi gadis cengeng yang menyedihkan, "sayang banget...." Kugenggam erat telunjuk itu, berdoa semoga Harris memahami perasaanku. Dari ucapan Harris tadi, aku merasa ada jurang yang tinggi-memisahkan aku dengannya.
Harris hanya berhenti sejenak, ia tetap pergi-meninggalkanku sendirian. Tubuhku luruh, menangisinya dengan sia-sia.
"Mai..., bangun, Maida...."
Bangun dari mana? Harris baru saja meninggalkan aku!
"Mai, bangun, Sayang. Bangun, jangan menangis."
Bangun? Menangis? Dan aku menjumpai diriku sedang rebahan di ranjang, menangis sesenggukan sementara Mama menepuk-nepuk pipi dengan lemah lembut.
"Ssshh, hanya mimpi, Sayang.... Jangan menangis." Ia memelukku, mengusap bahu untuk menenangkan aku yang hilang kendali.
Hanya mimpi..., tapi aku merasa mimpi ini sangat nyata. Aku menengok sekitar, tidak ada tanda-tanda Harris di sini. Tapi, kenapa semua terlihat kongkrit?
Kepalaku berdenyut-denyut memikirkan cowok yang sudah mempermainkan perasaanku, terutama tentang jati dirinya. Siapa Harris? Siapa dia?
SIAPA HARRIS?! Dan... siapa aku? Kenapa Harris menyebutku sebagai kesalahan? Rasanya, aku ingin merobek langit agar bisa tahu rahasia yang disembunyikan di sana.
***
Setelah mimpi bertemu Harris, aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Akhirnya, aku memutuskan untuk shalat malam dilanjutkan membaca Al-Qur'an. Yang menyebalkan rasa kantuk menyerangku ketika menjelang shubuh. Dan baru saja aku memejamkan mata, Ni'am mengetuk pintu kamar berulang-ulang. Berisik, aku menaikkan selimut, kugunakan bantal menyumpal telinga agar tidak diganggu suaranya.
"Nawa, bangun! Abang mau ajak kamu ke sebuah tempat. Bangun, shubuhan dulu baru kita berangkat."
Ewh, Ni'am mengajakku keluar? Woho, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Tubuhku melompat dari ranjang, membuka pintu dan melihat Ni'am sedang menaikkan alis diserta kening yang berkerut. Sepertinya, dia sedang berpikir apa yang bikin aku cepat-cepat bangun.
"Kemana, Bang?"
"Suatu tempat yang mungkin bisa menginspirasi kamu." Jawabnya, misterius. Kayaknya ajakannya nggak main-main. Aku mengangguk semangat.
"Ayo, ayo, shubuh berjamaah dulu." Aku menarik tangan Ni'am menuju mushala yang ada di belakang, "pokoknya kalau urusan main dan inspirasi, Nawa nggak akan nolak!"
"Berangkat hari ini?" Mama barusan wudhu, wajahnya masih basah oleh air-nampak lembut dan bercahaya. "Apa nggak repot ngajak Maida, Ni'am?"
Repot? Aku kan bukan anak kecil lagi. Ni'am pasti terbantu dengan kehadiranku.
"Mai, kamu yakin ikut Abang? Dia itu mau melakukan pendampingan dengan masyarakat di pinggir kota, di tempat kumuh, Mama yang memintanya untuk proyek di kementrian lingkungan." Mama berusaha mempengaruhi agar aku membatalkan niat untuk ikut Ni'am. Dih, nggak semudah itu membuatku mundur.
"Mama, Mai ini udah nggak tahan di rumah terus. Pengin liat dunia luar." Aku harus bisa meyakinkan Mama agar bisa ikut Ni'am, "plis, Ma... Mai nggak akan berulah kok, Mai akan jadi anak yang manis dan bantuin Ni'am kalau kesulitan."
"Ya sudah, jangan sampai malam ya pulangnya." Mama akhirnya setuju dengan mudah, aku langsung mencium pipi Mama dan mengucapkan terima kasih.
"Mai, kamu masih bau iler!" Mama menggoda dan menahan tubuhku agar tidak memeluknya.
"Iler, ya, Ma? Aaah, iler ya?" aku malah bergelayut di lengan Mama, memeluk ia walau ditolak. "Ini iler tanda sayang...." Mama terkekeh mendengar alibiku yang melatur, Ni'am berdecak.
"Jangan kayak anak kecil, jijik liatnya." Ni'am mengejek, aku hanya mendesis, "dibilangin juga. Malu tuh ama umur."
"Ye, biarin, orang ama Mama sendiri. Abang apaan, sih? Bilang aja iri." Aku mengajak Mama segera ke mushala dan mengabaikan Ni'am yang memasang ekspresi muak.
***
Hidungku sudah mati rasa, bau menyengat sampah sudah tidak bisa kubaui dengan sempurna. Perkampungan ini bukan hanya terletak di luar kota Jakarta, juga sebuah kampung yang perlu mendapat penanganan serius, terutama kebersihan lingkungan. Sejak tadi, selain sampah, yang kulihat di sini adalah penghuninya yang berpakaian compang-camping dan kotor. Beberapa balita tampak tidak terawat dan mengidap pilek. Ketika aku, Ni'am dan Lathifa-kawan Ni'am-tiba, kedatangan kami disambut dengan anak-anak kecil yang menyoraki dan terlihat antusias. aku berjongkok di depan mereka.
"Halo, Adik-Adik!" Kulempar senyum ke mereka, keramahanku dibalas dengan binar ceria di mata mereka yang nggak bisa ditutupi kumalnya pakaian yang mereka pakai. "Bagaimana kabar kalian?"
Tidak ada yang menyahut, lima anak dorong-dorongan dan menatap malu-malu. Aku menoleh ke Ni'am, mengangkat sebelah alis.
Paham keadaan, Ni'am malah mengajak bernyanyi lagu anak-anak. Awalnya hanya dua anak yang mengikuti tapi lama-kelamaan semua ikut bernyanyi. Dih, Ni'am kayak mahasiswa yang dibesarkan di jurusan psikologi.
"Nah, adik-adik, yuk... ikut masuk, kita akan belajar tentang cara mengolah limbah." Kali ini Lathifa yang memonopoli percakapan. Anak-anak yang semula melingkari kami segera berhamburan memasuki balai kampung.
"Mereka lucu, ya. Nggak peduli sesusah apapun hidup mereka, ada semangat yang nggak bisa dibunuh dari matanya." Kataku, tersenyum tulus.
"Seenggaknya, kita memiliki tanggungjawab, memberikan pendampingan kepada mereka. Ketika banyak borjuis nggak peduli pada nasib kaum proletar, mahasiswa memegang peranan penting. Mahasiswa bisa menjadi bagian dari Negara untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Bukan uang sih yang bisa kita berikan, tapi aku yakin, skill yang mereka perlukan untuk bertahan di dunia yang keras ini. Bayangkan, kampung ini setiap harinya kedatangan 10 ton sampah perhari, sebagian organik dan sebagian lagi anorganik. Jika sampah organiknya 4 ton aja kemudian diolah mereka menjadi pupuk, sudah berapa pendapatan mereka perhari. Ini dengan mengabaikan permintaan pasar, tentunya." Lathifa berjalan bersamaku. Ni'am banyak diam. Dia sibuk melihat-lihat sekitar dan melirik Lathifa dengan sudut mata.
"Dalam dunia yang realistis ini, hasil selalu jadi acuan untuk berhitung, ya?" senyumku hambar, aku mulai takut dengan cara pikir Lathifa yang menumpukan semuanya pada materi. "Ketika anak jalanan dicekoki oleh capaian-capaian materi, mereka akan tumbuh sebagai proletar matrealistis. Kalau tujuan mereka sekedar uang, mereka tidak akan bisa mempertahankan apa yang mereka miliki."
"Maksudmu?" Lathifa berhenti.
"Banyak anak jalanan memilih menjadi pencopet, jambret, maling dan lain-lain sebab kecewa ketika usaha yang mereka kerjakan tidak semenghasilkan yang mereka bayangkan. Mereka akan menjadi sampah yang tumbuh di tempat sampah." Sahutku pedas. Aku sangat yakin Lathifa paham dengan apa yang kupikirkan. "Seharusnya, bukan pendapatan yang kita kejar, tapi mengubah pola pikir mereka yang menuhankan materi. Sampai saat ini, aku sangat yakin bahwa ada di antara mereka yang pesimis dan tidak percaya lagi pada siapapun, hanya karena hidup mereka yang gagal, sebab buat mereka hidup gagal itu karena tidak memiliki materi. Seharusnya, ketimbang uang ada hal yang lebih penting."
"Dan aku menyebutnya hati." Ni'am melanjutkan kalimat, "untuk kali ini, aku setuju dengan adikku. Target kita seharusnya adalah perubahan mindset, bukan uang agar hidup mereka berubah. Uang tidak bisa bertahan lama, tapi ketika kita mampu mengubah pola pikir mereka, aku yakin sesulit apapun ekonomi mereka, anak jalanan lebih terhormat ketimbang tikus berdasi. Yang sehari-hari ungkang-ungkang kaki di senanyan, berteriak atas nama rakyat tapi diam-diam maling duit rakyat."
Ah, rupanya aku tidak salah punya kakak macam dia. Ugh, nggak salah juga kalau dia bilang ingin jadi ketua BEM. Meski usia Ni'am hanya berjarak 4 tahun dariku, kedewasaannya sudah bisa kulihat dengan jelas. Dia bukan hanya saudara laki-lakiku dari segi biologis, juga dari segi pemikiran.
***
Selama Ni'am memberi penyuluhan kepada warga yang terdiri dari anak-anak muda yang putus sekolah, aku ijin sebentar untuk melihat-lihat kondisi penghuni pemukiman ini. Ada beberapa ibu-ibu muda yang asyik bergosip, anak-anak kecil yang belum bisa membuang ingus berkejar-kejaran dan beberapa orang tua renta sibuk memilah-milah sampah untuk dimasukkan dalam keranjangnya.
Aku terus melangkah hingga berhenti karena melihat dua orang sedang berbicara. Fisik mereka tidak asing, keningku berkerut.
"Aku harus bilang ke Papa untuk nggak main membunuh sembarangan." Cowok yang memakai kaos abu-abu itu menyerahkan setumpuk kertas, "ini data kuserahin ke kamu. Olah aja. Proyek di kementrian yang bakal menyeret mereka."
"Aku baik-baik saja, tapi jujur... aku lebih setuju untuk tidak melibatkan nyawanya dalam hal ini." Itu? Suara Harris.
"Kupikir begitu. Kamu benar-benar udah stuck di cewek itu, ya?"
Harris membalik tubuh, aku segera beringsut dan menyembunyikan diri di dinding reyot yang ada di dekatku. jantungku berdetak keras, takut ketahuan lagi. Dulu aku nggak sengaja pernah nguping obrolan Harris dan Yoga, dan berakhir memalukan karena aku ketahuan. Kali ini, aku tidak mau mengulang lagi aib itu.
"Kamu. Apa yang kamu lakukan di sini?" tahu-tahu Harris sudah berdiri di depanku. Ludah yang kutelan tersangkut di laring. "Kamu belum bisu, kan?"
Mengendalikan diri agar nggak kelihatan konyol, aku mengepalkan tangan. "Gimana keadaan kamu? Lukamu-"
"Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja." Jawab Harris datar. Aku tidak melihat ekspresi apapun di wajahnya.
Baru sekali ini aku kehabisan kosakata untuk bicara. Harris juga terlihat tegang. Otot-otot rahangnya kaku, entah apa yang ia pikirkan. "Tolong segera pergi dari sini." Pintanya dengan penuh permohonan.
Yah, aku masih ingin melihatnya.
"Pergi dari sini. Segera." Ulang Harris, tidak peduli pada hatiku yang menolak permintaannya itu. Seharusnya, aku mengikuti kalimatnya, tapi dua kakiku tidak bisa kuajak pergi. Aku terus menatap Harris dan berharap ada hal masuk akal lain yang ia katakana, bukan mengusirku. Sedetik kemudian, dua tangan Harris terkepal seiring dengan tubuhnya yang semakin tak berjarak dariku. Refleks, aku mundur, tubuhku membentur dinding yang terbuat dari papan. Tidak peduli pada kondisiku yang terjepit, Harris terus mendekat hingga jarak kami tinggal tiga langkah.
"Kamu mau apa?"
"Menurutmu?" Napasnya berat, ia berulang kali menelan ludah lalu memejamkan mata. Harris menunduk, menyejajarkan wajah. Seluruh kemampuan logiku sudah hilang ditelan mata hujannya. "sesulit apapun keadaanmu nanti, jangan pernah menemuiku lagi."
"Nawaila!" untungnya ada seseorang yang memanggil namaku, membuat kesadaran yang mati perlahan-lahan bangkit, "kamu dengan siapa?" lanjut Lathifa. Harris sudah menegakkan tubuh.
"Ni'am menunggumu di mobil, kita harus segera pulang sebelum Ashar!"
Aku melambaikan tangan, "sebentar!" fokusku sudah kembali pada Harris, "aku mungkin belum paham apa yang kamu katakan, tapi aku senang melihatmu sudah pulih lagi. Selagi bisa, jaga kesehatan dan jangan konyol seperti sebelumnya. Assalamu'alaikum, Gus."
***
Sambil menunggu makanan datang, aku mulai menginterogasi Ni'am tentang Lathifa. Nggak biasanya Ni'am jadi humble dengan cewek. Dulu saat aku mengerjakan program majalah dinding dengan A Ling, Ni'am bicara belibet nggak jelas. Eh, sekarang... dia lancar bicara ama Lathifa.
Siapa sih Lathifa? Hanya itu yang memenuhi benakku selama perjalanan-sampai di depan rumah Lathifa. Ni'am sok gentle dengan mengantar gadis itu di depan ayah Lathifa. Jangan-jangan, Ni'am mengajakku hari ini karena dia nggak mau berduaan dengan Lathifa.
"Bang, jujur, gih, siapa Lathifa?"
Ni'am menatapku, sebelah alisnya naik, "kawan organisasiku."
Tahu bahwa jawaban dia hanya upaya pengalihan, aku memutar bola mata, "Abang tahu bukan itu maksud Nawa. Awas aja kalau Abang pacaran!"
Ni'am tertawa sampai memegangi perut, "nggak usah aneh-aneh, deh. Siapa yang pacaran? Bukannya yang pacaran kamu ama Harris?"
Hatiku merespons dengan segera. "Ah, kan... jadi kangen ama Harris!"
Ni'am melempar tissue ke kepala, "tuh otak emang kayaknya udah kena virus. Nikah sono, Nawa!"
"Ntar kalau Nawa nikah, Abang bakal lama nikahnya, hahaa." Lanjutku dan terus cekikikan karena Ni'am mendesis kesal. "Ayolah, siapa Lathifa?"
Ni'am mengambil napas, "Billahi, temen doang."
"Tapi Abang suka kan ama dia?" aku sampai mencondongkan tubuh untuk mengintimidasi Ni'am. "Buktinya, Abang ngajakin dia. Notabenenya, kalau Cuma kawan organisasi, seharusnya... Abang ajak yang cowok. Haaa, sambil menyelam minum air, ya?"
Ni'am diam, berpikir lama, "apa Abang terlihat seperti itu?"
Aku mengangguk cepat.
"Emang, sih... dia cantik, tapi enggak... Abang sama sekali nggak punya perasaan kayak gitu ke Lathifa. Seneng aja ama dia karena Lathifa enerjik dan bisa diandalkan. Dia anak jurnalistik, kritis kayak kamu."
Aku pura-pura kecewa walau dalam hati aku bahagia setengah mati. Kalau Ni'am belum pacaran, itu artinya aku nggak akan kehilangan kasih sayangnya. Itu juga berarti kasih sayangnya hanya buat aku, nggak terbagi ama pacarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro