Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3 Gagal Move On

Ahad ceria, begitu slogan setiap hari Ahad. Mendengar kata ceria, tengkukku langsung terasa gatal. Pagi ini aku ogah-ogahan mandi, bahkan aku membiarkan santri kecoa mendahuluiku di kamar mandi. Dan tahu apa yang dilakukan si Kintan itu? Dia berlama-lama mandi, entah apa yang dilakukan, sepertinya dia berniat membuatku telat.

Jangan bodoh. Aku ini seorang aktivis pentolan sebagai jurnalis. Kalau cuma tidak mandi sehari saja, aku bisa tahan. Jauhkan kata-kata jorok untuk mendefinisikan diriku sebab aku selalu wangi-walau dari parfum. Siapa peduli? Sabun berbau harum karena mengandung parfum.

Begitu Kintan keluar, aku segera memberinya tatapan keji. Kintan hanya bersiul sambil memamerkan senyum penuh kemenangan.

"Maaf ya, aku mandinya lama." Ia memasang wajah tanpa dosa, "kalau di eskul Pramuka telat, hati-hati, ya."

Dia mengancamku telat?

"Oh.... Aku takut sekali." Ejekku sambil tertawa menghinanya. Jangankan telat, bolos saja sering kulakoni. Keluar masuk ruang guru Bimbingan dan Konseling bukanlah hal baru, jadi jangan melebih-lebihkan, deh. Ibaratnya, aku sudah terbiasa menghadapi amukan singa, jangan menakutiku dengan amukan ayam. Ini nggak korelasi.

***

Aku membuktikan pada Kintan bahwa kali ini aku tidak terlambat. bukan apa-apa, aku mempraktekkan jurus mandi dalam waktu 3 menit. Kintan terperangah melihatku keluar kamar mandi dalam waktu kurang dari 5 menit. Ia masih memakai jilbab dan karena takjub padaku, tangannya tertusuk jarum. Aku menyeringai padanya.

"Lo nggak mandi?" tanyanya dengan suara melengking. Aku nggak sudi menyahut, jadi segera saja kusisir rambut, mengikatnya lalu memakai jilbab dan bersiap-siap berangkat.

"Jorok!" Kintan murka, aku nggak tahu apa maksudnya, hanya saja dia terlihat seperti harimau betina liar yang marah. Ini aneh. Kalaupun aku nggak mandi, itu kan urusanku, kenapa dia repot-repot mencampuri urusanku?

"Gue nggak nyangka kenapa Gus Harris ngasih perhatian ke elo." Dia menggeleng tidak percaya.

"Oh ya, gue juga nggak nyangka kalau kalian menjadikan gue sebagai taruhan." Balasku santai. Aku sudah memakai jilbab dan mengambil tas yang kuisi dengan perlengkapan eskul Pramuka.

"Itu karena Harris selalu nyeritain elo. Jadi gue nantang dia buat nembak elo dan mutusin elo." Kintan masih menatap tidak suka. Aku segera mendekat dan menatapnya tanpa kedip. Anggap saja, ini adalah cara mengancam yang paling tokcer.

"Gue tanya ke elo, emang gue pernah bikin masalah ama kalian? Lo nyuruh seseorang nembak gue trus mutusin gue, emang perasaan gue ini mainan yang dijual di jalanan?" Berhasil. Kintan diam. "Dan seandainya lo dijadiin taruhan oleh orang yang elo sayang, gimana perasaan elo?" aku meringis, membicarakan ini membuatku ingin menghancurkan sesuatu, "apa rasanya jika orang yang elo percaya mengkhianati elo sejak awal?"

Tak ada jawaban, aku memutuskan untuk pergi. Kalau aku masih di dalam ruangan ini, aku bisa memastikan diriku akan meledak-ledak tidak terkendali.

***

Aku masih cengo ketika Harris stand up comedy di depan penegak Pramuka madrasah ini. Masih tidak percaya jika cowok itu punya bakat lain. Aku bahkan sempat tergelak mendengar banyolannya. Benar-benar sulit dipercaya, cowok se-salju dia bisa menampilkan materi komedi yang renyah.

Ah... Harris itu nggak dingin, atau gini, dia dingin hanya kepadaku. Sepertinya, aku adalah pengecualian darinya. Aku juga nggak tahu apa aku pernah bikin salah padanya. Omong-omong, aku lupa belum memakan buah pemberiannya.

"Baiklah, sekarang adalah giliran Nawaila untuk memperkenalkan diri di depan seluruh anggota ambalan."

Tulangku sudah tersulap jadi beton. Aku menatap Pembina Pramuka dengan tidak begitu yakin. Bukan masalah perkenalannya, tapi tentang apa yang harus kutunjukkan pada mereka.

Kemampuanku membolos? Ini bukan ide yang bagus.

"Nawaila, silakan." Ulang sang Pembina, tak ubahnya perintah untuk terjun bebas di sebuah jurang.

"Nggak nyangka ya kalau kamu itu pengecut." Seseorang berbisik, tanpa perlu menoleh aku sudah tahu siapa orang yang ditakdirkan untuk menjahatiku, Kintan.

Tapi, apa kata dia? Pengecut? Aku tidak serendah itu. Egoku sebagai anak muda terusik, aku harus membuktikan pada Kintan siapa yang ia sebut pengecut. Aku maju ke tengah lingkaran. Melirik Harris yang masih berdiri di sana. Mata Harris terlihat menantangku.

"Hai, salam Pramuka! Nawaila Maida Parawansa, 16 tahun 7 bulan 23 hari. Saya suka menulis, membaca dan mengkhayal sebab sebuah pemikiran selalu dimulai oleh mimpi." Aku mulai berbicara melantur. Ini malu-maluin, aku tahu itu. Akan tetapi, lebih baik aku mengulur waktu dengan cara yang seperti ini.

"Apa aja yang udah kamu tulis?" seorang cowok mengangkat tangan. Wajahnya ke-arab-arab-an.

"Apa aja yang bisa kutulis," ini jawaban yang ambigu. Nggak menjawab secara kongkrit, memang. Apa peduliku? Dia paham, silakan. Nggak paham, itu urusannya.

"Contoh yang kamu tulis?" cowok itu terlihat sangat berbakat dalam hal menginterogasi. Aku perlu menyarankan agar dia menjadi seorang polisi atau intelijen, atau detektif swasta. Oh ya, seorang wartawan juga bisa.

"Menulis itu bukan tentang apa aja yang udah ditulis, tapi apa yang dibangkitkan dari sebuah tulisan." Jawabku sekenanya, kalau dalam hal berdebat aku selalu menang, kecuali berdebat dengan Papa. Papa seperti punya sihir yang menempatkan dirinya sebagai sang juara. Aku selalu kalah kalau berbantah-bantahan dengan Papa. "Nggak peduli sedikit yang ngebaca, poin penting dari menulis adalah seberapa banyak orang yang dimotivasi. It's not about how many readers, but it's about my passion, amuse and motivated."

Kok aku jadi sok iyes gini, sih? Berapa hari di pesantren, kenapa kadar kesongonganku ngalah-ngalahin si Kintan? Oke, down to earth. Down to earth.

"Tapi tulisan seseorang itu mencerminkan siapa dirinya. Gimana menurutmu?" Pembina pramuka putri nggak kalah, dia ikut ngasih pertanyaan.

"Seseorang pernah bercerita pada saya," dan asal tahu saja, bahwa orang yang kumaksud adalah orang yang berdiri di sebelahku, cowok yang tidak melihatku saat berbicara. Nizam Harris, "Imam Nawawi saat menulis syarh shahih muslim tidak punya kitab shahih muslim. Beliau hanya berbekal pada kemampuannya menghapal. Ada sekitar 7000-an hadits yang beliau hapal, terdiri dari hadist yang sanadnya tersambung langsung dari Imam Muslim ke Rasulullah dan ada sanad tambahan yang mata rantai haditsnya dari Imam Muslim ke Rasulullah sekitar 9-13 tingkat perawi. Walaupun begitu Imam Nawawi membuat penjabaran dalam syarh shahih muslim dilengkapi dengan perbandingan dari kitab lain, penjelasan kata maupun maksud dengan atsar sahabat, tabiin dan ulama, munasabatnya dengan ayat dan tafsir, istinbath hukum yang diturunkan dan banyak hal lainnya. Namun penulis jaman sekarang suka menepuk dada dengan 'best seller', padahal tulisannya hanya pantas dijadikan ganjal meja Imam Nawawi. Mungkin, itu juga tulisan saya." Aku melirik Harris dengan sudut mata. Cowok itu diam, masih cuek dan sepertinya ia tidak tersentuh pada ingatanku yang bisa menceritakan kembali ceritanya. "Ini memang lucu. Kita-manusia awam-emang nggak pantes dibandingkan dengan beliau. Kemudian ada Al Bukhari yang menghapal sejuta hadits seumur hidup dan saat menulis dalam sahih bukhari, beliau hanya memilih 6000-an hadits saja. Ada ratusan ribu hadist yang beliau gugurkan. Kalau saya renungi, mungkin semua perkataan dan tulisan saya jauh lebih layak untuk dibuang." Suasana benar-benar hening. Membuatku leluasa untuk menceritakan bagaimana persepsiku terhadap suatu tulisan.

"Nggak usah bicarain syarh shahih muslim atau riyadhush shalihin-nya yang dahsyat. Kita bisa lihat tulisan tipis beliau; Al-Arba'in, kitab yang sangat berkah. Disyarah beratus orang, dihapal beribu orang, dikaji berjuta manusia di seluruh penjuru dunia dan tetap menakjubkan." Aku tersenyum, menyadari sesuatu bahwa sifat mutlak yang harus dimiliki seorang penulis adalah rendah hati.

"Maka saat kita sombong, lirik saja kitab Arba'in, agar kita sadar bahwa kita bukan siapa-siapa, tulisan kita belum apa-apa dan belum kemana-mana. Lalu belajar, berkarya dan bersahaja adalah pilihan wajib bagi setiap penulis."

Aku menoleh tepat saat Harris menoleh padaku. Kalimat terakhir itu kami ucapkan bersamaan. Dua mata Harris bercahaya, aku tidak tahu kenapa. Hanya saja, rasanya sangat menyenangkan melihatnya. Lalu aku sadar dari sesuatu, meskipun Harris sudah jahat, ia tetap orang yang pernah memotivasiku. Bukankah di dunia ini nggak ada satupun orang yang sempurna. Kehidupan tak ubahnya warna gelap dan terang. Begitu juga pilihan-pilihan di dalamnya.

Aku... sepertinya gagal move on.

***

Sejak istirahat aku bergabung dengan trio emejing-ini sebutan untuk Rini, Karima dan Haya. Aku hanya berdiri kaku ketika anak yang menjadi kelompok kerja (pokja) UKS di Pramuka menuntun Kintan. Sepertinya ratu drama itu sakit. Mengabaikan Kintan dan pura-pura tidak melihat mereka, aku berteduh di bawah pohon akasia dan menikmati angin yang membawa kesejukan bersama panas matahari yang memanggang bersama Trio Emejing.

"Tadi Ning Kintan ngapain pulang?"

Sebal, kenapa obrolan kami dimulai dengan membicarakan Kintan? Ada nggak topik lain yang menyenangkan?

"Katanya sih sakit, demam." Rini menyahut pertanyaan Karima.

"Ngobrolin hal lain aja ngapa?" usulku sambil menyelonjorkan kaki dengan malas. Mengeluarkan es krim dari kantong kemudian membagikannya ke tiga temanku.

"Semalem ada yang aneh." Haya mulai bercerita, "ada yang mengendap-endap dalam kamar. Karena ketakutan, aku pura-pura tidur."

"Iya, aku juga tahu itu. Akuu terbangun saat cahaya berkilat mengenai wajahku." Rini ikut-ikutan.

"Siapa emang?" aku menjilati es krim magnum, menikmati setiap cokelat yang lumer dimulutku berikut juga eskrimya yang lembut, "mungkin seksi keamanan pesantren?"

"Jam berapa itu?" Karima ikut bertanya. Aku meliriknya dengan heran. Dua orang temannya terbangun dan dia malah ngebo. Ckck, tak patut ditiru cara tidurnya.

"Nggak mungkin seksi keamanan. Ngapain coba? Lagian, aku udah tanya ke Teh Hana. Dia bilang semalem nggak ada penggeledahan kok." Rini bicara padahal mulutnya masih penuh dengan kunyahan snack, "sekitar jam 1."

"Mungkin, dia stalker salah satu dari kalian bertiga?" aku mencoba mengembangkan dugaan. Ketiga orang itu bergidik jijik.

"Kami bukan artis, tau. Nge-stalkeri kami nggak ada guna." Haya cemberut.

"Kali aja, siapa yang tahu?" jelasku, "orang yang lagi jatuh cinta kan suka ngelakuin hal gila." Alibi ini terdengar masuk akal. Setidaknya, sekarang mereka manggut-manggut.

"Apa itu juga yang kamu lakukan pas jatuh cinta ama Gus Harris?"

Kok Haya malah nanya gitu? Kok dia masih inget keceplosanku tempo lalu? Kan kalau gini rasanya pengin gulung-gulung di rumput.

"Nggak mungkin lah. Gue mah nggak gitu orangnya." Aku membuat negasi dari salah satu jorgan anak muda yang lagi popular.

"Atau yang kayak gitu Gus Harris?" Karima menyipitkan mata, sok tahu. "Gus Harris mah gitu orangnya."

"Stop! Aku tuh nggak bisa diginiin." kataku dan mendapat hadiah berupa dengusan. "Abis, kalian ini makin ngaco. Di mana-mana, seorang putra kyai itu dapetnya kan cewek yang alim, pendiem, kalem, ramah dan baik. Mungkin juga pinter masak. Sementara gue apa? Okelah, aku udah belajar arbain, tafsir jalalain, riyadhus shalihin, shahih bukhari, bulughul maram.... Tapi, kelakuan guejauh dari seorang calon menantu kyai."

"Kalo gitu, ngapa kamu nggak ubah kelakuanmu? Denger-denger gossip, sih, Kintan mau dijodohin ama Gus Harris, makanya kemana pun perginya Gus Harris, Kintan selalu ikut."

Kok nyesek, ya?

"Kalian itu emang jago kalo udah bergosip." Gerutuku, pura-pura tertawa agar mereka tidak curiga bahwa sekarang dadaku tertimpa batu abstrak

"Tapi, jangan mimpi deh," Rini bicara, "kita boleh kagum ama Gus Harris, udah cakep nggak ketulungan, berbakat, alim dan dia punya daya tarik tersendiri. Eh, putra kyai lagi. Aduuuh, gemes jadinya." Rini sok mejemin mata dan tersenyum lebar. "Tapi jangan sampai kekaguman itu bikin kita nggak sadar diri. Gus Harris ibarat mutiara yang ada di lautan dalam dan susah dicapai, sementara kita adalah pasir yang ada di mana-mana."

Berlebihan sih perumpamaan Rini, tapi ada benarnya.

"Udah, deh, daripada bicarain Gus Harris yang nggak ada pangkal dan ujungnya, mending belajar. Kalian dititipin di pesantren tuh buat belajar, bukan jadi tukang gossip." Aku menutup obrolan dengan mereka. Ketiganya hanya cekikikan nggak jelas.

"Nawaila," seseorang memanggilku, Harris. Ia mengulurkan ponselnya. "Ini dari kakak kamu."

Aku hanya melihat gadget Harris dengan ragu. "Nggak. Aku nggak mau ngomong ama dia." Setelah itu aku kabur dari Harris. Pokoknya, kalau keluargaku nggak menjenguk, aku nggak akan pernah ngomong. Titik.

Omong-omong, gimana caranya Ni'am bisa tahu nomer Harris? Mataku mengerjap bingung. Apa Ni'am dan Harris diam-diam saling komunikasi di belakangku? Sepertinya, dugaan awalku benar. Aku dimasukkan ke pesantren ini dengan sebuah tujuan. Pertama, pesantren ini milik keluarga Haris. Kedua, Harris ikut pindah seminggu setelah aku ada di sini. Ketiga, Ni'am menghubungiku melalui ponsel Harris.

Ya Salaaaam, kok masing-masing kejadian di hidupku punya benang merah jika dirajut dengan lakon hidup Harris. Kayaknya, aku harus menginterogasi Harris perihal kepindahannya. Aku harus tahu apa yang sudah terjadi, dengan begitu aku bisa tahu rencana yang disusun Papa.

Oui, Mandala Parawansa... sebagai putrimu, aku belum menyerah!

***

Menghindar dari Harris, aku menuju salah satu sudut sekolah yang sepi. Dengan berbekal buku tulis, aku bisa menuangkan apa yang kupikir di sana-mumpung masih istirahat. Sekolah ini tidak terlalu buruk, setidaknya ada majalah dinding-yang kurang terurus-dan aku berniat membenahi dan mengaktifkannya.

Kemarin, aku sudah menemui Pembina Ikatan Santri-sejenis OSIS-untuk meminta ijin. Dan aku langsung diperbolehkan tanpa merayu susah payah. Untuk itu, aku perlu gebrakan agar santri di sini mencintai menulis. Sebab ketika seseorang memutuskan untuk menulis, ia akan membaca terlebih dahulu. Ghirah seperti ini akan menyemai sebuah alasan kenapa ayat yang diturunkan pada Nabi Muhammad adalah surat Al-'Alaq. Lebih spesifiknya, pada bagian 'iqra'-bacalah.

Berdasarkan ayat ini, aku selalu berpikir bahwa Islam lahir dalam keselarasan spiritual dan sains.

"Nawai, kenapa lo bilang Islam lahir dalam keselarasan spiritual dan sains?" Harris bertanya dengan logat 'lo' yang kaku saat aku ikut berdebat dengannya dan teman-temannya, tentu saja. Harris tidak pernah mau berdua denganku, kecuali di kafetaria sekolah. Ah, jangan lupakan fakta bahwa kafetaria selalu ramai sehingga di mana pun aku dan Harris berada selalu ada banyak orang.

"Wahyu pertama nabi Muhammad menurut gue adalah misi profetik dari kerasulan Sang Nabi. Suatu misi yang agak membingungkan sebab Nabi Muhammad adalah seorang Ummi-tidak bisa baca tulis. Bahkan merespons Jibril, Nabi Muhammad berkata 'Maa ana bi qari'. Aku nggak bisa baca. Jibril pun mengulang hingga tiga kali dan barulah Nabi SAW bertanya maa aqra'? Membaca apa? Menurut gue, membaca adalah salah satu sifat ilmiah. Sebab dengan ngebaca kita bisa tahu banyak hal. Akan tetapi, kata iqra' berasal dari qara'a, yang artinya menghimpun. Apa sih yang dihimpun?"

Aku diam sejenak, membiarkan kawan-kawan diskusiku berpikir, termasuk Harris.

"Kata menghimpun mengandung arti pembacaan, pendalaman, penelaahan dan penelitian hingga menemukan ciri spesifik dari apa yang dibaca." Harris menyahut dan matanya menatapku tajam, lebih tepatnya mengisyaratkan agar aku menuntaskan penjelasanku.

"Allah nggak membatasi objek yang dibaca, tapi Allah menegaskan 'Iqra bismi rabbikalladzi khalaq-Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Jadi, sikap sains itu harus diberi pondasi dengan keimanan. Untuk itu, kita perlu membaca secara reflektif-kontemplatif." Senyumku lebar ketika lima orang temanku mengangguk paham.

"Gue ngerti ke arah mana pemikiran elo. Menurut elo, wahyu pertama itu punya tiga misi; misi ketuhanan, misi kemanusiaan dan misi peradaban." Yang bicara sekarang Harris, anak itu cerdas juga. Nggak sia-sia aku menerima pernyataan cintanya. Dia cukup membanggakan dan nggak malu-maluin, dari segi fisik maupun otak.

"Bener, ketika misi tersebut sukses, akan ngelahirin generasi yang memiliki kearifan spiritualitas yang tercerahkan." Pungkasku lalu berdiri, ingin meninggalkan tempat diskusi.

"Wa-sjud wa-qtarib." Harris membalasku dengan bahasa Arab, aku yang tidak paham, hanya mengangguk bodoh.

Nah, itu sedikit tentang Harris jika ada orang lain di antara kami. Akan berbeda jika berdua di tempat keramaian, ia hanya mengeluarkan beberapa kosakata, meski aku sudah heboh bercerita plus mendramatisasi ekspresi. Aku saja sampai bertanya-tanya, apa aku sangat menakutkan baginya? Kalau aku menakutkan kenapa dia menyatakan cinta? Kemudian, akhir-akhir ini aku tahu bahwa dia pacaran denganku hanya sebatas taruhan. Pantas saja, sikapnya bertolak belakang. Seperti politikus yang memerlukan pencitraan, begitulah Harris. Ramah di depan publik, tapi salju saat denganku. Sekali lagi aku sadar diri bahwa aku hanya benda taruhan.

"Cantik," seseorang bersiul padaku-memenggal lamunanku tentang Harris, siulan dan caranya memanggil membuat perasaan illfeel-ku menggelegak.

Dengan bosan aku menoleh cowok yang berdiri menyandar di tiang, "bibir kamu kok merah dan ranum banget, boleh dong aku nyicip?"

Setan kesasar di madrasah! Aku segera menghampirinya.

"Barusan apa katamu?" aku mengusap philtrum dan masih memberinya tatapan mengancam.

"Wah, kayaknya emang cipokable, ya. Kamu minta bayaran berapa untuk satu ciuman?" Ia menyeringai mesum saat menatap bibirku. Tanpa pikir panjang, sebuah bogeman mendarat di pipinya. Aku tidak pernah bertemu cowok kayak gini. Jangan salahkan aku yang berubah kasar karena dia sudah merendahkan harga diriku.

"Santai, Sayang...." Ia bergerak dan ingin menyentuh pundakku. Tanganku segera membentuk siku-siku kemudian menyodok rahangnya. Cowok nggak tahu etika itu mundur dan mengelus rahang hingga leher.

"Seharusnya, bibirmu yang menyentuhku." Ia masih santai dan kekesalanku langsung membuncah bak air bah melanda Jakarta saat musim penghujan. Rupanya dia belum kapok sudah mendapat pukulan dan sikutanku. Lihat saja, mulutnya masih berisik seperti comberan terkena hujan setelah lima menit denganku.

"Bibirku yang menyentuhmu? Itu hanya dalam mimpi." Aku membalik tubuh, berusaha menjauhinya. Tidak mungkin aku bikin ulah sedangkan aku masih beberapa hari di sini.

"Sini kuajari." Ia meraih pergelangan tangan dan menghimpitku di dinding. Kakiku langsung memutar dan terangkat ke atas. Titik telak lelaki, salah satunya adalah pusat tubuh. Aku menendang bagian vitalnya tanpa ragu. Ia terhuyung-huyung, dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhku melompat dan mempraktekkan teknik menendang ala Ni'am. Sasaranku tepat; dada cowok kurang ajar itu. Sekarang dia terjengkang kesakitan di lantai.

"Hei, siapa itu yang berantem?" suara di ujung koridor bergema. Aku memejamkan mata, bosan.

I'm in trouble.

***

"Anggota Pramuka di ambalan ini tidak dididik untuk melakukan kekerasan." Si Pembina putra yang menyidang menatapku dengan serius. Jika aku seorang pengecut, bisa kupastikan dua lututku tengah bergetar ketakutan. Tapi, aku tidak semudah itu menunjukkan rasa takut.

"Kamu ingat dasa dharma? Mana bisa dia disebut anggota Pramuka kalau perilakunya jauh dari kode moral Pramuka?" ia melanjutkan ceramahnya yang membosankan.

"Iya, Kak Taufan. Cewek ini benar-benar emosional. Saya menyapanya dan dia balas memukul saya." Cowok yang jadi bulan-bulananku rupanya seperti Kintan. Gilaaa, banyak amat sih aktor di sini!

"Itu karena dia menyapa saya dengan melecehkan saya." Kataku mantap, tidak gentar sedikitpun. Walaupun seisi dunia menghujatku, aku tidak akan pernah takut jika aku dalam kebenaran.

"Meskipun dia melecehkan kamu, ada cara lemah lembut untuk menyelesaikannya." Tegaskan Pembina putri.

Oh, tunggu saja ada cowok yang melecehkan kamu, doaku begitu jahat dalam hati. Aku sebal, lemah lembut untuk orang yang tidak tahu bagaimana cara menyapa. Mimpi.

"Yoga, karena kamu sudah kurang ajar pada wanita, kamu harus meminta maaf dan menyalin lafadz istighfar sebanyak 2000 kali dan kamu... Nawaila, Yoga akan memukulmu seperti kamu sudah memukulinya."

Aku mengerjapkan mata, tapi kupikir ini masuk akal. Jadi aku hanya mengangguk. Yoga yang semula mendesah frustasi langsung tersenyum bahagia.

"Kak, saya mau membalasnya di depan semua orang agar seluruh santri di sini paham bagaimana bersikap di depan saya. Anak bupati."

Sombong sekali. Yang disombongin jabatan bapaknya pula! Inget tuh, jabatan bakal dimintain pertanggungjawaban ama DPRD dan Allah. Heran, orang di jaman modern kayak gini selalu silau dengan materi, mulai jabatan hingga harta.

"Aku setuju tapi, setelah kamu memukulku, kamu juga menjelaskan kalau kamu sudah kurang ajar." Aku bersikap santai dan bersedia untuk kompromi dengannya. "Gimana? Seorang anak bupati kurang ajar, hahaha, nggak malu tuh ayahmu? Didik anak aja nggak bisa, apalagi ngebina masyarakat?" aku mulai cari ulah lagi.

Wajah Yoga memerah dan menatap penuh dendam. Dalam hati aku tertawa-tawa puas, tapi mimik yang kutampilkan sangat meyakinkan. Senyumku anggun ditunjang tatapan mata yang optimis.

"Baik. Tapi, kamu membebaskan bagian mana yang kupukul."

Kurang ajar. Aku mulai memprediksi pikiran mesumnya. Yoga tersenyum miring. Benar-benar ya anak satu ini, aku akan membuatnya menyesal sudah hidup sebagai manusia. Lebih baik dia disihir jadi kecoa. Perilakunya nggak jauh-jauh dari si Kintan.

"Nggak." Sahutku garang. Aku tidak akan memberinya tawar menawar, sori, ini bukan pasar.

Pembina Pramuka kami menengahi kemudian menggiring aku dan Yoga menuju lapangan. Di sana, beberapa temanku masih mengerjakan tugas langsung berhenti dan berkumpul. Kak Ivana menjelaskan bahwa Yoga akan memukulku karena aku sudah memukulinya. Ini sebagai pelajaran yang berharga untuk menyelesaikan masalah dengan cara lemah lembut dan taat aturan.

"Hei, meski aku tidak bebas memukulmu, seenggaknya aku punya rotan ini untuk memukulmu." Yoga memamerkan rotan berdiameter 5 inchi. Napas yang semula memasuki paru-paru dengan tenang mulai megap-megap.

"Kamu tadi sudah menyikutku, menendang dua kali, jadi... 3 kali pukulan akan seimbang."

"Itu nggak ada dalam kesepakatan!" aku berbisik, udara di sekeliling Yoga terasa kering. Kulihat cowok itu meragu sejenak.

"Kamu tadi nggak menyebutkan secara spesifik." Ia membalas dengan yakin. Ia mengangkat rotan ke udara, bersiap menyabetkan benda itu di punggungku.

"Berhenti." Seseorang membuatku membuka mata, Harris mendekat dengan langkah percaya diri dan luwes. Sebuah jenis langkah yang membuat siapapun minder saat berjalan di sampingnya. Melihatnya melangkah di bawah sinar matahari membuatku sulit membedakan antara sinar milik matahari dengan sinar yang berasal dari wajahnya.

"Ini tidak adil untuknya." Kata Harris memecah bisik-bisik santri di sini. Aku yang tidak mau terpesona, pura-pura mengalihkan pandang. "Seorang lelaki tidak akan berbuat kasar pada wanita dan jika ia melakukannya, ia tidak ubahnya seorang pengecut." Diksi yang dipilih Harris sangat keren, akan tetapi aku perlu menambahi begini, 'kamu juga seorang pengecut karena sudah mempermainkan perasaan wanita.

"Kamu tidak berhak ikut campur, aturan tetap aturan. Dia sudah memukuliku seperti samsak." Yoga membela diri. Mungkin, jiwanya yang kerdil itu tersinggung dengan kata pengecut yang dialamatkan Harris untuknya.

"Dia tidak akan memukulimu kalau kamu tidak mencari perkara." Pandangan Harris beralih pada dua Pembina yang berdiri tidak jauh dari Yoga, "kalian ditugaskan membina Pramuka, tapi tidak bisa menunjukkan rasa adil. Yoga memang anak bupati, tapi pesantren ini tidak melihat kedudukan yang dimiliki orang tuanya. Setiap santri di sini berhak mendapat pengajaran secara merata dan adil."

Byuuhhh, sebagai anak kyai, Harris memang Subhanallah sekali. Kalimat yang dia miliki masuk dalam kategori 'jleb'. Kemampuan retorikanya memang tidak meragukan. Kalau dewasa nanti, dia perlu masuk dalam dunia politik dan ditugaskan untuk melakukan konsolidasi nasional.

"Jangan mentang-mentang kamu salah satu putra pemilik pesantren ini, kamu sok mengatur semua organisasi di bawah kendalimu." Yoga menentang. Harris yang tadi bersikap santai langsung menegang karenanya. "Dia sudah memukuliku, aku berhak membalas sebagai hukuman."

"Kalau begitu biar aku yang menggantikannya." Ucap Harris tegas. Aku melongo dengan indah. Seluruh siswa langsung kasak-kusuk menggunjingkan keputusan nekad 'gus' mereka. "Cambuk saja aku dan bebaskan Nawaila."

"Gus Harris," aku yang sekonyong-konyong bangun dari mimpi berucap lemah, sebagian diriku masih nggak percaya, "ngapa lo belain gue?"

Harris menatapku dengan lembut, aku nggak sanggup melihat bola mata beningnya.

"Tolong, jangan korbanin diri elo buat gue. Gue nggak bisa lihat orang lain disiksa karena gue." Aku sungguh-sungguh, aku tidak mau seseorang jadi bermasalah karena diriku.

"Nawai," panggilan Harris begitu magis, aku berhenti menggigiti bibir dan memasang wajah sedih, "tegakkan wajahmu dan jadilah Nawaila yang kukenal. Pukulan rotan nggak berarti apa-apa buatku."

Airmataku menetes, belum pernah ada seorang pun yang membelaku sampai seperti ini. Bahkan keluargaku tidak pernah seperti ini. Papa mengajariku menjadi seorang yang bertanggung-jawab tanpa protes. Tapi, Harris... dia bukan siapa-siapa bagiku, rela melakukan ini untukku. Hari ini aku merasa konyol karena Harris, cowok itu bisa membuatku meneteskan airmata. Bukan karena hukuman sudah memukuli Yoga, tapi karena ketulusan hatinya yang berkilau.

"Dan jangan pernah menangis untuk hal seperti ini. Kamu nggak salah." Harris memasukkan tangannya dalam kantong celana.

Harris percaya padaku. HARRIS PERCAYA PADAKU. Aku tidak akan menangis lagi. Kuusap airmataku dengan serabutan kemudian tersenyum padanya.

"Baiklah... ayo, kita dihukum bersama."

Tepat saat aku mengatupkan bibir, sebuah dentuman dahsyat terdengar. Kepalaku menoleh ke asal suara. Bangunan pesantren putri mengepulkan asap dan bangunan paling atas roboh. Darahku mengalir sangat deras seiring dengan rasa ngeri. Jeritan wanita menggema, membuat otakku kembali.

Bahaya!

Aku sudah tidak peduli pada cambukan rotan milik Yoga atau Harris yang berusaha membuatku terpesona. Mereka bukan apa-apa jika dibandingkan dengan bangunan pesantren yang diledakkan.
Kakiku terayun menapaki tanah menuju lokasi bangunan pesantren putri. Isak tangis makin kencang, membuatku miris. Siapa orang yang tega melakukan ini? Ada banyak santri yang bermukim di sini, kenapa radikal sekali pemikirannya? Meledakkan pesantren yang dijadikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu. Siapa yang tega menyatroni pesantren ini? Kenapa dia melakukan ini? Apa salah santri-santri di sini? Banyak sekali pertanyaan di benakku, sayangnya tidak satupun yang terjawab. Kalau sudah begini, aku harus sampai di sana untuk tahu apa yang sudah terjadi.

***

"Nawaila, kawan-kawan kita!" Rini langsung menghampiriku yang baru datang. Digenggamnya erat-erat tanganku, "mereka masih ada di dalam...."

Bangunan pesantren putri itu memiliki tiga tingkat, tingkat paling atas sudah ambrol sebagian. Sementara masih ada orang di dalam sana. Ya Allah, bagaimana ini? Aku panik dan saat memutuskan untuk menyelamatkan mereka, mataku menangkap gulungan tambang besar teronggok bersama pasir yang ada di dekat pintu gerbang bangunan.

"Toloooong!" ada jeritan di salah satu balkon lantai tiga yang masih utuh. Aku seperti mengenalnya. "Tolong...." Ia menangis dan menghimpitkan tubuh di besi.

Tidak perlu berpikir panjang lagi. Aku menyobek androk cokelat hingga paha agar kain sempit ini nggak menghalangi gerak, beruntung aku memakai legging. Berlari secepat yang kubisa, aku menuju tambang teronggok, memegangnya dan langsung mencari posisi yang tepat untuk melempar tambang ke lantai tiga.

Aku mengulak-alikkan tambang, memutar-mutar di udara kemudian memfokuskan target. Sedikit sentakan di akhir kuberikan pada tambang, membuat benda bulat panjang itu melayang di udara dan mendarat tepat sasaran.

"Tolong, tali tambang itu di pinggiran balkon!" teriakku, "lalu turunlah lewat sana."

Gadis kecil itu malah menggeleng dan menangis makin deras. Kulihat beberapa dewan asatidz sibuk dengan ponselnya, sepertinya mereka semua sibuk menghubungi regu penyelamat. Akan tetapi, dengan kondisi lantai tiga yang rapuh itu, aku tidak mungkin menunggu. Aku menghampiri tambang yang terjuntai di tanah-tambang yang menghubungkan aku dengan lantai tiga bangunan.

"Bismillah...." Doaku menguatkan diri. Aku terbiasa melakukan ini dengan Ni'am saat outbound, merayap di dua utas tali ataupun seutas tali, aku harus mencobanya. Mencoba menyelamatkan gadis yang terjebak di lantai tiga.

Siapapun dia nyawanya sangat berharga.

Aku segera memanjat tali. Beberapa kali tanganku terpeleset karena licin oleh keringat. Fokus, Nawaila, jangan panik, aku menyugesti diri agar tidak menjadi berhati lemah. Dalam waktu tiga menit aku sudah memegang besi balkon lantai tiga, melompatinya lalu gadis kecil itu langsung memelukku.

"Aku takut, Kak...." Ia masih menangis dan suaranya parau.

"Tenang, kamu aman." Kuusap-usap ubun-ubunnya. "naik ke bahu Kakak." Aku segera duduk, gadis kecil itu tidak memprotes, dengan tangan dan kaki yang bergetar ia bertumpu padaku, "peluk kakak kuat-kuat, kita akan turun bersama."

"Ratih takut, Kak."

"Ada Kakak. Kakak akan menjaga kamu. Percaya pada Kakak."

Ia berhenti menangis, kemudian kepalanya mengangguk. Aku segera melompati balkon dan berpegangan pada tambang kemudian meluncur ke bawah dengan selamat.

Ketika kakiku menapak tanah, aku segera berjongkok. Ratih turun dari punggungku kemudian memegang pergelangan tanganku dengan erat. Sekujur tubuhnya bergetar dan matanya sembab menatapku meminta perlindungan.

Aku mengedipkan mata, menepuk puncak kepalanya dengan lembut. Papa selalu melakukan ini padaku saat aku ketakutan, membuatku tetap berdiri tegak dan ketakutanku hilang sedikit demi sedikit, tergantikan rasa nyaman karena tangan Papa di puncak kepala.

"Ratih, kamu baik-baik saja?" Aku berjengit saat Yoga menghampiri gadis kecil yang sekarang memeluk diriku, "Ratih...." Ratih membalik tubuh dan memeluk Yoga dan menangis keras-keras.

"Mas... Ratih takut, Mas.... Masih ada Teteh Kintan di dalam. Dia tadi nyelametin Ratih tapi malah ada kayu dari atap memisahkan kami." Gadis itu menangis lagi. Kali ini lebih menyayat. "Teh Kintan dalam bahaya, Mas. Selametin Teteh, ya...."

Kintan? Di dalam? Aku harus bagaimana?

Tolong dia, Nawaila, sisi hatiku yang bodoh menasehati.

Buat apa menolongnya, dia sudah jahat, Kintan pantas mendapat balasan, kali ini sifat egois yang menyarankan.

Aku mendongak, menghembuskan napas frustasi. Saat kepalaku tegak lurus, aku sudah mengambil keputusan untuk menyelamatkan Kintan.

"Nawai, jangan lagi naik ke sana. Bangunan itu benar-benar mau roboh!" Rini berteriak.

Aku menggeleng. Sempat kulihat Harris yang terpaku, matanya mengamatiku dengan tegang bahkan dua tangannya terkepal kuat. Aku yakin buku-buku jarinya sudah memutih karena terlalu lama mengepal.

Suara reruntuhan bangunan kembali terdengar, kali ini tidak seperti pertama kali, tapi tetap membuat hatiku teriris. Sekarang balkon tempat munculnya Ratih sudah runtuh separuh.

Kintan! Kintan dalam bahaya! Bagaimana ini?

Aku melirik tambang yang masih menjuntai. Balkon itu memang sudah roboh sebagian, tapi kalau hanya menompang tubuh, pasti masih kuat. Aku pasti bisa melakukan ini.

"Jangan kesana." Harris bersuara, "tunggu tim SAR yang sudah dihubungi."

Dan aku mengabaikan Harris. Mulai memanjat tali lagi, menumpukan kaki di kemudian tanganku menumpu dan bergerap walau merayap. Dadaku terasa sesak saat aku mampu menggapai pinggiran balkon dengan susah dan begitu berhasil, aku berhenti sejenak untuk menghimpun kemudian memutar tubuh seperti pemain lompat indah kemudian berayun melewati besi balkon.

Begitu kakiku menapak lantai balkon, aku segera masuk ke dalam bangunan.

"Kintan!"

Beberapa api melalap atap yang terbuat dari kayu. Aku berkelit gesit saat beberapa kayu penyangga jatuh di dekatku.

"Kintan! Kintaaaaan! Uhukkk." aku berlarian menyusuri kamar-kamar di lantai tiga. Mungkin, dia ada di kamar kami. Tadi Kintan memang tidak berangkat Pramuka dengan alasan demam. Ya Allah, tidak terasa airmataku menetes. Kintan masih sakit dan dia dalam bahaya. Aku harus segera menemukan dia.

"Kintaaaaan!"

"Nawaila.... Uhuukkk. Uhukk."

Aku mendengar suara lirih itu, mataku langsung berkeliling. "Kintaaaan, lo di mana?"

"Nawailaaa."

Dapat! Dia terjepit di dekat pintu.

"Lo... baik-baik aja?" aku kesusahan memindahkan kayu yang menimpa kakinya.

"Bodoh," ejeknya, "kaki gue ketimpa dan bangunan ini mau roboh, lo nanya gue baik-baik aja. Uhuukkk."

Aku tidak peduli ejekan Kintan dan langsung membantunya berdiri.

"Aduuuh, kaki gue... aduuhh, sakit banget."

Aku menyentuh pergelangan tangannya dan bisa merasai kulit Kintan yang panas. Kulirik wajah yang pucat namun dibalut dengan ekspresi sok kuat. Aku tersenyum miring, tidak menyangka bahwa Kintan adalah seseorang yang nggak mudah menyerah dan putus asa. Dengan sedikit menekuk kaki, aku berjongkok. "Tumpuin tubuh lo ke gue."

"Gue nggak mau."

"Lo mau mati di sini?" tegasku mulai geram. Ia mengerucutkan bibir dan akhirnya merangkul bahuku. Kami berjalan agak tergesa-gesa karena takut atap roboh. "Lo berani lewat balkon miring ini?" Kami saling bertatapan, Kintan melirik balkon yang sudah hancur di bagian kanan, "jangan bilang lo penakut, Kecoa."

"Gue Kintan, bukan kecoa."

"Oh ya? Gue ragu." Aku langsung mengambil tambang yng kugunakan menyelamatkan Ratih kemudian memilih besi balkon yang masih aman, "ayo, naik ke punggung gue. Waktu kita nggak banyak." Aku menekuk lutut.

"Gue berat."

"Dan apa lo mau mati di sini?"
Kintan mencebik, dia akhirnya menumpukan tubuh pada punggungku. Aku berhati-hati mengajaknya melompati besi balkon, takut kakinya yang sakit tersenggol.

"Sial, lo emang berat, Kecoa." Selorohku, mencoba mencairkan suasana yang tegang. Kintan mengeratkan pegangan saat aku memegang tambang.

"Jaga bicaramu. Jangan bilang sial, saat ini kita udah sial."

"Kita?" dengusku tidak percaya. Aku langsung meluncur ke bawah mirip Tarzan yang bergelantungan di antara akar pohon. Bedanya, gerakan Tarzan terlalu professional dan aku hanyalah seorang amatir.

Tambang ini cukup membantuku mencapai tanah. Kintan turun dari bahuku, rasa berat yang menghimpit langsung minggat, tubuhku ini sekarang terasa ringan. Dan juga lemas. Kintan berpelukan dengan Ratih, melupakan aku yang kecapekan dan berkunang-kunang. Tidak mampu lagi bergerak, akhirnya, aku merebahkan diri di tanah, aku telentang setelah staminaku tersedot habis.

Napasku jadi pendek-pendek dan berdengkusan.

"Maidaaaaa!" suara itu membuatku bersijingkat takut. Aku bahkan langsung duduk dan terbengong-bengong melihat seseorang-eyang mendatangiku. Oke, ini benar-benar bahaya!

"Eyang?" Aku sangat berharap sosok itu hanya delusi dari rasa lelah.

Eyang mempercepat langkahnya, tidak peduli beberapa pengawal yang mengikuti lagkahnya dengan susah. Heran, Eyang sudah berusia 70-an tahun, tapi kenapa bisa berjalan secepat dan selincah itu?

Bodoh, jangan komentari cara berjalan eyangmu, Nawaila. Kamu dalam bahaya. Sekarang. Aku sadar, harapanku sedetik lalu hanya omong kosong. Sosok itu bukan kagebunshin, tapi benar-benar eyang. Dan... lupakan apapun jika sudah bersama Eyang.

Aku tidak akan selamat. Dan saat mencapaiku, eyang langsung menjewer telingaku yang sudah tertutup jilbab.

"Eyang, aduhhh, sakit. Eyangg...." Aku memegangi tangan keriputnya dan meronta-ronta agar dilepaskan.

"Jangan sok jadi jagoan." Eyang sekarang sudah lebih tenang, tapi ia masih menatap mengancam. "Kamu sama pentingnya bahkan lebih penting dari siapapun buat Eyang, jadi jangan berjudi nyawa."

Aku mendengar suara orang terkikik saat aku diomeli kakek-kakek tua-yang kupanggil Eyang. Benar saja, Ni'am sudah berdiri di dekatku. Aku memelototi Ni'am agar berhenti menertawaiku. Benar-benar kakak yang tidak punya toleransi. Adiknya sedang dimarahi, dia malah tertawa bahagia.

***

"Makanya," Ni'am menoyor kepalaku, duduk sok keren di ruang tamu santri pesantren putra, "kalo dihubungi itu angkat. Coba kalau lo tadi mau bicara ama Abang, lo pasti bisa nyelametin tanpa resiko."

Aku yang meminum susu strawberry segera meletakkannya di meja, "maksud lo apa, Bang?" Ni'am memasang tampang menyebalkan, membuat tanganku gatal ingin meninjunya.

"Udah selesai kok, Eyang udah jelasin ke pemilik pesantren. Papa tadi pagi dapet kiriman email di akun email pribadinya dan meminta gue nerjemahin maksud email itu karena Papa sibuk. Dan lo tahu apa yang gue dapet? Pengirim email itu bilang akan mengebom pesantren elo." Ni'am menghembuskan napas panjang, "gue udah nelponin elo, lewat telepon pesantren sampai ngemis-ngemis nomer Harris, tapi apa yang gue dapet? Elo emang kepala batu. Gila."

"Biarin." Aku cemberut. "Lagian ini masih dinamit, bukan bom kali."

Ni'am mendesis kesal, mulutnya komat-kamit sebelum memulai cerita lagi. "Akhirnya, Abang ngajak Eyang ke sini. Selain Papa, Eyang adalah pawangmu. Kalau kamu berulah, tinggal jewer saja. Hahaha." Lalu dia tergelak bahagia.

"Nggak asik. Abang nggak asik. Jangan lagi nelpon Harris, gue males liat muka Harris."

"Yakin?" Ia malah mengedip genit.

"Lo-" aku berhenti meneriakinya karena muncul Yoga. Ada apa lagi cowok mesum itu?

"Nawaila, makasih karena tadi udah nyelametin adikku satu-satunya dan maaf untuk insiden di Pramuka tadi. Aku berhutang penjelasan."

Nggak usah jelasin tentang mulut kurang ajar kamu, balasku dalam hati. Aku hanya mengangguk malas. Begitu Yoga pergi, Ni'am langsung menyenggol lenganku.

"Gebetan baru?"

"Jijik." Kataku sambil lalu, "mending Harris daripada cowok kurang ajar dan sombong itu."

"Jadi, tetep Harris nih yang terbaik?" Ni'am menyangga dagu, sok menilai.

"Apaan sih?" aku mengomeli tingkahnya yang sok hebat, "nggak ada ya CLBK."

"Yeh, jangankan asmara, lagu cinta aja ada yang temanya CLBK."

Ni'am, mending lo balik aja ke Jakarta! Teriakku sewot, hanya berani dalam hati. Aku nggak sudi nyahut, Ni'am pasti punya segundang kosakata untuk menyudutkanku. Jadi, aku memilih untuk cari aman. Diam dan mengalihkan perhatian.

"Eyang lama bener, sih." Aku melongokkan kepala ke pintu.

"Kayaknya Eyang serius deh jadi donatur buat pembangunan pesantren ini. Idih, Eyang sok baik banget."

"Donatur? Ya, nggak papa. Lagian, tempat ini udah jadi tempat tinggal Nawa. Bang, tunggu deh... katanya tadi dapet email dari pelaku bom, udah dilacak?"

"Papa nyerahin bukti ke bagian yang berwenang." Ni'am mengambil susu kotak rasa strawberry milikku.

"Papa nggak ke sini? Mama juga?" aku berharap bisa lihat mata Papa yang hangat atau senyum Mama yang menenangkan.

"Apa? Kangen ya?"

Aku diam, memandang Ni'am kemudian mengangguk lemah.

"Mama khawatir banget, dari tadi baca dzikir nggak abis-abis buat kamu. Papa lagi nyelidiki masalah ini dan minta Mama di rumah aja." Ni'am menjelaskan, "terlalu bahaya kalau Mama ikut, kata Papa."

"Salam ya Bang buat Papa dan Mama, bilang kalau Nawa kangen." Aku tersenyum dengan gaya kurang meyakinkan sebab kristal bening sudah berkumpul di sudut mata. Ni'am tidak jadi minum susu, meletakkan kotak itu di meja. Kakak cowokku berpindah tempat agar bisa mencapaiku. Ia menepuk ubun-ubunku.

"Abang juga bisa kayak Papa. Begini, kan?" ia mengusapnya dan tersenyum lebar.

"Tangan lo terlalu lentik, Bang." Balasku lalu menunduk, takut Ni'am melihat airmataku yang menuruni pipi.

"Ish, tadi lagaknya udah kayak super hero. Eh... sekarang malah cengeng. Apa lo nangis karena Harris buang muka saat liat lo tadi?"

"Bukan Harris." Suaraku malah bergetar, "tapi, Papa... Nawa ngerasa Papa udah nggak peduli ama Nawa, ngebuang Nawa di sini dan saat Nawa dalam bahaya, Papa nggak ada buat Nawa." Telunjuk Ni'am menghapus airmataku, bukannya berhenti menangis, tapi rasa sesak dan sakitku malah bertambah.

"Siapa yang mengabaikanmu, Maida?" Suara lembut itu berhasil membuat jantungku bergetar, aku menoleh dengan terburu-buru. Mama berdiri di ujung pintu, memberiku senyuman ditemani Papa yang memasang wajah tegas. Nggak ada senyuman di wajah Papa.

Aku berdiri dengan sempurna, merentangkan dua tanganku lebar-lebar, menyambut pelukan Mama. Wanita anggun itu berjalan pelan dan memelukku.

"Kamu terlihat dekil dan kurus." Kata Mama sambil tertawa berderai-derai.

"Tapi, Maida nggak punya kutu rambut, Ma." Aku malah beralasan lain. Mana ada orang bisa tampil kinclong setelah masuk dalam bangunan berasap?

Saat aku melepas pelukan Mama, Papa sudah ada di dekatku.

"Peluk, Pa?" itu terdengar seperti rengekan, Papa hanya melihatku begitu lama dan saat matanya berkedip, Papa mengangguk. aku menghambur ke dada Papa.

Otot tubuh Papa terasa tegang. Aku tahu, orang yang kujuluki karang tercelup salju ini sangat khawatir padaku. Di balik wajah keras dan tegasnya, aku bisa merasakan hangatnya kasih sayang yang ia sembunyikan.

"Maida baik-baik saja. Baik-baik saja...."

Akhirnya tangan kanan Papa menepuk bahuku. Ia masih tidak berkata satupun. Begitulah Papa, dia akan cerewet saat aku bikin onar, tapi ketika aku dalam bahaya, dia tidak akan bicara. Hanya diam dan berkata lewat bahasa tubuh.

Aku tahu satu hal, sekesal-kesalnya aku padanya, aku tetap menyayanginya sebagai orang tua yang akan melakukan apapun untukku, juga bersedia bersikap otoriter dengan alasan 'untuk kebaikanku', begitulah Papa. Aku benci dia, tapi aku juga sangat menyayanginya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro