Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2 Mr. Cold di Pesantren


Rasanya pengin mencekik Ni'am sampai lehernya putus lalu kepalanya kuganti dengan kepala ular biar jadi kayak Orochimaru-itu lho salah satu senin legendaries di manga Naruto yang jadi jahat karena kekecewaannya terhadap dunia dan punya kemampuan regenerasi mirip ular. Lagipula, bicara tokoh manga, Ni'am paling cocok jadi Orochimaru-memanfaatkan tubuh orang lain agar dia bertahan hidup.

Dalam konteks kekinian, akulah yang dimanfaatkannya. Ni'am tidak jadi tinggal di pesantren. Hanya aku yang ditinggal di Cilegon. Catat, deh, hanya aku yang dibuang di pesantren ini. Rasa-rasanya, ini bisa dikategorikan sebagai diskriminasi anak bungsu. Dan tahu apa alasan mereka untuk hal yang kugolongkan dalam diskriminasi anak bungsu? Jadi begini kronologi kejadiaannya.

"Lho, koper Abang mana? Nggak ikut diturunin?" aku bertanya saat turun dari mobil. Ni'am hanya menenteng koperku dari bagasi.

"Nggak jadi. Kata Papa, Abang ikut balik." Ia cengengesan. Aura kebahagian kentara sekali di wajahnya.

"Kok gitu? Papa?" aku merengek, kulihat Papa menghembuskan udara panjang sebelum menatap Mama yang ada di sebelah kanannya.

"Bang Ni'am kan udah tahun kedua. Lagipula, minggu depan Abang mau ikut lomba design baju di Paris dan bulan depannya pembukaan butik baru Abang, Maida." Mama menjawab pertanyaanku dengan lembut.

"Trus, semester depan, Abang mau mencalonkan diri jadi ketua BEM. Sayang kan kalo bakat kepemimpinan Abang disia-siakan." Ni'am tersenyum lebar.

"Apa?!" aku shock, "bilang bahwa Abang nggak protes karena Abang tahu kalau Abang emang nggak disuruh di pesantren!" aku berteriak, masa bodoh dengan orang lalu lalang. Mama menyentuh bahuku. Oh-oh-oh, jangan memintaku jadi gadis lemah lembut setelah dipermainkan!

"Calma, Nawaila...." Ni'am sok berbahasa italia, dia menyebut namaku seperti teman-teman memanggilku. "Abang udah di pesantren dari kelas 5 SD dan baru pulang pas mau kuliah. Jadi, Abang pikir ini impas."

"Rontokin deh gigi Abang!"

"Maida." Mama menegurku. Nggak, aku nggak mau dengerin nasehat Mama.

"Pulang! Maida ikut pulang! Pokoknya nggak mau kalau Abang ikut pulang." Teriakku kesetanan, aku mengibaskan tangan Mama yang menyentuhku. Aku nggak mau dipegang siapapun.

"Jangan kekanakan, Maida." Abang mempertegas kalimat, ia meletakkan koperku di tanah dan menghampiriku. Begitu sampai di depanku, aku segera memukuli dadanya.

"Jahat! Abang jahat! Maida nggak mau di sini! Nggak maaauuuu!" aku menarik kemeja yang dipakai Ni'am, beberapa kancingnya lepas.

"Ma-i-da." Papa memanggilku dengan suara dingin, khas dari neraka Wail. Melihat Papa sekarang aku sangat yakin bahwa ia sudah kerasukan iblis dari benua antarktika. Aku langsung berdiri kaku, tidak memukuli Ni'am walau sebenarnya aku masih ingin menendang-nendang cowok itu. "Kamu di pesantren. Tidak ada lagi yang dibantah."

What's happens going crazy? Aku benar-benar menuju gila. Sekarang.

***

Kata siapa move on dari putus cinta itu sulit? Nggak sulit sama sekali. Yang sulit itu menerima keputusan Papa buat tinggal dan menimba ilmu di pesantren. Aku tidak bisa move up. Dalam waktu seminggu, aku selalu menangis setiap malam dan pada pagi hari aku harus lapang dada mengucapkan 'selamat datang mata bengkak.'

Dalam seminggu ada sekitar 40 kali panggilan yang diinfokan pengurus pesantren bahwa ada keluargaku yang menelpon. Meskipun aku menangis saat malam, jangan harap aku akan berlari-lari bahagia menghampiri gagang telpon di ruang pengurus putri. Amit-amit. Akan kubuat keluargaku kebangkaran jenggot karena tidak tahu keadaan atau mendengar suaraku.

Rasakan itu!

Siapa suruh memaksa anak sendiri? Memang aku robot yang bisa diprogram sesuka hati? Aku manusia, punya hati. Hatiku masih dialiri darah bahkan masih berfungsi sebagai tempat perombakan darah. Jadi stop menindas anak sendiri.

"Mbak Nawaila pulang bareng, yuk!" seseorang menyapaku setelah lonceng tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Gadis itu seusia denganku, namanya Haya.

Selama tinggal di pesantren, aku sekamar dengan tiga orang. Ada yang heboh dan cerewet-namanya Rini. Entah nama lengkapnya siapa aku lupa. Pokoknya, nama panjangnya mengingatkan aku dengan salah satu pemain bola Indonesia. Ada yang polos dan konyol, Haya. Yang kuingat dia berasal dari Yogyakarta. Dan terakhir, ada anak yang pendiam, setiap hari berkutat dengan buku gambar, namanya Karima. Aku tidak ambil peduli dengan mereka bertiga. Selama 7 hari bersama, aku menyapa mereka bisa dihitung dengan jari. Sementara ketika berada di sekolah, aku tidak akrab dengan siapapun. Kerjaku hanya belajar, membaca buku dan melamun. Rasanya melamun akan menjadi kegiatan favoritku selama berada di sini. Membayangkan keramaian Jakarta, taman hiburan, dan tempat nongkrong yang asik saat bolos sekolah.

"Mbak dari Jakarta, ya?" Haya menjajariku. Disebelahnya ada Rini dan Karima.

"Ya." Balasku pendek. Aku keluar dari pintu gerbang sekolah, menyusuri jalan kecil menuju pesatren putri yang berjarak kurang lebih 500m.

"Asik nggak Mbak di sini?"

Asik banget! Asik buat mendengarkan suara katak. Beneran. Bukan apa-apa. Pesantren ini dikenal sebagai pesantren mewah, maksudnya Mepet sawah. Karena dalam beberapa jengkal, sudah sampai di sawah. Kalau aku melebih-lebihkan, kamu bisa membaui aroma sawah hanya dengan sekali gelundungan di tanah.

"Belum kerasan, ya Mbak?" Rini ikut bicara, aku mengangguk seadanya. Mataku berkeliling mencari warung yang jualan makanan.

"Itu rumah Kyai sepuh, Mbak." Tanpa diminta Haya menjelaskan rumah bercat kuning gading yang kuamati. "Rame karena denger-denger putra bungsu kyai pulang dan pindah sekolah."

"Oh, emang putra kyai sepuh sekolah di mana?"

"Di Jakarta."

"Trus kenapa pulang?" aku yakin bahwa aku nggak kenal putra kyai yang sedang kami bicarakan, tapi penyakit kepoku nggak bisa disembunyikan.

"Gosipnya sih, Kyai sepuh tahu kalau Gus Nizam pacaran, jadi dipulangkan."

Nizam? Namanya tidak asing. Ya iya-lah, mantan pacarku yang tidak tahu etika namanya Nizam Harris.

Saat itu aku melihat cowok memakai baju koko biru dengan sarung biru gelap keluar dari rumah kyai sepuh. Aku berhenti saat cowok itu menatapku. Perasaan, pernah lihat, deh. Di mana, ya? Di taman safari? Ujung kulon? Apa-

Harris?

Aku memelototkan mata. Berdoa semoga mataku tidak kena rabun, katarak atau apapun itu yang membahayakan indra penglihatan. Mana mungkin cowok itu Harris?

Cowok berkoko biru dengan sarung senada itu berjalan ke arahku. Semakin dekat, mataku memantulkan bayangan Harris. Apa ini efek patah hati? Di mana-mana ada Harris. Ya Allah, kayaknya setelah putus aku nggak desperate banget, deh.

"Assalamualaikum, Gus Nizam." Mereka bertiga kompak beruluk salam. Aku yang masih shock hanya bisa menduga-duga bahwa cowok yang berjarak beberapa meter itu adalah Harris. Nizam Harris.

"Kita udah putus. Gue udah nggak ada hubungan ama elo. Tolong, jangan ganggu hidup gue. Tinggal di pesantren udah bikin gue nyesek, apalagi ada elo. Enyah deh dari hadapan gue." Aku ber-elo gue-an dan mengabaikan 3 kawan sekamarku yang cengo. Cowok mirip Harris itu menatap tajam tapi tidak satupun ekspresi yang kulihat di wajahnya. "Kenapa diem? Lo udah jadi tuna wicara?"

"Kamu belum berubah." Dia pergi.

Jadi... dia itu beneran Harris? Ini bukan halusinasi. Ini nyata! Seseorang, tolong cubit aku. Ini namanya tinggal dalam neraka, dalam neraka. Nerakanya double. Nerakanya kuadrat alias pangkat dua.

"Kok Mbak Nawaila elo-gue-an ama Gus Nizam?"

Aku menoleh, tiga pasang mata itu lekat memandangiku, meminta penjelasan.

"Kenal ya, Mbak?"

"Mbak tadi bilang putus, apa... apa Mbak Nawaila pernah pacaran ama Gus Nizam? Apa Mbak yang bikin Gus Nizam dipulangin ke pesantren?"

Rasanya, berenang di lautan es lebih menyenangkan daripada menjawab pertanyaan mereka. Setelah ini, aku berencana untuk pura-pura lupa ingatan dan menunjukkan ciri-ciri gila. Aku pacaran dengan putra kyai. Aku penyebab Harris dipulangkan. Hei, yang benar Harris itu tidak punya hati. Menembakku karena kalah taruhan. Masih untung aku yang memutuskan hubungan, coba kalau dia yang memutuskan aku, harga diriku pasti sudah hancur sehancur-hancurnya.

"Nggak... aku... aku salah ngomong." Cara bicara yang nggak meyakinkan. "mungkin aku kangen keluargaku sampe kayak gini. Bicara aneh ama Gus Nizam." Balasku ngeles lalu buru-buru kabur menuju pesantren putri.

"Kamu belum berubah."
"Kamu belum berubah."

Aarggh, kenapa harus ketemu orang yang pengin gue kubur pake sekop di sini? Satu kesimpulan sederhanaku hari ini. Nizam Harris adalah putra kyai sepuh. Harris pindah sekolah, otomatis dia akan satu sekolah denganku. Itu artinya, aku akan ketemu dia lagi.

Ya Rabb, Ya Jabar, Ya Dzal Jalali Wal Ikram... andai membunuh halal, sudah aku tusuk-tusuk tubuh Harris. Kalau itu terlalu mengerikan, mungkin aku cukup meremasnya sampai kucel seperti kertas buangan. Tidak peduli strata sosialnya di masyarakat, Harris sudah cari perkara denganku, maka jabatannya berubah dengan cepat. Dari orang yang kusayang jadi orang yang ingin kutendang.

Tapi, tunggu... Rini tadi bilang bahwa Harris pulang karena ketahuan pacaran. Dalam waktu dekat ini, aku sangat yakin kalau Harris hanya pacaran denganku. Ow, ow, ow... aku tahu satu hal.

Ini pasti ulah Mandala Parawansa yang terhormat. Oke, sekarang aku punya alasan mengangkat telepon mereka. Jangan sebut aku jurnalis top SMAN 8 Jakarta kalau menggali informasi ini saja tidak bisa. Aku berjanji akan membongkar borokmu, Papa Mandala!

Baiklah, saatnya bikin misi hidup. Mandala Parawansa VS Nawaila Maida Parawansa. Ketika jurnalis membuka konspirasi belut Danjen Kopassus Indonesia. Good, ini akan jadi penyelidikan yang menyenangkan dan menyeret Papa sebagai orang yang paling bertanggung-jawab dalam segala hal, dalam hidupku atau hidup Harris.

Catat, aku tidak melakukan ini untuk Harris. Eh, melakukan ini emang salah satunya agar Harris paham, tapi aish, nggak usah peduli ama Mr. Coldly. Ini demi hidupku sendiri, kebaikanku dan betapa berharganya hidupku walau sudah diacak-acak Papa.

***

Setelah insiden kemarin-bertemu Harris dan keceplosan di depan 3 temanku, aku memutuskan untuk pindah asrama sehingga pagi tadi aku merengek-rengek pada ketua pengurus putri, sok menunduk dan teraniaya agar Zahra-nama ketua pengurus putri-mengabulkan permintaanku. Aku tidak mau bertemu tiga orang itu lagi, lalu mereka akan mendesakku untuk bercerita jujur.

Aku nggak mau. Aku ke sini untuk belajar, bukan berniat menumbuhkan cinta yang sudah kutendang jauh-jauh. Maaf, aku bukan tipe wanita bodoh yang mudah terbawa perasaan. Memang, tidak sulit memaafkan orang yang sudah menyakitiku, yang paling sulit berhubungan denganku adalah memperbaiki hubungan yang sudah rusak.

Harris yang sudah merusaknya sejak awal. Dia boleh berkata maaf, dia boleh menyapaku atau aku menyapanya, tapi dia tidak akan kuijinkan memasuki hatiku lagi. Tidak akan pernah.

"Baiklah, Nawaila...." Zahra memenggal omelan sintingku tentang Harris, "kamu bisa pindah ke lantai 3, di kamar nomer 32."

Mataku berbinar-binar, "Teteh beneran? Aku bisa pindah?"

"Bukannya kamu yang mau pindah."

"Makasih, Teh... makasih..." aku memegangi tangan Zahra, menyampaikan terima kasih dengan berlebihan agar terlihat alay sehingga dia mengusirku. Sayangnya, Zahra malah memasang wajah ramah nggak ketulungan. Sekarang aku yang mual-mual karena tingkahku sendiri. Semoga Zahra nggak eneg berlama-lama denganku atau sebaiknya aku kabur dari sini sebelum aku muntah-muntah karena diriku yang mulai terlihat seperti santri cabe-cabean?

Idih, apaan coba nyebut diri sendiri dengan istilah menjijikkan itu?
"Ya udah Teh, aku permisi. Assalamualaikum...."

Dan pagi itu, sebelum berangkat sekolah, aku membereskan barang agar sepulang sekolah aku bisa langsung kabur. Ah, leganya. Mulai sekarang aku harus hati-hati. Tidak boleh ada satu orang pun yang tahu rahasiaku dan Harris. Itu bener-bener nggak keren!

***

Aku menyenandungkan lagu bahagia. Gerbang sekolah tidak lagi terlihat seperti duri yang menempel di pohon kaktus. Pengajar di sini juga mendadak tidak terlihat seperti kuntilanak atau gendruwo, mereka manis-manis juga ramah. Setiap salamku selalu disahut dengan nada bersahabat.

Aku tahu rahasia dari kebahagiaan, ketika harapan yang kuinginkan tercapai, rasanya sangat lega. Tapi rupanya, kelegaanku tidak berlangsung lama. Saat lonceng jam pertama berdentang, guru yang mengampu pelajaran Fiqih masuk diikuti seorang cowok yang tidak asing. Cowok itu Nizam Harris.

Suram sudah masa depanku selama di madrasah aliyah milik pesantren ini. Aku menekuk kepala, tidak sudi melihat Harris yang berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Perutku bergolak ingin memuntahkan sarapan karena mendengar suara Harris. Aku sekarang percaya pada hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 'cintailah orang yang kamu cintai sekedarnya saja, boleh jadi pada suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, boleh jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu cintai.'

Harris sudah membuktikannya.

***

Matahari sudah semakin tinggi, tapi cuaca malah makin buruk. Mendung pekat memenuhi langit, dalam waktu kurang dari 10 menit aku bisa memastikan bahwa hujan akan turun. Aku tidak suka hujan, basah atau lembab. Itu sangat merepotkan.

"Nawaila...," seseorang menyebut namaku dengan nada tidak percaya. Aku yang berjalan sambil bermain rubik segera mendongak dan melihat gadis berjilbab putih. Kintan!

Astaghfirullah, sepertinya aku tinggal di sini untuk bertemu setan. Apa aku juga tergolong setan?

"Elo." Aku mengantongi rubik kemudian menyedekapkan tangan di dada. Aku juga menaikkan alis agar terlihat meremehkan Kintan.

"Ning Kintan, Assalamualaikum...." Beberapa cowok menyapa Kintan dengan sopan.

"Waalaikumsalam warahmatullah," Kintan menyahut salam itu dengan nada yang renyah, suaranya mirip dengan caraku mengunyah kerupuk. Tak berapa lama, Kintan menghampirku. Ia mengulurkan tangan. "Apa kabar?"

Aku tidak sudi membalas tangan itu. Silakan sebut aku songong, memang aku peduli gunjingan orang? Aku tidak suka berpura-pura baik. Jujur, aku belum memaafkan Kintan sebab cewek itulah yang sudah kurang ajar menjadikan aku sebagai taruhan. Setelah itu dia pula yang meminta Harris memutuskan aku, ditambah lagi dia menceritakan hal ini ke temannya. Lagipula, Kintan belum minta maaf. Aku bukan orang baik, kuakui itu. Untuk itu, saat aku bersikap jahat, jangan salahkan aku. Bukan aku yang memulai semua ini, tapi Kintan dan Harris.

"Nggak usah bersikap baik dengan hati elo yang keropos dimakan ulat." Kataku tajam, sifat ini kudapat dari papa, tinggal kukuasai saja aura dingin kejamnya, maka seluruh penghuni bumi akan percaya bahwa aku adalah putri Mandala Parawansa.

"Gue juga nggak mau bersikap baik ke elo. Orang yang bikin impian Gus Nizam gagal." Kintan membalas tak kalah sadis. Oh, dia benar-benar cari perkara denganku.

"Impian Nizam gagal...." Aku tertawa sambil melihat langit-langit koridor, dan mengirim tatapan panah pada Kintan saat mata kami berada pada satu garis lurus. "Karena Nizam pula, impian gue mimpin Juresma gagal dan sekarang elo lihat keadaan gue? Gue ada di sekolah pelosok yang nggak punya eskul jurnalisme. Sekarang, siapa yang sudah kurang ajar dan dirugikan?"

"Lo bener-bener nggak sopan!"

"Sopan? Apa itu makanan elo? Apa elo udah sopan ama gue yang nggak tahu apa-apa tapi lo dengan tega jadiin gue taruhan?" ejekku masih mempertahankan nada rendah.

Beberapa cowok yang melihat kami terdengar kasak-kusuk.

"Selagi lo punya otak, gunain dong buat mikir."

"Lo ngatain gue nggak punya otak?" Kintan tidak ragu-ragu saat melayangkan tamparan di pipiku.

Siaaaaaalaaaaan. Eh, astaghfirullah. Jangan mengeluarkan kata kotor untuk cewek berjenis kecoa seperti Kintan. Lisanku ini terlalu berharga untuk mengumpat dirinya.

Ketika Kintan mengangkat tangan kanan-hendak menamparku lagi-aku sudah bersiaga. Kucengkram pergelangan tangannya lalu memuntirnya ke belakang. Aku sempat mendengar Kintan mengerang kesakitan.

"Ajari tanganmu itu untuk sopan, sebelum nyuruh gue sopan." Aku berbisik, mengirim ancaman yang dingin dan gelap.

"Nawaila, apa yang sudah kamu lakukan?" seseorang menegurku. Aku geragapan kemudian buru-buru melepas Kintan. "Ada apa ini?" Pak Bimantara mendekat.

Aku belum sempat menjawab apapun, Kintan sudah menangis dan terisak-isak. Kukerutkan alis, tidak paham apa maksud Kintan menangis. Oke, aku tadi memang memuntir tangannya, tapi caraku tidak ekstrim seperti yang pernah dilakukan Ni'am padaku ketika berlatih silat dulu. Aku masih lembut. Sungguh.
"Nawa tadi mengejek saya, Pak." Ia sesenggukan, tangannya mengusap airmata, "mengatai saya dan terakhir menyakiti saya."

Guru muda itu menggeleng, matanya mengintimidasi.

"Dia mengatai saya nggak punya otak. Nggak sopan..."

Itu kan memang sifatnya? Kenapa malah curhat seolah aku adalah ibu tiri?

"Dan memuntir tangan saya." Kintan kembali berurai airmata, kalimat yang ia ucapkan tersendat-sendat. Jika saja di pesantren ini ada Panasonic award, aku yakin bahwa Kintan akan jadi juara sebagai artis pendatang favorit karena kemampuan aktingnya yang mengagumkan.

"Kamu benar-benar tidak sopan, Nawa." Kali ini suara kering kerontang Pak Bimantara yang terdengar, "Kintan adalah cucu salah satu kyai pendiri pesantren ini, tapi kamu...." Ia menggeleng, "tidak punya takdhim."
Kalau dia cucu kyai seharusnya dia menunjukkan diri sebagai cucu kyai yang pantas dihormati. Aku menggerutu dalam hati.

"Iya, Pak, dia memang tidak punya sopan santun. Kasihan Ning Kintan." Cowok-cowok yang tadi menyapa si artis pendatang itu ikut membela, aku sekarang sendirian.

"Minta maaf." Guru itu menyuruhku, kulihat Kintan tersenyum miring. Kurapatkan bibir agar suara gemelutuk gigiku tidak terdengar. "Nawa, cepat minta maaf."

Tubuhku mengejang, aku tidak merasa bersalah, jadi sampai kapanpun aku tidak akan minta maaf.

"Nawaila, segera minta maaf."
Tubuhku tidak bergerak, hanya jemariku saja yang mengepal.

"Benar-benar bengal." Ia memakiku, aku tidak peduli. Aku rela melakukan apapun asal tidak minta maaf pada Kintan. "Ulurkan tanganmu." Pak Bimantara mendekat padaku. Aku mencari kepastian di matanya.

Setelah yakin bahwa dengan mengulurkan tangan membuatku tidak mengucapkan permintaan maaf, aku mengulurkan tangan. Guru itu mengambil penggaris kayu yang tadi ditumpuk dengan buku yang ada di tangan sebelah kiri.

"Kamu merasa tidak bersalah?" ia memukulkan penggaris itu di permukaan tanganku dengan kuat. Setruman rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Yang paling sakit adalah hatiku. Bagaimana bisa seorang guru menyelesaikan masalah tanpa menyelidiki permasalahan itu dengan adil dan bijak?
Bagaimana bisa Papa menyekolahkan aku di sini? Kenapa Papa percaya bahwa tempat ini bisa mengubahku? Tempat ini tidak akan pernah bisa mengubahku.
"Kamu bahkan tidak mau meminta maaf?" ia masih memukulkan penggaris itu, kulitku terasa panas saat pukulan kedua-ketiga-sampai ke dua puluh. "Kalau kamu meminta maaf, aku tidak akan memukulmu."

Mimpi saja! Kugigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang mendera kulit tanganku yang sekarang berwarna kemerahan akibat pukulannya.

"Keras kepala!" omelnya, aku sudah tidak bisa menghitung lagi pukulannya. Jangan pikir, rasa sakit ini akan membuatku menarik keputusan. Aku bukan anak plin-plan.

Lonceng masuk kelas terdengar, Pak Bimantara berhenti memukul. "Sepulang sekolah, temui saya di kantor guru." Ia menatapku dengan tajam kemudian berlalu dari hadapanku.

"Rasakan itu." Kintan bersuara lirih, "duuuhh, sakit, ya?" ia tertawa bahagia kemudian menaiki tangga-menuju kelas.

"Allah, genggam hatiku. Jika aku mengutuk sifat mereka, aku tidak boleh seperti mereka," aku menyugesti diri sendiri, kudongakkan wajah ke atas.
Papa, inikah tempat yang kamu inginkan sebagai tempatku menimba ilmu?

Apa salahku, Pa? Apa aku itu anak yang durhaka sehingga menghukumku seperti ini? Mama... aku kangen Mama. Nawaila pengen pulang, kangen pelukan Mama, teguran lembut Mama. Bang Ni'am, dimana Abang saat Nawa disakiti? Katanya Abang mau melindungi Nawa seumur hidup, kenapa sekarang Abang tidak ada di sini?

"Nangis aja, aku nggak akan bilang ke siapapun."

Aku menoleh ke kiri, Harris muncul dengan wajah yang sulit kudefinisikan apa yang ia pikirkan. Anak laki-laki itu balas menatapku. Ia berhenti berjalan. Matanya menatap luka kemerahan di punggung tangan dengan pendaran aneh. Sorotnya mengingatkan aku pada kenangan saat ia menembakku. Ada yang menyakitkan di sana. Jika saja Harris tidak mempermainkan perasaanku, pasti sangat mudah untuk jatuh cinta padanya.

Lama sekali kami saling memandang seakan-akan dia tengah berbicara dengan hatiku. Sakit di punggung tangan sudah kulupakan. Lalu aku menjumpai diriku meleleh tatkala bibir Harris melengkung menyerupai bulan sabit. Cowok itu memberiku senyum yang sangat teduh. Aku berpikir bahwa malaikat baru saja menyapaku.

"Kuobati." Ia membalik tubuh.

Mengobatiku? Bagaimana cara dia mengobatiku dengan sikapnya yang kayak gitu?

"Gue bisa sendiri." Kataku, keras kepala-ini adalah warisan Papa, aku sangat bersyukur, dengan begini aku bisa mempertahankan harga diri.

"Aku nggak suka dibantah."

"Gue nggak takut bantah elo. Gue takut ama Allah. Nggak boleh dua orang bukan muhrim berduaan sebab ketiganya adalah setan. Lo lupa siapa pemilik nyawa elo?" aku berorasi di depannya, sepertinya aku berbakat terjun di dunia politik seperti kakek. "Lagipula, nggak usah sok peduli dengan keadaan gue. Gue nggak suka dikasihani."

"Denger kamu udah cerewet bikin aku yakin kalau kamu udah baik-baik aja." Harris kembali tersenyum singkat. Senyum yang nggak aku mengerti apa maksudnya. "kompres lukamu di UKS, biar kucarikan es dulu."

Luar biasa! Ini adalah kalimat terpanjang yang pernah Harris ucapkan denganku. Aku sampai terbengong-bengong mendengarnya, antara tidak percaya dan megap-megap.

"Ha-har-maksudku, Gus Harris." Aku mendadak gagu.

"Lagi grogi, ya?" Harris malah mengejekku. Bukannya marah, pipiku malah terasa panas. Ya Allah semoga aku nggak kelihatan kayak anak abege labil yang cabe-cabean!

"Jangan kepedean." Serobotku, mempertahankan nada tidak bersahabat. Ini adalah usaha terakhir mempertahankan gengsi. "Cepet bawa esnya."

Harris hanya menaikkan alis kanan kemudian berjalan berlawanan arah dariku. Diam-diam senyumku mengembang. Aku juga tidak tahu kenapa malah cengengesan begini. Dadaku berdebar-debar dan seperti seember kebahagiaan diguyurkan di atasnya.

Oke, ini creepy, tapi bukan spicy. Hahaha. Astaghfirullah, Nawaila... jangan gila, deh. Katanya benci Harris, kenapa benci bisa bikin senyum-senyum gaje begitu? Aku cemberut setelah mendapat protesan dari sisi diriku yang lain. Omong-omong, bener juga. Aku kan benci Harris, nggak usah senyum-senyum, kali aja Harris baik karena dia tahu cerita sebenarnya antara aku dan Kintan. Dia nggak ngejudge seperti Pak Bimantara. Nah, Harris baik, kan? Eh. Eh. Eh... nggak usah muji dia. Orang baik nggak ada yang jadiin cewek sebagai taruhan. Catat itu.

***

Aku mulai akrab dengan Harris pada awal semester genap. Sekitar minggu kedua bulan Januari. Ketika itu Harris melihatku membawa Al Qur'an. Dia tidak tahu bahwa aku membawa Al Qur'an karena aku dihukum Papa sudah kabur ke Semarang. Sejak kecil aku diajari untuk bertanggung jawab atas segala resiko dari keputusan yang kuambil, jadi aku menghapal surat-surat itu dengan sungguh-sungguh sebab Papa akan menguji hapalanku di akhir bulan Januari. Alhasil selama liburan semester ganjil, aku disuruh menghapal surat-surat pendek dari surat At-Tariq sampai surat Al-Muddasir. Liburan akhir tahun aku malah khusyu' di pesantren bareng Ni'am.

Kembali ke Harris yang sepertinya heran melihatku membawa AL Quran berukuran mini ke sekolah, dia pun bertanya.

"Al Qur'an, ya?"

Aku yang memejamkan mata karena murajaah hapalan segera membuka mata. Seketika itu juga hapalanku hilang entah kemana, mungkin tersapu angin yang mendesau mengibarkan jilbab. Mata Harris sangat dahsyat dalam hal mengacaukan hapalan surat pendekku. Aku sampai geragapan dibuatnya. Sekedar info, aku terbiasa ngobrol dengan teman cowok, tapi tidak ada satupun yang bisa menggoyahkan hapalanku ini. Lain hal dengan Harris, hanya dengan beberapa kata ditambah tatapan mata, otakku langsung macet tidak bisa digunakan.

"Baca Qur'an?" ia melanjutkan pertanyaan dengan nada datar, wajah datar, ekspresi datar dan aku berkeinginan menutup matanya dengan lakban agar tidak menggangguku.

"Ngehapal." Aku menyahut singkat.
Harris menatapku dengan minat sangat tertarik. Aku saja sampai merapat di punggung kursi karena daerah di sekitar jantungku berdetak aneh.

"Kenapa kamu ngehapal Qur'an?"

"Lo-gue aja ngapa, sih? Berasa ngobrol ama orang dewasa, tau." Aku memprotes caranya menyebutku dengan 'kamu' dan hanya dibalas dengan bola mata yang memutar, "gue mau berbakti ke orang tua gue walaupun gue sering bikin mereka kelabakan karena gue suka kabur dan bolos."

"Ya?" aku bisa mencium pemaksaan dari Harris, cowok itu jelas ingin ceritaku dengan detail.

"Lo pernah denger nggak hadis riwayat Al-Hakim? Kurang lebih begini, siapa yang membaca Al-Qur'an, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaikan jubah kemuliaan yang tidak pernah didapatkan di dunia." Aku berhenti menunggu respons Harris.
"Kedua orang tuanya bertanya, 'mengapa kami dipakaikan jubah ini?' dijawab, 'karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Qur'an." Harris malah melanjutkan hadits yang kusampaikan. Aku takjub. Jarang-jarang ada cowok yang bisa hapal hadits dan peduli pada ilmu agama. Rata-rata cowok di sekolahku cerdas dalam pelajaran eksak, beda dengan Harris.

"Nah, sebagai anak, gue ingin mempersembahin jubah kemuliaan kepada nyokap dan bokap gue." Aku tersenyum, "dalam ilmu manajemen yang pernah gue baca, kesuksesan itu melalui 5 tahap, planning, organizing, actuating, controlling, dan evaluating. Gue masih muda, jadi gue perlu rencana buat masa depan gue, juga akhirat gue."

"Begitu saja?" Harris membuatku sebal. Ia membalas 'begitu saja'. Heh, apa maksud dari pertanyaannya itu?

"Ada lima perkara yang harus dimanfaatkan sebelum datang lima hal lain. Sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, lapang sebelum sempit, kaya sebelum miskin dan-"

"Hidup sebelum mati," Harris menyambung kalimatku. Aku tersenyum lebar, dia sudah paham apa yang ingin kujelaskan.

"Nggak ada satupun yang tahu rahasia ajal. Mungkin setelah ini malaikat Izrail nyabut nyawa gue, siapa yang tahu? Dan kalaupun itu terjadi, seenggaknya gue udah berusaha menjadi orang baik." Simpulku dan dibalas Harris dengan kedipan mata-tanda setuju. "Sebab buat gue, orang baik itu nggak dilahirkan, tapi dibentuk, berproses dan akhirnya ia bisa disebut insan al-kamil."
Harris tidak mengeluarkan satu kata pun. Ia sibuk melihat tanganku dan kitab suci Al Quran yang tergenggam. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya, hanya saja melihat mata sayunya yang berpendar penuh energi positif membuatku nyaman dan hangat.
Matanya yang aneh itu menyapaku lagi di saat keadaanku yang mengenaskan. Harris datang dengan es batu dengan seorang teman cowoknya. Ia menghampiriku yang sedang meniup punggung tangan.

"Panas?" ia menyela kegiatanku. Iya, nggak usah nanya lagi, Mr. nggak peka, teriakku dalam hati.

Ia mengambil sapu tangan di kantong celana. Heran, jaman sudah modern, Harris masih bertahan dengan sapu tangan. Membuka lipatan kain kecil itu, Harris membalut salah satu batu es dalam sapu tangan dan menyerahkannya padaku.

"Bisa ngompres sendiri, kan?"
Aku mendesis kemudian mengambil sapu tangan yang sudah terisi batu es.

"Aduh!" Rasa dingin menyengat menembus kulitku. Rasa perih bertambah kali lipat. "Aw... aw... awwww." Aku meringis lalu membuang sapu tangannya ke lantai.

Harris memelototkan mata, jika saja tidak ada kelopak, mata sayunya yang tajam itu akan menggelinding bebas di lantai dan dia tidak akan melihat lagi seumur hidup karena bola matanya rusak.

"Perih."

"Mau menahan perih atau mau bengkak dan radang?"

"Doa lo jelek banget." Aku manyun. Aku turun dari kursi dan mengambil sapu tangannya, tapi sudah keduluan Harris. Cowok itu sudah mengambil sapu tangannya lebih dulu.

"Sapu tangan ini udah kotor, jadi selamat menikmati luka bengkakmu." Harris meremas sapu tangan kemudian membalik tubuh.

"Hei, jangan marah, dong." Aku mengabaikan kawan Harris yang sejak tadi jadi patung. "Ini beneran sakit." Aku benci saat diabaikan cowok salju itu. Berasa ingin menendang sesuatu dan sadar bahwa yang ingin kutendang ya dia, Nizam Harris.

"Gus, lalu ini gimana?" dengan tidak punya sopan santun, kawan Harris menyelaku. Ia mengangkat barang bawaannya lebih tinggi.

"Buat kamu aja." Harris sudah menghilang dari ruang UKS. Aku sempat melihat kantong palstik yang dibawa cowok asing yang nggak kukenal, di dalam nya ada buah nanas dan pepaya.

"Tadi Gus Nizam memintaku membelikan nanas dan pepaya buat kamu." Ia menggaruk tengkuk. "Ini buat kamu, lekas sembuh ya." Ia ikut kabur. Sekarang aku sendirian di ruang UKS. Pikiranku bertanya-tanya kenapa Harris membelikanku buah. Dia pikir sakit di punggung tangan bisa membuatku ngidam? Gila saja, sih.

Otakku berdengung kencang ketika menemukan alasan Harris membelikanku buah-buahan itu. Nanas dan pepaya mengandung enzim digesti yang disebut bromelain yang mampu menghancurkan protein yang menyebabkan darah dan cairan terperangkap dalam jaringan. Oh, jadi Harris tidak mau tanganku bengkak dan radang. Aku manggut-manggut. Ternyata dia baik juga, meski masih cuek.

"Neng," kawan Harris muncul lagi. "ini minyak witch hazel, kata Gus Harris dioleskan pada lukanya untuk mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi radang."

Harris kok alay ya sekarang? Sumpah, ini punggung tangan memang sakit dan perih bahkan memerah, tapi masak harus kayak gitu sih? Aku sudah sering terluka saat berlatih fisik bersama Ni'am atau Papa di acara outbound, tapi tidak pernah berlebihan seperti ini. Papa cuma kasih salep pada lukaku. Tidak seperti Harris. Mungkin, aku perlu mempertanyakan kewarasan logikanya atau bertanya apa yang sedang terjadi sehingga dia bersikap aneh begini.

***

Kembali ke pesanten membuat mood-ku meluncur drastic. Jika menentang badai membuat tubuhku hancur berkeping-keping, aku rela melakukannya ketimbang tinggal di lantai 3 dengan nomer kamar 32. Ibarat keluar dari mulut buaya, masuk dalam mulut singa.

Kamar ini hanya dihuni dua orang, aku dan Kintan. Gile lu Ndro! Masak aku disatukan ama Kintan. Jelas-jelas kami ini berbeda dan tidak bisa akur. Bukan bermaksud plin plan, tapi coba aku tanya, mau nggak lo bertahan dengan seseorang yang selalu bikin masalah dengan lo? Punggung tanganku masih membiru ketika Kintan berani menyapa. Sok ramah. Ah ya hampir lupa, di sampingku ada Zahra-si ketua pengurus putri. Jangan lupa bahwa Kintan paling jago akting.

"Teh, bisa nggak pindah kamar lagi?" aku berbisik dan mengabaikan Kintan yang tersenyum. Aku memang bukan pengecut, tapi rugi banget kalau hidup yang cuma sementara ini selalu rusuh dan heboh.

"Nggak bisa, Nawa. Ini saja aku harus membela kamu di ustadzah yang mengurus bagian administrasi." Zahra membuat semangat hidupku hilang sebanyak 79%. "Tadi ada keluargamu menelpon. Aku sudah bilang bisa menghubungimu seusai shalat Ashar berjamaah."

"Nggak. Aku nggak mau. Kalau keluargaku nelpon lagi, aku nggak akan bicara, bilang saja begitu." Aku sudah melupakan kekesalanku karena sekamar dengan Kintan.

Zahra melongo melihatku yang keras kepala. Ini sudah ke sekian puluh kalinya dia memberitahukan ada telpon dari keluargaku, dan sudah kesekian puluh kalinya aku menolak.

"Nawaila, keluargamu ingin tahu keadaan kamu di sini. Bayangin deh, kalau seandainya kamu belum bisa ngomong dan tahu-tahu-"

Keluargaku meninggal? Aku capek mendengar ceramah. Aku sakit di sini saja belum tentu keluargaku peduli. Impianku jadi jurnalis senior dan memimpin organisasi eskul yang kugandrungi juga gagal, Papa saja tidak peduli. Papa juga tidak peduli betapa sulit masuk SMA favorit di Jakarta itu; SMAN 8 Jakarta, masuk international class pula, bahkan Kak Mufaisha ketika bersekolah di sana hanya mengambil kelas biasa. Seharusnya Papa menghargai jerih payahku.

'Akhir-akhir ini bukannya elo sendiri yang nggak ngehargai jerih payah elo, Nawa? Lo bolos, semau sendiri dan nggak peduli kekhawatiran ortu elo pas kabur ke Semarang, Bali dan Medan hanya untuk tugas wawancara atau riset kepenulisan elo?' hatiku yang putih mengingatkan, membuat emosiku makin tinggi saja.

"Angkat telpon dari keluargamu, Nawa."

Entah apa yang dikatakan Zahra, hanya saja aku mendengar itu sebagai kalimat penutup sebelum dia pergi.

"Gue nggak nyangka, kita bakal sekamar." Kintan menyilangkan kaki. Membuat fokusku terbagi lalu teralihkan dengan mudah. Dasar, cewek kecoa nyebelin. Dia pikir aku takut? Aku menyeret koper kemudian menutup pintu kamar.

"Kalo lo nularin gue ama kutu rambut elo, awas aja," ejekku merasa menang karena Kintan sekarang menatapku sebal.

"Gimana punggung tangan lo? Masih sakit?" dia tahu saja cara menyakitiku. Kulempar koper ke dinding, suaranya berderak. Sempat kulihat Kintan bersijingkat dan menatap ketakutan.

"Hari ini gue masih toleran, jadi jangan bikin gue ngamuk kalau elo masih ingin bernapas." Ancamku dingin, lonceng berbunyi tanda jam istirahat berakhir. Untung saja lonceng itu mengembalikan akal sehatku. Kalau enggak, Kintan keluar kamar dengan tubuh utuh, tanpa memar saja sudah mending.

Baik, berhenti mengurusi cewek tidak penting. Saatnya fokus pada masa depan. Setelah ini aku akan mengikuti pembelajaran yang berlangsung di madrasah diniyah sampai adzan Ashar. Kulirik Kintan sudah mengambil kitab kuning berjudul Fatkhul Muin. Aku juga harus bergegas, hari ini aku akan belajar tentang ilmu nahwu. Semoga saja ustadznya tidak membuatku tertidur seperti minggu kemarin.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro