Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9a

Berdiri dengan gemetar dan jemari saling bertaut di depan tubuh, Laluka menunduk. Di depannya Kaesar duduk menyilangkan kaki, dengan rokok mengepul menatap Laluka tajam. Mereka terdiam untuk beberapa saat, hanya terdengar suara isapan rokok yang keluar dari bibir Kaesar. Laluka merasa jantungnya bertalu-talu. Ketakutan merambat dari hati dan menyebar ke seluruh pori-pori kulit. Di satu sisi ia lega karena bisa lepas dari para pemuda iseng yang mengganggunya, di sisi lain merasa apes karena Kaesarlah yang menolong. Sudah pasti banyak pertanyaan dan ia bersiap diri menerima amarah yang setiap saat bisa terjadi.

"Kenapa kamu ada di jalan itu?"

Suara Kaesar terdengar begitu kaku dan dingin. Laluka meneguk ludah.

"Tu-tuan, saya jalan-jalan."

"Jalan-jalan? Sampai sejauh itu?"

"Iya, Tuan. Biasa tiap sore saya jalan-jalan."

"Kalau begitu kamu terbiasa bertemu mereka? Orang-orang yang ingin menganiayamu?"

Laluka mengangkat wajah dan menggeleng panik. "Ti-tidak, Tuan. Ini pertama kalinya saya bertemu mereka, biasa jalanan itu sepi."

"Itu dia, maksudku Laluka. Jalanan itu sepi, kenapa kamu harus lewat situ?"

"Saya lewat situ karena pemandangannya bagus dan udaranya segar."

Laluka tidak tahu apakah penjelasannya mampu meredam kecurigaan Kaesar atau tidak. Yang pasti ia tidak akan mengungkap tentang panti itu sekarang. Takut Kaesar akan melarangnya bermain ke sana. Ada Nenek Saniah dan Nita, yang sekarang menjadi teman baiknya dan ia rela berbohong demi mereka.

Asap rokok menghilang, Kaesar meniup abu di pakaiannya. Ia menatap Laluka yang berdiri di depannya, menyadari kalau ada sesuatu yang salah tapi ia tidak tahu apa itu. Gadis di depannya sangat rapi menyimpan perasaan, tidak pernah menunjukkan emosi. Namun, baginya itu bagus karena hubungan mereka sekarang memang tidak perlu ada ikatan emosional apapun. Selain tubuh bertemu tubuh dan berpeluh, tidak ada hal lain yang patut ditunjukkan.

"Jadi, setiap sore kamu jalan-jalan?"

"Saat Tuan sedang tidak ada di rumah."

"Apa Bi Yuyun tahu tentang ini?"

Laluka mengangguk. "Iya, Tuan. Awalnya Bi Yuyun yang membawa saya jalan-jalan untuk memulihkan kondisi setelah sakit. Setelahnya, saya coba jalan-jalan sendiri."

Kaesar mengamati penampilan Laluka dalam balutan minidress abu-abu dengan sandal selop. Gadis itu bahkan tidak membawa ponsel, pantas saja ia susah menghubungi. Dengan rambut dikuncir kuda, Laluka terlihat bagai gadis SMA.

"Penampilanmu tidak menunjukkan kalau kamu jalan-jalan."

"Ma-maksudnya apa, Tuan?"

"Hal dasar begitu harus aku yang menjelaskan? Coba lihat penampilanmu? Cocok untuk orang jalan-jalan? Nggak aneh kalau mereka tergiur tubuhmu."

Kali ini Laluka tidak menjawab, tangannya menarik-narik minidressnya dan merasa kalau ia memang telah salah. Harusnya memakai celana panjang dan sepatu kalau memang mau jalan-jalan, bukan minidress. Sekarang ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Kaesar.

"Kenapa diam?

"Ma-maf, Tuan. Saya nggak mikir ke sana."

"Kamu pikir komplek ini seperti perumahan biasa? Di sini, orang tertentu yang menempati. Kamu nggak lihat jarak dari satu rumah ke rumah lain jauh? Kamu masih berani bilang jalan-jalan?"

"Apakah nggak boleh, Tuan? Biasanya aman. Hanya jalan-jalan untuk berolah raga."

Laluka menunggu jawaban dari Kaesar. Ia tidak ingin mendapatkan penolakan karena masih ingin bertemu Nenek Saniah di panti. Ia akan melakukan apa pun untuk meluluhkan hati Kaesar. Apa pun itu asalkan ia tetap bisa keluar.

Di rumah ini, bukannya tidak nyaman. Tapi, tetap saja ia merasa seperti tahanan yang dikurung. Setiap hari hanya bertemu Yuyun dan membicarakan hal yang sama seperti sayur, drama, atau pun hal remeh rumah tangga. Selain itu, ia lebih banyak berada di kamar dan itu membosankan.

"Apa kamu benar berniat olah raga?"

Nada suara Kaesar yang lebih lembut dari biasanya membuat Laluka mendongak dengan penuh harap. "Iya, Tuan."

"Aku akan meminta orangku membeli sepeda. Mulai besok kamu keliling dengan bersepeda dan jangan memakai pakaian begitu."

Rasa gembira membuncah dalam diri Laluka. Ia bahkan melonjak di tempatnya berdiri. Prospek akan punya sepeda untuk dipakai ke panti, membuat semangatnya naik.

"Terima kasih, Tuan."

Kaesar bangkit dari sofa, meraih bagian belakang kepala Laluka dan memagut bibirnya. Tidak memberi kesempatan Laluka untuk mengelak, ia melumat ganas dan panas.

"Nggak ada yang gratis di dunia ini, Luka. Bahkan untuk sebuah sepeda." Kaesar berbisik.

"Ma-maksudnya, Tuan."

Kaesar meraba bibir Laluka dengan ujung jemarinya lalu melumatnya sekali lagi. Kali ini dengan sepenuh tenaga hingga membuat Laluka nyaris kehabisan napas.

"Kamu ingat film yang aku minta untuk tonton?"

Laluka mengangguk dengan bibir bengkak.

"Sudah saatnya kamu praktekkan, oral."

Laluka menjerit kecil saat Kaesar menariknya ke kamar. Hari ini, pertama kalinya ia dipaksa melakukan sesuatu yang teramat menjijikan. Ia bahkan sempat mual dan muntah tapi Kaesar tidak peduli. Terus memaksanya melakukan itu hingga akhirnya laki-laki itu merasa puas.

"Lain kali gunakan ujung lidahmu, Laluka."

Tidak ada gunannya menolak, karena Kaesar memang tidak suka ditolak. Akhirnya, Laluka membiarkan dirinya larut dalam permainan meski itu membuatnya muak.

Keesokan hari, saat Kaesar berpamitan kembali ke kota, sebuah sepeda mahal terparkir di teras, berikut beberapa setel pakaian olah raga. Laluka meraba sepeda itu dan berucap dalam hati, apa pun yang menyangkut Kaesar memang tidak pernah gratis. Ada harga yang harus dibayar, dalam hal ini tubuhnya.

**

Hujan turun dengan deras, menciptakan genangan di jalan-jalan padat kendaraan dan menciprati orang-orang yang berlalu lalang. Guruh dan kilat bersahutan, membuat suasana terasa mencekam. Di depan ruko kosong, segerombolan pemuda sedang berdiri menatap curah hujan, terselip rokok di bibir mereka dengan memakan gorengan dari bungkus kertas bekas.

Mereka berteriak, bicara keras, saling membual satu sama lain, tentang para gadis, uang, dan apa pun yang dianggap layak untuk diperdebatkan. Tidak ada yang mengalah, saling menjatuhkan dan tertawa bersamaan. Hanya satu pemuda yang terlihat tidak tertarik dengan obrolan mereka. Pemuda berambut gondrong dengan anting di telinga kiri, mengisap rokok dengan pandangan menerawang. Pikirannya penuh dengan masalah dan rasanya sungguh menyesakkan.

"Rainer, nglamun apa lo?"

Teguran dari temannya membuat Rainer menoleh. "Uang."

"Hah! Lo anak orang kaya tapi masih mikir uang. Nggak salah!"

Tawa kembali meledak, kali ini secara bersamaan mereka mengolok-olok Rainer. Bukan rahasia lagi, di antara mereka Rainer paling kaya dengan rumah paling besar. Meskipun pemuda itu selalu mengatakan kalau rumah itu milik orang tua, bukan miliknya. Namun, bagi teman-temannya tetap saja Rainer anak orang kaya.

"Gue pingin cari kerjaan yang bisa dapetin duit gede."

Melihat Rainer berucap dengan wajah serius, tawa menghilang dari mulut teman-temannya. Mereka kini mengurung Rainer dan menatap pemuda itu dengan pandangan tidak percaya.

"Lo serius?"

"Kapan gue pernah bercanda."

"Tapi, man. Orang tua lo kaya."

"Bangkrut, banyak utang." Rainer menatap teman-temannya satu per satu. "Gue sekarang emang kerja, tapi jadi admin gaji cuma 4 juta, kapan majunya gue. Ada nggak kerjaan lain yang gajinya lumayan besar."

Seorang pemuda bertubuh paling besar, menepuk pundak Rainer. "Lo yakin mau kerja gaji gede? Kerja apa saja?"

Rainer mengangguk. "Apa saja."

"Bagaimana kalau harus kerja kasar pakai tenaga?"

"Nggak masalah, asalkan gajinya besar."

"Setahu gue, lo sabuk hitam karate?"

"Yuup."

"Mau ikut kerja di tempat gue?"

"Yeah, ikut Huda saja. Gajinya gede."

"Kerjaan beresiko, Rainer tapi gaji emang besar."

Rainer menatap temannya yang bernama Huda sambil mendengarkan omongan teman-temannya. Semangatnya terangkat. Ia akan melakukan pekerjaan apa pun itu, asalkan menghasilkan uang yang besar. Tidak peduli kalau harus melakukan pekerjaan kasar sekali pun.

"Gue mau!"

Menunggu hingga hujan reda, mereka melanjutkan obrolan dan makan sepiring nasi goreng dari penjual di warung tenda. Pukul tujuh malam, Huda berpamitan pada yang lain dan membonceng Rainer dengan motornya menuju tempatnya bekerja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro