Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8a

Tangan Maryam bergerak cepat merapikan lembaran uang yang ia keluarkan dari dalam tas. Ia menata satu per satu dan menghitungnya. Besok harus dibawa ke bank dan dimasukkan ke tabungan. Sebenarnya, ini tugas akunting restoran. Ia cukup memerintah dan mereka akan melakukan perintahnya. Sayangnya, ia tidak cukup mempercayai mereka semua untuk memegang uang. Ia selalu menganggap para pegawainya tak ubahnya penjahat yang bisa setiap saat mencuri.

Sebenarnya, bukan hanya dengan pegawai restoran ia tidak percaya, bahkan dengan suaminya sendiri pun sama. Laki-laki itu akan mengambil sebagian untuk dirinya sendiri dan itu membuatnya jengkel.

Restoran memang milik Jaka. Laki-laki itu yang mendirikan tapi ia yang mengelola hingga seramai sekarang. Jaka tidak pernah peduli bagaimana agar restoran tetap disukai. Laki-laki itu mempercayakan semuanya pada manajer dan hanya menerima laporan saja.

Saat resmi menjadi istri Jaka, Maryam bekerja banting tulang pagi hingga malam, untuk membuat restoran maju. Maryam bahkan melupakan anak bungsu yang baru dilahirkan dan menyerahkan semua pengasuhan pada Laluka. Kini, anak sulungnya sudah tidak ada dan ia mengeluarkan uang untuk menggaji pengasuh. Uang yang tidak seberapa kalau dibandingkan dengan banyaknya waktu yang harus ia korbankan kalau mengasuh Jehan. Sayangnya, Jaka membuat masalah besar yang akhirnya membuat restoran bangkrut dan ia terpaksa menjual Laluka demi mereka. Menukar anak gadisnya dengan segepok uang yang menolong banyak orang. Berdalih bahwa yang ia lakukan demi keselamatan orang banyak, ia mengabaikan perasaan Laluka.

Meletakkan uang di dalam brangkas, senyum terkulum dari bibir Maryam. Lambat laun, tabungannya banyak dan pasti akan mencicil satu per satu utangnya. Kaesar memang memberikan banyak sekali uang, tapi semuanya habis untuk membayar kerugian dan juga modal awal restoran. Namun, masih banyak utang-utang lain yang belum terbayar seperti cicilan mobil dan lainnya.

Selesai dengan pekerjaannya, ia melangkah ke dapur. Mengernyit saat mendapati ruang tengah sepi. Biasanya Jehan ada di sana untuk menonton televisi ditemani pengasuhnya.

"Korin! Korin!"

Ia memanggil sang pengasuh dan mengernyit saat tidak mendengar jawaban. Dari arah kamar Jehan ia mendengar suara cekikikan, merasa heran ia membuka pintu dan mendapati Jaka serta Korin sedang bermain dengan Jehan.

"Ayah kenapa di sini?" tanyanya ketus.

Jaka yang semula sedang memangku Jehan, kini bangkit berdiri. "Main sama Jehan."

"Kenapa pintunya ditutup?"

"Oh, angin mungkin. Tadi kebuka."

Maryam menatap Korin yang memakai kaos ketat putih dengan celana pendek. Gadis itu berdiri di ujung ranjang dengan wajah memerah. Rambutnya yang dikuncir acak-acakan dan tubuhnya berkeringat.

"Kamu kenapa? Tanyanya pada gadis itu.

Korin mendongak lalu tersenyum. "Maaf, Nyonya. Tadi main lari-larian sama Jehan."

"Keluar! Buatkan aku makan!" Maryam memberi perintah.

Korin mengangguk lalu melangkah perlahan ke arah dapur diikuti oleh Maryam dan meninggalkan Jaka berdua dengan Jehan di kamar.

Korin tidak bisa memasak, saat Maryam memintanya menggoreng telur ternyata keasinan. Dengan terpaksa, Maryam sendiri yang menggoreng. Ia melirik dari atas penggorengan saat sosok Rainer melintas.

"Rainer, kamu mau makan?"

Rainer menghentikan langkah, menatap ibu tirinya dengan dingin. Penampilan pemuda itu terlihat berantakan dengan rambut panjang, anting-anting, dan celana robek.

"Kalau mau makan, aku gorengin telur."

Menatap Maryam yang sibuk dengan penggorengan dan pengasuh belia yang berdiri tak jauh dari wanita itu, Rainer menggeleng lalu meneruskan langkah ke kamar.

"Hei, anak nggak tahu sopan santun. Apa salahnya kamu menjawab. Hah!"

Teriakan Maryam dibalas dengan Rainer yang membanti pintu kamar dengan suara memekkan telinga. Di rumah ini, tidak ada seorang pun yang tahan dengan sikap rainer yang urakan dan cuek. Pemuda itu datang dan pergi sesuka hati, tidak ikut campur dengan urusan keluarganya. Maryam yang berusaha untuk lebih mendekatkan diri pada anak tirinya itu, pada akhirnya merasa kecewa sekaligus jengkel. Tidak peduli apa pun yang ia lakukan, Rainer tidak pernah menghargainya.

"Kenapa kamu teriak-teriak?" Jaka muncul dari dakam kamar. "Jehan sedang tidur."

"Anakmu, nggak pernah tahu sopan santun. Ditegur orang tua malah kabur!" Maryam duduk di kursi, makan nasi dengan telur goreng.

Jaka mengernyit, menatap istrinya. "Hanya itu? Kita makan pakai telur goreng."

"Iyalah, mau apa lagi? Memangnya kamu nggak bosan dengan masakan dari restoran? Lagi pula, lihat itu perutmu sudah membuncit!"

Tidak mengindahkan istrinya, Jaka bergegas ke ruang tamu. Mengganti sandal dengan sepatu ia keluar tanpa berpamitan. Dalam benaknya menyesalkan sikap istrinya yang terlalu irit hingga nyaris pelit. Mereka sudah bekerja keras hampir setiap hari, dan makan hanya dengan telur goreng adalah sebuah penghinaan.

**

"Bagaimana, Nek? Suka dengan lukisannya?"

Nenek Saniah tidak menjawab pertanyaan Laluka. Wanita tua itu hanya mengangguk dengan wajah semringah, menatap lukisan yang dipasang di dinding kamarnya. Dua wanita tua lain, duduk di samping ranjang, menatap lukisan dengan pandangan tidak mengerti.

"Kamu pintar melukis ternyata. Bunga mawar ini terlihat indah dan menawan." Andre memuji dengan nada kagum yang tidak ditutupi.

"Kemampuan dari kecil, hanya jarang aku kembangkan. Syukurlah kalau Nenek Saniah suka. Nanti aku Lukis lagi untuk dipasang di halaman depan dan tengah."

"Untuk mempercantik ruangan."

"Benar, mempercantik."

"Padahal, yang melukis juga sangat cantik."

Pujian Andre yang terang-terangan membuat Laluka tertawa. Laki-laki itu memang terbiasa memujinya dan ia sudah biasa mendengarnya. Menganggap pujian itu hanya bagian dari lelucon persahabatan mereka. Ia tidak pernah berpikir berlebihan tentang itu.

Selesai memasang lukisan Nenek Saniah, Laluka yang masih punya waktu satu jam sebelum pulang, membantu Nita untuk menyuapi makan bubur kacang hijau para lansia. Mereka duduk di teras. Tak lama Andre berpamitan pergi.

"Laluka, nggak bisa, ya, kamu kasih nomor ponselmu?" Laki-laki itu bertanya sebelum masuk ke mobilnya. "Aku bisa menelepon atau berkirim pesan."

Laluka menggeleng. "Aku nggak punya ponsel. Yang aku pakai punya orang."

"Serius nggak punya ponsel?"

"Iya, serius."

"Bagaimana kalau aku beliin?"

"Wow, jangan. Lebih baik uangnya buat panti, dari pada dibuang percuma untuk ponsel."

Sia-sia Andre merayu karena Laluka bersikukuh untuk tidak menerima bantuan apa pun. Saat mobil pemuda itu keluar dari halaman, tak lama sebuah kendaraan mewah meluncur masuk dari pintu gerbang. Para pengurus panti berhamburan keluar termasuk Nita untuk menyambut orang yang baru saja datang. Laluka yang tidak mengenal orang itu, tetap duduk di tempatnya.

"Apa kabar, Nyonya Amira. Anda terlihat sehat dan makin cantik."

Mereka menyapa bersamaan, saat seorang wanita digendong turun dari mobil dan dinaikkan sebuah kursi roda. Wanita itu cantik, berumur kurang lebih pertengahan empat puluhan. Memakai gaun yang terlihat mahal, menutupi hingga lutut, sekali pandang Laluka tahu kalau wanita itu bukan orang sembarangan.

**

Tersedia di Karya Karsa dan Goggle Playbook

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro