Bab 6a
Laluka berdiri di bawah pohon, mengipasi seorang nenek yang duduk di atas kursi roda. Sudah hampir dua puluh menit ia melakukannya dan sama sekali tidak mengeluh. Nenek Saniah sangat menyukainya. Senang kalau ditemani oleh Laluka. Wanita tua itu sering bicara saat bersamanya. Meski pun ucapannya susah dimengerti tapi setidaknya bisa terdengar. Nenek Saniah sering menceritakan tentang anak-anaknya dan bagaimana mereka terpisah, lalu terdiam dan lupa dengan apa yang dikatakan sebelumnya. Laluka sudah terbiasa mendengar ceritanya dan tidak menganggap sang nenek hilang ingatan. Mungkin hanya lupa untuk beberapa bagian hidup karena sesuatu masalah.
"Lukaa! Ini."
Seorang gadis berseragam suster, berlari mendekat dan memberikan sebotol air dingin untuknya. Laluka membuka tutup dan meneguknya. "Seger."
"Kamu, berdiri lama banget tapi nggak minum. Nenek, mau minum juga?" Gadis berjongkok dan membantu Nenek Saniah minum. "Nggak kepanasan di sini?"
Laluka menggeleng. "Sedikit, tapi suasananya cukup nyaman. Di dalam terlalu ramai."
"Memang, jam segini para orang tua sedang suka mengobrol. Karena tidur juga kepanasan biar pun ada kipas. Untuk beberapa orang malah nggak suka kipas karena masuk angin."
"Nita, berapa lama kamu kerja di sini?"
"Belum satu tahun."
"Kelihatannya kamu suka."
Nita tertawa. "Aku yatim piatu, Luka. Di sini seperti menemukan keluarga, selain itu juga dapat uang."'
"Hebat kamu."
"Nggak, kamu yang hebat. Bisa menaklukkan Nenek Saniah yang terkenal rewel. Ngomong-ngomong, kamu mau kerja di sini juga?"
Laluka menggeleng, meski jujur saja ingin juga kerja di sini tapi ia tahu tidak mungkin. Satu karena ia tidak punya keahlian apa-apa untuk merawat orang tua, selain memberikan perhatian. Kedua yang paling besar alasannya adalah Kaesar. Ia tidak mungkin meninggalkan laki-laki itu hanya untuk kerja di sini. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai ia melakukan itu. Bisa jadi keluarganya akan menjadi gelandangan dan Kaesar menutup tempat ini. Berdasarkan pada sifat laki-laki itu, entah kenapa ia merasa apa yang ada di pikirannya bukan mengada-ada.
"Kenapa Luka? Kamu ada kerjaan tetap?"
"Bisa dibilang begitu. Aku sudah terikat."
Ia tidak menjelaskan lebih lanjut tentang arti kata terikat. Nita pasti berpikir kalau ia terikat pekerjaan, padahal bukan itu maksudnya. Ia ikut Kaesar belum dua bulan, dan selama ini menjalani kehidupan sebagai wanita simpanan dengan cukup baik. Mengesampingkan harga diri dan melayani laki-laki itu. Pekerjaan dan utang keluarga yang mengikatnya pada Kaesar.
"Sayang sekali, padahal aku senang temenan sama kamu. Kak Andre baik, tapi dia laki-laki. Lebih enak mengobrol sama perempuan."
Keduanya bertukar pandang lalu tertawa bersamaan. Pintu gerbang membuka, Andre datang dengan mobil berisi bahan makanan. Nita pamit untuk membantu laki-laki itu membongkar sayur mayur dan membawanya ke dapur. Selesai semua, Andre menghampirinya.
"Luka, sudah lama di sini?"
"Sudah satu jam."
"Yah, udah mau pulang? Padahal aku baru datang."
"Lain kali datang lagi."
Andre merasa enggan melepas Laluka pulang. Tapi, tidak bisa apa-apa. Saat wanita itu pamit pergi, ia hanya menatap dari jauh. Ingin bertanya di mana rumah Laluka, tidak berani. Mau menanyakan nomor ponsel pun tidak berani. Laluka seperti menyimpan banyak rahasia yang enggan dibagi untuk orang lain. Andre menghela napas panjang, bertekad untuk tetap dekat dengan Laluka, meski harus melakukannya secara perlahan.
Tiba di rumah, Laluka dikejutkan dengan kedatangan Kaesar yang tiba-tiba. Untunglah ia sudah di rumah saat laki-laki itu menelepon dan mengabari akan tiba dalam waktu dua puluh menit.
"Untung Nona sudah pulang. Saya sempat kuatir tadi waktu beliau menelepon. Saya bilang saja Nona ke warung membeli sesuatu dan lupa membawa ponsel." Yuyun menyambut kedatangannya.
"Iya, Bi. Ponselku habis baterai."
"Syukurlah. Nona ganti baju dulu, nggak enak dilihat Tuan kalau keringetan begitu. Nanti dia curiga."
Tanpa kata Laluka berlari ke kamar. Menyiram tubuh dengan air, mengeringkannya dan memakai gaun yang baru. Ia sedang menyisir saat terdengar suara mobil berhenti di halaman. Meletakkan sisir, ia melangkah ke ruang tamu untuk menyambut Kaesar.
"Tuan."
Kaesar menyodorkan dua kantor besar padanya dan Laluka menerima dengan bingung.
"Baju untukmu, semoga ukurannya cocok," ucap Kaesar.
"Eh, di lemari masih banyak yang belum terpakai."
"Terserah kamu mau apakan, jual saja kalau nggak suka."
"Nggak, Tuan. Saya suka."
Laluka membawa kantong berisi baju ke kamar dan menaruhnya di dalam lemari. Ia berniat ke ruang tengah untuk melayani Kaesar saat laki-laki itu menyusulnya. Tanpa banyak kata, Kaesar menyergapnya dalam ciuman yang panjang dan panas. Laki-laki itu seperti penuh gairah yang tidak terbatas setiap kali dekat dengannya.
Laluka pasrah, saat Kaesar melucuti pakaiannya dan membaringkannya di ranjang. Mereka bercumbu untuk beberapa saat, sampai akhirnya Laluka merasa aneh karena tubuhnya dibuat menelungkup.
"Tu-tuan, ada apa?"
"Kamu sudah melihat film yang aku suruh," bisik Kaesar sambil menggigiti telinga Laluka.
"Su-sudah, Tuan."
"Kalau begitu kamu tahu apa artinya ini."
Laluka menjerit kecil saat Kaesar memasuki tubuhnya dari belakang. Ia tidak pernah membayangkan akan seperti ini rasanya. Perut seperti diaduk-aduk, bersamaan dengan gerakan Kaesar yang keluar masuk tubuhnya. Ia menahan diri untuk tidak menjerit, mencoba meredakan rasa tidak nyaman yang melingkupi kemaluannya. Kaesar terlalu bersemangat hingga melupakan dirinya.
Saat persetubuhan berakhir, Laluka merasakan kakinya bergetar hebat. Ia membalikkan tubuh dan berbaring di ranjang dengan keringat membanjiri tubuh. Kaesar mengamatinya sesaat lalu tanpa kata melangkah ke kamar mandi. Saat terdengar suara air mengalir dari pancuran, Laluka membasuh tetes air mata di pipi. Mengepalkan tangan dan menahan perasaan merana. Tidak perlu lagi menyesali diri, ini sudah jalan hidup yang diambil.
"Kamu sudah menghubungi orang tuamu?" Kaesar bertanya saat keluar dari kamar mandi.
Laluka yang terduduk di pinggir ranjang menggeleng. "Belum, Tuan."
"Punya ponsel untuk apa kalau begitu?"
Laluka menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata yang pas untuk diucapkan. Ia tidak mau Kaesar terlalu banyak tahu tentang urusannya dengan sang ibu. Meskipun ia yakin kalau laki-laki itu sedikit banyak pasti menduga.
"Saya sudah mengirim pesan pada Rainer."
Kaesar mengernyit. "Siapa, Rainer?"
"Adik tiri."
"Baguslah. Jangan tidak sama sekali. Aku tidak mau membuat masalah yang akhirnya menjauhkanmu dari mereka."
Nyatanya, hubungannya dengan keluarga memang jauh. Bukan perkara jarak tapi juga perasaan. Ada jarak luas dan panjang yang tidak ingin ia perpendek, setidaknya sekarang. Cukup komunikasi dengan Rainer, Laluka belum siap untuk menyapa sang ibu.
"Iya, Tuan."
"Aku sudah menstranfer uang jajanmu."
Kali ini Laluka hanya mengangguk, mengamati dalam diam, Kaesar yang sedang memakai baju. Berarti laki-laki itu tidak menginap. Datang hanya untuk bersetubuh dengannya lalu pergi lagi.
"Apa kamu ingin membeli sesuatu yang lain? Perhiasan mungkin?"
Pertanyaan dari Kaesar membuat Laluka menggeleng kecil. "Nggak ada, Tuan."
**
Di Karya Karsa besok ending
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro