Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5a

Dengan rokok menyala di tangan kiri dan ponsel di tangan kanan, pemuda itu terlihat sibuk dengan dunianya sendiri, tidak peduli pada sang mama yang sedari tadi mengoceh. Di sampingnya, sang papa pun hanya terdiam, mendengarkan bagaimana ocehan lembut berubah menjadi keras karena sang anak tidak mau mendengarkan.

"Kamu sudah dewasa, Daran. Sudah seharusnya membantu papamu, bukan malah enak-enakan tidur dengan artis yang hanya menginginkan uangmu!"

Saat anaknya tidak ada tanggapan, Amira yang geregetan meraih serbet putih dan melemparkan ke wajah Daran. Lap jatuh menimpa ponsel dan membuat Daran mengernyit.

"Mama kenapa, sih?"

Amira menuding panas. "Mama yang harusnya tanya kenapa! Kamu bandel sekali, Diajari tidak mau dengar juga, mau jadi apa kelak, hah!"

"Mau jadi apa? Yang pasti jadi manusia. Kalau hidup enak dibuat santai-santai kenapa harus repot-repot kerja." Dengan kurang ajar Daran mengedipkan mata ke arah sang mama dan tertawa lirih.

"Nggak tahu malu!"

"Santai, Ma. Serius amat jadi orang, Papa aja santai. Iya, kan, Paaa?" Daran bertanya dengan suara mengalun, yang seolah mengejek. Ia tahu kalau Kaesar tidak akan menanggapi ucapannya dan itu makin membuatnya kesal dan ingin mengejek lagi. "Aku dari lahir sudah hidup enak, untuk apa bersusah payah."

"Benar-benar anak kurang ajar kamu," desis Amira.

Kaesar yang sedari tadi terdiam, makan steak di piringnya dengan pelan. Ia membiarkan istrinya berdebat Daran. Mereka sudah biasa seperti itu dan ia tidak kaget. Ia tahu persis, meskipun Amira terlihat cuek dan marah terhadap sikap Daran, tapi di belakangnya pasti diam-diam membantu si anak. Ini sudah sering terjadi dan ia terbiasa dengan pertengkaran mereka.

"Kakek aja nggak marah aku begini dan begitu, lagi pula si artis itu juga punya pekerjaan. Nggak sepenuhnya mau minta uang dari aku."

"Nggak minta uang kamu? Tapi, tagihan kartu tinggi sekali. Siapa yang pakai?"

"Papa kali, coba tanya suamimu itu, Ma. Jangan-jangan dia punya pacar!"

Amira menoleh cepat pada suaminya dengan pandangan bertanya-tanya. Kaesar seolah tidak terpengaruh, mengiris daging dan menghabiskannya. Menuang segelas anggur merah dan meneguk hingga tandas.

"Aku masih banyak pekerjaan, kalian lanjutkan saja perdebatannya." Ia bangkit dari kursi dan melangkah menuju ruang kerja.

"Lihat'kan, Ma? Papaku itu menghindar, pasti ada apa-apanya."

"Hust! Jangan sembarangan kamu!"

"Mama selalu bela dia."

"Nggak, mama akan bela kamu asalkan kamu benar. Cobalah, emangnya nggak bisa, ya, kamu kerja?"

"Kerja, Maaa. Kerjaaa, nanti aku ikut Kakek saja."

Kaesar masih mendengar percakapan Amira dan Daran sebelum menutup pintu. Menuju meja, ia membuka laptop dan bersiap menyelesaikan pekerjaan. Malam ini, semua harus selesai sebelum besok menginap di rumah Laluka. Mendadak, ia merasakan kerinduan untuk membenamkan diri pada kehangatan gadis itu. Sudah lama ia tidak merasa begini, dan Laluka mampu membangkitkan gairahnya.

Ia menoleh saat pintu membuka. Amira muncul dengan kursi rodanya. Wanita itu tersenyum. "Sayang, Papa menginginkan kita datang ke rumah."

Kaesar mengernyit. "Papamu?"

"Iya."

"Dua hari lalu aku ketemu di kantor dan tidak ada bilang apa-apa."

"Mungkin nggak sempat, tapi dia meneleponku barusan dan menyuruh kita datang Minggu nanti."

Kaesar tanpa sadar menghela napas, seingatnya ia dan sang mertua bicara lama sekali dan tidak terucap undangan untuk datang ke rumah. Ia menatap wajah Amira yang berseri-seri dan paham kalau itu keinginan istrinya.

"Nggak bisa minggu depan? Aku banyak pekerjaan."

Amira mendekat, meraih tangan suaminya dan menggenggam erat. "Nggak bisa, Sayang. Harus Minggu ini."

"Tapi—"

"Kamu nggak mau Papa kecewa bukan?"

"Amiraa!"

"Ini perintah, Sayang."

Kaesar membenci perkataan istrinya yang penuh ancaman. Bisa saja ia menolak, hanya sedang tidak ingin bertengkar. Ia memperhatikan tubuh istrinya yang makin hari makin kurus, dan menyadari tidak ingin bersikap terlalu kejam.

"Baiklah, kita pergi."

Mendengar jawaban suaminya, Amira melepaskan genggamannya dan membelai lembut lengan Kaesar. "Nah, begitu. Baru suami yang baik. Sayang istri dan keluarga. Iya, kan?"

Kaesar tidak menjawab, mengalihkan pandangan dari Amira ke layar laptop. Malam ini, ia membiarkan Amira tersenyum bahagia. Banyak hal yang harus ia lakukan, dan tidak ingin membuang waktu dengan berdebat. Ia melirik dengan ujung matanya saat sosok Amira berlalu dengan kursi rodanya. Hatinya dipenuhi rasa yang tidak menentu.

**

Sudah hampir dua bulan Laluka ada di rumah Kaesar. Selama ini pula, ia tidak pernah pergi jauh kecuali jalan-jalan keliling komplek. Jangankan ke mall, ke pasar saja ia tidak. Peraturan dari Kaesar terucap jelas, untuk tidak membiarkannya berkeliaran sesuka hati di jalanan. Bukan karena demi keselamatannya, Laluka menduga kalau Kaesar tidak ingin ia kabur. Padahal dalam hati ia tidak pernah berniat melakukan itu. Ada banyak pertimbangan salah satunya keluarganya, meskipun mereka membuatnya menderita. Laluka berpesan pada Rainer untuk tidak memberikan nomor ponselnya pada sang ibu. Ia masih belum siap bertegur sapa dengan wanita yang melahirkannya itu. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan, selain perasaan juga uang.

"Ada panti jompo di ujung komplek, Bi. Pernah lihat nggak?" Laluka bercerita antusias pada Yuyun.

"Nona ke sana?"

"Iya, sudah dua kali. Ada seorang nenek yang senang kalau aku datang."

Laluka menceritakan bagaimana asal mula bisa ke tempat itu. Dimulai dengan salah jalan dan berakhir dengan bertemu teman-teman baru.

"Ada satu suster namanya Nita, aku suka dia. Gadis ceria dan pintar menyanyi. Lalu kepala pengurusnya Andre. Terkenal ramah orangnya."

Yuyun mengangguk. "Senang melihat Nona punya teman. Biar nggak bosan."

"Iya, Bi."

Percakapan mereka berakhir saat ponsel Laluka berbunyi. Kaesar mengabari akan datang dan meminta dibuatkan makan malam. Laluka membantu Yuyun memasak makan malam dan saat semua selesai, laki-laki itu tiba.

Laluka mengerjap, menatap Kaesar yang terlihat letih. Jambang dan janggut laki-laki itu lebih lebat dari kemarin dan ia melihat keletihan yang terlihat jelas di wajahnya.

"Makan malam sudah siap, Tuan. Sini, saya bantu mencopot jas."

Mata Kaesar membulat saat mendengar perkataanya. Namun, tidak menolak saat Laluka membantu membuka jas dan dasi dan membawanya ke kamar. Kaesar sedang mencuci tangan saat Laluka membantunya mengambil nasi.

"Lauknya bisa Tuan ambil sendiri."

Kaesar menarik kursi, mengamati makanan yang tersaji di atas meja. "Kamu yang memasak?"

Laluka mengangguk. "Kok tahu?"

"Bi Yuyun tidak pernah memasak yang beraneka ragam seperti ini."

Laluka menahan napas, ikut mengambil kursi dan menyendok nasi. Ia menunggu dengan was-was saat Kaesar mencoba makanan hasil masakannya. Yang dikatakan laki-laki itu memang benar, Yuyun tidak pernah memasak sup jagung dengan krim, ayam lada garam, dan daging dengan irisan paprika serta bawang bombay.

"Enak."

Pujian Kaesar saat mencicipi sop yang ia masak, membuat Laluka mendesah lega. Tidak sia-sia ia berkutat di dapur demi Kaesar dan laki-laki itu menyukainya. Entah kenapa, ia ingin membuat laki-laki itu senang, setidaknya sekali saja. Ini tidak ada hubungannya dengan sikap laki-laki itu yang ganas saat di ranjang.

Selesai makan, Kaesar yang biasanya langsung menuju kamar, kali ini duduk di sofa dan merokok. Ada laptop terbuka di depannya. Tingkahnya yang tdak biasa membuat Laluka heran sekaligus lega. Tapi, ia tidak mengungkapkan.

**

Bab 4 saya nggak posting di sini karena terlalu vurlgar, kalian  bisa baca di Karya Karsa atau nunggu ebook nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro