Bab 3b
Melepaskan pelukan istrinya dengan perlahan, Kaesar melangkah ke sofa dan mengenyakkan diri di sana. Mencopot sepatu, mengambil sebatasng rokok dan menyulutnya. Aroma tembakau yang terbakar, memenuhi ruangan.
"Ada masalah apa lagi dengan anakmu, Amira."
Amira tersenyum, memberi perintah pada pelayan yang mendorongnya agar pergi. Ia mendekati sang suami yang sedang merokok.
"Dia tidak pulang sudah tiga hari ini dan aku kuatir."
"Bukankah dia terbiasa begitu."
"Memang, tapi nggak pernah selama ini. Biasa satu atau dua hari masih pulang. Tapi, ini lebih dari tiga hari. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?"
Menghela napas panjang, Kaesar menatap istrinya sambil berdecak. "Kamu menyuruhku pulang hanya untuk mengatakan soal Daran yang minggat entah ke mana?"
Amira tercengang, menatap suaminya. Kilatan sakit hati, terpancar di matanya. "Hanya katamu? Ingat, Daran itu anakmu juga."
"Iya, iya. Kamu juga harus ingat Amira, Daran sudah dewasa. Bukan lagi anak belasan tahun. Terakhir saat dia tidak pulang dan aku menyuruh orang mencari, dia ada di klub penari telanjang! Dia akan pulang kalau memang mau pulang. Kalau sekarang dia tidak ada berarti dia yang tidak ingin ditemukan!"
Meremas jemarinya, Amira menahan rasa malu. Yang dikatakan suaminya memang benar, anaknya terbiasa hidup suka-suka dan tidak mau terikat aturan. Padahal, ia sering menasehati agar anaknya lebih menjaga diri. Mereka berasal dari keluarga kaya, dan menjadi panutan banyak orang. Tidak sedikit yang memujinya karena berhasil mendidik anak dengan baik, padahal kenyataannya Daran bukan anak penurut seperti yang selama ini masyarakat tahu.
"Aku tahu bagaimana, Daran. Tapi, sebagai papa tidakkah kamu merasa kuatir? Ini lebih lama dari waktu biasanya dia pergi."
Kaesar menatap istrinya, mematikan rokok dan mengibaskan abu yang rontok di atas celananya. "Kamu mau aku bagaimana? Mencarinya?"
Amira mengangguk cepat. "Iya, cari dia. Tidak peduli ada di mana, yang penting dia baik-baik saja dan masih hidup."
Kaesar melakukan beberapa panggilan. Selama menunggu jawaban, ia mengganti baju dan berkutat dengan pekerjaan di ruang kerjanya. Sementar Amira sibuk menawarkan makanan dan semua ia tolak. Dua jam kemudian ia mendapat kabar tentang di mana keberadaan Daran.
"Dia ada di apartemen seorang selebgram dan model terkenal."
"Syukurlah, apa dia baik-baik saja."
"Dari informasi yang didapat, dia masih hidup. Mungkin sedang dimabuk cinta, dan tidak ingat tentang kamu."
Amira tersenyum, mengucapkan terima kasih pada suaminya. Sebenarnya, ia bisa mencari sendiri di mana keberadaan anaknya, tapi jauh lebih menyenangkan untknya kalau sang suami memperhatikan masalah keluarga mereka. Bertahun-tahun menikah, makin hari sikap suaminya makin dingin dan menjaga jarak. Ia tidak suka diperlakukan seperti itu dan akan menggunakan segala cara untuk memancing perhatian dari Kaesar.
Hari ini Kaesar di rumah, meskipun sibuk dengan pekerjaan, tapi Amira tidak keberatan. Bisa melihat wajah suaminya, sudah kebahagiaan sendiri untuknya. Keesokan harinya, Kaesar pamit ke kantor dan mengatakan tidak akan pulang karena harus keluar kota. Senyum menghilang dari wajah Amira saat mengamati mobil suaminya meninggalkan halaman. Perasaan sedih menguasainya, menyesali diri menjadi wanita cacat yang tidak lagi menarik dan pada akhirnya, Kaesar tidak lagi mencintainya. Mengepalkan tangan di atas pangkuan, Amira merasa tidak berdaya.
**
Hari ini Kaesar hanya setengah hari berada di kantor. Saat makan siang ia meminta sopir mengantarkan ke rumah yang ditempati Laluka. Saat turun dari kendaraan, Yuyun menyongson kedatangannya.
"Tuan pulang lebih cepat ternyata."
Kaesar mengangguk. "Pekerjaan selesai lebih cepat. Di mana Laluka?"
"Di kamarnya, Tuan dan itu, Nona sakit."
Kaesar menghentikan langkah, menatap wanita tua yang menjadi pelayannya. "Sakit apa?"
"Sepertinya tipes, Tuan."
"Dari kapan?"
"Sudah beberapa hari ini."
"Kenapa tidak mengabariku?"
Yuyun menghela napas lalu menunduk. "Maaf, Tuan, Nona Laluka melarang saya menelepon."
Melangkah cepat menuju kamar, Kaesar membuka pintu tanpa mengetuk dan mendapati Laluka berbaring di ranjang dengan wajah pucat. Ia meraba kening gadis itu dan mengernyit saat mendapati suhunya lebih panas dari waktu normal.
Ia merogoh ponsel dan melakukan panggilan, lalu menoleh pada Yuyun. "Bi, kamu tunggu di depan. Dokter kenalanku sebentar lagi datang."
Yuyun mengangguk dan bergegas pergi, meninggalkan Kaesar berdiri tertegun di samping ranjang. Ia menatap Laluka yang tergolek lemah dengan wajah pucat. Terlihat begitu kecil dan rapuh. Gadis itu tetap tertidur dan tidak menyadari kedatangannya.
Duduk di samping ranjang, Kaesar kembali meraba wajah Laluka. Dari pipi, dahi, telinga lalu leher. Sentuhannya membuat gadis itu terjaga dan membuka mata.
"Tu-tuan."
"Tetap berbaring, sebentar lagi dokter datang."
"Saya nggak apa-apa, nggak perlu dokter."
Kaesar mengedip, menyingkan kaki. "Untukmu mungkin tidak penting, tapi tidak untukku. Biarkan dokter memeriksamu dan memberimu obat, aku tidak mau terjadi apa-apa denganmu yang akhirnya menyulitkanku."
Perkataan Kaesar yang terus terang membuat Laluka tersenyum miris. Bahkan dalam keadaan sakit pun, Kaesar tetap menganggapnya beban. Tidak ingin berdebat yang akhirnya menambah rasa sakit hati, ia menutup mata.
Dokter datang. Seorang laki-laki yang umurnya kurang lebih sama dengan Kaesar. Sang dokter mengatakan Laluka terkena gejala tipes dan harus banyak beristirahat. Dia juga menawarkan Laluka untuk rawat inapn di rumah sakit tapi ditolak olek Laluka.
"Saya ingin di rumah saja, Dok. Nggak mau dirawat di rumah sakit."
"Di rumah sakit peralatan medis lebih lengkap, kamu akan sembuh lebih cepat."
Laluka menggeleng, bersikukuh dengan keinginannya. "Di sini ada Bi Yuyun yang merawat saya. Tolong, Dok. Saya nggak mau di rumah sakit."
Akhirnya dokter berhenti membujuk setelah Kaesar pun mendukung keputusan Laluka untuk tetapn dirawat di rumah. Dokter memberikan resep obat-obatan dan vitamin, berpesan agar secepatnya menghubunginya kalau keadaan Laluka memburuk.
"Kenapa tidak meneleponku saat kamu sakit," tanya Kaesar saat mereka tinggal berdua di kamar.
Laluka tersenyum lemah. "Saya nggak mau merepotkan, Tuan."
"Setidaknya lain kali kamu ke dokter. Jangan bertindak bodoh yang bisa membahayakan kita berdua. Kalau terjadi sesuatu denganmu, aku akan terkena imbasnya. Kecuali ...." Kaesar menjeda ucapannya, menatap Laluka tajam. "Kamu ingin mati."
Laluka tidak menjawab, membiarkan Kaesar dengan asumsinya sendiri. Sekujur tubuhnya sakit dan kepalanya terasa berat, ia tidak ingin berdebat dengan laki-laki itu.
Selesai makan dan minum obat, Laluka kembali terlelap. Tidak menyadari Kaesar yang berdiri diam di samping tempat tidur cukup lama. Laki-laki itu menatap dengan pandangan yang tidak dimengerti. Hingga keesokan pagi saat Laluka membuka mata, Kaesar sudah pergi. Kelegaan membajirinya, untuk kali ini ia bisa lolos dari laki-laki itu untuk beberap hari. Mungkin tidak akan ada lain kali, tapi setidaknya ia akan menikmati waktu beristirahatnya.
Yuyun mengatakan, saat ia sembuh mereka akan ke bank untuk membuat rekening atas namanya. Kaesar ingin memberinya uang dan Laluka tahu itu adalah uang jajan untuknya. Apa artinya punya uang kalau jiwa dan raganya terpenjara di rumah ini. Memikirkan tentang nasib, Laluka kembali bergetar dalam kesedihan. Ia berharap waktu berlalu dengan cepat dan masa dua tahun terlewati dalam sekejap mata. Sayangnya, itu hanya impian yang tidak mungkin terwujud.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro