Bab 2b
Laluka menangis, pada tubuhnya yang terkoyak. Pada jiwanya yang terenggut paksa. Laluka menangis, saat dipaksa merasakan pedih, bukan hanya di kewanitaannya tapi juga nurani terdalam. Sementara Kaesar kini bergerak cepat, seolah tidak peduli dengan tubuhnya yang mengejang dalam rasa takut dan pedih.
"Kamu sekarang milikku, Luka. Tidak ada yang bisa merebutmu dari sisiku." Saat laki-laki itu berbisik sebelum mencapai puncak, Laluka terisak. Meratapi nasib sebagai wanita simpanan yang tidak punya kuasa untuk tubuh dan jiwanya sendiri. Bukan hanya tubuhnya yang luluh lantak tapi juga jiwanya.
Setelah persetubuhan yang merenggut tidak hanya kesucian tubuh tapi juga jiwa Laluka, gadis itu berbaring terdiam di ranjang. Ada bercak darah di sprei. Ia terisak setelah Kaesar keluar dari kamar. Tidak berani menangis terlalu kencang, karena tidak ingin menimbulkan masalah. Pertama kalinya dalam hidup, ia merasa sangat kotor dan membenci dirinya sendiri karena itu.
Berbaring miring, Laluka mengabaikan pangkal pahanya yang berdenyut nyeri. Ia masih telanjang, membiarkan tubuhnya terpapar pendingin udara dan berharap seandainya rasa dingin bisa membunuhnya. Mengerjap untuk mengusir air mata, Laluka menatap nanar pada tembok putih. Rumah ini bagaikan penjara untuknya dan ia dipaksa menjadi tawanan.
"Jangan lupa memberi kabar kalau kamu tinggal di rumah Tuan Kaesar."
Ia teringat ucapan sang ibu, sesaat sebelum pergi. Merasakan tusukan kesedihan. Maryam tidak berusaha menghibur atau menahan langkahnya. Yang dikeluarkan oleh wanita itu, justru kata-kata yang membuat dirinya makin terhina.
"Ini kesempatanmu jadi kaya. Kapan lagi jadi simpanan orang kaya. Awas kalau kamu bersikap bodoh!"
Saat itu Laluka berharap, seandainya ia tidak dilahirkan ke dunia, tentu akan lebih bagus. Untuk apa ia lahir dan dibesarkan kalau pada akhirnya menjadi budak dari orang lain. Semua terjadi karena uang. Meringkuk lebih dalam, Lalula menahan perih di ulu hati. Tubuhnya menggigil dan isak tangis mulai tak terkendali. Ia terdiam saat terdengar ketukan lirih di pintu. Berniat untuk tidak membukanya, sampai terdengar suara Yuyun. Ia tidak tega dengan perempuan tua itu.
Yuyun tidak mengatakan apa pun saat melihat Laluka berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut. Ia menyodorkan minuman di dalam gelas kristal.
"Silakan diminum, ini akan membuat tubuhmu bugar kembali."
Laluka menerima dengan enggan. Meneguk perlahan, ia tidak menolak saat Yuyunmemintanya duduk di sofa. Perempuan itu membantunya mengumpulkanm pakaian yang berserak di lantai, meraih satu lembar mini dress dan memberikan padanya.
Laluka menyesap minuman di tangan. Mengernyit saat mencium aromannya. Ia bisa mengenali jahe, kunyit, serai, tapi beberapa rempah ia tidak tahu.
Yuyun mengganti seprai tanpa kata. Perempuan itu tidak terpengaruh meski melihat bercak darah di seprei. Melakukan pekerjaannya dengan cepat dan rapi,Yuyun menatap Laluka yang duduk tak bergerak.
"Mau saya buatkan sesuatu untuk makan?"
Laluka menggeleng. "Nggak, Bu. Aku ingin istirahat. Apa Tuan sudah pergi?"
"Sudah, dua puluh menit lalu mungkin. Beliau berpesan, akan datang kembali esok siang."
Laluka menahan rasa lega yang diam-diam membanjiri perasaannya. Saat rapuh dan terhina seperti sekarang, ia tidak ingin bertemu dengan laki-laki itu. Ia butuh waktu untuk bernapas dan kembali menetralkan perasaan.
Setelah Yuyun pergi, ia kembali berbaring. Menatap nanar pada langit-langit kamar. Posisi rumah yang jauh dari jalan raya, membuat suasana sunyi. Sesekali suara kendaraan lewat, itu pun jarang. Tinggal di sini, berteman dengan sepi dan Laluka merindukan kehangatan keluarga. Sayangnya, ia tidak lagi bisa menikmatinya.
Laluka tertidur dengan kondidi tubuh letih. Berharap esok saat bangun, semua yang menimpanya hanya mimpi.
Pagi-pagi ia terbangun karena suara sapu. Laluka mengerjap, melihat matahari mulai terbit. Bangkit perlahan, ia mulai membasuh tubuh dan keramas. Yuyun mengetuk pintu saat ia sedang mengeringkan rambut.
"Sarapan, Nona."
Roti panggang dengan bermacam selai tersaji di atas meja, berikut kopi dan teh panas. Laluka memaksakan diri mengunyah roti selai kacang dengan teh tawar hangat. Ia harus makan meski mulutnya terasa pahit. Setidaknya ia membutuhkan tenaga.
Selesai sarapan, ia berkeliling rumah. Hanya sekadar ingin tahu bagaimana kondisinya dan mendapati kalau ada tiga kamar di rumah ini. Karena tidak melakukan apa pun, Laluka kembali ke kamar dan tertidur.
Ia terbangun saat merasakan jemari panas menyusuri tubuhnya. Jari jari itu meremas lembut dadanya dengan napas hangat menyapu lehernya. Laluka terbeliak dan melihat Kaesar tanpa memakai baju, sedang berbaring di belakangnya.
"Tu-tuan ...."
"Ehm, santi saja. Nimati" Laki-laki itu berbisik.
Laluka menggeleng, ingin menyingkirkan tangan laki-laki yang kini mengelus perutnya, Pakaiannya tersibak hingga ke dada. Ia menggeliat tapi jemari Kaesar kini bergerak ke arah vaginanya dan lagi-lagi bermain di sana. Laluka menahan diri untuk tidak muntah.
"Santai, jangan tegang."
Bagaimana ia tidak tegang, saat tangan laki-laki itu kini melucuti pakaianya, berikut celana dalam dan bra. Dalam keadaan telanjang, Laluka dipaksa untuk terlentang dan membiarkan laki-laki itu bermain-main dengan tubuhnya. Jejak basah ditinggalkan pada leher, pundak, puting, dan perutnya. Laki-laki itu menggunakan seluruh tenaga untuk menekan tubuhnya.
"Kamu belum basah, Luka. Kenapa? Perlu pemanasan lebih lama sepertinya.
Laluka ingin meneriakan penyangkalan tapi tidak ada keberanian melakukannya. Ia memejam saat jemari laki-laki itu bermain-main di alat kelaminnya. Mengepalkan tangan untuk memegang sprei dan memaksa mulutnya untuk tidak berteriak. Tetap saja ia mengerang kesakitan saat Kaesar menyatukan tubuh mereka. Memang tidak sesakit kemarin, tapi tetap saja perih.
Dengkus napas laki-laki yang sedang bergerak di atas tubuhnya, terdengar nyaring. Laluka mengernyit, berharap tidak kehabisan napas.Perasaan aneh melingkupinya, saat alat kelamin laki-laki itu keluar masuk. Kaki dan pahanya menegang, menahan sakit.
"Jangan kaku begitu, Laluka. Luruskan kakimu, santai. Aku sedang tidak memperkosamu."
Bisikan laki-laki itu terdengar mengancam di telinganya. Laluka menggigit bibir, meluruskan kaki dan pahanya yang menegang. Bukankan persetubuhan yang dilakukan atas kemauan salah satu disebut dengan pemerkosaan? Lalu, apa bedanya yang sekarang sedang dilakukan Kaesar padanya.
Saat laki-laki itu menghentikan gerakannya, Laluka bernapas lega. Namun, dugaannya kalau Kaesar sudah selesai itu salah. Tangan laki-laki itu merengkuh pinggulnya, Laluka melotot saat Kaesar duduk menekuk lutut di hadapannya. Dengan meletkkan kedua pahanya di atas bahu laki-laki itu, Kaesar memasukinya.
"Sudah kubilang santai, kenapa kamu kaku sekali."
Tanpa ampun Kaesar menyetubuhinya. Tangan laki-laki itu bermain di dada dan putingnya yang menegang. Laluka menahan erangan. Sakit, bukan hanya pangkal paha tapi juga di hati. Perih, bukan hanya rasa malu tapi juga harga diri yang terhempas. Rasanya, tubuh dan jiwanya serasa tak berarti dalam genggaman Kaesar.
Saat laki-laki itu tergolek di atas tubuhnya dengan napas yang terasa panas, Laluka bertanya-tanya untuk apa ia hidup hingga dua puluh tahun lamanya. Apakah Tuhan memberinya nyawa demi dibuat sengsara? Laluka tidak mengerti, karena sekarang hidupnya tak ubahnya berada di dalam neraka.
***
Update setiap hari di Karya Karsa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro