Bab 1b
"Tuan Kaesar, silakan duduk."
Maryam berdiri, menatap penuh hormat pada laki-laki itu. Begitu pula Jaka yang sedari tadi terdiam, kali ini tersenyum.
"Maaf terlambat," ucap laki-laki itu.
"Nggak apa-apa, Tuan. Kami juga baru datang."
Laluka tidak tahu apa hubungan laki-laki itu dengan orang tuanya. Kenapa ibunya terlihat begitu hormat begitu pula Jaka. Mereka adalah pemilik restoran tapi seolah laki-laki bernama Kaaesar adalah majikan yang sebenarnya.
Saat meraih minuman, Laluka mendongak dan sekali lagi matanya bersirobok dengan laki-laki itu. Umur Kaesar beberapa tahun lebih muda dari Maryam, meski begitu sikapnya yang penuh wibawa dan dingin, membuat orang-orang enggan bicara padanya, begitu pula Laluka. Ia beranggapan jauh-jauh dari laki-laki itu akan membuat hidupnya aman.
Sepulang dari acara makan, wajah Maryam dan Jaka berubah. Yang tadinya mencebik dan suram, kini bercahaya. Keduanya malah sibuk merencanakan banyak hal yang tertunda terutama soal restoran. Beberapa hari kemudian, Laluka tahu apa penyebabnya. Saat kedua orang tua memanggil pada suatu malam, ia tahu kalau nasib seorang peran pembantu, justru lebih mengenaskan dari peran utama.
"Tuan Kaesar menyukaimu, Laluka. Itu suatu kehormatan untukmu. Apa kamu tahu kalau laki-laki itu miliarder dan penguasa di kota ini?"
Ucapan ibunya membuat Laluka menggeleng bingung. "Apa hubungannya dengan kita, Bu."
Maryam tersenyum, mengusap bahu anaknya. "Ada hubungan penting tentu saja dan semua ini demi kamu."
"Maksudnya?"
Maryam duduk di depan anak perempuannya. Meraih tangan Laluka dan meremasnya. "Kamu tahu bukan kalau kita sedang ada kendala keuangan? Restoran nyaris tutup karena bangkrut?"
Laluka mengangguk.
"Tuan Kaesarlah yang menyelamatkan kita. Beliau menggelontorkan banyak uang bukan hanya untuk membuat restoran kita tetap buka tapi juga membayar utang-utang."
Laluka masih terdiam mendengarkan.
"Ada satu hal yang beliau minta sebagai kompensasi atas kebaikannya, yaitu, kamu."
"Aku? Maksudnya apa?" Laluka bertanya bingung.
Maryan menggigit bibir bawah, memaksakan diri untuk tetap tenang dan tersenyum. "Laluka, kamu sudah dua puluh tahun, harusnya mengerti apa yang aku maksud."
Laluka menggeleng. "Nggak, aku nggak paham Ibu maksudnya apa?"
"Sudah jelas, Sayang. Tuan Kaesar menyukaimu. Dia ingin kamu menjadi istrinya."
"Apa?"
"Kamu nggak salah dengar, Luka. Ini justru kesempatan bagus bagimu."
Laluka menggeleng, berusaha mencerna ucapan ibunya. Soal laki-laki menyeramkan yang kata sang ibu menyukainya. Ia tidak habis pikir, bagian mana dari dirinya yang disukai laki-laki itu, sedangkan mereka baru bertemu satu kali. Ia bahkan tidak mengenalnya dan sangat berharap ibunya salah.
"Bu, aku nggak mau."
"Harus mau! Dilarang menolak!" Maryam membentak marah, menuding anak perempuannya. "Kalau kamu menolak, sama saja menjerumuskan keluarga kita dalam masalah. Kamu mau kami di penjara, hah!"
Laluka mengusap wajah, berharap kalau ibunya sedang bersandiwara dan ada tumpukan skrip di hadapan mereka. Ia berharap, mereka sedang memainkan peran tentang miliarder kaya yang mencari istri dengan cara membayar utang. Namun, ia tahu kalau sekarang nyata. Ibunya tidak sedang bersandiwara.
"Uang yang kita pakai untuk memodali restoran dan membayar utang-utang adalah milik Tuan Kaesar. Kesepakatan dari awal adalah, beliau memintamu menjadi istrinya dan semua utang lunas."
"Aku bukan benda, Bu. Aku juga punya perasaan. Bagaimana mungkin kalian seenak saja menjualku!!"
Laluka berteriak keras, membuat Jaka dan Jehan berhamburan keluar dari kamar mereka. Rainer yang baru saja pulang sekolah, tertegun di dekat pintu menatap Laluka yang sedang emosi. Bisa jadi mereka heran karena tidak biasanya Laluka yang lembut itu mengamuk.
"Kamu punya perasaan? Tapi, nggak mempertimbangkanm nasib kami? Kalau kamu menolak, bukan hanya orang tuamu yang masuk penjara tapi adik-adikmu juga terlantar. Itu yang kamu mau, hah! Kamu tega melakukan itu pada kami, Laluka!"
Laluka menangis tiada henti. Ia memohon dengan suara terbata-bata pada sang ibu, tapi Maryam tidak terpengaruh.
"Tuan Kaesar sudah punya istri, kamu hanya menjadi istri keduanya, Laluka. Lakukan ini demi kami, demi orang tua dan adik-adikmu."
Malam itu, Laluka menangis tiada henti. Maryam dan Jaka sudah membuat keputusan dan ia tidak bisa menolak. Rainer yang melihatnya menangis, masuk ke kamarnya dan menyodorkan sebatang coklat padanya. Laluka menatap adiknya, berusaha tersenyum tapi tenggorokanya tercekat dan sakit.
"Kalau kamu mau kabur, aku akan membantumu."
Lalukan kaget dengan perkataan Rainer, tapi terlalu sedih untuk menjawab. Meraih coklat di atas meja, ia mengucapkan terima kasih dengan terbata. Di rumah ini, hanya Rainer yang mengerti keadaannya, meski pemuda itu jarang bicara. Rainer yang bersedia ke toko untuk membelikannya pembalut saat haid, membawakannya jajanan saat pulang sekolah, dan menemaninya pada malam-malam sunyi saat kedua orang tua mereka lembur sampai jauh malam.
"Kalau aku kabur, kalian semua akan masuk penjara." Laluka terisak.
"Mereka yang berutang, kamu yang menanggung akibatnya. Itu nggak adil."
Laluka mengangguk. "Hidup memang nggak pernah adil padaku, Rainer. Aku bingung dan putus asa."
Pada akhirnya, Laluka tidak dapat menolak keinginan orang tuanya. Maryam yang ketakutan akan masuk penjara, jatuh sakit. Selama itu pula, Maryam terus menangis dan memohon pada anaknya. Meski hatinya berat, tapi melihat penderitaan dan ketakutan orang tuanya, mau tidak mau Laluka luluh. Menyingkirkan rasa takut, ia setuju menjadi istri simpanan Kaesar.
Saat mendengar keputusannya, Maryam memeluk dan mengucapkan terima kasih bertubi-tubi. "Aku yakin kamu akan bahagia, Luka. Kaesar itu laki-laki kaya yang akan memenuhi semua kebutusanmu. Bersamanya, kamu nggak akan pernah kekurangan dan aku yakin kamu akan bahagia."
Rasa bahagia terenggut lepas dari hidup Laluka saat ia menyetujui rencana mereka. Tidak akan ada upacara pernikahan, karena Kaesar hanya menginginkannya sebagai wanita simpanan. Saat Maryam memberitahukan keputusan Laluka pada Kaesar, keesokan harinya rumah mereka banjir oleh hadiah.
"Kenapa kamu menjual tubuhmu demi mereka, kenapa?"
"Rainer, aku—"
"Jangan bilang kamu lakukan ini demi orang tua kita, Luka. Ingat, kamu bukan budak di sini."
Meski berbeda usia, Rainer tidak pernah memanggilnya kakak. Pemuda itu memang pendiam tapi berteriak paling keras saat Laluka tersakiti. Hanya Rainer yang tidak bahagia melihat tumpukan hadiah di rumah. Laluka yang tidak punya jawaban atas pertanyaan pemuda itu, hanya menunduk diam.
Ia hanya menangis, saat mendengar Rainer memaki kedua orang tua mereka. Ia tetap terisak, saat ibunya pingsan dan sang ayah mengamuk. Pada akhirnya, keadaan rumah menjadi kacau karenanya.
Laluka merapikan pakaian yang akan dibawa dan memasukkan ke dalam koper. Kaesar akan menjemputnya dan membawanya tinggal di rumah laki-laki itu. Ia ingin melarikan diri tapi tidak punya keberanian melalukannya. Bisa jadi ia memang bodoh, tapi rasa belas kasihnya pada keluarga, membuatnya tak berdaya.
"Tuan Kaesar menunggumu di mobil." Seoarang laki-laki kurus datang membawa mobil Mercy putih dan berucap pada Laluka yang menyambut di depan pintu. "Mana barang-barangmu, biar saya bawa ke mobil."
Laluka menunjuk dua koper kecil dan membiarkan laki-laki itu membawanya ke mobil. Tidak ada orang di rumah saat ini dan menyimpan kesedihan di dada, ia masuk ke mobil dan terisak. Di jok depan, ia melihat Kaesar dan sama sekali tidak berniat menegurnya. Laluka masih beranggapan kalau kesialan yang menimpanya, itu karena perannya terlalu kecil dalam sinetron hidup paling kejam yang menimpanya.
**
Menulis cerita ini, saya merasa jadi orang paling kejam di dunia.
Oh ya, di Karya Karsa sudah sampai bab 3. Mulai Minggu depan akan posting setiap hari di sana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro