Bab 13b
Sarapan pagi yang muram. Tiga orang duduk menghadap meja dengan wajah suram. Hidangan di atas meja berupa roti bakar yang agak gosong, telur ceplok yang bentuknya sama sekali tidak indah, dan selesai nanas botolan. Tidak ada yang berniat menyentuhnya, mereka berkumpul untuk bicara bukan untuk makan.
"Kamu tahu bukan? Tindakanmu tadi malam bisa berakibat fatal untuk Laluka?" Maryam mendesis marah, ke arah Rainer yang duduk di seberangnya. Kebencian yang ia rasakan pada pemuda itu selama bertahun-tahun, kini menguar dan menunggu untuk dilampiaskan.
Jaka berdehem, melihat kuatir ke arah istrinya yang sedang murka lalu menatap anak laki-lakinya. "Rainer, lain kali jangan begitu. Kamu tahu siapa Tuan Kaesar. Dia—"
"Nggak, aku nggak kenal dia siapa? Lagi pula apa urusannya denganku!" sela Rainer cepat.
Maryam menggebrak meja. "Bisa kamu ngomong begitu. Tuan Kaesar yang sudah menolong keluarga kita."
"Yang ditukar dengan tubuh dan jiwa Laluka. Tolonglah, kalian berdua suami istri sama saja. Sama rakusnya dengan uang. Sampai-sampai menjual anak sendiri!"
"Kurang ajar kamu!" teriak Maryam. Kemarahannya tidak dapat lagi dibendung. "Semua kami lakukan demi masa depanmu dan Jehan!"
Rainer bangkit dari kursi, berkacak pinggang ke arah Maryam. Ia tidak peduli lagi arti sopan santun atau anak tidak berbakti. Sudah bertahun-tahun ia menyimpan rasa tidak puas atas perilaku ibu tirinya dan sekarang kesempatan yang pas untuk menumpahkan uneg-unegnya.
"Aku bisa mandiri! Aku kerja sekarang! Jehan juga nggak butuh biaya banyak. Yang kalian lakukan hanya mencari alasan dan pembenaran atas tindakan biadap kalian!"
"Rainer! Sudah keterlaluan kamu!" Jaka ikut membentak.
Rainer menerik kursi, menjauh dari dua orang yang membuatnya muak. Ia membenci dirinya sendiri karena hidup di keluarga dengan orang tua yang tidak punya hati nurani.
"Akui sajalah, yang aku katakan benar. Kalian menjual Laluka demi harta. Nggak pernah mau tahu apakah dia bahagia atau tidak. Kalian nggak peduli selama ada uang di saku kalian. Iya, bukan? Asal kalian tahu, bahkan binatang pun tidak akan memakan anaknya sendiri. Kalian, jauh lebih menjijikan dari binatang!"
Maryam berteriak keras. "Aaargh! Lihat anakmu Jaka! Berani-beraninya dia!" Ia meraih gelas di atas meja dan melemparkannya ke arah Rainer tapi luput karena pemuda itu berkelit dengan cepat.
Sebelum Maryam sempat memulai tindakannya, Rainer bergerak lebih dulu. Mengambil kursi dan menghantamkannya ke dinding. Samar-samar terdengar lirih tangis dari kamar. Sepertinya Jehan dan Rainer mengabaikannya. Ia menatap Maryam tajam dan berkata penuh kebencian.
"Ingat, kamu bukan ibu kandungku! Jangan coba-coba ingin menyakitiku, atau aku balas! Aku bukan Laluka! Camkan itu!"
Suara pintu depan dibanting, terdengar memekakkan telinga. Maryam menatap serpihan kayu di lantai lalu terduduk dan kembali menangis., Jaka hanya berdiri diam, menatap istrinya lalu menggelengkan kepala. Tidak mengerti harus bagaimana. Di dalam rumah ini posisinya memang paling sulit. Satu adalah istrinya dan satu lagi adalah anak kandungnya. Ia tidak mungkin memilih salah satu di antara keduanya.
**
"Nona, sudah bangun?"
Yuyun memanggil Laluka dengan hati-hati dan suara lembut. Tadi malam, ia nyaris tidak dapat memicingkan mata sesaat setelah mendengar raungan yang menyayat hati dari dalam kamar ini. Ia takut dan berharap kalau Laluka akan baik-baik saja.
Meskipun ia mengenal Kaesar lebih dulu. Berterima kasih atas semua kebaikan laki-laki itu padanya, tetap saja ia tidak suka dengan tindakannya yang suka menyakiti Laluka. Mungkin bukan sakit secara fisik tapi ia yakin kalau mental Laluka tidak baik-baik saja.
Ia duduk di samping ranjang, mengusap bahu telanjang Laluka. Wanita itu sudah bangun, hanya enggan untuk menjawab dan ia tidak memaksa. Dengan penun kelembutan, ia memijat bahu Laluka, lalu naik ke leher dan kembali ke bahu. Bukan pijatan yang akan membuat sakit tapi setidaknya membantu menenangkan.
Laluka tidak bergeming, masih terdiam dengan mata menatap jendela. Yuyun meraih tisu dan membasuh keringat di dahi dan wajah Laluka. Semalam, wanita itu lupa menyalakan pendingin.
"Bi, apa kamu tahu semalam kami ke mana?" ucap Laluka dengan suara lirih.
Yuyun menggeleng. "Ke mana, Nona?"
"Ke restoran keluargaku. Kamu tahu apa yang terjadi?"
Yuyun punya firasat buruk, meski begitu ia tetap menggeleng. "Nggak tahu."
"Ibuku yang baik hati itu, nggak sekalipun menanyakan bagaimana keadaanku di sini. Saat melihat Tuan, yang ditanyakan adalah, kapan sisa pembayaran bisa didapatkan."
Yuyun merasa hatinya diremas. Ia punya dugaan, hanya saja rasanya menyakitkan sekaligus memalukan untuk mengungkapkannya.
"Ibukuu! Minta sisa pembayaran atas tubuhku! Laluu, Tuan Kaesar yang terhormat, dia marah karena aku bicara dengan adik tiriku. Kamu kenal'kan? Rainer. Dia marah dan menghukumku. Bi Yuyun, apa gunanya aku hiduup!"
Laluka kembali menangis, kali ini dengan Yuyun ikut menangis bersamanya. Ia seorang wanita yang sudah berumur, mengerti bagaimana rasanya tidak diinginkan. Saat suaminya meninggal, tidak satupun keluarga suaminya mau menerimannya. Kalau bukan karena Kaesra, ia pasti menggelandang di jalan. Ia mengerti perasaan Laluka, lebih dari siapapun. Merasa sendiri, tidak dihargai, dan terlupakan.
Yuyun tetap memijat bahu Laluka, kini berpindah ke betis wanita itu. Ia bisa melihat pergelangan tangan Laluka yang memerah tapi tidak bertanya apa-apa. Sudah cukup banyak penderitaan yang dilalui wanita itu dan yang dibutuhkan sekarang hanya teman untuk menangis.
Mengusap punggung Laluka yang telanjang, Yuyun memberikan penghiburan. Ia bernyanyi lirih, lagu anak-anak untuk menenangkan. Ia hanya wanita bodoh, yang tidak mengerti bagaimana menghibur seorang wanita muda yang sedang bersedih. Yang bisa ia lakukan hanya bernyanyi, untuk menghentikan tangisan Laluka.
"Bi Yuyun, terima kasih."
Itu yang diucapkan Laluka sebelum bangkit ke kamar mandi untuk mengguyur tubuh, meninggalkan Yuyun yang sedang membenahi ranjang.
**
Rapat berjalan dengan alot. Orang-orang yang berada di ruangan dibuat tak berkutik oleh Kaesar. Laki-laki itu memberondong dengan segudang peratanyaan, mencecar, dan mengharapkan jawaban. Wajah dan tubuh mereka bersimbah peluh, menandakan ketegangan yang mereka alami. Semua karena masalah yang tidak kunjung selesai dan belum menemukan jalan keluar.
"Pengawasan perusahaan ini begitu lemah! Kalian setiap hari digaji besar untuk bekerja membangun perusahaan, bukan untuk berdiam diri dan membuat kehancuran!"
Suara Kaesar terdengar kerasa menembus dinding. Laki-laki itu berdiri menjulang di ujung meja dan menatap satu per satu anggota rapat dengan ekpresi yang seolah ingin membinasakan mereka semua.
"Banyak trasaksi tidak dicatat. Banyak dana bocor entah ke mana. Kalian staff keuangan malah saling tuduh satu sama lain, saling lempar kesalahan. Sekarang, dengarkan aku!" Kaesar meraih tumpukan dokumen di atas meja dan melemparkannya ke tengah-tengah. "Cari sampai dapat aliran dana di pembukuan itu. Aku berikan waktu satu Minggu, bagi yang tidak bisa menjalankan tugasnya, aku pastikan tidak akan bekerja di sini lagi. Camkan itu!"
Ancaman Kaesar menjalar cepat dari mulut ke mulut. Bukan hanya staff keuangan yang takut, bagian lain pun sama. Mereka mengenal Kaesar sebagai orang yang tegas dan tidak akan main-main dengan perkataannya. Kalau laki-laki itu mengatakan akan memecat siapa pun yang dianggao tidak mampu menjalankan tugas dengan baik, sudah pasti dia akan melakukan itu.
Selesai rapat, diikuti oleh asistennya, Kaesar kembali ke kantornya. Ia membutuhkan rokok untuk meredakan emosinya. Kali ini bukan hanya soal perusahaan yang membuatnya marah, tapi Laluka juga. Entah kenapa saat melihat Laluka berada dalam cengkeraman laki-laki lain, bicara intim dengan tubuh saling berdekatan, membuat emosinya memuncak. Padahal ia tahu kalau mereka bersaudara, tapi kemarahan menutup logikanya.
"Aku sudah bekerja Laluka. Suatu hari nanti, aku akan membebaskanmu!"
Perkataan Rainer bahkan masih teringat hingga kini. Laki-laki muda yang terlihat begitu menyukai sang kakak. Mungkin Laluka hanya menganggap adik, tapi ia yakin tidak begitu dengan Rainer. Sialnya, ia tersulut emosi karena pemuda itu.
"Tuan, ada telepon dari Nona Sofia." Kaesar ingin menolak tapi asistennya menggeleng. "Penting katanya, tentang Black Heaven."
Ia mengambil ponsel dan menyapa Sofia. "Ada apa, Sofia."
"Kaesar, untunglah kamu di kantor. Bisakah malam ini kamu datang ke klub?"
"Ada masalah apa?"
"Banyak dan aku ingin mengatakannya secara langsung. Ini bukan soal pribadi, aku jamin itu. Ini soal klub."
Mendengar nada serius dari Sofia, Kaesar tahu kalau wanita itu tidak berbohong.
"Jam delapan aku ke sana."
"Oke, aku tunggu!"
Selesai menerima panggilan, Kaesar mematikan rokok dan mengenyakkan diri di kursi. Banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan dan bisa jadi selama beberapa hari kedepan ia tidak akan kekurangan waktu tidur. Pesan dari Amira masuk setengah jam kemudian.
"Beberapa hari ini kamu kerja terus menerus sampai lupa pulang. Nggak bisakah kamu pulang sebentar?"
Kaesar menatap layar ponsel dan mengetikkan balasan. "Malam nanti aku pulang."
"Benarkah? Bisakah kita makan malam bersama?"
"Tidak bisa malam ini. Besok saja."
"Okee, aku tunggu kamu pulang, Sayang."
Meletakkan ponsel di meja, Kaesar membayangkan sosok istrinya yang begitu anggun dan lembut. Duduk di kursi roda tidak membuat wanita itu patah semangat. Ia tahu kalau Amira bergabung dalam banyak sekali yayasan sosial. Kesibukan wanita itu yang justru banyak membantu agar Amira tidak selalu menuntut untuk bertemu.
Kaesar tahu, Amira tidak sepolos yang terlihat. Entah bagaimana ia yakin kalau istirnya tahu ia punya wanita lain. Bisa jadi Amira tahu kalau ia membutuhkan kehangatan tubuh perempuan dan sekian lama menyimpan hasrat di dada, kini terlampiaskan pada Laluka.
Menyandarkan kepala pada sandaran kursi, pikiran Kaesar tertuju pada Laluka dan pertemuan terakhir mereka yang penuh rasa sakit dan air mata. Mengutuk diri karena terbawa emosi. Kaesar berharap Laluka tidak pergi atau ia akan didera rasa menyesal seumur hidup.
**
Saya tidak memposting bab 13a di sini karena terlalu anu untuk Ramadhan. Kalian bisa baca di Karya Karsa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro