6 - Mantan?
🕊️🕊️🕊️
Senyum puas terpatri pada wajah Lara begitu semua kegiatan telah beres. Suaminya baru saja pulang dari kantor. Lara langsung bergegas membuatkan teh hangat untuknya. Setelah meletakkan secangkir teh untuk sang suami, Lara segera mendaratkan bokongnya di kursi untuk makan siang bersama Imran.
"Tumben Mas Imran pulang cepat," ucap Lara guna mencairkan suasana.
"Enggak ada kerjaan," balas Imran singkat.
Lara hanya mengangguk. Sebenarnya, dia ingin mengobrol lebih lama dengan Imran. Lara ingin mengenal suaminya lebih dalam. Dia mau tahu tentang kegiatan apa saja yang Imran sukai, makanan apa yang menjadi favorit Imran. Dia juga ingin tahu, selain dirinya, apa lagi hal yang tidak Imran sukai. Selama hidup berdua, hanya satu yang dia ketahui tentang Imran. Laki-laki itu alergi cumi-cumi. Itu pun Lara ketahui dari mama mertuanya.
"Bersiaplah, hari ini Mama meminta kita untuk ke rumah."
Ucapan Imran berhasil membuat Lara tersentak dan segera menyeka cairan bening pada sudut matanya.
"Baik, Mas." Lara segera membereskan piring bekas makan mereka dan bergegas masuk ke kamar untuk membersihkan diri.
Tak lama, Lara kembali turun. Dia terlihat sangat cantik dengan gaun serta hijab panjang berwarna peach. Sejenak Imran terpaku dibuatnya, apalagi saat Lara menarik sudut bibirnya ke atas dengan mata menyipit.
Seperti biasa, perjalanan mereka hanya diisi dengan kesunyian. Tak ada yang berniat membuka suara. Sebenarnya, sejak tadi Lara ingin mengatakan suatu hal. Namun, nyalinya menciut tiap kali Imran menatapnya seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Setelah mengumpulkan keberanian, Lara menoleh ke samping. Memperhatikan Imran yang sedang fokus menyetir.
"Mas," panggilnya dengan pelan.
Namun, laki-laki di sampingnya ini dapat mendengar dengan jelas. "Apa?"
"Bisa mampir ke toko kue sebentar, enggak? Aku mau belikan kue brownies buat Mama."
Sejenak Imran terdiam sebelum akhirnya mengangguk.
Setelah sampai di toko kue, Lara segera turun dari mobil. Dia begitu antusias saat melihat jajaran kue yang terlihat begitu menggoda. Lara segera masuk untuk memilih-milih kue manakah yang patut dibeli untuk mama mertuanya.
Beberapa waktu kemudian Lara telah mendapat kue yang diinginkan. Lara hendak berbalik melangkah menuju tempat Imran sedang menunggunya. Namun, lengannya tanpa sengaja menyenggol seseorang di belakangnya. Sehingga membuat kue yang orang itu bawa jatuh berserakan di lantai. Keduanya sama-sama terkejut. Tak hanya mereka, hampir semua pengunjung menatap kedua perempuan itu dengan heran.
“Haduh! Kamu itu gimana, sih? Lihat-lihat dong kalau jalan. Kue anak saya jadi rusak, nih!” maki seorang wanita paruh baya yang berada di sebelah perempuan yang Lara tabrak.
“Ma-maaf, Bu, Mbak. Saya enggak sengaja,” balas Lara dengan panik. Lara menunduk sedih saat melihat kue tersebut telah teronggok di lantai.
"Mama, jangan gitu.” Tatapan perempuan itu langsung beralih pada Lara, “Ah, iya. Enggak apa-apa. Namanya juga enggak sengaja, kan."
Perempuan cantik itu langsung memanggil petugas kebersihan untuk segera membersihkan kue yang jatuh tersebut.
Imran yang mendengar keributan di dalam langsung bergegas menghampiri Lara.
"Lara, ada apa?" Imran menoleh sekilas ke samping Lara.
"Arini? Tante Saiba?"
Seseorang yang Imran panggil dengan sebutan Arini tampak mematung dengan mata yang menatap lurus ke arah Imran. Laki-laki itu memandang Arini dengan tatapan sendu. Sedangkan wanita di sebelah Arini terus melirik sinis ke arah Lara.
"Kamu di Indonesia? Sejak kapan?" tanya Imran.
Perempuan itu terlihat sangat bahagia. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyum yang begitu menawan. "Sejak tiga hari yang lalu," sahutnya.
"Kalian saling kenal?" celetuk Lara tiba-tiba.
Imran dan Arini langsung menoleh ke arah Lara dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Imran dan aku pernah berpacaran, tapi kami telah putus karena dia lebih memilih pekerjaannya.” Arini sengaja berkata seperti itu untuk menyindir Imran, “kamu siapa?” lanjutnya.
Lara terkejut, dia tak menyangka bahwa perempuan cantik di depannya adalah mantan dari suaminya. "Aku is—"
"Sepupu. Ya, dia sepupuku, Rin," ucap Imran dengan cepat.
“Oh, dia sepupu kamu. Maafkan Tante ya, Sayang,” celetuk Saiba dengan senyum terpaksa.
Lara tersenyum getir. Dia merasa hatinya seperti tercabik-cabik ketika Imran tidak mengakuinya sebagai istri. Sekuat tenaga Lara menahan air matanya agar tidak tumpah di hadapan mereka.
"Oh, ya? Aku baru tahu kamu punya sepupu perempuan."
Lagi-lagi, Lara hanya tersenyum simpul.
"Ya sudah, Rin. Aku dan Lara harus cepat pulang. Mama udah nungguin.” Imran berujar untuk mengalihkan pembicaraan.
"Oh, iya. Ini uang gantinya karena Lara udah menjatuhkan kue kamu."Setelah itu, Imran langsung membawa Lara menuju kasir untuk membayar kue.
Lara dan Imran langsung masuk ke mobil. Sepanjang perjalanan, keduanya saling diam. Imran yang fokus pada perjalanan, sedangkan Lara lebih memilih menatap ke luar jendela. Air mata yang sejak tadi ditahan, kini menetes begitu saja tanpa dikomando. Lara menangis dalam diam. Mungkin, bagi Imran kata-katanya tadi terlihat biasa-biasa saja. Namun, tidak dengan Lara. Dia benar-benar merasa tidak dianggap sedikit pun oleh Imran. Lara pikir, kejadian kemarin telah mengubah sikap Imran menjadi lebih baik padanya. Ternyata tidak, laki-laki itu tetap pada sikap awalnya.
Tak lama, mereka telah sampai di kediaman keluarga Wijaya.
Rina muncul dari dalam dan langsung memeluk Lara. "Ya ampun, Sayang. Mama kangen banget sama kamu," ucapnya sambil menuntun Lara untuk masuk ke rumah.
Imran mendengus kesal, sebenarnya yang anak kandungnya Rina itu siapa? Mengapa yang dipeluk hanya Lara? Rupanya, perempuan itu telah merebut perhatian semua keluarganya.
"Papa di mana, Ma?" tanya Imran setelah menghempaskan tubuhnya di atas sofa ruang keluarga.
"Papamu pergi sama Bagus dan Juan. Katanya mau mancing," sahut Rina.
Tiba-tiba, dari arah pintu muncul Dharma, Bagus, dan Juan yang bersorak riang sambil menenteng kantung plastik yang berisi ikan.
"Sayang, lihat nih Mas bawa apa," seru Dharma sambil menunjukkan ikan hasil tangkapannya.
"Ya ampun, Mas. Jangan diangkat-angkat gitu, dong. Kalian mandi sana. Bau amis, tahu," tukas Rina.
Lara terkekeh saat ketiga pria dewasa itu menampilkan wajah cemberutnya. Mereka langsung mengangguk patuh dan segera membersihkan diri.
"Lara bisa masak?"
Lara langsung menoleh pada mama mertuanya yang baru saja mengajaknya bicara. Dengan senyum manisnya, Lara menjawab, "Insyaallah bisa, Ma."
Kedua mata Rina langsung berbinar. Menurutnya, Lara benar-benar menantu idaman. "Ya udah. Kita ke dapur, yuk? Kita masak ikan hasil tangkapan mereka," ajak Rina dengan antusias.
Imran hanya memperhatikan percakapan mereka berdua. Hingga tiba-tiba ponselnya bergetar karena sebuah pesan. Lelaki itu langsung beranjak tanpa meminta izin terlebih dulu pada mamanya.
🕊️🕊️🕊️
Kafe Senja.
Tampak dua insan yang tengah saling pandang di tengah hiruk pikuk pengunjung kafe. Satu dengan tatapan mengiba, sedangkan yang satu lagi tampak memasang raut wajah kesal. Mereka adalah Imran dan Arini. Seorang perempuan yang sempat ditemui oleh Imran dan Lara saat di toko kue tadi. Rupanya, Arini tak terima dengan informasi yang baru saja dia dengar dari mulut Imran. Setelah dulu laki-laki itu memberikan janji-janji manis padanya, sekarang justru malah menikah dengan perempuan lain. Sedangkan keluarga Arini sudah menaruh harap begitu besar pada pewaris keluarga Wijaya tersebut.
"Aku enggak bisa diam terus, Imran. Mama terus menanyakan hubungan kita. Mama berharap penuh sama kamu,” desak Arini tak mau tahu. Baginya, janji adalah hutang. Dan Imran sebagai laki-laki gentle harus memenuhi janjinya.
"Kasih aku waktu, Arini. Aku harus menceraikan istri aku dulu. Baru kita akan menikah," balas Imran tak yakin dengan perkataannya.
Arini berdecak kesal. "Jangan bodoh, Imran. Apa kata keluarga kamu nantinya kalau kamu ceraikan dia tanpa sebab? Kamu enggak mikir ke depannya nanti?"
"Lalu, aku harus bagaimana, Arini? Aku enggak cinta sama dia. Aku cuma cinta sama kamu. Aku enggak sanggup kalau harus tinggal satu atap terus sama dia."
Arini menyeringai lebar. Dia senang karena Imran sudah masuk ke dalam perangkapnya. Ternyata, tidak cukup sulit untuk kembali masuk dalam kehidupan laki-laki tampan dan kaya raya di hadapannya ini. Sedikit lagi, Arini pasti bisa mendapatkan apa yang dia mau.
Perempuan itu terdiam sesaat untuk memikirkan rencana berikutnya. Dia tampak menimbang-nimbang keputusan apa yang harus segera diambil sebelum keadaan semakin buruk dan dia jadi semakin sulit untuk kembali memiliki Imran seutuhnya.
Sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepalanya. Dengan tegas, bibirnya meluncurkan kalimat yang membuat Imran terhenyak. "Nikahi aku tanpa harus menceraikan Lara," pungkas Arini dengan tegas.
Laki-laki itu menatap Arini sedikit ragu. "Maksud kamu poligami? Kamu serius?"
Arini mengangguk mantap. Dia tidak peduli meski harus menjadi istri kedua. Yang terpenting, hati Imran tetap miliknya. Dan Arini tetap menjadi prioritas utama bagi Imran. Tidak ada yang boleh merebut laki-laki itu darinya. Apalagi kesempurnaan Imran kian bertambah saat dia telah resmi menjadi pimpinan Wijaya's Property. Ah, betapa beruntungnya Arini.
"Percaya sama aku, Lara pasti setuju dengan keputusan ini."
Imran menghela napas panjang, ini adalah keputusan paling berat untuk diambilnya. "Oke, aku akan melakukannya demi kamu."
Arini langsung memeluk Imran. Diam-diam dia bersorak penuh kemenangan. Akhirnya, impiannya menjadi istri Imran yang kaya raya akan segera terwujud. Tak tanggung-tanggung, dirinya telah menyiapkan strategi untuk menghancurkan Lara secara perlahan.
🕊️🕊️🕊️
Imran masuk ke rumah sambil bersiul-siul. Dia mengerutkan keningnya sesaat, merasa heran dengan keadaan rumah yang begitu sepi. Samar-samar Imran mendengar suara kegaduhan di ruang keluarga. Tanpa pikir panjang, dia segera melangkahkan kakinya menuju ruang yang biasa keluarga Dharma pakai untuk mengobrol santai.
"Lain kali hati-hati ya, Sayang. Mama khawatir banget tadi," ucap Rina membelakangi posisi Imran berdiri.
"Ada apa sih, Ma?"
Pandangan mereka langsung teralihkan pada sosok Imran yang berdiri tegak tak jauh dari mereka. Di sana ada Dharma dan Juan yang sedang menonton televisi sambil sesekali memperhatikan Rina yang tengah membalut luka pada kaki Lara. Sedangkan Bagus harus ke rumah sakit karena sudah ditunggu pasiennya.
"Astaghfirullah, Imran. Kalau masuk itu ketuk pintu dulu, ucap salam. Ini tiba-tiba aja muncul kayak jelangkung," tegur Rina sambil menatap jengah pada putranya.
Imran mengerucutkan bibirnya kesal. Enak saja dia disama-samakan dengan jelangkung. "Iya, maaf. Itu kaki Lara kenapa sampai diperban gitu?" tanyanya seraya mendaratkan bokongnya di samping sang ayah seraya mengamati raut wajah Lara yang tampak meringis sesekali.
"Barusan dia kena pecahan kaca waktu lagi mencuci piring. Kamu, sih. Bukannya temenin Lara di rumah, malah keluyuran enggak jelas. Dia itu bosan. Harusnya kamu peka, dong. Bawa jalan-jalan kek, apa kek. Ini malah main sendiri. Suami macam apa kamu ini."
Dharma ikut menimpali, “Lagian, kamu dari mana, sih?”
Imran gelagapan.
“Aduh, jangan sampai mereka tahu,” batinnya.
“Em ... itu tadi ada urusan penting. Jadi Imran lupa pamit,” bohongnya.
Takut ditanya lebih jauh, dia langsung berjalan mendekati mamanya yang sedang fokus melilitkan kain kasa pada telapak kaki menantunya. Bola matanya terus memperhatikan telapak kaki Lara yang masih mengeluarkan darah. "Kenapa enggak dibawa ke rumah sakit aja, sih?" celetuknya.
Rina mendongak, menatap sang anak dengan tatapan lesunya. "Lara enggak mau, dia takut lukanya dijahit."
Kedua mata Imran langsung teralihkan pada Lara. Perempuan itu langsung mengalihkan pandangannya karena kepergok sedang memandangi Imran. Tanpa berkata-kata lagi, Imran langsung mendekat dan menggendong Lara. Perempuan itu tentu saja tersentak dan langsung mengalungkan tangannya pada leher sang suami.
"Mas, turunin," cicit Lara dengan suara pelan.
"Jangan membantah."
Lara menatap Rina dengan pandangan meminta pertolongan. Namun, Rina tak mampu berbuat apa-apa. Dia yakin Imran tidak akan berbuat macam-macam pada menantu kesayangannya itu.
"Cinta tidak pernah buta. Yang buta adalah obsesi. Ketika kamu terobsesi pada sesuatu, kamu akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya. Matamu seolah tertutup sehingga tak dapat melihat kebenaran yang terjadi."
Hanaksara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro