Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29 - Suka & Duka


🕊️🕊️🕊️

Di samping Imran yang tengah mengalami koma dan butuh penanganan serius, tensi darah Lara malah naik. Ia mengalami stres berat di saat bayinya sebentar lagi akan lahir. Hampir setiap hari, Ayu dan Santoso setia menemaninya di ruang inap. Terkadang, Mila datang untuk menggantikan mereka jikalau Ayu dan Santoso kelelahan.

Setelah seharian dirinya menangis, kini perempuan itu hanya diam membisu. Ayu tentu saja prihatin melihat keadaan putrinya yang bisa saja semakin memburuk. Berulangkali ia mengingatkan Lara untuk tidak terlalu memikirkan keadaan Imran. Karena bagaimanapun hal itu sangat membahayakan keselamatan bayinya. Namun, hal itu sama sekali tak membuat Lara melontarkan sepatah kata apa pun.

Hari ini, Lara diprediksi akan melahirkan. Lara diminta untuk istirahat yang cukup karena dokter takut jika tensi darah Lara semakin naik dan akan berakibat fatal pada dirinya dan si bayi.

"Sayang, Imran udah sadar tuh," ujar Ayu seraya menghampiri Lara yang saat itu tengah menatap kosong pada jendela.

Spontan, Lara menoleh ke arah bundanya. Sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk seulas senyum yang begitu manis. "Antar Lara ke sana, Bun," ujarnya.

Ayu tentu saja mengiyakan permintaan Lara. Kalau itu bisa membuat Lara bahagia, maka ia hanya bisa berdoa semoga kebahagiaan selalu mengiringi langkah anak satu-satunya itu. Dengan dibantu suster, Ayu membantu Lara untuk duduk di kursi roda.

"Mas Imran?" panggil Lara saat sudah sampai di depan pintu ruangan Imran.

Laki-laki itu langsung menoleh dan tersenyum ke arahnya. Ayu langsung mendorong kursi rodanya hingga tepat di samping Imran.

"Bunda tunggu di luar, ya?" ucap Ayu.

Lara mengangguk.

Setelah Ayu hilang dari pandangan, Imran baru mengeluarkan suara, "Kamu enggak kenapa-napa, kan?" Imran bertanya seraya memerhatikan Lara yang duduk di kursi rodanya.

"Harusnya Lara yang tanya. Mas Imran gimana keadaannya? Lara khawatir."

"Ah, cuma luka begini mah kecil. Jangan terlalu dipikirin, ya?" ucap Imran seraya mengelus pipi Lara dengan lembut.

Kedua mata Lara memejam, menikmati sentuhan tangan Imran pada pipinya. Bahkan, ia bisa merasakan benda kenyal yang baru saja mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang.

"Lara?"

Seketika Lara tersadar dan segera membuka matanya. Laki-laki itu terus menatapnya begitu dalam.

"Mas Imran kenapa? Ada yang sakit? Lara panggilankan dokter, ya?"

Laki-laki itu segera menahan tangan Lara yang hendak menggerakkan kursi rodanya. "Aku enggak kenapa-napa kok."

"Aku boleh minta sesuatu?" tanya Imran ragu-ragu. Ia tak yakin Lara akan mengizinkannya.

Lara tersenyum hangat, kemudian menjawab, "Mas Imran mau minta apa? Pasti Lara turutin."

Air mata yang sejak tadi Imran tahan, akhirnya keluar juga. Entah mengapa, ia begitu takut kehilangan senyum itu.

"Aku ingin sekali mengumandangkan azan saat bayi ini lahir. Aku ... aku juga ingin memberikan nama yang indah untuk bayi ini. Aku ingin merasakan jadi seorang ayah, Lara."

Perempuan itu terpekur. Tak kuasa menahan harunya saat Imran mengutarakan keinginannya. Ia tidak bisa egois. Imran adalah ayah dari anaknya. Mana mungkin ia melarang seorang ayah yang ingin sekali mengumandangkan azan untuk anaknya.

Lara mengangguk. "Lakukan apa pun yang Mas Imran mau," jawabnya.

Sesaat keduanya hanya saling pandang dengan tangan Imran yang setia menggenggam tangan istrinya. Teringat perlakuannya dulu kepada Lara, Imran dilanda rasa bersalah. Betapa bodohnya ia yang sampai tidak menyadari betapa mulianya hati Lara. Hatinya benar-benar sehalus dan seputih kapas. Perempuan itu adalah paket komplit. Tak hanya wajahnya saja yang cantik, tapi juga hatinya.

"Kamu cantik." Imran berucap sambil mengamati wajah Lara tanpa bosan sedikit pun.

"Jangan gombal," desis Lara seraya memalingkan wajahnya.

Imran tertawa kecil saat mendapati pipi Lara yang tampak bersemu merah.

"Aku udah enggak sabar lihat bayi kita lahir," ujar Imran.

"Kalau aku lebih enggak sabar untuk ngedekor kamar anak kita nanti. Pasti lucu. Nanti, kalau Mas Imran udah sembuh, kita dekorasi sama-sama, ya?" seru Lara tak kalah antusias.

Imran tersenyum hangat seraya mengusap lembut tangan Lara. "Kita lihat aja nanti," jawabnya.

Dua jam keduanya saling melepas rindu. Lara tak mau menjauh sedikit pun. Rasanya, ia tidak akan sanggup jika harus berjauhan dengan Imran. Sampai beberapa waktu kemudian, suster datang menjemput Lara untuk persiapan operasi sesarnya.

Kini, sudah waktunya Lara masuk ke ruang khusus untuk persalinan. Keluarganya menunggu di depan dengan harap-harap cemas. Hingga tak berselang lama, operasi selesai dengan lancar.

Seorang dokter perempuan keluar dengan memamerkan senyum ramahnya. "Selamat, Pak, Bu. Bayinya laki-laki," terangnya pada Ayu dan Santoso yang duduknya paling dekat dengan pintu.

Mereka lantas berucap syukur sebanyak-banyaknya kepada Allah yang telah memberikan kemudahan pada putri mereka.

Rina, Dharma, Irza, Arini dan Samuel yang juga ada di sana turut berbahagia. Terlebih, Dharma. Sejak dulu ia begitu memimpikan seorang cucu yang menggemaskan.



🕊️🕊️🕊️

Suasana haru menyelimuti keluarga Wijaya dan Santoso sesaat setelah Imran mengumandangkan azan untuk anak pertamanya. Imran begitu bahagia karena impiannya untuk memiliki anak laki-laki akhirnya terwujud. Bayi lucu itu ia beri nama Abil Daffa Muwaffaq yang bermakna anak laki-laki yang berparas rupawan, sukses dan menjadi pembela kebenaran serta keadilan.

Sejam berlalu, keluarga Imran kembali ke rumahnya setelah sempat menjenguk sekaligus mengurus pengobatan Imran yang katanya harus dirujuk ke rumah sakit luar negeri dengan dokter terpercaya yang siap menangani di sana. Akhirnya, mereka pulang lebih dulu untuk mempersiapkan perjalanan mereka nanti malam. Padahal, keduanya masih ingin berlama-lama melihat cucu mereka.

Impian Imran tercapai. Dia berhasil mengumandangkan azan untuk putranya yang baru lahir. Lara dan bayinya telah dibawa ke ruangan lain. Kini, hanya ada Imran dan Irza di ruangan berbau obat itu.

"Terima kasih ya, Za. Kamu udah nolongin Lara," ucap Imran dengan tulus.

Irza tidak tahu, bahwa sejak tadi Imran menahan rasa sakit. Keringatnya mulai bercucuran. Remasan tangan pada ujung kasur semakin kuat. Imran sudah tak sanggup. Setelah seharian menahan rasa sakit pada organ fitalnya, kini ia hanya bisa memasrahkan semuanya kepada Allah.

"Abang titip Lara sama Daffa, ya? Abang enggak yakin bisa terus bersama mereka," ucap Imran yang kali ini membuat Irza menatap sepenuhnya ke arah Imran.

"Abang ngomong apa, sih? Kenapa enggak yakin? Plislah, Bang. Jangan buat Lara nangis untuk yang ke sekian kalinya. Abang mau ke mana lagi, sih?" tanya Irza. Ia benar-benar tak habis pikir dengan apa yang Imran ucapkan.

"Abang enggak yakin masih bisa kembali, Za. Makanya, Abang nitipin mereka sama kamu. Abang percaya, kamu bisa menjaga mereka dengan baik."

Irza dibuat semakin terperangah dengan apa yang baru saja Imran lontarkan. Apa sih yang ada dalam pikiran abangnya ini?

"Jawab dulu, Abang mau ke mana sebenernya?"

Bukannya menjawab pertanyaan Irza, Imran justru mengeluarkan satu kalimat yang membuat Irza panik setengah mati.

"Badan Abang rasanya sakit semua, Za."

Imran menangis, rasanya punggungnya seperti ditusuk-tusuk oleh belati. Karena panik, Irza jadi sulit berpikir. Menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan, barulah setelah itu ia langsung bangkit dan memanggil dokter.

Sayangnya, saat ia kembali bersama dokter dan perawat, Imran sudah tidak sadarkan diri. Sang dokter segera memeriksa tekanan jantung Imran. Dan, satu kalimat yang keluar dari mulut dokter itu berhasil membuat tubuh Irza lemas seketika.

"Detak jantungnya berhenti. Saudara Imran telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya."

"MAS IMRAN ...!"

Semua orang menoleh ke asal suara. Di sana, Lara menjerit histeris sampai membuat orang-orang yang tengah berlalulalang berhenti seketika dan menoleh ke arahnya. Di ambang pintu, ia menangis sejadi-jadinya dalam dekapan Arini.




"Datangmu tanpa kalimat sapa. Lantas, mengapa pergimu juga harus tanpa pamit?"

Hanaksara

 

 

Holla, Gais. Kasih salam perpisahan dong buat Abang Imran😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro