26 - Pamit
🕊️🕊️🕊️
"Cari siapa, ya?" tanya Ira saat seorang perempuan berdiri kaku di depan rumahnya.
Perempuan itu tersenyum manis, kemudian mencium punggung tangan Ira. "Irzanya ada, Tan?"
"Ada kok. Silakan, masuk. Tante panggilkan dulu Irzanya," ujar Ira seraya menggiring perempuan itu menuju ruang tamu.
Ira langsung melangkahkan kakinya menuju kamar Irza. Ia menggeleng tak habis pikir dengan anak satu-satunya itu. Sudah pukul sembilan pagi, namun ia tak juga bangun dari tidurnya.
"Irza, bangun! Ada teman kamu tuh di luar," panggil Ira seraya menepuk-nepuk pipi Irza.
Bukannya bangun, laki-laki itu malah melenguh seraya merapatkan selimutnya sampai ke leher. Sampai satu pukulan kencang mendarat pada bokongnya, barulah laki-laki itu bangun dengan mata yang masih setengah terpejam.
"Apa sih, Ma? Suruh masuk sini aja, deh. Irza masih ngantuk, nih," rengeknya seperti anak kecil.
Ira melotot. "Heh, enak aja Mama suruh gadis itu masuk ke kamar. Nanti, kalian berbuat macam-macam lagi," tukasnya dengan berkacak pinggang.
"Loh, Irza kira si Alex."
"Bukan, dia cewek. Cantik pokoknya."
Irza berdecak kesal. Ia langsung menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka. Dengan keadaan setengah mengantuk, ia menuruni anak tangga satu per satu sambil sesekali menguap. Siapa sih yang ingin bertemu dengannya pagi-pagi begini? Mengganggu orang tidur saja, pikirnya.
Ia cukup terkejut saat mendapati Hawa tengah duduk tenang dengan jari yang sibuk menari di atas keyboard ponselnya. Untuk apa perempuan itu datang ke sini?
"Sori, ya, lama." Irza berujar seraya mendaratkan bokongnya pada sofa.
Hawa mendongak dengan seulas senyum di wajahnya. "Apa kabar?" tanyanya dengan ekspresi tenang.
Sejak insiden di mana Hawa ditarik secara paksa oleh anak buah papanya sendiri, keduanya tak pernah bertemu, baik di luar atau dalam kampus. Hawa selalu berusaha tidak terlihat dari jangkauan Irza.
"Alhamdulillah, gue baik. Lu sendiri gimana?" Irza balik bertanya.
"Aku juga baik. Aku perlu ngomong sama kamu. Tapi, enggak di sini," ujar Hawa dengan ragu.
"Ya, udah. Di taman belakang aja."
Irza melangkah lebih dulu. Sedangkan Hawa mengitunya dari belakang. Ia tersenyum getir sambil memandangi punggung Irza dari belakang. Suatu saat, ia pasti akan sangat merindukan laki-laki itu.
Laki-laki itu memposisikan dirinya duduk bersandar pada kursi yang letaknya tepat di samping kolam. Kepalanya menengadah, merasakan semilir angin yang menyapu wajahnya, sangat sejuk.
"Mau ngomong apa?" tanyanya dengan kedua mata yang masih terpejam.
Hawa melirik ke sampingnya sebentar, kemudian kembali menunduk. Helaan napas kasar terdengar jelas di telinga Irza.
"Aku cuma mau ngucapin terima kasih," tutur Hawa dengan pandangan kosong.
Kali ini, Irza menegakkan tubuhnya. Ia memerhatikan Hawa yang nampak tak berani mendongakkan kepalanya.
Jika ditanya masihkah Hawa mencintai Irza? Tentu saja masih. Namun, mengingat perkataan Alex dulu, membuat pikirannya sedikit terbuka. Laki-laki itu benar. Hawa tidak perlu mengejar-ngejar Irza lagi. Jika ia suka, maka ia hanya perlu berdoa dan berusaha memantaskan diri. Hawa yakin, jika ia dan Irza tidak berjodoh, maka Allah akan menggantinya dengan laki-laki yang tak kalah baiknya.
"Aku bersyukur bisa kenal sama kamu, Irza. Kamu baik, semoga jodohmu juga baik. Mungkin aja itu Lara," seloroh Hawa disertai senyum teduhnya.
"Kok ngomong gitu? Ini ada apa, sih? Kok gue jadi bingung," tanya Irza sambil menggaruk tengkuknya yang terasa gatal.
"Tiga hari lagi, aku udah enggak ada di Indonesia. Papa nyuruh aku lanjut kuliah di Jerman, yaa ... meskipun sebenernya aku enggak mau. Tapi ya mau gimana lagi? Papa maunya gitu." Hawa berucap dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia memalingkan tubuhnya seraya mengusap air matanya sendiri. Ia tak mau laki-laki itu melihat air matanya.
"Gara-gara gue?" tanya Irza dengan tatapan seduktif.
Hawa menggeleng cepat. "Enggak. Sama sekali enggak ada hubungannya sama kamu kok," elaknya.
"Em ... Irza, boleh enggak aku minta sesuatu dari kamu?"
"Apa?"
Hawa menatap Irza dengan ragu. "Aku ... aku pengen meluk kamu. Sekali aja, sebelum aku pergi. Karena aku enggak yakin akan bisa kembali ke Indonesia," cicitnya pelan.
🕊️🕊️🕊️
Di lain tempat, Ayu tengah sibuk memasukkan potongan-potongan kue ke dalam kotak berukuran sedang. Di sebelahnya juga ada bubur kacang hijau yang telah dikemas dengan rapi.
"Sayang, ikut Bunda ke rumah mamanya Irza, yuk?" ucapnya setelah semuanya beres.
Lara yang tengah menyendokkan sesuap bubur kacang hijau ke mulutnya pun terkejut sampai tersedak. Ia lantas buru-buru mengambil minum dan menenggaknya hingga tandas tak tersisa.
"Ya, ampun. Kamu enggak apa-apa, kan? Makannya pelan-pelan dong, La." Ayu berujar seraya mengusap punggung Lara dengan pelan.
"Bunda mau ngapain ke sana?" tanya Lara. Ya Tuhan, ia tidak mengerti. Mengapa bundanya jadi dekat dengan mamanya Irza? Padahal, terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru berkenalan.
"Bunda mau antar bubur ini sama kue. Hitung-hitung, sebagai tanda terima kasih karena selama kamu pergi dia sering ke sini untuk nemenin Bunda," terang Ayu dengan senyum sumringahnya.
Melihat putrinya yang hanya diam saja membuat Ayu kesal sendiri. Ia langsung berjalan menuju kamar Lara berniat mengambil slingbag-nya.
"Nih, tasnya. Ayo, berangkat," ucap Ayu seraya membawa bingkisannya. Mau tak mau, Lara akhirnya ikut.
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan dengan motor, akhirnya mereka berdua sampai di depan pintu sebuah rumah baru. Lara sampai membuka mulutnya membentuk huruf O. Ia baru tahu kalau orang tua Irza membeli rumah baru yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Hanya sekitar seratus meter.
Saat keduanya datang, Ira menyambutnya dengan senang hati. Ia langsung buru-buru ke dapur untuk membuat minum.
"Kok kayaknya sepi, Ra. Ke mana Irza?" tanya Ayu.
"Irza ada kok, dia di belakang. Coba, Lara tolong panggilkan Irza di belakang."
Lara hanya menurut. Dilangkahkan kakinya menuju taman belakang. Ia celingak-celinguk mencari keberadaan Irza. Sepi. Sepertinya tidak ada siapa-siapa di sana. Namun, saat ia memutar tubuhnya hendak ke dapur, sayup-sayup telinganya mendengar seperti suara perempuan dan laki-laki yang tengah berbincang.
Entah bagaimana, Lara merasa lemas tanpa sebab. Bibirnya terkatup rapat, takut mengeluarkan suara yang bisa saja mengganggu kedua insan yang tengah berpelukan itu. Ia beringsut mundur dengan tatapan tak lepas dari kedua orang itu.
Bruk!
Lara meringis ketika kakinya tanpa sengaja menendang kotak sampah di samping pintu. Yang lebih parah, kedua orang itu menyadari keberadaannya.
"Lara?"
Secara spontan, Irza langsung mendorong tubuh Hawa yang saat itu tengah memeluknya. Keduanya tampak canggung dan kaget. Terlebih, Irza. Laki-laki itu takut Lara salah paham.
"Ma-maaf ganggu waktu kalian."
Secepat kilat, Lara berjalan menuju dapur tanpa menghiraukan panggilan bertubi-tubi dari Irza.
Di dalam sana, Ayu dan Ira tampak sibuk menaruh makanan ke atas meja makan. Sesekali mereka bersenda gurau sampai tidak sadar akan kedatangan Lara. Dan, jangan lupakan Irza dan Hawa yang berdiri kaku di belakangnya.
"Nah, kebetulan kalian udah kumpul. Ayo, sini duduk. Kita makan siang sama-sama," seru Ira seraya mempersilakan mereka duduk.
"Ya ampun, Ra. Aku jadi enggak enak, nih. Datang-datang langsung diajak makan gini," sahut Ayu seraya tersenyum sungkan.
Ira tertawa kecil, lalu menjawab, "Ah, kamu Mbak. Kayak sama siapa aja."
Mereka mulai duduk di kursinya masing-masing. Sesekali, Irza melirik ke arah Lara yang hanya diam saja dengan kepala tertunduk ke bawah. Laki-laki itu menyesali kedatangan Lara di saat yang tidak tepat. Bagaimana pun, ia tidak mau membuat Lara salah paham dan meragukan cintanya.
Dari ekor matanya, Hawa jelas bisa melihat raut kekhawatiran Irza pada perempuan yang tengah duduk di seberang mejanya. Hawa berharap, semoga kedua orang itu kembali bersama.
🕊️🕊️🕊️
Awan mendung membumbung tinggi menutupi cakrawala sore ini. Hawa terdiam sendirian di bawah langit yang nampaknya sebentar lagi akan turun hujan. Ada rasa enggan untuk meninggalkan tanah air tempat dirinya dibesarkan. Kalau bukan karena paksaan papanya, tentu ia akan menolaknya tanpa berpikir dua kali. Namun, mau bagaimana lagi. Entah sampai kapan papanya mau bersikap seperti itu. Bersikap semena-mena, dan menganggapnya seperti robot. Tidak pernah merasa puas meski sudah bergelimang harta.
"Sendirian aja?"
Hawa terkesiap saat seseorang duduk secara tiba-tiba di sampingnya. Cepat-cepat ia menghapus sisa air matanya agar laki-laki itu tidak melihatnya.
"Kenapa dihapus? Nangis mah nangis aja. Enggak usah ditahan."
"Ngapain kamu di sini?" Hawa balik bertanya.
"Suka-suka guelah. Ini kan tempat umum. Siapa pun boleh ke sini," jawab laki-laki itu dengan santainya.
Hawa tak lagi menyahut. Ia lebih memilih diam sambil memperhatikan ombak yang menyapu bagian kakinya. Jika biasanya yang ia lihat adalah saat sang Surya tenggelam dengan dihiasi awan jingga. Justru, kali ini amatlah berbeda.
"Dengar-dengar, elu mau ke Jerman, ya?"
Kali ini, tatapan Hawa sepenuhnya menghadap ke samping. Alex, bagaimana ia bisa tahu jika Hawa akan pergi ke Jerman? Dan ia semakin terhenyak saat laki-laki itu membalas tatapannya dengan begitu intens. Hawa bergegas menggeser duduknya, sedikit menjauh dari Alex.
"Ada yang bilang, kalau cinta sama seseorang harus diperjuangkan. Dan ... gue akan mencoba itu. Gue akan berjuang sesuai kemampuan diri gue, tanpa harus ngejar-ngejar elu. Seperti elu mengejar Irza." Alex berujar dengan sungguh-sungguh. Baginya, sudah cukup untuk memendam perasaan yang sudah sejak setahun silam ia tahan. Lama, bukan? Hebatnya lagi, tidak ada yang tahu jika dirinya menaruh rasa pada perempuan cantik itu.
"Alex, ka-kamu ... kamu ngomong apa, sih?" Hawa gugup. Ia masih syok dengan pernyataan yang baru saja keluar dari bibir sahabat seseorang yang ia cintai. Ia tidak tahu harus meresponnya seperti apa. Ucapan Alex sudah seperti bom yang meledak ke hatinya.
Laki-laki itu mengangguk. Membenarkan apa pun yang ada di pikiran Hawa. Masih dengan senyum yang terukir di wajahnya, ia kembali berucap yang membuat hati Hawa berdesir dengan hebat dan tak mampu berkata-kata. "Gue akan selalu menunggu elu pulang, Hawa. Apa pun jawaban elu nanti, gue akan terima dengan lapang dada. Termasuk jika elu menolak."
"Aku sama sekali tak menyesali pertemuan kita. Memang benar, bahwa Tuhan selalu punya alasan saat mempertemukan kedua hambaNya. Ternyata, Tuhan sedang mengajariku agar lebih mensyukuri apa yang kupunya, melalui dirimu sebagai perantara."
Hanaksara
Hallo, gais.
Sedikit info, bahwa cerita Luka & Lara sebentar lagi tamat. Yuk, yang belum follow, vote dan komentar, mari merapat. Apa salahnya beramal sedikit?🌚
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro