23 - Kembali
Halo, maaf ya baru bisa update 🥺
🕊️🕊️🕊️
Pagi-pagi sekali, Lara sudah rapi dengan balutan gamis dan hijab lebarnya. Sesekali ia mengusap perutnya yang sedikit nyeri saat bayi yang ada dalam perutnya terus menendang-nendang. Tak terasa, sebulan lagi bayinya akan terlahir ke dunia. Itu artinya, lima bulan sudah ia meninggalkan keluarganya di Jakarta.
Ia kembali teringat saat ia begitu nekat kabur dari rumah sakit. Padahal, saat itu kandungannya masih lemah dan butuh perawatan intensif. Bermodalkan nekat, ia datang ke rumah Mila untuk meminjam uang serta beberapa baju dan berakhir di desa kecil ini.
Kini, ia harus kembali.
Ia terus memperhatikan Pak Daud yang tengah sibuk mengotak-atik mobil pick-upnya dengan dibantu Pak Sukara. Mobil itu memang sudah cukup tua, sehingga wajar jika sering mogok tiba-tiba.
Akhirnya, Pak Daud bisa bernapas lega saat mobilnya bisa kembali menyala. Sambil menyeka buih-buih keringat di keningnya dengan menggunakan handuk kecil, beliau berjalan menghampiri Lara.
"Neng? Ayo, sarapan dulu," ajak Pak Daud usai memanaskan mobil pick-upnya.
"Iya, Pak."
Pagi ini Lilis memasak banyak makanan. Ada sambal terasi, nasi liwet, ikan asin, tempe, dan tahu goreng, serta lalapan tersaji di atas meja. Benar-benar menu santap yang menggiurkan.
Di sela sarapan, Lara membuka obrolan. "Lilis nanti kalau udah lulus mau kuliah?"
Lilis terdiam. Ia melirik sekilas pada bapaknya. Siapa sih yang tidak ingin kuliah? Tentu saja Lilis ingin sekali kuliah sampai menjadi sarjana. Sejak kecil ia selalu bermimpi untuk menjadi seorang jurnalis sekaligus penulis terkenal. Namun, dengan pekerjaan bapaknya yang hanya seorang petani kecil, ia tidak cukup nyali untuk minta dikuliahkan. Boro-boro kuliah, bisa lulus SMA saja Lilis sudah sangat bersyukur.
Gadis itu tertawa hambar, kemudian menjawab, "Kalau pengin mah pasti pengin, Teh. Tapi enggak ada biayanya."
Pak Daud begitu sedih mengingat besar keinginan putrinya untuk kuliah. Sering kali ia memergoki Lilis yang begitu giat belajar demi mendapatkan beasiswa.
"Lilis belajar yang giat, ya? Nanti, bapak akan usahakan untuk masalah biaya kuliahnya," sahut Pak Daud.
Meski tak yakin, namun Pak Daud bertekad akan menyekolahkan putrinya sampai mendapat gelar sarjana.
Tangan Lara terulur mengusap pelan puncak kepala Lilis. Kemudian menatap Pak Daud yang nampak memasang wajah murung.
"Pak, setelah lulus, saya boleh enggak bawa Lilis ke Jakarta? Saya ingin mewujudkan cita-cita Lilis. Masalah biaya, Bapak jangan khawatir. Insyaallah, saya yang akan membiayai kuliah Lilis sampai dia lulus dan dapat pekerjaan."
Seketika Pak Daud membulatkan kedua matanya. "Tapi, Neng—"
"Enggak apa-apa, Pak. Saya udah menganggap Lilis seperti adik saya sendiri."
Pak Daud tak kuasa menahan tangis harunya. Begitu pun Lilis, ia langsung memeluk Lara. Ucapan terima kasih terus keluar dari bibir mungil gadis tujuh belah tahun itu.
"Sekali lagi terima kasih, Neng. Maaf, Bapak enggak bisa balas dengan apa-apa," ucap Pak Daud sambil menyeka sisa air mata di sudut matanya.
Lara tersenyum hangat. "Justru saya yang harusnya berterima kasih pada Bapak dan Lilis. Kalian begitu baik pada saya. Dengan kondisi yang serba kekurangan, kalian masih bersedia menampung saya di rumah ini."
Lara menoleh ke sebelahnya. Ia terkekeh ketika melihat Lilis yang masih saja menangis. Sejak semalam Lilis tak sekalipun mengurai pelukannya. Perempuan itu merasa Lara sudah seperti kakak kandungnya sendiri.
"Lilis janji ya sama Teteh. Lilis harus nurut sama Bapak, jangan bandel kalau dinasihatin. Oke? Teteh berangkat dulu."
Lilis mengangguk. "Iya, Lilis janji."
Setelah itu, mereka langsung keluar. Pak Daud membantu Lara dengan membawa tas berisi barang-barang penting milik Lara.
🕊️🕊️🕊️
Dua jam kemudian, Lilis yang saat itu tengah belajar, mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Tak ingin tamunya menunggu terlalu lama, ia bergegas memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
Dengan langkah terburu-buru, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Perempuan itu mengerutkan keningnya sesaat. Kini, di depannya berdiri seorang lelaki dewasa dengan setelan jas yang membalut tubuh tingginya. Dari penampilannya saja, Lilis sudah bisa menebak bahwa orang ini pasti kaya. Dan seingatnya, bapaknya tidak memiliki kenalan dengan model seperti ini.
"Maaf. Om cari siapa, ya?" tanyanya sopan.
"Apa benar ini rumah Pak Daud?" Laki-laki itu balik bertanya.
"Iya, benar. Maaf, Om siapa ya? Dan ada keperluan apa?"
"Saya Imran, suaminya Lara. Apa benar Lara ada di sini? Saya mohon, izinkan saya bertemu dengannya."
Lilis mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Antara syok dan bingung mengapa Imran bisa sampai ke sini?
"Di sini enggak ada yang namanya Lara. Saya hanya tinggal berdua bersama ayah saya. Sebaiknya Om pergi dari sini," bohongnya.
"Saya tahu Lara ada di sini. Sabahatnya yang kasih tahu saya."
Perempuan dengan rambut yang dikepang satu itu mulai panik. Akhirnya, dengan segala keberanian yang ia punya, ia mendongak. Menatap sinis pada Imran.
"Teh Lara sebelumnya memang ada di sini. Tapi, sekarang udah enggak. Jadi, silakan Om angkat kaki dari sini," usirnya.
Sungguh, Lilis tidak pernah bersikap seperti ini pada tamunya. Kalau bapaknya ada di sini, mungkin beliau sudah menegurnya. Namun, mau bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur kesal pada laki-laki tampan yang tak punya hati ini.
"Pergi ke mana dia?" tanya Imran dengan sabar. Ia tidak ingin meluapkan emosinya pada gadis kecil di depannya.
Lilis mengangkat bahu tak acuh. "Mana Lilis tahu. Teh Lara enggak bilang apa-apa. Dia cuma bilang mau pergi. Udah ah, Lilis capek. Om cari aja sendiri di mana Teh Lara."
Sebelum menutup pintunya, Lilis kembali berujar, "Umur doang yang tua, sifat masih kekanak-kanakan."
Imran meremas tangannya kuat-kuat. Ia tersinggung. Namun, ia membenarkan yang diucapkan perempuan itu padanya. Seharusnya, ia bisa berpikir lebih dewasa.
Pintu di depannya sudah tertutup. Imran menengadahkan kepalanya, menatap langit yang tampak mendung.
"Lara, aku kangen."
Imran terus menendangi ban mobilnya dengan penuh emosi. Ia kesal dengan dirinya sendiri yang selalu saja lepas kontrol. Rasa bersalah selalu menghantuinya ke mana pun ia pergi.
🕊️🕊️🕊️
Di lain tempat, Pak Daud sangat kesal saat mobilnya kembali mogok. Dengan terpaksa, ia harus keluar dan membetulkannya sendiri.
"Aduh, Neng. Sabar, ya. Mobilnya mogok lagi."
Lara tersenyum simpul seraya menyahut, "Iya, Pak. Enggak apa-apa. Maaf ya Lara enggak bisa bantu apa-apa."
Sambil menunggu Pak Daud, Lara sibuk dengan ponselnya. Hingga beberapa menit kemudian, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan mobil Pak Daud.
"Mobilnya kenapa, Pak?" tanya sang pengemudi mobil.
Pak Daud mendongak, ia tersenyum malu sambil melirik mobil usangnya. "Biasa, Kang. Mobil jelek, jadi sering mogok."
Laki-laki itu mengangguk. Ia langsung membuka pintu mobilnya dan berjalan menghampiri Pak Daud. Ia tampak menggulung kemejanya sampai siku dan mengecek kerusakan pada mobil Pak Daud.
"Wah, Pak, ini mah rusaknya lumayan parah. Saya coba hubungi montir langganan saya aja, ya? Oh ya, siapa nama Bapak? Mau ke mana?"
"Saya Daud. Jadi, ceritanya saya teh mau mengantar seseorang ke Jakarta. Eh, mobilnya malah mogok terus. Karena uang saya juga enggak banyak, terpaksa benerin sendiri."
Laki-laki itu mulai memperhatikan mobil Pak Daud. Kedua matanya memicing berusaha mengenali seorang perempuan berhijab yang tengah menunduk sambil memainkan ponselnya.
Lara kehausan. Ia pun meraih botol minum yang terletak di dashboard mobil. Ia berpikir, Pak Daud juga pasti sangat kehausan. Akhirnya, ia berinisiatif untuk memberikan satu botol air mineral lagi pada Pak Daud.
Deg!
Lara mematung saat netranya bertabrakan dengan seseorang yang sudah tidak asing baginya. Irza, laki-laki itu juga sama terkejutnya dengan Lara. Untuk beberapa saat keduanya hanya diam.
"Lara?" ucap Irza tanpa sadar. Sedangkan perempuan di depannya tidak tahu harus bersikap seperti apa.
"Loh, Akang kenal sama Neng Lara?" tanya Pak Daud, tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Pak—"
"Kamu pulang sama aku."
Lara langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sejujurnya ia hendak memprotes. Namun, melihat keadaan mobil Pak Daud yang tidak memungkinkan untuk sampai ke Jakarta, akhirnya ia hanya bisa pasrah.
Dengan berat hati, ia meraih tasnya dan berjalan menghampiri dua laki-laki tersebut.
Pandangan Irza beralih pada Pak Daud yang terlihat bingung. "Lara biar saya yang antar, Pak. Saya sudah menghubungi montir. Sebentar lagi, orangnya sampai."
Tak lupa, ia memberikan beberapa lembar uang pada Pak Daud sebagai ucapan terima kasih. Itu pun harus dipaksa dulu, karena Pak Daud tidak mau menerima uang itu.
Tak lama, dua montir datang. Irza dan Lara langsung pamit. "Lara pulang dulu, ya, Pak. Terima kasih untuk semuanya. Lara janji, kapan-kapan main ke Bandung lagi," pamit Lara.
Di dalam mobil, sempat terjadi kebisuan di antara keduanya. Lara tampak gugup sambil memainkan jari-jarinya. Ia bahkan terus menggigit bibirnya. Sampai akhirnya Irza bersuara.
"Jangan digigitin, nanti bibir kamu berdarah."
Entah sejak kapan, Lara menjadi penurut. Ia berhenti menggigiti bibirnya, kemudian beralih menatap ke luar jendela. Ia tak berani menoleh ke kanan. Karena ia tahu, Irza tengah menatapnya dari samping.
"Kamu tahu, Bunda sampai sakit-sakitan gara-gara kamu pergi tanpa kabar. Semua orang sibuk nyari kamu, termasuk aku. Apa kamu enggak mikir bagaimana khawatirnya aku dan keluarga lainnya saat kamu pergi? Kenapa sih sifat keras kepala kamu enggak berubah?"
Hati Lara mencelos. Ia tak menyangka kalau kepergiannya membuat semua orang khawatir padanya. Ia sama sekali tidak bermaksud begitu. Ia hanya butuh ketenangan. Apakah itu salah? Bulir air mata mulai menetes membasahi pipinya. Lama kelamaan, isaknya mulai terdengar.
Irza merasa telinganya sakit saat mendengar isak tangis Lara. Ingin sekali rasanya ia merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam dekapan hangatnya. Namun, itu terlalu beresiko Lara akan membencinya.
"Sekarang kita pulang. Bunda lagi sakit. Saat tidur, dia terus manggil nama kamu," ucap Irza.
Bagaimanapun, ia tidak mau melihat Lara menangis. Karena hal itu juga akan berdampak pada hatinya yang ikut nyeri.
"Plis, jangan nangis. Aku takut lepas kontrol, La."
"Untuk mengetahui baik buruknya seseorang, kamu perlu memahaminya sendiri. Bukan hanya sekadar tahu lewat orang lain."
Hanaksara
Hallo, ai mis yu kalian. Maaf banget baru bisa update. Aku lagi sibuk ngurus outline untuk cerita baru.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro