1 - Luka pertama
🕊️🕊️🕊️
Lara tidak bisa tidur. Kepala rasanya seperti mau pecah dikelilingi bayang-bayang kejadian beberapa jam lalu. Ia masih tidak percaya pada skenario yang sedang dijalaninya. Lara memaksa matanya untuk terpejam. Deru napasnya tidak teratur, membayangkan hari-harinya yang akan suram setelah pernikahan itu. Kalau yang dijodohkan dengannya adalah Irza, tentu ia akan dengan senang hati menerimanya. Masalahnya, Lara tidak kenal dengan lelaki itu. Yang Lara tahu, lelaki bernama Imran itu adalah lelaki paling angkuh yang pernah ia kenal. Perempuan itu sangat berharap bahwa kejadian hari ini hanyalah mimpi belaka.
Tadi saja, laki-laki itu sempat mengiriminya pesan singkat, yang membuat Lara gondok setengah mati.
Ketukan pintu dari luar cukup membuatnya tersentak. Ia langsung berdiri, membukakan pintu.
Ayu tersenyum tipis sambil mengacak rambut Lara. "Kok belum tidur? Mikirin yang tadi, ya?" tanyanya.
Anggukan pelan dari Lara berhasil membuat ulu hatinya berdenyut nyeri, seolah ditekan begitu kuat. Ia merasa begitu berdosa padanya. Ayu merasa gagal menjadi orang tua. Sebetulnya, ia tidak mau menjodohkan Lara dengan anak dari bos suaminya di kantor. Namun, mau bagaimana lagi? Ada hal yang membuatnya tak bisa menolak hal itu.
"Bunda tahu, kamu pasti masih marah sama Bunda dan Ayah. Bunda paham. Kalau begitu, Bunda ke kamar dulu, ya? Kamu pasti butuh istirahat."
Ayu hendak bangkit dari duduknya, tetapi Lara sudah lebih dulu menahannya. Perempuan itu langsung menghambur ke pelukannya sambil menangis sesenggukan. Ia terus meracau, mengeluarkan kata-kata yang tak sempat ia ucap saat makan malam tadi. Keluhan demi keluhan terus keluar tanpa jeda.
"Kenapa harus Lara, Bunda? Lara belum mau menikah. Lara masih ingin menghabiskan masa-masa muda. Lara masih pengen kerja. Bahagiain Bunda sama Ayah. Lara juga enggak mau pisah sama Irza."
Lara masih menangis tergugu. Wajahnya yang seputih kapas sampai memerah. Ayu juga bisa melihat bantal yang dipakai putrinya tidur telah basah.
"Sayang, dengar Bunda." Dengan telaten, Ayu usap sisa air mata Lara, "ini memang salah Ayah dan Bunda. Kami terlalu gegabah. Kami terkesan egois dengan mengesampingkan perasaanmu. Tapi, percayalah. Ini adalah kuasa Allah. Perjodohan ini akan menjadi awal dari perjalanan hidupmu kelak. Bunda yakin, akan ada satu titik cahaya yang menantimu di depan sana."
"Tapi, Bunda ... Lara maunya menikah sama Irza. Lara sayangnya sama dia. Gimana perasaan Irza kalau sampai tahu Lara mau menikah dengan orang lain? Pasti dia kecewa."
Masih dengan senyum teduhnya, Ayu menjawab, "Bunda yakin Lara bisa hadapin ini. Sabar ya, Sayang."
Lara berdecak kesal. Tangan kirinya bergerak cepat mengambil tisu di atas nakas untuk mengelap hidungnya yang ikut berair karena terlalu lama menangis. "Sabar juga ada batasnya, Bun. Lara cuma manusia biasa," keluhnya.
"Kata siapa sabar itu ada batasnya? Nak, dengar Bunda. Allah Subhanahu wata'alla pernah berfirman dalam surat Az-Zumar, ayat 10. Yang bunyinya, 'Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas'. Jadi, kita sebagai manusia biasa seharusnya malu berkata bahwa sabar itu ada batasnya sedangkan pahala yang diberikan Allah tanpa batas."
Lara tersekat, terdiam. Ia jadi sadar, sudah terlalu banyak nikmat Allah yang ia sia-siakan. Justru lebih sibuk menghitung banyaknya ujian yang Dia berikan. Padahal, hal itu semata-mata karena Allah menginginkan ia untuk terus berada di jalan-Nya. Allah ingin ia selalu ingat pada-Nya. Namun, Lara sebagai hamba masih suka mengingkari-Nya.
🕊️🕊️🕊️
"Capek, ya?"
Lara mengangguk. Usai sidang, Irza mengajak Lara untuk jalan-jalan. Bermaksud merayakan kelancaran sidangnya tadi.
Lara menatap lurus ke depan, sebuah danau kecil terpampang jelas di hadapannya. Airnya jernih dengan embusan angin yang cukup menenangkan otaknya. Kini, pandangannya beralih menatap seseorang di sampingnya dengan gurat kesedihan. Ia tidak ingin berpisah dengannya. Dia Irza, laki-laki penyabar yang selalu bisa membuat Lara tersenyum salah tingkah. Laki-laki yang ia harap akan terus menemaninya hingga hari tua nanti. Namun, nyatanya Allah tidak menginginkan itu terjadi.
"Hei, aku perhatiin dari pagi tadi kamu keliatan murung. Ada masalah?" Irza berucap sambil mengusap puncak kepala Lara dengan lembut.
Bukannya menjawab, Lara justru menangis. Sontak, hal itu membuat Irza terkejut. Ada apa dengan gadisnya? Kenapa tiba-tiba ia menangis?
"Sayang, kamu kenapa? Jangan buat aku khawatir. Coba cerita, ada masalah apa? Aku mohon, jangan nangis." Irza langsung membawa tubuh Lara ke dalam dekapannya. Raut wajahnya berubah khawatir.
"Ak-aku ... aku sayang sama kamu, Irza. Aku enggak mau pisah sama kamu." Lara terisak, bahunya mulai bergetar.
Irza mengerutkan dahinya bingung. Sebenarnya, apa yang telah terjadi pada Lara? Iya yakin, ada hal yang tidak beres di sini. Irza sangat memahami pribadi Lara. Gadis itu tidak akan menangis kecuali dalam masalah besar.
"Tanpa kamu bilang pun aku tahu, La. Ayo dong cerita sama aku. Jangan buat aku makin khawatir."
Lara semakin mengeratkan pelukannya. Tangisnya bahkan semakin kencang. "Ayah akan menikahkan aku dengan laki-laki lain, Irza. Aku enggak mau, aku cuma ingin menikah sama kamu," keluhnya.
Tanpa sadar, Irza melonggarkan pelukannya. Hatinya terasa nyeri mendengar fakta mengejutkan itu. Pandangannya mulai buram. Tertutup oleh cairan bening yang sudah siap meluncur membasahi pipinya.
"Siapa laki-laki itu?" Irza mencoba menahan dirinya untuk tidak emosi di depan Lara. Ia tidak ingin melihat gadis yang amat dicintainya itu semakin tersiksa, meski nyatanya ia juga tersiksa.
"Dia ... dia anak dari teman kantor Ayah. Dia arogan, Irza. Aku sangat enggak menyukainya."
Irza tak tahan melihat gadisnya menangis seperti ini. Lihatlah, hidungnya memerah, matanya sembab, tatapannya penuh dengan ketakutan. Ditangkupnya kedua pipi Lara agar menatap ke arahnya. Dengan pelan, ia hapus air mata yang masih terus membanjiri pipi kekasihnya.
Kekasih? Rasanya, Irza ingin menertawakan nasibnya saat ini. Takdir benar-benar sedang mempermainkannya. Menjalin kasih selama kurang lebih satu tahun, tetapi ia harus rela kekasihnya dipinang oleh laki-laki lain. Miris, bukan? Padahal, ia sudah menyusun rencana, bahwa setelah wisuda, Irza akan menemui orang tua Lara untuk melamarnya. Ternyata, ia kalah cepat. Ikhlas, mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang.
"Sayang, liat aku. Denger aku baik-baik. Apa pun yang terjadi nanti, aku mohon jangan nangis lagi. Kalau pun takdirnya kamu harus menikah dengan laki-laki lain, aku ikhlas. Meski sebenarnya itu sakit banget di aku. Satu hal yang harus kamu inget, bahwa aku akan terus cinta sama kamu, sampai kapan pun." Kalimat itu ia akhiri dengan satu kecupan lembut pada kening Lara.
"Bawa aku pergi, Irza. Aku enggak mau menikah sama laki-laki arogan itu," desak Lara dengan tatapan penuh luka.
Irza menggeleng. "Enggak, La. Aku enggak bisa bawa kamu pergi begitu aja. Aku enggak mau dianggap pengecut oleh orang tua kamu. Mereka pasti bakal sedih kalau kamu ninggalin rumah."
"Kamu itu sebenernya sayang enggak sih sama aku? Kenapa kamu keliatan biasa-biasa aja? Kamu jahat tau, enggak!" Lara sudah akan beranjak sebelum akhirnya Irza kembali memeluknya. Bahkan lebih erat dari sebelumnya.
"Plis, jangan begini. Aku sayang sama kamu, aku cuma mau kamu bahagia dengan pilihan kedua orang tua kamu. Aku enggak mau egois, La. Aku memang cinta sama kamu, tapi aku bisa apa kalau takdir aja enggan menyatukan kita? Percayalah, kalau kita memang berjodoh, kita akan dipertemukan kembali."
Irza mengurai pelukannya. Bulir air matanya menetes begitu saja. Ia bahkan terus meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja. Jujur saja, ia kecewa. Padahal, Santoso sangat mengenalnya. Beliau juga tahu bahwa Irza berpacaran dengan dengan Lara. Namun, mengapa ayah Lara malah menjodohkannya dengan laki-laki lain?
Lara menatap kekasihnya begitu lekat. Ia tahu bahwa Irza lebih kecewa dibanding dirinya. Ia juga yakin bahwa Irza sangat terluka. Itulah yang membuat ia tak henti-hentinya menangis.
"Kapan pernikahan itu dilaksanakan?" Irza berharap masih ada kesempatan untuk bisa memiliki gadis itu seutuhnya.
Lara mematung. Ia bingung harus bagaimana menjawabnya.
"Jawab aku, kapan pernikahan itu dilaksanakan?" ulang Irza sekali lagi.
Lara menunduk lemah. Dengan ragu, ia menyahut, "Selesai wisuda."
Tubuh Irza langsung lemas, hancur sudah harapannya. Rencana yang bahkan sudah ia siapkan sejak jauh-jauh hari telah pupus. Tak ada lagi harapan untuk terus bersama Lara.
Lara tidak berani menatap Irza, yang mungkin saat ini sedang menahan emosinya.
"Terima aja keputusan orang tua kamu, aku baik-baik aja." Menghela napas sebentar, Irza kembali bersuara, "kalau laki-laki itu enggak bisa bahagiain kamu, aku siap menggantikannya."
Lara semakin tak berdaya, hatinya sakit. Irza telah menyerah.
"Ayo, aku antar pulang." Setelah mengucapkan itu, Irza berjalan lebih dulu dengan rasa kecewa yang begitu dalam.
Lara semakin kesal karena sejak tadi Imran mengirimnya pesan.
"Bersamamu aku belajar bagaimana cara merelakan. Meski luka yang kudapat, aku ikhlas. Sebab Tuhan yang tahu cara menyembuhkannya."
Hanaksara
Lanjut nggak nih?😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro