4. (a) Ekstra Sabar
Dava masih menunggu Tasya di parkiran dengan pandangan meneliti ke arah koridor. Suara dehaman di belakangnya membuat Dava menoleh dan tersenyum.
"Eh, Tasya," katanya, "ayo naik!"
Tasya bertanya, "Langsung ke rumah?"
"Iya, takutnya kesorean nanti," jawab Dava, "nih, pakai helmnya!"
Tasya menerima helm yang diberikan Dava lalu memakainya. Dia berjalan ke sisi samping kiri motor, lalu menaikinya setelah Dava men-stater motornya.
"Dav, jangan ngebut ya!" pinta Tasya sambil menepuk bahu kanan Dava, dan Dava mengangguk mengiakan.
Dava menjalankan motornya keluar gerbang dan berbelok ke arah kiri.
"Tunjukin jalannya, Sya."
"Dekat kok. Depan itu belok kiri. Terus tinggal lurus aja, ikuti jalan," jelas Tasya.
Duapuluh menit kemudian, mereka sudah tiba di depan rumah minimalis bercat hijau muda yang sejuk jika dilihat. Di halamannya, ada taman kecil yang ditumbuhi berbagai tanaman hias.
Dava berjalan mengikuti Tasya yang sudah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan terlihat seorang wanita paruh baya yang masih cantik sedang tersenyum lembut ke arah Tasya.
"Sudah pulang, Sya?"
Tasya ikut tersenyum lalu menyalami wanita tersebut. "Sudah, Bunda."
"Oh, iya Bun, kenalin ini teman Tasya, namanya Dava," ujar Tasya. Matanya melirik ke arah Dava yang tersenyum lalu ikut menyalami Bunda Tasya.
"Dava, Tante," ujarnya.
"Sini masuk dulu, ngobrol di dalam aja." Bunda Tasya membuka lebar daun pintu dan mempersilakan Dava untuk masuk.
Dava mengangguk sopan. Dia berjalan di belakang Bunda Tasya. Dava melirik Tasya yang berjalan menaiki tangga menuju lantai dua.
Gerak-gerik Dava tak luput dari perhatian Bunda Tasya. Dia ikut memperhatikan fokus Dava dan tersenyum tipis.
"Tunggu sebentar ya, Nak. Sepertinya Tasya ganti baju dulu," ujar Bunda Tasya setelah mempersilakan Dava untuk duduk.
Dava tergagap dan hanya bisa mengangguk kaku.
"Mau minum apa, Nak?" tanya Bunda Tasya.
Dava menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil tersenyum cengengesan. "Enggak usah repot-repot, Tan, seadanya aja," jawabnya, "tapi kalau ada ya es jeruk, Tan," tambahnya.
Bunda Tasya menggelengkan kepalanya. Ada-ada saja anak muda zaman sekarang!
"Bercanda, Tan," kata Dava kemudian, "tapi kalau benaran juga enggak apa." Dava terkekeh geli. Baru kenal beberapa menit saja dia sudah berani menggoda ibu Tasya. Bagaimana kalau sudah kenal beberapa bulan nanti?
Bunda Tasya ikut terkekeh menanggapi godaan Dava. "Ya sudah, tunggu sebentar ya, Nak Dava."
Bunda berdiri, lalu berjalan ke arah dapur.
"Makasih loh, Tan, sebelumnya," ujar Dava yang mendapat respons acungan ibu jari oleh Bunda Tasya.
Suara telapak kaki yang beradu dengan lantai membuat Dava mengalihkan pandangannya ke asal suara. Dia melihat Tasya yang sudah berganti pakaian dengan menbawa buku di tangannya, sedang menuruni anak tangga. Dava menanti Tasya duduk di depannya sambil menatap langkah gadis itu.
Tasya duduk bersamaan dengan Bunda yang datang membawakan dua gelas es jeruk—sesuai pesanan Dava—serta setoples makanan ringan.
Tasya meraih nampan yang dibawa Bundanya dan mengucapkan terima kasih. "Tante tinggal dulu ya, Nak Dava. Diminum itu es-nya, sesuai pesanan kamu," ujar Bunda Tasya sambil terkekeh.
"Iya, Tante. Pasti Dava minum dong," jawab Dava. Tangannya mengacungkan ibu jari ke arah Bunda Tasya.
Dava beralih menatap Tasya setelah Bunda meninggalkan ruang tamu. Dava mengangguk saat Tasya mempersilakannya untuk minum.
"Sya, ini buku kelas sebelas 'kan?" tanya Dava saat matanya tak sengaja melihat buku tulis warna biru muda.
Tasya mengangguk. "Katanya kita belajar pelajaran kelas sebelas dulu, baru masuk ke materi kelas dua belas?"
"Iya. Ya sudah, ayo mulai."
Hari ini mereka belajar tentang Fluida Statis, karena Tasya mengeluh belum paham cara menghitungnya. Sebagai "guru private", Dava hanya ikut saja pada kemauan Tasya.
Dava mulai membuka buju LKS Fisika dan mencari halamannya pada daftar isi. Setelah ketemu, dia membalik buju tersebut dan menaruhnya di depan Tasya.
"Yang Hukum Pascal 'kan?" tanya Dava memastikan, dan Tasya mengangguk mengiakan.
"Kamu baca dulu bunyi Hukum Pascal-nya."
Tasya mulai membaca, dan mengangguk setelah selesai.
Dava berdeham sebelum mulai menjelaskan. "Nah, jadi di Hukum Pascal itu rumusnya: tekanan benda satu sama dengan tekanan benda dua. Tekanan itu sendiri adalah gaya pada penghisap dibanding luas penampang penghisap. Jadi, nanti rumusnya ditulis: F1/A2 = F2/A2. Sampai sini paham?"
Dava menjelaskan sambil mencoret dan melingkari tulisan yang ada di LKS. Da bertanya kepada Tasya dan dijawab anggukan Tasya.
"Gaya, luas. Oke, inget!"
"Oke, lanjut. Nanti kalau bentuk penghisapnya silinder, rumusnya jadi: F1/F2 = d1²/d2². Paham?" tanya Dava lagi.
Tasya terlihat sedang berpikir keras. "Kok jadi d tadi 'kan A?" tanya Tasya.
"Tadi 'kan aku bilang kalau bentuk kedua penghisapnya silinder. Silinder 'kan lingkaran, dicarinya pakai diameter," jelas Dava.
Tasya mengangguk paham. "Oke, oke. Lanjut."
"Nah, sudah paham 'kan?" tanya Dava memperjelas, dan Tasya mengangguk yakin.
"Sekarang, coba kerjain soal ini."
Dava menunjuk satu soal yang berada di bawah penjelasan tadi.
"Oh iya, aku boleh numpang shalat enggak? Sudah adzan sepertinya."
"Boleh, lurus aja terus belok kanan," ujar Tasya menjelaskan.
"Aku tinggal dulu." Tasya hanya mengacungkan ibu jarinya mengiakan.
Sepuluh menit berlalu, dan sudah kembali lagi duduk di depan Tasya. Dia menatap Tasya yang sedang membaca soal dengan seksama. Kamu kok cantik banget sih, Sya, kalau pakai gamis gini? batin Dava.
"Dav, ini rumusnya apa? Kok enggak kamu jelasin tadi?" tanya Tasya tiba-tiba.
Fokus Dava kembali pada buku yang sedang dipegang Tasya. Dia memiringkan badannya dan mulai membaca soal.
"Gaya minimum?" gumam Dava. Dia menatap Tasya sambil mengerutkan dahinya. "Tadi 'kan sudah, Sya," jawab Dava.
Tasya ikut mengerutkan dahi sambil memiringkan kepalanya. "Kapan?" tanyanya polos.
Dava menepuk dahinya pelan menggunakan tangan kanan. Dia kembali menghadapkan LKS itu ke arah Tasya.
"Gini deh, sekarang aku contohin dulu, nanti kamu ngerjain soal yang lain, ya."
"Oke."
"Ini 'kan diketahui jari-jari pipa kecil 4 cm, jari-jari pipa besar 16 cm. Karena rumus kita tadi diameter, maka 4 dan 16 masing-masing dikali dua. Paham?" Dava melirik Tasya yang kembali memiringkan kepalanya.
"Kok dikali dua?" tanya Tasya.
Dava menghela napas pelan. "Jari-jari 'kan setengahnya diameter. Kalau kita mau cari diameter, ya jari-jari dikali dua, Sya."
Dalam hati Dava menggerutu, lulus SD enggak sih, Sya? Gemes deh.
****
TBC.
Hai! Kembali lagi bersama Dava-Tasya! 🙌
Bab ini aku bagi dua, karena kepanjangan kalau dijadikan satu. 😁
Oh ya, gimana pendapat kalian tentang bab ini?
Jangan lupa vote dan komen yak. 😘
Karena pembaca teraktif vote dan komen akan mendapatkan hadiah loh! Siapa tahu kamu yang jadi pemenangnya? 😋
Sampai jumpa di bab selanjutnya hari Sabtu ya ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro