20. Butuh Piknik
"Sya ...,"
"Hm?"
"Kamu ... mau nggak, jadi pacarku?"
Tasya terdiam. Lagi-lagi kalimat itu keluar dari mulut Dava. Tasya bingung harus bagaimana. Apalagi kedatangan Bian kembali membuat dia akhir-akhir ini sibuk dengan Bian, sampai-sampai melupakan Dava.
"Sya?"
Panggilan Dava membuat Tasya semakin menundukkan kepalanya. Dia menghela napas pendek sebelum kembali mendongak. Hanya menatap Dava sebentar sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya pada danau di depannya.
"Sama seperti dulu, aku ... nggak bisa, Dav."
Tasya berkata tanpa menatap lawan bicaranya. Dia menatap lurus ke depan dengan pandangan yang sulit Dava artikan.
Dava memejamkan matanya. Lagi-lagi dia ditolak. Apa memang Tasya tidak pernah memiliki perasaan kepada Dava? Mungkin memang benar. Selama ini hanya Dava yang terlalu percaya diri mengungkapkan perasaannya, hanya Dava yang terlalu percaya diri bahwa Tasya juga menyukainya. Nyatanya semua tak sama seperti pemikirannya selama ini.
Apalagi sekarang ada Bian. Pasti Tasya lebih bahagia sama Bian. Pasti dia suka sama Bian. Dari cara dia tertawa saat sama Bian, sedangkan saat sama aku, Tasya pasti selalu berantem. Di mana sisi romantisnya?
Dava terkekeh miris saat menyadari itu. Dia melupakan bahwa Tasya selalu terlihat bahagia saat bersama Bian.
"Dav—"
"Kenapa?" lirih Dava memotong panggilan Tasya.
Dava menatap Tasya lama. Tatapannya terlihat sendu.
"Aku mau fokus belajar dulu, Dav. Sebagai tutor aku, kamu harusnya tahu kalau aku nggak bisa kayak yang lainnya yang bisa gampang nangkap penjelasan dari guru. Aku butuh dijelasin berulang-ulang dulu supaya bisa paham. Aku nggak mau kita keasyikan pacaran, terus belajar kita jadi nggak maksimal," jelas Tasya, "aku pengen kayak yang lainnya, yang bisa kuliah di perguruan tinggi yang disukai."
Hampir saja Tasya menangis mengingat kelemahannya itu. Dari dulu, dia memang agak kesulitan dalam belajar. Entah karena apa. Yang jelas hal itu membuat Tasya selalu merasa rendah dibandingkan teman-temannya. Dia merasa selalu di bawah.
"Ya ampun, enggak, Sya."
Dava menyangkal sambil menggeleng keras.
"Kamu pasti bisa masuk perguruan tinggi yang kamu suka. Jangan ngomong yang aneh-aneh," ujar Dava meyakinkan.
Tasya menggeleng. "Dari dulu, setiap pembagian rapor, temen-temenku pasti langsung datengin aku," kata Tasya. Dia tersenyum sambil menatap lurus, menerawang masa-masa dulu. "kamu tahu? Mereka nanyain nilaiku. Bukan untuk simpati atau apa. Tapi untuk bahan ejekan di belakangku. Diam-diam mereka selalu mengatiku walaupun tidak secara langsung." Tasya terkekeh sendiri dengan ucapannya. "Sampai Bu Ana nyuruh kamu buat jadi tutor aku."
Dava terdiam. Dia tidak menyangka Tasya berpikiran sejauh itu. Menurut Dava, Tasya lumayan bisa menerima pelajaran. Masih ada yang lebih parah dari Tasya. Tidak seharusnya Tasya berbicara seperti itu. Apalagi "mereka" yang disebutkan Tasya tadi. Sungguh tidak memiliki sopan santun. Bagaimana bisa semua terlihat baik-baik saja, semua orang terlihat menyukai Tasya, tapi kenyataannya di balik itu semua, mereka membenci Tasya, menghina Tasya. Dava sampai kehilangan kata-katanya.
"Maka dari itu aku nggak punya teman, nggak punya sahabat. Padahal dari dulu, aku pengin banget punya satu aja orang yang bisa aku ajak curhat. Dan di sekolah menengah, aku nemuin Bian, yang mau jadi sahabatku. Tapi semenjak lulus sekolah menengah, dia ikut orang tuanya ke Jakarta. Semenjak itu aku kehilangan satu-satunya sahabat aku. Hingga beberapa waktu yang lalu, Bian kembali. Aku seneng, tentu saja. Aku jadi bisa curhat lagi sama Bian."
Dava semakin terdiam. Lalu aku ini apa, Sya? Bahkan sebagai sahabat pun nggak kamu anggap. Dan dengan percaya dirinya aku nembak kamu, tentu saja kamu langsung nolak.
"Kamu ... deket banget ya sama Bian," ungkap Dava. Dia menatap Tasya yang tersenyum kecil.
"Bisa dibilang begitu."
"Memangnya nggak ada selain Bian yang jadi sahabatmu? Waktu kamu kecil, mungkin."
Entah kenapa Dava menanyakan hal itu. Dia ingin Tasya mengungkapkan sesuatu yang selama ini selalu ditahan-tahan oleh Dava.
Tasya mengernyit bingung. Dia berpikir sebentar sebelum akhirnya dia tersenyum lebar. "Ada."
Dava menghela napasnya. Dia merasa lega saat Tasya mengatakan satu kata itu. Ada harapan Tasya mengingat sesuatu.
"Siapa?" tanya Dava, yang terdengar antusias.
Tasya menoleh ke arah Dava masih dengan senyumnya. Dia mengingat nama teman masa kecilnya. "Namanya ... duh, kok aku lupa ya?"
Senyum Dava memudar. Dia menghela napas pelan. Tasya belum mengingatnya.
"Duh, siapa sih namanya? Astaga ..., masih muda kok udah pikun sih, Sya!" gerutu Tasya.
"Hush, nggak baik ngomong gitu!" peringat Dava yang membuat Tasya cengengesan.
Entah mengapa pembicaraan mereka bisa melenceng jauh dari topik awal. Dava berpikir, bukankah tadi dia menyatakan perasaannya untuk yang kedua kalinya, dan Tasya menolaknya? Mengapa sekarang topik itu sudah lenyap, seakan-akan memang mereka tidak pernah membicarakannya. Tetapi Dava bersyukur. Meskipun dia ditolak lagi, setidaknya keadaan keduanya tidak seperti dulu yang langsung menjadi canggung. Karena Dava tentu tidak akan kuat jika harus berlama-lama tidak berbicara pada Tasya.
"Oh ya, soal sahabatku tadi, bisa dibilang, dia bukan sahabatku juga sih?" kata Tasya tiba-tiba saat mereka kembali terdiam.
Dava menoleh dan menatap bingung pada Tasya. "Maksudnya?"
"Jadi dulu itu pas aku masih kecil, aku suka banget keluyuran. Tapi walaupun gitu, aku masih aja nggak hapal jalan pulang. Sampai-sampai Bunda bingung sendiri nyari aku." Tasya terkekeh kecil mengingat Bundanya yang selalu marah-marah jika Tasya kecil suka berkeluyuran tidak jelas.
"Sampai waktu itu, aku nyasar di taman. Aku nggak kenal sama orang-orang di sana, sampai aku nangis di bawah pohon. Tiba-tiba ada anak cowok yang deketin aku, terus dia beliin aku ice cream. Dan semenjak itu, aku suka banget sama yang namanya ice cream, sampai sekarang. Tapi sayang, aku lupa sama namanya."
Dava bisa menangkap nada sedih dalam suara Tasya. Tak jauh berbeda, dia pun sedih dengan ucapan Tasya. Itu aku, Sya. Anak kecil itu aku. Aku seneng kamu masih inget sama aku, sampai kamu suka banget sama ice cream karena aku. Tapi aku sedih saat tahu kamu lupa kalau itu aku.
"Yah, aku jadi kepingin makan ice cream," ujar Tasya tiba-tiba.
Dava menoleh cepat ke arah Tasya. Secepat itukah mood Tasya berubah? Sudah berapa kali Tasya berubah-ubah ekspresi sejak mereka duduk di sini. Dari dulu, Dava salut dengan orang yang bisa merubah ekspresinya dengan cepat, karena manurutnya orang itu bisa menyembungikan kesedihannya dengan rapi. Dan Tasya mempunyai sifat itu. Dava yakin, di balik Tasya yang kadang kelewat polos sampai rasanya Dava ingin mengubur diri dalam pasir saat berhadapan dengannya, pasti dia menyimpan rasa sakit hatinya.
Seperti tadi. Dava baru tahu kalau Tasya sering mendapat hujatan di belakangnya. Dan dia tetap percaya diri selalu tersenyum kepada orang-orang. Dava semakin salut dengan Tasya yang selalu ramah dan sopan.
Calon istri idaman, batinnya sambil terkekeh geli.
"Dav, masih waras 'kan?"
Dava mengerjap pelan. "Kenapa?"
Tasya memiringkan kepalanya. "Kok ketawa sendiri?"
"Oh, itu ... enggak papa," jawab Dava sambil meringis.
"Aneh," gumam Tasya.
"Udah ah, yuk jadi makan ice cream nggak?" tawar Dava sambil menaik-turunkan alisnya.
Mata Tasya berbinar lucu. Dia mengangguk antusias lalu segera beranjak dari sana. "Ayo!" ujarnya dengan semangat.
Dava sampai terkekeh geli melihat Tasya yang sudah berjalan di depannya. "Lucu banget sih!"
"Oh ya, Dav. Kamu belum jawab pertanyaanku loh!" ucap Tasya saat Dava sudah menyamai langkahnya.
"Pertanyaan yang mana?"
Tasya berdecak. "Ini, tempat ini tuh di daerah mana? Kok aku nggak tahu?" tanya Tasya lagi, untuk mengingatkan Dava.
Dava hanya ber-oh-ria sambil menganggukkan kepalanya. "Di belakang sekolah kita," jawabnya santai, "itu gedung sekolah kita kelihatan." Dava menunjukkan sebuah bangunan yang disebutnya sebagai sekolah mereka dengan jari telunjuknya.
Tasya menggelengkan kepalanya, mulutnya ternganga seolah tidak percaya.
"Sedekat itu, dan aku nggak tahu tempat ini?! Fix, aku perlu piknik!"
****
TBC.
Haii...
Jumpa lagii... 😉
Oh ya, aku mau revisi soal biodata Dava. Dia lahirnya di Yogyakarta ya, bukan Jakarta. 😂 Kemarin aku salah wkwk. Maafkan aku. 🙏😂
Jangan lupa vommet yak 😘
Sampai jumpa di bab berikutnya....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro