Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Sembilan Puisi Keren

Hari ini tampak cerah. Sinar mentari terasa menyengat kulit hingga membuat seorang gadis manis harus cepat-cepat berlari ke gedung sekolahnya. Dia tersenyum lebar kepada setiap orang yang ditemuinya. Menyapa dengan ramah, bahkan sampai ada yang dia ajak selfie bersama.

"Girang banget, Sya, kayaknya? Ada yang mau traktir kita-kita di kantin deh kayaknya," ujar salah satu temannya yang tidak sengaja berpapasan di koridor.

Tasya tersenyum malu-malu, "Apaan sih? Biasa aja kok!" kilahnya sambil lalu.

Tasya sudah sampai di kelasnya. Dia meletakkan tasnya di atas meja lalu menangkup kedua pipinya dengan tangan. Dia kembali tersenyum, bahkan sampai terkekeh geli membayangkan sembilan puisi yang dijanjikan Dava hari ini.

"Duh, nggak sabar! Kayak apa ya, puisi buatan Dava? Eh, tapi 'kan Dava orangnya nggak romantis, gimana kalau puisinya jelek?!" kata Tasya sambil menegakkan tubuhnya, "nggak apalah. Yang penting sembilan puisi itu ada di tanganku!" gumam Tasya dengan senyum merekah.

"Ah, nggak sabar! Eh, tapi 'kan aku lagi haid. Nggak mungkin aku pergi-pergi keluar kelas! Nanti kalau bocor gimana?! Aduh jangan, jangan!" Tasya mulai berpikir. "Atau aku kirim pesan aja ya ke dia buat kasih puisinya ke kelasku? Ah, iya aja deh."

Tasya lantas mengambil ponselnya dan benar-benar mengirim pesan kepada Dava. Dia menunggu beberapa saat sebelum balasan Dava akhirnya muncul. Tasya semakin tidak sabar setelah membaca balasan Dava, yang katanya akan datang tepat saat bel istirahat berbunyi.

Tasya kembali bersikap normal saat melihat Bu Anita masuk ke kelasnya.

***
 
Rico heran melihat Dava yang membentur-benturkan kepalanya di meja. Dia juga mendengar gumaman Dava yang mirip gerutuan itu.

"Dasar kamu, Dav! Ngomong nggak pakai dipikir dulu! Kalau udah kayak gini, mau gimana lagi? Kamu bisa apa selain nyalahin diri kamu sendiri?! Argh! Ini semua gara-gara mulut ceplas-ceplos ini! Kenapa sih kamu harus buat janji yang bahkan nggak kebayang bakal kamu lakuin suatu hari nanti! Udah tahu nggak bisa bikin puisi! Malah nantangin orang lagi. Mana sembilan puisi, alamak! Aku bener-bener harus dirukyah! Ada setan apa sih yang masuk pas aku ngomong gitu ke Tasya?! Astaga! Aing lelah!"

Rico mengangguk-angguk sambil mengerjapkan matanya. Dia semakin tidak paham dengan gerutuan Dava yang sudah seperti orang stress.

"Dav? Masih normal 'kan?" Rico bertanya dengan hati-hati.

"Ric, tolongin aku!"

Tiba-tiba saja Dava sudah berpaling menghadap Rico dan mengguncang bahu cowok itu dengan kencang. Rico sampai dibuat pusing hanya karena ulah Dava yang tidak jelas ini.

"Tenang, Dav, tenang!" seru Rico sambil menepis kedua tangan Dava yang masih mencengkeramnya. "Ini anak kesurupan apa, ya Allah." Rico menggeleng lelah saat melihat Dava masih saja betah dengan tampang memelasnya.

"Please, tolongin aku! Ini menyangkut masa depanku!" kata Dava yang sudah mengacak asal rambutnya.

"Masa depan hubunganku sama Tasya lebih tepatnya," gumamnya kemudian.

"Emang kenapa sih?"

Dava menoleh cepat. "Buatin puisi!" ujarnya.

Rico mendengkus seolah meremehkan. "Kecil itu mah! Sini kertasnya!"

Raut wajah Dava berubah semringah. "Yes!  Akhirnya! Sembilan, Co," kata Dava dengan senyuman manis andalannya.

Rico mengernyit sebentar saat mengambil kertas yang baru saja disodorkan Dava. "Oh, temanya sembilan maksudnya?" tanya Rico mencoba menangkap maksud Dava.

Kini giliran Dava yang mendengkus. "Jumlah puisinya, Co! Sembilan buah!" tekan Dava di setiap perkataannya.

Tiba-tiba gerakan tangan Rico berhenti. Matanya menatap kurus ke arah Dava. "Dav, tiba-tiba aku pengen ke toilet. Bentar ya! Kalau ada guru izinin aku ke toilet."

Rico sudah pergi duluan sebelum Dava bisa mencerna ucapannya tadi. "Rico! Perhitungan banget sih sama temen! Baru juga mau dipuji baik, eh malah ngacir duluan! Dasar!"

Dava kembali tenggelam dengan kegelisahannya tentang sembilan puisi yang dia janjikan untuk Tasya saat istirahat kedua nanti di kelas gadis itu.

*** 

Bel istirahat kedua pun berbunyi. Tepat saat Dava sudah tiba di depan kelas Tasya yang masih banyak muridnya. Dia menunggu dengan cemas. Matanya sesekali melirik pada lembaran-lembaran kertas yang dibawanya dari kelas. Sembilan puisi.

Mati-matian Dava memikirkan puisi apa yang akan dia beri untuk Tasya. Dava bahkan sampai mengulang berkali-kali agar mendapatkan puisi yang pas. Puisi yang cocok untuk Tasya.

Dava menegakkan tubuhnya saat melihat teman-teman Tasya sudah mulai bubar dari kelas. Dia menunggu hingga kelas benar-benar sepi.

Setelah dirasa cukup aman, Dava mulai melangkah ke meja Tasya yang kebetulan ada di dekat pintu. Gadis itu terdiam memperhatikan dirinya yang semakin dekat ke arah Tasya. Dava menyeret kursi di samping kanannya lalu meletakkannya di dekat kursi Tasya.

"Hai, Sya."

Sapaan adalah kalimat pertama yang diucapkan Dava setelah mereka terdiam cukup lama.

"Mana puisinya?!" pinta Tasya tanpa tedeng aling-aling. Tangannya terulur ke arah Dava seolah meminta Dava untuk cepat meletakkan puisi Tasya di sana.

Dava menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Ya ampun, Sya. Basa-basi dulu kek! Ini langsung ditodong!" gerutu Dava dibuat sekesal mungkin untuk menutupi rasa gugupnya.

Tasya menyipitkan matanya. "Jangan bilang kamu belum buat?!" tuduhnya saat melihat gelagat Dava yang tampak mencurigakan.

Dava langsung menggeleng kuat-kuat. "Buat kok, buat! Nih!" Dava meletakkan lembaran-lembaran kertas yang sejak tadi bersembunyi di belakang tubuhnya ke meja depan Tasya dengan agak membantingnya.

"Nah gitu dong! Aku baca ya!" kata Tasya dengan wajah semringahnya.

Dava sudah harap-harap cemas dengan reaksi Tasya setelah membaca puisi itu. Dia memejamkan matanya, menunggu reaksi Tasya yang tak kunjung dia rasakan.

Setelah beberapa menit Dava memejamkan matanya, dia mulai mengintip dengan membuka sedikit matanya. Di sana, Dava mihat Tasya yang kini menatapnya dengan ekspresi yang tak terbaca.

Dava tersenyum kikuk untuk menutupi rasa cemasnya. "Gimana, Sya? Bagus nggak?" tanya Dava dengan suara lirih, hampir seperti bisikan.

Tasya tersenyum manis. "Bagus kok, bagus," ujarnya tak terduga.

Dava sampai mengerjapkan matanya kembali mendengar kalimat tersebut. Kemudian tanpa bisa dia cegah, rasa bangga menyeruak ke dalam dadanya. Dia tersenyum sombong sambil menegakkan duduknya.

"Lain kali, yang lebih kreatif dan jangan pelit ya!" ujar Tasya dengan penuh penekanan di setiap katanya, membuat senyum Dava perlahan memudar.

Tasya bangkit berdiri tanpa menoleh lagi ke arah Dava yang kini sedang mengamati sembilan puisi dadakannya.

Lembar 1:
Oh Tasya, kamu sungguh cantik
Wajahmu sangat menarik
Senyummu terlihat nyentrik
Membuatku semakin tertarik

Lembar 2:
Oh Tasya, wajahmu sangat menarik
Dirimu sungguh cantik
Aku semakin tertarik
Dengan senyummu yang terlihat nyentrik

Lembar 3:
Oh Tasya, senyummu terlihat nyentrik
Wajahmu sangat menarik
Kamu sungguh cantik
Membuatku semakin tertarik

Begitu terus hingga lembar ke sembilan. Empat kalimat, dengan susunan letak dan kata yang diubah sedikit.

Sungguh pintarnya Dava Abiyoga ini!

Patut diberi apresiasi!

****
TBC.

Hai...
Ini belum masuk konflik yak guys 😁
Maaf slow banget 😁
Karna emang alurnya gini hehe....

Jangan lupa vomment yak guys  😘😘

Sampai jumpa di bab selanjutnya....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro