Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Enggak Peka

****

"Kamu ... mau enggak jadi ... pacarku?" tanya Dava dengan hati-hati, menunggu reaksi Tasya yang kini hanya diam mematung.

Keadaan hening sejenak. Mereka sama-sama diam. Tasya dengan pikirannya yang tiba-tiba kosong, dan Dava dengan perasaan cemasnya menunggu jawaban Tasya.

Tiba-tiba Tasya tertawa terbahak-bahak sampai dia memegangi perutnya. Air mata tampak keluar dari sudut matanya yang langsung dia usap. Dia menepuk pundak Dava sedikit kasar.

"Sumpah! Lucu deh Dav!" ujar Tasya di sela-sela tawanya.

Dava meringis antara menahan sakit di bahunya dan menahan sakit di hatinya. Lucu? Apakah wajah Dava terlihat sedang bercanda sekarang? Bahkan Dava sudah keringat dingin, tetapi reaksi Tasya? Dava mengelus dadanya pelan.

Sabar, Dav! Orang sabar pantatnya lebar! ujarnya dalam hati.

"Sya...."

"Bentar-bentar, Dav."

Tasya menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Hak itu dia lakukan berulang kali sampai tawanya mulai terkontrol. Tasya lalu menatap Dava. Ada senyum geli yang masih tersisa di bibir Tasya.

"Sya, aku serius!" kata Dava dengan raut wajah seriusnya.

"Hah? Serius apa? Aku juga serius, kamu lucu banget, Dav!" timpal Tasya.

Dava menghela napas. Dia mengacak rambutnya seolah frustrasi. "Bisa serius sedikit enggak sih, Sya?" tanyanya dengan nada memelas.

Tasya berdeham pelan. "Tadi ... beneran serius?"

"Enggak! ... Ya iyalah!"

Dava yang terlanjur kesal pun memalingkan wajahnya. Dia menatap lurus ke depan tanpa menoleh lagi ke arah Tasya.

Dasar enggak peka! gerutu Dava dalam hati.

Hening cukup lama, sebelum akhirnya Tasya berdeham pelan untuk menarik perhatian Dava.

"Bukannya apa-apa, Dav. Kita baru aja kenal. Belum tahu sifat masing-masing. Aku rasa cintamu hanya sesaat. Mungkin sebatas tertarik? Wajar sih buat remaja," ujar Tasya memulai percakapan.

Beberapa bulan kenal dengan Dava belum bisa membuat Tasya mengenal laki-laki itu dengan baik. Karena dari awal pun Tasya tidak ada niatan untuk ke arah situ. Dan seiring waktu berjalan, dia sudah tidak canggung lagi jika berbicara dengan Dava. Tidak seperti dulu yang terkesan kaku. Sekarang sudah bebas, layaknya remaja normal lainnya. Ceplas-ceplos saling ejek bukan hal baru lagi.

Tasya beralih menatap Dava. Dia memberikan senyum terbaiknya sebelum berkata, "Maaf."

Dava memejamkan matanya. Rasa sesak terasa jelas di ulu hatinya. Bertahun-tahun dia memendam rasa pada Tasya dan saat dia menyampaikan apa yang dirasakannya, dia justru mendapat penolakan. Baru kenal? Alasan apa itu? Bahkan Dava sudah menahan diri untuk tidak mendekati Tasya beberapa tahun terakhir ini. Dasarnya saja Dava yang pengecut. Tidak berani berdekatan langsung dengan Tasya.

Maka dari itu saat Bu Ana menyuruhnya menjadi tutor Tasya, dia gugup setengah mati! Tidak ada yang tahu bahwa saat itu Dava menahan napas saat melihat Tasya duduk di sampingnya. Sampai saat ini pun Dava masih sering gugup jika berhadapan dengan Tasya. Namun dia bisa menutupinya dengan rapi sampai Tasya pun tidak sadar akan hal itu. Dava yakin ini cinta. Cinta yang tulus untuk Tasya.

Dava menghela napas lalu dia menatap Tasya lembut. "Enggak papa. Aku nyatain perasaanku biar aku lega. Soal kamu mau terima atau enggak ... itu hak kamu."

"Emh ... pulang yuk? Udah mulai sore." Dava berkata dengan riangnya. Seolah tidak ada hal yang terjadi antara mereka berdua.

Tasya masih termenung di tempatnya saat Dava sudah mulai melangkah untuk pulang. Gadis itu melihat dengan jelas guratan kecewa dalam bola mata Dava. Tetapi Dava memilih diam dan tersenyum.

Tasya memejamkan matanya. Dia mengatur perasaannya yang sedang gelisah. Lalu panggilan Dava membuat kakinya bergerak mengikuti arah Dava tadi.

***

"Makan dulu ya, Sya," guman Dava. Pandangannya masih fokus pada jalanan di depannya yang terlihat macet.

Mereka baru saja keluar dari area masjid. Menjalankan salat Asar walaupun waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.

Tasya hanya berdeham menjawab pertanyaan Dava. Dia sedang sibuk dengan game yang sedang dimainkannya. Tasya sempat bosan karena hanya duduk diam sedari tadi. Ponselnya lowbath sehinggadia tidak bisa memainkan benda kesayangannya itu untuk mengusir bosan.

Dan tiba-tiba saja ponsel Dava sudah ada di pangkuannya. Laki-laki itu tahu gerak-gerik Tasya yang terlihat bosan. Maka dia pun menawarkan game yang ada di ponselnya. Tentu saja Tasya tidak menyianyiakan kesempatan itu. Dia menghidupkan ponsel Dava dan ... senyumnya memudar. Dia menatap Dava cemberut lalu memberikan lagi ponselnya.

Dava mengernyit heran. Lalu saat berada di lampu merah, dia meraih ponselnya dan tertawa kecil. Hanya karena sandi.

Dava membuka ponselnya lalu menyuruh Tasya untuk memasukkan sidik jarinya di pengaturan, agar bisa leluasa memainkan ponselnya tanpa menunggu Dava yang sedang menyetir. Dan sampai sekarang, Tasya masih sibuk berkutat dengan ponsel Dava.

"Main apa sih? Serius banget!" tanya Dava yang heran hanya mendapat dehaman dari Tasya.

"COC," gumam Tasya tanpa mengalihkan perhatiannya.

Dava mendengkus. "Jangan dimatiin!" peringat Dava. Dia sangat suka dengan permainan itu. Sampai dia merasa kesal kalau Rico mulai mencoba mengutak-atik COC-nya. Tetapi dengan Tasya, Dava bisa apa? Hanya pasrah dengan nasib permainannya itu.

Tasya berdecak, "Pelit banget sih! Ya enggaklah! Aku juga bisa main ini kali!"

Dava memutar bola matanya malas. "Awas aja kalau aku rugi!" lirih Dava berharap Tasya tidak mendengar ucapannya baru saja.

"Aku denger!"

Mereka kembali fokus dengan aktivitas masing-masing. Sampai akhirnya mereka tiba di depan rumah makan sederhana langganan Dava.

"Turun yuk, Sya," kata Dava sambil membuka pintu mobilnya. Dia membukakan pintu mobil Tasya dan menyeret gadis itu yang masih saja terfokus dengan permainannya.

"Mau pesan apa, Kak?" tanya seorang waiters saat Dava dan Tasya sudah duduk di meja ujung dekat jendela.

"Sya, mau makan apa?"

"Samain."

Dava memutar bola matanya malas mendengar jawaban singkat Tasya. "Yang biasanya dua ya, Mbak," pinta Dava.

Karena rumah makan ini sudah menjadi langganan keluarga Dava, pemilik bahkan pekerjanya pun sudah hafal dengan makanan yang selalu dipesan oleh keluarga Dava, terutama Dava sendiri yang masih sering datang ke tempat makan ini.

Tak berapa lama kemudian makanan pesanan mereka sudah datang. Dava mengucapkan terima kasih lalu waiters pun pergi meninggalkan meja mereka.

Tatapan Dava beralih kepada Tasya yang masih asyik dengan ponselnya. "Makan dulu, Sya! Mainnya dilanjutin nanti lagi," tegur Dava tegas, yang membuat Tasya segera meletakkan ponsel Dava dan tersenyum cengengesan.

Lagi-lagi Dava memperingati Tasya. Dia mengusap sudut bibir Tasya yang terdapat nasi. Hal itu justru membuat Tasya gelagapan dan akhirnya dia tersedak juga. Bukan karena makannya yang lahap! Tapi karena perlakuan Dava! Ugh! Tasya harus memperingati Dava setelah ini agar menjaga sikapnya. Bisa-bisa Tasya tidak hanya tersedak, tetapi hal yang lebih parah dari ini!

Segera saja Dava menyodorkan minumnya ke arah Tasya yang langsung ditegak sampai tinggal separuhnya.

"Jangan aneh-aneh, Dav!" omel Tasya.

Dava mengernyit heran. Aneh-aneh? Dava hanya tahu kalau Tasya tersedak karena makannya yang terlalu lahap, bukan karena perlakuannya yang terlalu manis!

"Apa sih, Sya? Dibantuin juga," gerutu Dava.

"Ya ... pokoknya jangan aneh-aneh!" peringat Tasya yang sekarang salah tingkah sendiri.

"Loh, Sya, kok pipinya merah? Keseleknya sakit banget ya sampai merah gitu?" tanya Dava. Nada khawatir tersirat jelas dalam ucapannya. Wajah Tasya semakin memerah.

"Tuhkan, tambah merah!" kata Dava mulai panik.

Dalam hati Tasya menggerutu, ini yang polos aku apa kamu sih, Dav? Ini bukan keselek Dav, tapi karena perlakuan kamu! Ish! Untung enggak peka!

****

TBC.

Hai!

Wattpad lagi error ya? Aku kok mau refresh susah banget. 😥

Selamat membaca yak. Jangan luoa tinggalkan jejak kalian. 😘😘

Sampai jumpa di bab selanjutnya....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro