Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Sebuah Fakta yang Tak Terduga

.....

Previous

“Pasti ayah dan ibumu belum pernah menceritakan hal ini kepadamu. Apa kau tahu, siapa bayi laki-laki yang digendong ayahmu ini?” Grandma menunjuk bayi laki-laki yang digendong bokap gue itu.

Gue menggeleng sebagai tanda bahwa gue tidak tahu, siapa bayi laki-laki itu. Jangankan tahu, lihat saja baru kali ini, kok.

“Dia adalah kakak kandungmu.”

“Apa?”

Gue terkejut. Sangat-sangat terkejut. Ini adalah suatu fakta yang menurut gue sangat surprise. Gue punya kakak? Oh, astaga. Kenapa gue nggak pernah tahu hal itu?

“Namanya Lee Jae Hoon. Tapi, halmeoni tidak tahu ada di mana dia sekarang.”

“B-bagaimana bisa?”

“Untuk lebih jelasnya, kau bisa bertanya dengan ayah dan ibumu. Ini sudah malam, sebaiknya kau tidur. Halmeoni juga ingin tidur.”

“T-tapi, Halmeoni.”

Grandma tidak mengacuhkan gue. Wanita tua itu malah menyimpan kembali foto keluarga gue ke dalam sebuah kotak dan menaruhnya ke dalam lemari. Beliau lalu berjalan memasuki kamar mandi.

Gue keluar dari kamar grandma dengan kepala yang dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab mengenai fakta tentang kakak kandung gue tersebut. Kenapa nyokap dan bokap gue tidak pernah menceritakannya ke gue? Banyak hal yang ingin gue tanyakan ke mereka.

“Eh, Taeyong-ah!” gue memanggil Taeyong yang kebetulan lewat di depan gue. Sepertinya dia ingin pergi ke dapur.

Taeyong berhenti melangkah. “Ada apa?” sahutnya.

“Ng ... apa lo tahu kalau ternyata gue punya seorang kakak?” tanya gue. Siapa tahu orangtua gue memang sengaja menyembunyikan hal itu dari para anak remaja seperti gue dan juga sepupu-sepupu gue.

Gue melihat ekspresi terkejut dari Taeyong. Namun, detik selanjutnya, cowok itu langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi datar. “Tidak,” jawabnya, lalu melangkah pergi dari hadapan gue.

Gue mengernyit bingung. Tidak biasanya tuh cowok kayak begitu. Biasanya suka usil. Tapi akhir-akhir ini, jangankan usil, jawab pertanyaan gue saja datar.

~~~

Gue berjalan di koridor sekolah sambil menatap lantai keramik dalam diam. Gue masih saja kepikiran mengenai kakak kandung gue. Tadi pagi, gue menghubungi nyokap. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk menanyakan hal itu. Namun, nyokap tidak menjawabnya. Ia malah mengakhiri panggilan gue, dengan alibi kalau ada tamunya yang datang. Menurut gue, nyokap sengaja menghindari pertanyaan gue itu. Gue nggak tahu apa alasannya, tapi yang jelas, gue cukup penasaran.

“Hara-ssi!”

Gue langsung menoleh ke belakang saat ada suara yang memanggil nama gue. Itu sang ketua kelas, Jung Jaehyun. Cowok itu tampak berlari menghampiri gue. “Selamat pagi,” sapanya begitu sampai di hadapan gue.

“Selamat pagi juga,” balas gue.

“Ng ... ke kelas bareng, yuk.”

Gue mengangguk setuju dengan ajakan Jaehyun tersebut. Kami lalu melangkahkan kaki menuju kelas. Jarang-jarang gue jalan berdua seperti ini bareng Jaehyun. Soalnya, cowok itu selalu berangkat pagi-pagi ke sekolah. Baru kali ini saja, gue lihat dia jam segini baru tiba. Apa mungkin gue yang terlalu kepagian, ya?

“Hidungmu sudah tak apa-apa?” Tiba-tiba saja Jaehyun menanyakan keadaan hidung gue. Hidung gue sudah kembali seperti semula. Tetap mancung dan sudah tidak sakit lagi. Bahkan, plasternya sudah gue lepas dari semalam.

Gue mengangguk. “Iya. Sudah tidak apa-apa, kok.”

“Syukurlah kalau begitu. Aku suka melihat hidungmu. Alami.”

Gue merasa senang, pagi-pagi sudah mendapat pujian dari cowok ganteng seperti Jaehyun. “Ah, kau bisa saja. Ini masih pagi. Kepalamu tidak terbentur apa-apa, kan, tadi?”

“Hah?”

“Pagi-pagi sudah memuji.”

“Ah ....” Jaehyun nyengir lebar.

“Yuhuuu! Spada!”

Gue langsung mendengus sebal saat seorang cowok yang bernama Kim Taehyung dengan seenak udelnya nimbrung di tengah-tengah gue dan Jaehyun. Mengganggu orang lagi asyik-asyiknya berduaan saja.

“Pria dan wanita yang belum ada ikatan apa pun dilarang berdua-duaan di pagi hari,” ujar Taehyung kemudian.

Gue dan Jaehyun pun lantas mengernyit. Mitos dari mana itu?

“Dan aku berada di sini sebagai penengah. Supaya kau, Jung Jaehyun,” Taehyung menunjuk wajah Jaehyun dengan jari telunjuknya, “tidak berbuat macam-macam terhadap calon istriku.” Cowok itu lalu merangkul gue.

“Ish, apaan, sih?” Gue langsung melepaskan tangan Taehyung dari bahu gue. Nih cowok kayaknya lagi kehabisan obat kewarasan. Minta dirukiah.

Jaehyun mendesah. “Kau tahu, Taehyung-ssi, bahkan Hara-ssi tidak tertarik padamu,” ucapnya seratus persen benar.

“Ya, mungkin saat ini dia memang belum tertarik padaku. Tapi, setahun atau dua tahun lagi, aku yakin kalau dia pasti bakalan tertarik,” ucap Taehyung penuh dengan percaya diri.

Idih, nggak gue aminin. Semoga saja apa yang diucapkan oleh Taehyung barusan tidak dikabulkan oleh Tuhan. Amin.

“Terserah kau saja,” sahut Jaehyun.

Ruang kelas kami sudah ada di depan mata. Namun, begitu gue dan Jaehyun melangkah masuk, Taehyung malah ikutan masuk. “Memangnya ini ruang kelasmu, ya?” ucap gue ke Taehyung.

“Ah, tentu saja bukan.” Taehyung menggaruk kepalanya yang mungkin saja gatal. Rambut blondenya tampak klimis dengan polesan -yang gue rasa- pomade.

“Terus, kenapa kau malah mengikuti kami masuk?”

“Karena aku ingin melihatmu sampai di kelas dengan selamat.”

“Ini, aku baik-baik saja. Sampai dengan selamat. Sebaiknya kau kembali ke kelasmu, deh.” Gue dengan gamblang mengusir Taehyung.

“Oke.” Cowok itu malah mengangkat jari jempolnya.

“Hush, hush.” Gue mengusirnya layaknya gue mengusir anjing tetangga yang tak sengaja masuk ke kamar gue.

Annyeong, Hara-ya!” ucap Taehyung sambil dadah-dadah ke arah gue sembari keluar dari kelas.

Entah kenapa gue tidak tertarik sama sekali dengan yang namanya Kim Taehyung. Cowok itu sebenarnya ganteng. Tapi, cinta tidak memandang fisik, kan. Gue selalu berdo'a kepada Tuhan, agar gue dan dia tidak berjodoh. Biarlah Taehyung menemukan sosok perempuan yang lebih baik dari gue, yang bisa mencintainya dengan tulus.

~~~

Sepupu-sepupu gue memang tidak tahu tentang kakak kandung gue, tetapi gue rasa orangtua mereka tahu.

Pemikiran itu terlintas begitu saja saat gue sedang duduk-duduk santai di kursi yang terletak di taman belakang kelas. Taman ini selalu dikunjungi oleh siswa pada saat jam istirahat tengah berlangsung. Ada yang datang hanya buat nongkrong-nongkrong ganteng dan cantik saja, ada yang memanfaatkannya sebagai tempat pacaran, belajar, atau hanya sekadar melamun saja. Sama seperti gue saat ini. Gue datang ke tempat ini cuma buat melamun doang. Ya, daripada di kelas cuma bikin orang khilaf saja (biasa, banyak cogan) lebih baik gue di sini saja. Sambil menunggu waktu salat Zuhur tiba.

Menjadi seorang Muslim di negara mayoritas non-Muslim memang sesuatu banget kalau menurut gue. Gue terkadang merasa spesial. Gue sama sekali tidak merasa terasingkan. Mereka (teman-teman di sekolah gue) justru sangat menghargai gue. Contohnya pada saat di bulan ramadan. Tanpa gue suruh pun, mereka kalau lagi makan, tidak pernah sekali pun diperlihatkan ke gue. Kecuali, ketiga sepupu kampret gue. Mereka malah yang paling semangat dalam hal makan di hadapan gue. Tapi tak masalah. Itu berarti, dosa-dosa gue ditanggung oleh mereka.

Gue kemudian menelepon tante gue. Kali ini adalah nyokapnya si Taeyong. Kenapa gue pilih beliau? Karena beliau yang paling dekat dari Seoul. Beliau tinggal di Busan. Dan, biar pulsa gue aman sentosa. Tidak mungkin, kan, kalau gue menelepon nyokapnya si Ten yang saat ini sedang berada di Thailand sana, atau nyokapnya si Yuta yang saat ini sedang berada di Jepang sana.

“Eoh, Karina! Ada apa? Tumben menelepon Imo.” Imo adalah satu-satunya tante gue yang memanggil gue dengan nama Indonesia gue. Katanya, beliau suka dengan nama itu.

“Anu, Imo.”

“Apa berbuat Taeyong nakal di sana?”

“Ah, tentu saja tidak. Anu, aku mau bertanya satu hal sama Imo.”

“Ya, tanya saja. Apa pun itu, Imo pasti akan menjawabnya. Itu pun, kalau Imo tahu.”

“Ng ... apa Imo tahu tentang kakak kandungku?”

“Oh, itu. Tentu saja Imo tahu. Tapi tidak begitu banyak.”

Gue tersenyum lebar mendengar pernyataan Imo tersebut. Setidaknya, Imo tidak seperti nyokap gue yang langsung mengalihkan pembicaraan. “Benarkah itu, Imo?”

“Iya. Setahu Imo, kakak kandungmu itu satu sekolah denganmu.”

Deg! Gue tertegun. Ini betul-betul fakta yang membuat gue tercengang. “B-benarkah?” Tapi, kenapa dia tidak pernah menemui gue? Memeluk gue, dan bilang bahwa dia itu kakak gue.

“Iya.”

“T-tapi, kenapa dia tidak tinggal bersama kami?”

Imo lalu menceritakan semuanya yang ia tahu.

Imo bilang, dulu waktu kakak berumur tiga tahun, nyokap sering menitipkannya ke rumah temannya, sementara gue dititipkan di rumah Imo, waktu Imo masih tinggal di Seoul. Teman nyokap adalah seorang guru PAUD. Waktu itu, Imo tidak bisa menjaga gue yang masih bayi dan kakak secara bersamaan. Mangkanya, nyokap menitipkan kakak ke temannya tersebut. Nyokap waktu itu adalah seorang pegawai pemerintahan, sedangkan bokap adalah seorang manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang marketing atau pemasaran.

Nyokap sangat memercayai temannya itu. Sampai-sampai, rasa kepercayaan nyokap itu dia manfaatkan. Dia meminta agar kakak dititipkan ke dia setiap hari. Tanpa ada rasa curiga sedikit pun, nyokap mengiyakan keinginannya. Sampai suatu hari, dia membawa kabur kakak, ke tempat di mana keluarga kami tidak bisa menemukannya.

Kata Imo, nyokap dan bokap sangat terpukul mengetahui hal itu. Mereka sudah berusaha untuk menemukannya, bahkan melapor ke polisi, namun tidak ditemukan. Dugaan mereka, teman nyokap membawa kabur kakak karena dia terobsesi untuk memiliki seorang anak. Teman nyokap adalah seorang janda. Kakak sangat tampan. Gue mengakui itu saat gue melihat fotonya di kamar grandma semalam.

Lima tahun yang lalu, teman nyokap itu datang menemui keluarga kami. Namun, tanpa adanya kakak di sampingnya. Kondisinya sangatlah buruk. Dia terkena kanker otak stadium empat. Dia datang untuk meminta maaf terhadap segala kesalahan yang pernah dia lakukan terhadap keluarga kami. Tapi, bukan itu yang diharapkan oleh nyokap dan bokap, tetapi, kembalinya kakak. Lantas di mana kakak berada?

Dia bilang, kakak dititipkan di panti asuhan saat usia kakak menginjak tujuh tahun. Dia tidak bisa menjaga kakak dengan baik. Faktor ekonomilah penyebabnya. Keluarga kami pun segera mendatangi panti asuhan tempat kakak dititipkan tersebut. Sebuah panti asuhan yang terletak di Qingdao, China. Namun nihil. Kakak tidak ada di sana. Dia sudah diadopsi oleh seorang saudagar kaya keturunan China-Korea. Orang itu telah membawa kakak ke Korea.

Tiga tahun kemudian, tepatnya dua tahun yang lalu, kakak ditemukan. Dia telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan. Namun, dia tidak mau imut dengan keluarga kami. Katanya, dia ingin berbakti kepada orang yang telah merawatnya selama ini. Nyokap sedih, sudah pasti.

Gue menghela napas panjang. Bingung, di mana gue bisa bertemu dengan kakak kandung gue sekarang. Imo tidak tahu tempat tinggalnya. Bahkan, ia belum pernah melihat wajah kakak setelah dewasa sekali pun. Kenapa orangtua gue menyembunyikan hal ini dari gue?

Gue lalu mengambil air mineral yang sengaja gue minta dari Eun Woo tadi. Meminumnya hingga menyisakan setengah botol. Inilah hidup. Ada sebuah fakta mengejutkan yang baru saja gue ketahui. Namun, mereka malah menutupinya dari gue.

Gue pengin banget bertemu dengan kakak kandung gue. Pengin memanggilnya "oppa", pengin berangkat sekolah bareng, kerja PR bareng, jalan-jalan bareng, dan yang lainnya yang serba bareng. Tapi, dia di mana dan seperti apa rupanya? Apa gue tanya satu per satu seluruh cowok di sekolah ini? Tidak. Itu terlalu banyak. Dan juga, belum tentu dia mengaku kalau dia adalah kakak kandung gue.

“Hai.”

Tiba-tiba saja, gue dikejutkan dengan kedatangan cowok ganteng calon suami masa depan gue, Kak Sehun. Dia mendudukkan diri di sebelah gue. Sepertinya doi habis latihan basket, deh. Ada peluh di sekitar pelipisnya. Ugh, jadi pengin ngelapin.

“Bagaimana kondisi hidungmu?” tanya Kak Sehun.

“Ah, sudah tidak sakit lagi. Sudah sembuh.” Gue merutuki kalimat yang keluar dari mulut gue. Kenapa jadi kaku banget, sih? Mungkin karena efek bicara sama cogan kali, ya.

“Syukurlah kalau begitu.” Kak Sehun lalu meraih botol air mineral milik gue yang gue taruh di sebelah gue. “Boleh aku minta air minummu ini?” pintanya kemudian.

Apa? Kak Sehun mau minum air di botol bekas gue? Gue nggak salah dengar, kan? Telinga gue masih normal, kan?

“Ng ... tapi, itu bekasku.”

“Tak masalah.” Tanpa ada rasa jijik atau apa pun, Kak Sehun meneguk air mineral tersebut.
Dalam hati, gue berteriak senang. Itu berarti, gue dan Kak Sehun secara tidak langsung sudah berciuman bibir. Wuahahaha. Dengan botol sebagai perantaranya. Untung tadi tidak sempat diminum oleh Eun Woo. Coba kalau sudah diminum, itu berarti gue sudah berciuman secara tidak langsung dengan dua cogan sekaligus. Betapa beruntungnya gue kalau hal itu sampai terjadi.

“Terima kasih,” ucap Kak Sehun setelah selesai menghabiskan air mineral tersebut.

“Sama-sama,” balas gue.

“Namamu Lee Hara, kan?” Kak Sehun bertanya ke gue. Sebuah pertanyaan yang mampu membuat gue agak terkejut. Bagaimana bisa Kak Sehun tahu nama gue? Apa ... selama ini Kak Sehun cari tahu tentang gue?

“I-iya. T-tapi, dari mana Sehun Sunbae tahu namaku?”

“Itu,” Kak Sehun menunjuk dada gue, “di papan namamu tertulis seperti itu.”

Aw aw. Gue malu banget, sumpah. Bagaimana mungkin gue berpikiran kayak itu tadi? Astaga ....

“Ah, iya.” Gue berusaha memendam rasa malu gue ini dengan mencoba bersikap senormal mungkin.

“Namamu cantik. Kayak orangnya.”

Blush

Gue merasakan wajah gue memanas. Pasti sekarang sudah memerah, deh. Gue memegangi kedua pipi gue. “Ah, Sehun Sunbae bisa saja. Aku jadi malu.”

“Aku serius.”

Aku tersenyum. Apakah ini suatu pertanda bahwa suatu saat nanti Kak Sehun akan menyatakan cinta padaku? Biasanya, kan, sebelum menyatakan cinta, cowok terkadang memuji-muji kita terlebih dahulu. Semoga saja iya. Gue pengin menang taruhannya si Amira.



Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro