Part 7 : Kepulangan Silvia
Part ini sudah selesai direvisi
jika masih ada kesalahan dalam penulisan, segera beritahu penulis ya agar kembali diperbaikai
Terima kasih dan selamat membaca
*****
Silvia sangat senang hari ini. Tentu saja, setelah seminggu lebih dirinya dirawat di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan dirinya pulang ke rumah.
Kini sang perawat tengah melepas infus yang tertancap di nadi tangannya. Sedikit perih memang ketika jarum kecil itu dilepas, namun hal itu diabaikannya. Ia terlalu senang karena kepulangannya.
"Udah selesai ya, Sil," ujar sang perawat sambil merapikan bekas selang infus, flabot, dan kapas.
"Makasih ya Suster Mila yang cantik," balas Silvia dengan nada menggoda.
Selama dirawat di rumah sakit, Silvia memang sudah akrab dengan perawat yang satu itu. Ia sangat ramah. Suster Mila juga yang selalu membantu dirinya jika kesulitan atau jika bu Wanda tidak ada.
Mereka hanya berdua di ruang rawat VIP itu. Karena bu Wanda sedang mengambil resep obat untuk dihabiskan Silvia di rumah. Agar gadis itu lekas sembuh nantinya.
"Suster bakal kangen sama cerewetnya kamu. Kan hari ini udah pulang," goda sang perawat.
Silvia hanya tertawa menanggapi guyonan yang dilontarkan suster Mila. Memang benar dirinya sangat cerewet jika sedang bersama wanita berseragam serba putih itu.
Tak lama, sang dokter dan bu Wanda datang. Mereka berjalan mendekati Silvia dan suster Mila.
"Selamat siang, Nona Silvia," sapa sang dokter ramah.
"Siang juga, Dok," balas sang gadis tak kalah ramah. Kedua bibir milik Silvia terangkat membentuk senyum yang manis.
"Udah boleh pulang ya hari ini, diminum obatnya. Dan setelah obat habis, jangan lupa datang lagi untuk check up!" jelas sang dokter.
Silvia mengangguk. "Baik, Dok!" jawabnya.
"Kalau gitu saya dan suster Mila pamit dulu ya, selamat siang." Kedua tenaga kesehatan itu beranjak dari ruang rawat Silvia.
Bu Wanda berterimakasih pada sang dokter dan juga perawat sebelum mereka pergi meninggalkan ruangan.
bu Wanda beranjak, berjalan ke arah meja yang ada di samping brankard. Membereskan barang-barang milknya dan Silvia selama berada di rumah sakit.
Tidak banyak. Hanya baju miliknya dan Silvia, lalu perlengkapan mandi dan alat makan.
Hanya perlu waktu sepuluh menit, wanita paruh baya itu menyelesaikan aktivitasnya. Ia tampak kelimpungan membawa dua tas yang berukuran besar.
"Biar Silvia bantu, Bu," tawar sang gadis. Ia tak tega melihat bu Wanda yang kesusahan karena barang bawaan miliknya.
Namun wanita itu menolak dengan alasan Silvia baru saja sembuh dan keluar dari rumah sakit. Gadis itu pasti masih lemah dan memerlukan istirahat yang cukup. Itu yang ada di pikiran bu Wanda.
Lalu mereka berdua berjalan keluar dari ruang rawat menuju lift yang tersedia.
Selama di perjalanan, mereka menyapa perawat dan orang-orang yang berpapasan dengan mereka, dengan senyuman ramah.
Mereka tiba di lift, bu Wanda menekan salah satu tombol dan lift mulai terbuka perlahan. Bu Wanda menyuruh Silvia untuk masuk duluan setelah itu ia menyusul.
Setelah masuk ke dalam lift, wanita paruh baya itu kembali menekan tombol angka satu. Dan lift mulai tertutup. Bergerak turun.
Syukurlah keadaan lift lengang. Tak ada siapapun yang menaikinya kecuali bu Wanda dan Silvia.
"Bu, kita nanti pulang naik apa?" tanya Silvia. Gadis itu menyenderkan badannya di lift dan memainkan kakinya.
"Nanti kita cari taksi aja ya, kalau udah sampe bawah," saran bu Wanda. Namun Silvia menolak.
Menurut gadis itu, membayar biaya taksi sangat mahal. Menghambur-hamburkan uang. Silvia membujuk bu Wanda, lebih baik mereka naik angkot atau busway saja untuk pulang.
Namun wanita itu menolak dengan tegas. Ia kasian pada kondisi tubuh Silvia yang masih lemas dan wajahnya yang pucat.
Akhirnya lift terbuka. Bu Wanda melangkah keluar terlebih dahulu, setelahnya Silvia mengekor di belakang.
Mereka menuju ke depan rumah sakit. Mencari taksi yang kosong. Silvia duduk di atas trotoar karena ia masih sedikit pusing. Sedangkan bu Wanda sibuk melambaikan tangannya mencari taksi kosong yang lewat.
Namun sudah hampir lima belas menit, mereka tak mendapatkan kendaraan umum tersebut. Silvia yang sudah kepanasan, berdiri dan mencari tempat untuk meneduh. Sambil menyeret tas yang diletakkan oleh bu Wanda di samping tubuhnya.
Wanita paruh baya itu mengibaskan tangannya berkali-kali karena gerah. Ia juga lelah karena sudah lama berdiri di sana.
Tiba-tiba, sebuah mobil berwarna putih yang melaju, mulai mendekat dan berhenti tepat di depan bu Wanda. Wanita itu mengerutkan keningnya karena bingung.
Kaca mobil perlahan terbuka. Bu Wanda menyipitkan matanya untuk melihat siapa yang mengemudikan mobil berwarna putih tersebut.
Ternyata Austin. "Nak Austin ngapain ke sini?" tanya bu Wanda.
"Mau jemput, Ibu sama Silvia. Kata dokter, Silvia udah dibolehin pulang. Saya gak telat kan, Bu?" tanya Austin. Bu Wanda hanya mengangguk.
Silvia yang mendengar bu Wanda menyebutkan nama lelaki itu, tampak terkejut. Ia berjalan mendekat ke arah bu Wanda untuk memastikan apakah pendengarannya salah.
Namun ternyata tidak, pengemudi mobil mewah di depannya adalah Austin. Lelaki yang dekat dengannya selama seminggu dirawat di rumah sakit.
Austin keluar dari mobil. Berlari kecil memutari mobil dan membukakan pintu belakang untuk bu Wanda dan Silvia.
Lalu ia mengangkat dua tas yang tergeletak di trotoar dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil yang sebelumnya telah ia buka.
Bu Wanda dan Silvia masuk ke dalam mobil. Mendudukkan diri mereka di jok belakang. Lalu Austin menutup pintu mobilnya.
Ia kembali berjalan memutari mobil dan masuk ke kursi pengemudi. Memasang safety belt miliknya lalu menancapkan gas hingga mobil miliknya melaju, membelah jalanan kota yang padat dengan lautan mobil dan kendaraan lainnya.
"Makasih ya, Nak Austin. Maaf, kamu jadi repot," kata bu Wanda tampak sungkan.
Austin terkikik ringan. "Engga kok, Bu. Saya emang udah niat mau jemput di rumah sakit," balasnya santai.
Silvia hanya diam menyaksikan bu Wanda dan Austin berbincang. Ia menyandarkan tubuhnya yang masih lemas ke kaca mobil dan memejamkan matanya sejenak.
Austin melirik sang gadis dari kaca spion kecil yang ada di mobil miliknya. Tersenyum ketika melihat gadisnya tertidur pulas. Namun ia agak kasihan karena beberapa kali kepalanya terantuk kaca mobil.
"Bu, maaf, itu Silvianya tidur tapi kepalanya kasian, nanti kejedot pintu mobil," ujarnya dengan ragu.
Bu Wanda yang melihat hal itu langsung merangsek, mendekatkan posisi duduknya dengan Silvia.
Menarik gadis itu untuk bersandar di bahu tua miliknya dan mengelus kepalanya pelan agar tidurnya nyaman.
Tanpa kedua wanita itu sadari jika aktivitas mereka diawasi oleh mata elang milik Austin dari kaca spion.
……….
Silvia terbangun dari tidurnya. Namun dirinya tidak lagi berada di dalam mobil milik Austin. Ia kembali ke tempat asing yang ia mimpikan tempo hari ketika koma di rumah sakit.
Silvia terkesiap, dirinya langsung bangkit dari tidurnya. Gadis itu tak berada di dalam kastil kerajaan. Namun dirinya tertidur di rerumputan hijau.
Ia memandang sekeliling untuk memastikan. Dirinya ingat betul jika ini adalah taman kerajaan valeriant.
Di sampingnya terdapat seorang lelaki yang juga tertidur tanpa alas di rerumputan yang mulai menjulang tinggi.
Di jarak yang agak jauh, retina matanya menemukan sesuatu yang menarik. Sebuah kursi kecil dan juga peralatan melukis yang sudah tertata rapi.
Dirinya bangkit dan berjalan menuju ke tempat peralatan lukis tersebut. Mendudukkan pantat miliknya di kursi.
Ia terkagum dengan hasil lukisan yang entah dibuat oleh siapa. Kanvas yang berbentuk persegi panjang itu penuh dengan coretan warna.
Membentuk sebuah gambar pegunungan dan pelangi yang indah. Silvia melihat ke atas. Di langit memang muncul sebuah pelangi yang sangat cantik.
"Apa aku yang melukis ini?" tanyanya pada diri sendiri dalam batinnya.
Namun ia menggelengkan kepalanya. Setelah ia pikir-pikir lagi, tak mungkin jika dirinya mempunyai bakat terpendam seperti ini.
Silvia terlalu asik dengan dunia khayalan miliknya. Sampai gadis itu tak sadar jika seorang lelaki yang tertidur di sampingnya tadi telah bangun dan berjalan mendekat ke arahnya.
Lelaki itu menepuk pundak Silvia, membuat sang gadis terkejut karena tindakannya. Silvia menoleh ke samping.
Atensinya terbelalak melihat sang lelaki memiringkan kepala dan tersenyum lembut ke arahnya.
Dengan cepat, gadis itu kembali menghadap ke depan. Ia tidak yakin jantungnya masih sehat
jika terlalu lama melihat wajah sang lelaki.
Tanpa diduga, sang lelaki semakin mendekatkan kepalanya ke arah Silvia. Membuat gadis itu menahan napas dan menutup matanya karena debaran jantungnya makin menggila.
To Be Continue
Bagaimana dengan part ini?
Jangan lupa voment-nya ya, kirsarnya juga boleh hehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro