Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 4 : Terbangun

Hai semuanya, part ini sudah selesai direvisi
jika masih ada kesalahan dalam penulisan, segera beritahu penulis ya
supaya bisa deperbaiki lagi nantinya
Terima kasih dan selamat membaca

*****



"Silvia!" Silvia dapat mendengar seseorang memanggil namanya.

Namun gadis itu tak cukup kuat untuk membalas panggilan orang itu.

Xander. Ya, lelaki itu berlari menuju ke arah Silvia. Gadis itu bingung mengapa Xander memanggilnya dengan sebutan Silvia, bukannya Belva. Namun ia tak memusingkan hal itu.

Langkah Xander makin dekat, namun sebelum lelaki itu sampai. Silvia sudah memejamkan matanya terlebih dahulu.

……….

Silvia membuka kedua matanya. Keringat bercucuran di keningnya. Ia memandang sekitar.

"Aku ada di mana?" batinnya.

Ia mencoba untuk duduk. Namun kepalanya pusing. Ia memegangi kepalanya sendiri untuk mengurangi pusingnya.

Ia bisa melihat selang infus tertempel di tangannya. Dan di kepalanya terdapat sebuah perban.

Suara pintu terbuka terdengar di telinga Silvia. Gadis itu menoleh ke arah suara.

"Kamu udah bangun, Nak?" tanya seorang wanita.

"Bu Wanda, kok Via bisa ada di sini?" tanya Silvia pada wanita paruh baya itu.

Sang ibu menjelaskan bahwa tiga hari yang lalu Silvia mengalami kecelakaan. Ia tertabrak mobil ketika pulang dari tempat bekerja.

"Jadi Via udah tiga hari dirawat di rumah sakit, Bu?" Sang ibu mengangguk.

"Maaf, Bu, Via jadi ngerepotin Ibu. Harusnya uang buat perawatan Via bisa dipake buat biaya adik-adik." Via merasa bersalah. Gadis itu menundukkan kepalanya. Merasa tidak enak hati.

Dirinya sadar, ia hanya salah satu anak asuh di panti asuhan milik Ibu Wanda. Ia sudah terlalu merepotkan wanita itu sejak kecil.

"Semua biaya rumah sakit udah ditanggung sama orang yang nabrak kamu, Nak. Kamu gak perlu khawatir!" Bu Wanda mengelus rambut Silvia penuh kasih sayang.

Bu Wanda sangat menyanyangi Silvia meskipun ia hanyalah anak asuh di panti asuhannya. Gadis itu memiliki hati dan jiwa yang bersih. Lemah lembut dalam bertutur dan sangat baik hati.

"Ibu panggilin suster dulu ya, biar kamu diperiksa," ujarnya. Silvia mengangguk lalu bu Wanda pergi keluar dari ruang rawat gadis itu.

Silvia kembali memandang ruangan. Ia baru sadar jika hanya ada dirinya di ruang rawat. Sepertinya ini ruangan khusus untuk orang yang koma, atau sering disebut ICU.

Namun ruangannya sangat besar dan lengkap. "Apakah ini untuk VIP?" tanya Silvia pada dirinya sendiri.

Mana mungkin bu Wanda sanggup membayar tagihan rumah sakit jika ia ditempatkan di ruangan sebagus dan seluas ini.

Setelah beberapa saat, bu Wanda kembali datang bersama dua orang asing. Yang satu wanita dengan pakaian serba putih, dan satunya lagi lelaki yang masih muda dengan jas putih yang tampak pas terbalut di badannya.

"Apa yang kamu rasakan, Via?" tanya lelaki itu pada Silvia.

Gadis itu belum menjawab, namun lelaki itu kembali bertanya padanya. "Apa kamu pusing?" Silvia berkata tidak sambil menggeleng pelan.

Sejujurnya ia sedikit pusing, namun ia rasa itu karena hal sepele. Ia baru saja tidur selama tiga hari bukan? Wajar saja jika kepalanya pusing karena terlalu banyak tidur.

Lelaki dengan jas putih itu merogoh sesuatu dari kantong jas miliknya. Seperti sebuah pena, namun dugaan Silvia salah.

Itu adalah sebuah senter kecil. Sang dokter mengarahkan senter itu ke mata kanan Silvia, lalu dilanjutkan ke mata kiri gadis itu.

Retina mata Silvia bergerak dan membesar karena rangsangan cahaya. Itu artinya, gadis itu telah sadar sepenuhnya.

Sang dokter juga menyuruh Silvia untuk mengikuti gerakan jemari sang dokter dengan matanya.

Ketika jemari sang dokter diarahkan ke kiri, secara otomatis mata gadis itu mengikuti. Begitupun sebaliknya, ketika jemari sang dokter diarahkan ke kanan.

Setelahnya sang dokter tersenyum ramah pada Silvia. Ia mencubit lengan gadis itu pelan. Lalu Silvia mengaduh.

"Apakah sakit?" tanyanya.

Silvia merasa sebal dengan sang dokter. Dengan seenaknya dirinya mencubit lengannya dan tidak merasa bersalah sama sekali.

Dengan wajah yang masih meringis sakit, Silvia menganggukkan kepala.

"Apa masih ada yang sakit? Mungkin, pusing, ingin muntah atau yang lain?" Silvia menatap sang dokter dan mengatakan tidak dengan pelan. Tenggorokannya terasa kering. Suaranya jadi serak.

"Putri ibu sudah sadar sepenuhnya. Saya akan memberikan resep obat dan Nona Silvia bisa dipindahkan ke ruang rawat inap biasa," jelas sang dokter.

Bu Wanda berterimakasih pada dokter lelaki itu. Setelahnya sang dokter pamit meninggalkan ruangan.

Namun sebelum pergi dari sana, ia menyuruh suster untuk memantau perkembangan Silvia dan menyerahkan hasil pemeriksaannya padanya.

"Tolong periksa tanda-tanda vital Nona Silvia lalu berikan data perkembangannya di rungan saya, Sus!" titahnya.

Sang suster mengangguk dan menjawab, "Baik, Dok." Setelahnya ia melakukan tugasnya.

Sang perawat memeriksa suhu tubuh Silvia. Wanita itu menyuruh Silvia mengapit thermometer di ketiaknya lalu ia mengambil tensi meter miliknya.

Sang perawat memeriksa tekanan darah Silvia dengan sphygmomanometer dan mulai memompanya hingga denyut nadi Silvia tidak terasa.

Gadis itu mengernyit karena lengannya jadi terasa kram. Dengan perlahan, sang perawat mulai menurunkan pompaan sambil melihat ke arah jarum tensi. Setelahnya wanita berbaju putih itu melepaskan tensi meternya dari lengan Silvia.

Yang kedua, ia memeriksa denyut nadi dan pernapasan gadis itu sambil diiringi beberapa pertanyaan ringan.

Setelah semua selesai, sang perawat mencabut thermometer-nya dan melihat suhu tubuh sang gadis.

Lalu wanita berseragam serba putih itu mencatat semua hasilnya di sebuah buku catatan kecil.

"Tanda-tanda vital Nona Silvia normal ya, Bu. Hanya saja denyut nadinya sedikit lebih cepat dibanding rata-rata denyut nadi normal. Dan suhu tubuhnya sedikit rendah," jelas sang perawat.

"Jangan biarkan Nona Silvia kedinginan agar suhunya kembali normal! Dan juga, berikan sesuatu yang hangat ya, Bu!" tambah wanita itu.

Ia tersenyum pada bu Wanda lalu melirik Silvia. "Terima kasih, Sus," ujar bu Wanda.

"Sama-sama, kalau begitu saya permisi ya, Bu. Sebentar lagi Nona Silvia akan dipindahkan ke ruang rawat biasa. Dan karena ruangan sedang dibersihkan, jadi mohon ditunggu sebentar ya!"

Setelah mengatakan hal itu, sang perawat pergi dari ruangan Silvia. Meninggalkan gadis itu berdua dengan bu Wanda.

Hampir setengah jam Silvia menunggu. Namun perawat yang akan memindahkannya belum kunjung datang juga. Ia bosan sendirian.

Ya, dirinya tengah sendirian karena bu Wanda tadi pergi untuk mengambil resep obat yang diberikan oleh dokter ke apotek rumah sakit.

Entah kenapa gadis itu merasa mengantuk. Tapi ia paksakan agar matanya tetap terbuka lebar. Ia tak ingin tidur lagi. Entah kenapa ia merasa takut.

Seolah, jika ia tertidur, maka ia akan dihadapkan oleh sesuatu yang mungkin akan mengancam keselamatan jiwanya.

Kepalanya jadi pusing. Brankard rumah sakit seolah bergetar hebat. Silvia memejamkan matanya untuk menahan rasa sakitnya.

Tanpa ia sadari, muncul asap yang berwarna kehitaman dari bawah lantai. Namun hal itu hanya sekejap. Karena asap itu mulai menghilang bersamaan dengan rasa pusing yang mendera Silvia.

Ia kembali membuka matanya. Sepertinya kepala gadis itu terbentur sesuatu dengan cukup keras. Dan hal itulah yang membuat kepalanya terasa pening. Setelah merasa baikan Silvia mencoba mendudukkan badannya lagi.

Suara pintu berderit terdengar di telinga gadis itu.  Lalu, pintu kamarnya terbuka. Menampilkan sosok bu Wanda yang mulai berjalan mendekat.

Ia membawa kantung plastik berwarna bening yang berisi obat-obatan yang akan dikonsumsi oleh Silvia agar gadis itu cepat sembuh.

"Kamu belum dipindahin juga? Kok lama ya?" gerutu wanita itu. Ia duduk di kursi yang terletak di samping ranjang Silvia.

Sementara Silvia, gadis itu hanya mengedikkan bahu tak tahu.



To Be Continue

Bagaimana dengan part ini?
Jangan lupa tinggalkan jejak ya, dukung aku dengan voment kalian

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro