Part 30 : Penculikan Silvia
Silvia sudah berbaring di ranjangnya, ia mulai menutup mata dan mencoba tidur, namun dirinya sangat terkejut ketika tiba-tiba mulutnya dibekap oleh seseorang.
Silvia membuka matanya, mencoba memberontak, ia tendang orang bertopeng itu lalu berlari keluar dari kamar, karena terburu-buru akhirnya ia menjatuhkan vas bunga hingga pecah.
Orang bertopeng itu mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Silvia, sebuah cahaya berwarna kehitaman mulai merambat ke tubuh gadis itu dan mengikatnya hingga ia tak bisa bergerak.
Silvia hendak berteriak, namun mulutnya dibekap oleh orang itu dengan kekuatan sihirnya. Setelah berhasil menangkap Silvia, keduanya menghilang dari kamar Silvia.
Bu Wanda dan anak-anak panti yang lain berbondong-bondong pergi ke kamar Silvia karena mereka mendengar benda pecah dari sana.
Namun ketika pintu terbuka, tak ada siapa pun di dalam kamar, Silvia menghilang, namun bu Wanda melihat pecahan vas bunga di lantai dan selimut Silvia yang tergeletak di dekat ranjang.
Semua orang panik karena Silvia menghilang, mereka mencari ke seluruh penjuru rumah panti, namun tak kunjung ditemukan.
Anak-anak kecil mulai menangis ketakutan, bu Wanda menyuruh Ela dan Bagus untuk menenagkan anak-anak dan membawa mereka kembali ke kamar masing-masing karena malam semakin larut. Setelah berdiskusi, mereka memutuskan akan lapor ke polisi jika Silvia menghilang besok pagi.
Sementara Silvia, gadis itu menangis karena ketakutan. "Xander, tolongin Via," batinnya berkali-kali.
Ia tak tahu berada di mana sekarang, hanya pepohonan rimbun yang terlihat, selain itu hanya gelap.
Ingin sekali ia berteriak, namun mulutnya sudah dibungkam, hanya rintihan-rintihan kecil yang mampu keluar dari mulutnya.
Ia sudah meronta agar si penculik kesulitan menggendongnya, namun usahanya hanyalah sia-sia, seolah Silvia hanyalah benda ringan di bahunya.
Kini, gadis itu hanya bisa pasrah, mengikuti alur yang sudah digariskan oleh Tuhan untuknya.
"Via belum siap mati, Tuhan. Via masih sayang sama bu Wanda dan anak panti, bebaskan Via, Tuhan," doanya dalam hati.
Si penculik menurunkan Silvia dari gendongannya. Ia berjalan ke sebuah pohon lalu mengarahkan kedua tangannya dan bergumam sesuatu yang rumit di pendengaran Silvia.
Tak lama, cahaya berwarna kebiruan muncul dari dalam pohon tersebut. Si penculik mendekat ke arah Silvia lalu menggendongnya lagi seolah gadis itu adalah karung.
"Sebentar lagi ajalmu akan tiba Silvia, dan aku akan kembali bangkit seutuhnya," kata orang bertopeng itu.
Ia tertawa jahat, Silvia takut hanya dengan mendengarkan suara tawa lelaki itu saja. Namun Silvia langsung teringat akan pemilik suara. Ia sangat kenal dengan suara ini, suara Austin. Silvia makin memberontak, jika Austin berhasil kembali ke raganya lagi, maka Xander akan berada dalam bahaya, begitupun dirinya.
Austin melangkah masuk ke dalam cahaya itu, Silvia harus memejamkan matanya karena silau. Tak lama gadis itu merasakan pusing yang dahsyat mendera kepalanya, bumi seolah berputar seperti gasing, pening dan mual mulai mendominasi.
Selang beberapa menit, rasa pusing dan mual itu mulai pudar, Silvia membuka matanya perlahan. Matanya membola, ia berada di depan mulut gua, lelaki yang membawanya berjalan masuk ke sana.
Setelah masuk ke dalam sana, Silvia bisa melihat jika itu bukan gua biasanya, terdapat banyak pintu di sisi kiri gua, penerangan di sana hanya berasal dari obor yang dinyalakan.
Silvia pusing, di kepalanya kembali hadir bayangan-bayangan aneh yang tersusun rapi menjadi sebuah ingatan kecil.
Silvia melihat dirinya sendiri sedang berhadapan dengan Xavier di sebuah ruangan yang sempit dan gelap, seperti bangunan tua yang sudah runtuh.
Hanya ada mereka berdua di ruangan itu, Xavier semakin mendekat ke arah Silvia, senyuman mengerikan tergambar jelas di wajah lelaki itu, namun tak ada ketakutan yang Silvia tampakkan. Sorot mata gadis itu tajam dan dingin, seolah ia tengah memendam amarah yang besar.
Tanpa diduga, Xavier menyerang Silvia dengan kekuatan sihir yang dimilikinya hingga gadis itu terpental jauh dan menabrak tembok di belakangnya. Namun Silvia bangkit, walau nyeri menjalar di seluruh punggungnya, tak ia pedulikan rasa sakit itu.
Xavier kembali membanting Silvia setelah ia bisa berdiri normal, kini kepalanya terbentur tembok hingga berdarah.
"Inilah akibatnya jika kau lebih memilih Xander daripada aku!" jerit Xavier marah.
"Seharusnya kau memberikan tahtamu padaku, bukan Xander!" Xavier mengangkat tubuh lemah Silvia dengan sihirnya, lalu ia hempaskan ke bawah.
Gadis itu terluka cukup parah karena serangan yang diberikan Xavier olehnya, ia benar-benar merasakan sakit, namun bukan di fisiknya melainkan di hati.
Ia tak pernah menyangka jika orang yang ia sayang dan ia percayai bisa berbuat kasar dan mencelakainya demi kepentingan pribadi.
Silvia mencoba berdiri namun gagal, tangannya tak cukup kuat untuk menopag badannya. Ia merasa sakit hati, kecewa, marah, dan sedih secara bersamaan.
"Kau tahu? Aku sudah menjebak Xander, kau bisa menyaksikan kematian kekasihmu itu dari sini beberapa hari lagi. Ajalmu dan ajal Xander tidak akan lama lagi, kalian akan segera kusingkirkan dari dunia ini." Tawa Xavier menggema hingga ke seluruh ruangan.
Silvia yang mendengarnya sangat marah, dirinya lebih rela mati daripada harus melihat Xander yang terluka. "Kumohon jangan, Xav! Kita adalah saudara, kau adalah kakakku dan Xander adalah kakakmu. Jangan buta hanya karena harta dan tahta!" kata Silvia memelas.
Namun lelaki itu tak menggubris kata-kata Silvia, ia mendekati gadis itu dan mencekik leher sang adik. "Kau yang memulai semua ini, Belva. Jika kau tidak lahir, mungkin sudah dari dulu aku melenyapkan Xander."
Setelah mengatakan hal itu, ia lepas cekikannya pada leher Silvia, gadis itu terbatuk karena tak bisa bernapas dengan benar.
Xavier hendak keluar dari ruangan itu, namun langkahnya terhenti setelah mendapat teriakan dari Silvia. "Berhenti!"
Xavier berbalik, ia sangat terkejut melihat Silvia. Pakaian gadis itu berubah menjadi berwarna putih bersih, bahkan di sekeliling tubuhnya berpendar cahaya putih yang menyilaukan.
Seketika Xavier menyadari jika kekuatan Silvia muncul, karena usia adik perempuannya itu memang genap dua puluh tahun beberapa hari yang lalu. "Kenapa aku bisa melupakan hal sepenting itu?" batinnya.
Namun Xavier tidak cemas, kekuatan Silvia baru muncul dan gadis itu sama sekali belum mengetahui bagaimana cara meggunakan sihir, jadi adiknya itu tak bisa menyerangnya dengan sihir baru yang dimilikinya.
"Kukatakan sekali lagi, Xav, jangan berani melukai Xander atau kau akan menyesal!" bentak Silvia.
Namun Xavier hanya tertawa mendengar ancaman yang jeluar dari mulut adik perempuannya. Ia bahkan mengompori Silvia dengan kata-kata pedas agar adik perempuannya itu makin marah.
Silvia yang terpancing emosinya, tanpa sadar menyerang Xavier dengan kekuatannya secara spontan. Bahkan gadis itu bingung kenapa ia bisa menggunakan sihirnya.
Xavier ia serang bertubi-tubi hingga kuwalahan karena tak sempat berlindung apalagi membalas, hal itu dimanfaatkan oleh Silvia untuk kabur.
Tubuhnya masih dalam mode sihir, ia bahkan melukai para penjaga yang mengejarnya atas perintah Xavier. Namun dengan cerdiknya, ia menggunakan kemampuan sihirnya untuk berteleportasi dan menghilang dari bangunan tua itu. Setelahnya semua kembali gelap.
Silvia mengerjapkan matanya berulang kali, ia kembali melihat sekelilingnya, hanya ada gua tidak ada bangunan tua yang runtuh.
Gadis itu dilempar ke salah satu ruangan yang ada di dalam gua oleh Austin, Silvia sedikit kesakitan karena ia terjatuh langsung ke lantai batu.
"Dasar kejam!" rutuknya pada Austin dalam hati, ia masih cukup waras untuk tidak menghina Austin, bisa-bisa lelaki itu menyerangnya dengan sihir sama seperti ingatan yang ia lihat tadi. Membayangkannya saja sudah membuat Silvia bergidik ngeri.
Di dalam ruangan itu terdapat sebuah dipan kecil untuk tidur, namun tak ada kasur, hanya ada jerami sebagai alasnya.
"Tidurlah, hari ini adalah hari terakhirmu di dunia ini, karena besok malam ritualku akan dimulai."
Austin menutup pintu ruangan itu dan menguncinya dari luar, meninggalkan Silvia yang ketakutan sendirian di ruangan yang pengap dan remang-remang itu.
"Xander, kumohon tolonglah aku," batinnya sambil meneteskan air mata
To Be Continue
Bagaimana dengan part ini?
Semoga suka dan ga bosen ya
btw bentar lagi end xixi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro