Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 28 : Kembalinya Memori

Silvia memeluk dirinya sendiri karena masih merasa kedinginan, ia tiup kedua telapak tangannya dan menggosoknya beberapa kali lalu ia tempel pada pipinya agar sedikit hangat. Namun hal itu tampaknya sia-sia saja. Tubuhnya masih menggigil meskipun pakaian miliknya telah diganti dengan pakaian kering yang ia dan Xander beli tadi di sebuah toko baju.

Bintang-bintang mulai bertaburan di langit, hari sudah mulai malam namun mereka masih belum sampai di rumah Silvia, perjalanan pulang memanglah sangat panjang karena letak pantai yang jauh.

Keduanya memutuskan untuk mampir ke sebuah restoran karena perut kosong mereka minta diisi.

Dan sampailah mereka di salah satu restoran, setelah mendapat tempat duduk, keduanya memesan makanan dan menunggu di sana.

Tempat mereka berada di pojok ruangan, dekat dengan jendela yang terhubung langsung dengan pemandangan jalanan kota yang cukup ramai di malam hari.

Silvia masih terdiam, dirinya terlalu sibuk dengan pikirannya, Xander yang melihat gadis di depannya hanya diam dengan tatapan kosong semakin merasa bersalah.

Jika saja dirinya tak mengajak Silvia pergi ke pantai, mungkin gadis itu tak akan tenggelam.

"Aku tahu ini semua ulahmu, namun mengapa kau tega melakukan hal ini pada adikmu, Xavier? Apa tahta kerajaan masih belum cukup untukmu, sampai kau ingin mengorbankan adikmu sendiri demi kepentingan pribadimu?" batin Xander.

Xander beranjak dari tempat duduknya, mendekat ke arah Silvia. Dirinya melepas jaket yang ia kenakan, lalu memasangkan jaket itu pada bahu Silvia, membuat si gadis tersentak karena terkejut.

Gadis itu menoleh ke samping, manik matanya menatap mata Xander dengan lekat. Tatapan lelaki itu sangat menenangkan, membuat Silvia terhenyak beberapa saat.

Hatinya menghangat setelah melihat tatapan mata Xander, bahkan kini jantungnya kembali berdebar dengan kencang.

Xander melepas kontak mata dengan Silvia, lelaki itu kembali duduk di kursinya setelah memasangkan jaket pada Silvia.

Silvia memasukkan kedua tangannya pada lengan jaket dan membenarkan posisi jaket kebesaran itu di tubuhnya.

Senyum indah tersungging di bibirnya. Kata terima kasih terucap dari bibir Silvia, dan Xander hanya mengangguk sebagai respon.

Tak lama, pelayan datang membawa nampan berisi makanan pesanan mereka berdua. Dengan ramah, si pelayan meletakkan makanannya lalu melenggang pergi.

Xander dan Silvia langsung melahap hidangan di depan mereka dalam diam, hanya dentingan sendok yang menghiasi sunyi.

"Via .... "

"Aku .... "

Keduanya saling bertukar pandang karena mengucapkan kata secara bersamaan. Suasana menjadi semakin canggung.

"Kamu duluan aja." Kembali melontarkan kalimat yang sama secara bersamaan, Xander dan Silvia terkekeh pelan.

"Kamu duluan aja, mau bilang apa?" tanya Silvia.

Gadis itu menggosok belakang telinga kanannya karena bingung. "Aku cuma mau minta maaf, harusnya aku gak ngajak kamu ke pantai, jadi kamu ga bakal tenggelam." Ia menundukkan kepalanya merasa bersalah.

Tangan Silvia mendekat dan menggenggam jemari Xander yang ada di atas meja makan. Gadis itu tersenyum lembut pada Xander, tatapan matanya menyiratkan jika ia tak menyalahkan Xander atas kejadian yang ia alami, baginya semua itu hanyalah musibah yang tengah menimpanya.

"Xander gak salah, Via justru yang harus berterimakasih, karena kamu Via jadi lupa sama masalah Via sebentar." Ia remas perlahan jemari Xander yang masih ia genggam, menyalurkan kehangatan dan ketenangan bagi si lelaki.

Setelahnya, mereka kembali melanjutkan acara makan yang belum selesai. Setelah menghabiskan makanannya, Xander membayar bill pada pelayan restoran lalu keluar dari sana dengan menggandeng Silvia. Gadis itu terkejut, namun ia hanya pasrah dan tak berniat menolak.

Keduanya berjalan menuju tempat parkir, namun belum sampai di depan mobil, Silvia merasakan kepalanya pusing.

Gadis itu terjatuh karena tak kuat menahan pusing yang mendera, Xander yang terkejut melihatnya langsung menggendongnya menuju mobil dan mendudukkan Silvia di jok belakang mobilnya.

Lelaki itu panik. "Kamu kenapa, Sil?"

Silvia tak bisa mendengar perkataan Xander dengan jelas. Kepalanya pening karena suara-suara aneh mulai memenuhi otak dan indera pendengarannya.

"Belva yang akan menjadi pewaris tahta Kerajaan Valeriant."

"Aku cinta kamu."

"Kenapa kau selalu memilih Xander dibandingkan aku, Bel?"

"Aku menyerahkan tahta kerajaan ini pada Xander, kakak pertama."

"Setelah ini hanya aku yang akan menguasai Kerajaan Valeriant."

"Karena kita saling mencintai."

"Panah dia!"

Semua kata itu terdengar berulang-ulang di telinga Silvia, membuat gadis itu menutup telingannya karena tak kuat mendengarnya lagi.

Sekelebat ingatan mulai menyerang otaknya, satu demi satu adegan yang terjadi di Kerajaan Valeriant mulai terekam jelas di ingatannya.

Mulai dari kelahirannya, penobatannya sebagai pewaris tahta, kisah cintanya dengan Xander, teror setelah ia menyerahkan tahta pada Xander, pembunuhan Xander dan orang tuanya.

Silvia sudah mengingat segala memori masa lalu ketika dirinya masih menjadi Belvanella, seorang putri dari sebuah kerajaan besar yang berada di dimensi lain dunia ini.

Setelah semua ingatan itu kembali, pusing yang menderanya perlahan menghilang, suara-suara aneh mulai memelan dan hilang bersama angin.

Silvia membenarkan posisi duduknya, lalu ia menatap Xander dengan tatapan yang sulit diartikan. Lelaki itu menjadi penasaran dibuatnya.

"Kamu kenapa? Ada yang sakit lagi?" tanyanya panik.

Silvia menggeleng, lalu air mata mulai turun perlahan dari sudut matanya. Suara isakan mulai terdengar, gadis itu menutup mulutnya untuk meredam suara tangisnya.

Xander makin kalut melihat reaksi Silvia, lelaki itu bingung saat ini, Silvia memanglah reinkarnasi dari Belva, namun kedua gadis itu memiliki sifat dan karakter yang berbanding terbalik.

"Kamu kenapa Via? Jangan menangis, kumohon .... " Xander mendekatkan kedua ibu jarinya ke wajah Silvia, mengusap air mata yang turun membahasi pipi gadis itu.

Tanpa diduga, Silvia merangsek mendekat ke arah Xander, lalu memeluknya erat seolah gadis itu baru bertemu dengan Xander setelah bertahun-tahun terpisah.

Xander tertegun, badannya menegang karena tindakan tiba-tiba yang dilakukan oleh Silvia padanya.

Perlahan, ia angkat kedua tangannya dan membalas pelukan Silvia, menepuk pundak itu beberapa kali dan mengusapnya guna menenangkan si gadis.

Xander meregangkan pelukannya setelah isak tangis Silvia mereda. "Hey, cerita sama aku. Kamu kenapa, Sil?"

Silvia menatap Xander dengan lekat, dari tatapannya tersirat kerinduan dan kesakitan yang dapat dirasakan pula oleh Xander.

Lelaki itu semakin bingung, Silvia hanya diam dan terus menatapnya tanpa mengucap satu patah kata. Berbeda dengan Belva yang selalu gamblang mengungkapkan apa yang tengah ia rasakan dan inginkan.

"Via ..., " kata gadis itu. Ia masih sesenggukan walau air mata telah mengering di wajah cantiknya.

Xander yang mengerti jika ucapan si gadis masih memiliki kelanjutan hanya diam dan mendengarkan tanpa menyela, membiarkan Silvia mengungkapkan keluh kesahnya.

"Via udah inget semuanya," lirih si gadis yang mungkin tak dapat di dengar oleh orang lain.

Namun bagi Xander, suara Silvia bagaikan permata yang sangat jernih. Lelaki itu dapat mendengarnya dengan jelas.

"Jadi kau sudah ingat semuanya? Masa lalumu sebagai Belva?" tanya Xander. Gadis itu mengangguk.

"Lalu kenapa kau menangis, Via?" Dengan nada sendu, Xander menanyakan hal itu.


To Be Continue

Bagaimana dengan part ini?
semoga suka dan ga bosen ya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro