Part 25 : Cowok itu lagi
"Kamu masih ingat apa alesan kamu kasih kalung ini ke Belva, dulu?" Pertanyaan Silvia membuatnya bungkam.
Kebungkamannya membuat si gadis malah semakin penasaran. Gadis itu menatap Austin sambil menyipitkan kedua matanya, tatapan itu memancarkan ketakutan dan kekhawatiran.
Austin menghela napas panjang. "Kamu ngapain nanya hal itu? Apa kamu udah inget semuanya?"
Silvia gelagapan, tidak mungkin dirinya jujur dan mengaku pada Austin jika ia bertemu dengan pria asing yang mengaku sebagai Xander dan mengatakan kalau Austin adalah lelaki yang jahat.
"Via cuma pengen tahu aja, apa alasan kamu ngasih kalung seindah ini sama Belva, dulu. Apa kalung ini sangat berharga sampai bisa kembali lagi ke Via," elak gadis itu.
Austin hanya mengangguk, lalu ia menggosokkan telunjuk kirinya ke dagu, seolah tengah berpikir.
"Saya kasih kamu kalung itu karena satu hal, bukti cinta saya ke kamu. Bukti cinta Xander pada Belva," ungkapnya.
Silvia yang masih tidak puas dengan jawaban itu, kembali menanyakan alasan yang lebih spesifik pada si lelaki. "Kenapa harus bentuk hati dan warnanya merah?"
Austin berdiri, lelaki itu berjalan menuju jendela ruangan yang menghubungkannya dengan pemandangan kota.
Menyibakkan tirai, membuat ruangan kantornya terkena sinar mentari. Lalu ia berbalik dan berdiri bersandar di kaca, melipat kedua tangannya di dada sambil menatap Silvia.
"Kenapa aku memilih warna merah dan berbentuk hati?" Austin mengulang pertanyaan Silvia.
"Merah adalah warna cinta, dan bentuk hati adalah lambang dari cinta. Dan aku berharap, dengan kalung ini kamu akan sadar jika rasa yang kumiliki untukmu itu benar dan nyata. Bukan hanya sekedar omong kosong belaka," paparnya.
Silvia yang mendengarnya langsung tertegun. Dadanya kembali sesak, detak jantungnya tak karuan.
"Cuma Xander yang asli yang tahu alasan dibalik simbol kalung ini, jadi ... apa Via udah salah karena percaya sama cowok itu dan mencurigai Austin?" Hatinya semakin bimbang.
Austin yang melihat Silvia hanya terdiam, langsung menghampiri si gadis. Menepuk pundaknya pelan hingga membuat Silvia berjengit kaget, mengembalikan gadis itu ke dunia nyata.
"Kamu kenapa diem?" Austin mengangkat sebelah alisnya. Penasaran akan reaksi si gadis.
"Via gak papa. Via ke sini cuma mau bilang itu aja, maaf kalau Via ganggu kamu. Via pamit, ya," kata gadis itu.
"Biar saya anter," tawarnya. Namun Silvia menggeleng, menolak tawaran Austin.
Gadis itu sudah banyak merepotkan si lelaki, dan ia tak ingin semakin merasa berhutang pada Austin karena telah banyak membantunya.
Kenyataan jika mereka berpisah saja, masih terasa menyakitkan untuknya, dirinya tak ingin benteng yang ia buat hancur begitu saja, ia takut akan kembali luluh pada Austin jika berdekatan terus dengan lelaki itu.
Gadis itu tersenyum pada Austin, lalu dirinya pamit pulang, keluar dari kantor Austin dengan perasaan yang tak karuan.
Selama di jalanan, Silvia kembali merenungkan kata-kata lelaki yang beberapa waktu lalu ia temui. Entah kenapa hati gadis itu menyuruhnya untuk percaya kata-kata lelaki asing itu dibanding Austin.
"Kamu kenapa sih, Via? Udah jelas kan kalau Austin itu emang beneran Xander? Dia bahkan tahu perihal kalung ini, terus kenapa kamu masih mikirin omongan cowok yang ngaku-ngaku itu?" Silvia mengacak rambutnya frustasi.
Dirinya ingin pergi menemui lelaki tempo hari, namun ia lupa tak menanyakan alamat atau nomor ponsel lelaki itu.
"Via, kamu ternyata oon ya!" Silvia memukul dahinya, menyadari kebodohannya sendiri.
Gadis itu berjalan malas di trotoar jalan, ia bingung ingin ke mana. "Mending pulang aja, deh," batinnya.
Gadis itu sudah berjalan terlalu jauh dari kantor Austin. Ia meneruskan langkahnya menuju ke sebuah halte bus yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri.
Duduk menunggu di sana, setelah mendapat bus yang bertujuan ke alamat rumahnya, ia naik ke dalam bus tersebut dan memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela.
Bus sedikit lengang, hanya ada beberapa orang di dalam sana. Dan suasananya cukup sunyi, banyak orang tertidur di dalam bus.
Silvia memejamkan matanya dan menghela napas kasar, lalu membuka kelopak matanya perlahan.
Gadis itu berjengit karena retinanya menangkap sosok lelaki yang sangat ingin ia temui sekarang. Lelaki yang mengaku sebagai Xander. Lelaki itu duduk di seberang.
Silvia memicingkan matanya untuk memperjelas penglihatannya, dan memang benar, lelaki itu adalah lelaki yang mengaku sebagai Xander. "Cowok itu lagi?"
"Kenapa dia bisa ada di sini?" tanyanya pada diri sendiri. Gadis itu mengucek matanya berkali-kali, takut jika ia hanya halusinasi, namun lelaki itu tetap bergeming di sana.
Lelaki tadi menoleh ke belakang, dirinya juga lumayan terkejut saat melihat Silvia, tampak dari raut wajah lelaki itu.
Lelaki itu tersenyum kikuk ke arah Silvia dan dibalas senyum pula oleh Silvia.
Tanpa seizin si lelaki, Silvia beranjak dari tempat duduknya dan duduk di kursi samping lelaki itu yang memang kosong.
"Kamu ngikutin Via, ya?" tuduh Silvia. Gadis itu tepat di mata si lelaki dan mengacungkan telunjuknya tepat di wajahnya.
"Buat apa aku ngikutin kamu?" elak si lelaki.
Silvia mengalihkan pandangannya ke depan. "Bener juga ya, buat apa dia ngikutin Via?" pikirnya.
"Kamu ngapain duduk di samping aku? Kamu bukannya takut sama aku?" sindir si lelaki.
Silvia yang merasa tersindir dengan perkataannya, langsung menoleh menghadap si lelaki. "Kenapa Via harus takut sama kamu?" kilah si gadis.
"Karena kamu lebih percaya sama Austin dibanding aku, kamu percaya kalau Austin itu benar dan aku adalah pembohongnya, bener kan?" tebak si lelaki.
Silvia tertegun. Detak jantungnya sudah tidak karuan. Keringat dingin mulai muncul di dahi dan telapak tangannya. Ia menggeser duduknya agak menjauh dari si lelaki. Jujur ia takut.
"Ka—kamu tahu dari ma—mana?" gagap Silvia.
"Bener, ya? Padahal aku cuma nebak," kekehnya. Lelaki itu melebarkan senyumnya hingga giginya terlihat.
Silvia memberengut, rasa takutnya entah hilang ke mana. Dirinya mendadak kesal dengan jawaban si lelaki.
"Nyebelin ya," decak Silvia.
"Loh, tapi bener kan?" Si lelaki melebarkan cengirannya.
"Pak, turun sini," teriak si lelaki tiba-tiba.
Bus yang berjalan kini berhenti, si lelaki turun dari bus, namun ia tak sendiri. Lelaki itu menarik paksa tangan Silvia agar ikut bersamanya.
Setelah turun dari bus, Silvia memberontak, ia ingin melepaskan cekalan tangannya dari si lelaki.
"Lepasin! Kamu mau nyulik Via?" hardik gadis itu.
"Aku gak bakalan macem-macem kok, aku tahu kamu lagi bingung sama pusing. Aku cuma mau ngajak kamu ke suatu tempat aja," jawabnya santai.
Si lelaki menyeret Silvia paksa masuk ke sebuah rumah yang lumayan mewah. "Ini di mana? Kamu mau bawa Via ke mana? Jangan-jangan bener ya kamu—"
"Bawel banget sih, aku cuma mau ambil mobil doang, kok," sela si lelaki. Silvia langsung terdiam, dirinya benar-benar kesal sekarang.
Lelaki itu menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil, sementara dirinya entah menghilang ke mana.
Silvia yang ditinggal sendirian di mobil langsung panik. "Loh, Via kok ditinggal?"
Gadis itu mencoba membuka pintu mobil, namun terkunci, ia jadi semakin panik. Ia gedor kaca mobil beberapa kali, berharap si lelaki mendengarnya.
"Hey, kamu kenapa ninggalin Via di sini?" teriaknya dari dalam mobil. Namun sia-sia, suaranya bahkan tidak terdengar.
To Be Continue
Bagaimana dengan part ini?
Semoga suka ya, dan gak bosen 😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro