Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 23 : Xavier Penjahatnya?

"Aduh," keluh Silvia sambil memegangi pelipisnya yang terkena timpukan kerikil.

Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri untuk mengetahui siapa yang berani menimpuknya dengan kerikil, namun tak ada orang.

Silvia menghela napas kasar. "Aish, gak ada mimpi lain apa selain Kerajaan Valeriant?"

Gadis itu berjalan mengikuti keinginan kakinya. Namun suara tawa membuatnya menghentikan langkah.

"Siapa di sana?" teriaknya. Namun tak ada yang menyahut.

Ia kembali mendapat timpukan krikil, namun kali ini tepat di dahinya. Hal itu membuat Silvia geram.

"Jangan main-main, kalau kau bukan pengecut, cepat keluarlah!" teriaknya lagi.

Lagi-lagi hanya ada suara tawa. Namun Silvia sepertinya tidak asing dengan suara ini.

"Xavier, keluarlah atau aku akan mengadukanmu pada ayah dan ibu!" jerit gadis itu.

Dan benar saja, Xavier muncul, melompat dari atas pohon secara tiba-tiba. Membuat Silvia terkejut bukan main.

Lelaki itu berjalan mendekati Silvia masih dengan tertawa terbahak-bahak. Silvia yang melihatnya hanya menggembungkan pipi.

"Dasar pengadu," goda Xavier. Lelaki itu menyentil dahi Silvia pelan.

Mencengkeram dagu Silvia dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Silvia yang merasa risih langsung melepaskan dagunya dari cengkraman Xavier.

"Tidak lucu!" desis Silvia. Gadis itu menujuk ke arah pelipisnya. "Lihatlah, pelipisku memar karenamu!"

Xavier mendekat ke arah Silvia, menangkup wajah adiknya dan mendekatkan wajahnya ke arah pelipis Silvia. Memang benar pelipis gadis itu sedikit membiru.

Tanpa Silvia duga, Xavier mengecup memar di pelipisnya singkat. "Sudah sembuh," ucap lelaki itu.

Silvia terkejut, dirinya tak menyangka Xavier akan melakukan hal itu. Belum sadar sepnuhnya dari keterkejutannya, ia sudah ditarik oleh Xavier entah ke mana.

Xavier menuangkan sebuah minuman ke dalam dua gelas. "Minum dulu." Seraya menyodorkan salah satu gelas untuk Silvia, gadis itu dengan polosnya meneguk minuman itu hingga tandas karena ia merasa sedikit haus.

"Sini, biar aku kompres lukamu!" titahnya. Silvia berjalan mendekati kakaknya tanpa bicara.

Lelaki itu menempelkan handuk yang sudah dibasahi air dingin ke pelipis Silvia. Hal itu dilakukannya berulang-ulang hingga Silvia merasa lebih baik.

Gadis itu berterimakasih pada Xavier, dan lelaki itu tersenyum padanya, membuatnya ikut mengembangkan senyum.

"Jika masih sakit, bilang padaku, aku akan selalu menjaga dan melindungimu dari luka sekecil apapun," ucap Xavier dengan nada yang penuh kasih sayang.

Silvia mengangguk mengerti. Namun setelahnya, gadis itu merasa pusing seolah dirinya ditarik secara paksa dan dimasukkan ke dalam ruangan kecil yang pengap. Dadanya sesak.

Memejamkan mata untuk mengurangi pening. Silvia memegang dadanya yang semakin terasa sesak, ia tak bisa bernapas karena pasokan udara yang menipis. Keringat membasahi keningnya.

Namun tak berselang lama, semuanya kembali normal, Silvia sudah tak merasakan sesak di dadanya, pusing yang mendera telah hilang. Ia buka matanya perlahan, namun hanya ada gelap.

Silvia takut, gadis itu kembali memejamkan matanya lalu membukanya. Sekali lagi, hanya ada gelap, Silvia tak bisa melihat apapun.

"Via ada di mana?" batin gadis itu.

Silvia ketakutan, dia sangat takut dengan gelap. Keringat dingin mulai meluncur kembali di pelipisnya, tangan dan bibirnya bergetar karena ketakutan. Darahnya berdesir, jantungnya berdetak tak karuan.

"Ibu, Via takut ... hiks," lirihnya.

"Setelah ini, hanya aku yang akan berkuasa di Kerajaan Valeriant. Tunggu sebentar lagi, Xander ... kau akan segera mati!" Silvia memutar tubuhnya dan memandang sekeliling, berharap menemukan sesuatu, namun hanya ada gelap di sana.

Silvia semakin panik, ini menyangkut hidup Xander. Ia harus menyelamatkan jiwa kakak kandungnya.

Namun yang sekarang harus ia lakukan adalah cara agar bisa keluar dari tempat ini terlebih dahulu, lalu mencari tahu siapa yang berniat membunuh Xander.

Silvia berjalan mengelilingi ruangan gelap itu, meraba-raba dinding untuk membantunya berjalan. Tangannya bisa merasakan tekstur dinding yang kasar dan sedikit berlumut.

Berjongkok dan meraba lantai, mencoba mencari sesuatu yang mungkin bisa ia jadikan alat penerangan. Namun tak ada apapun di sana.

Gadis itu menendang udara, namun kakinya seperti tersengat sesuatu. Membuatnya jatuh terduduk karena kesakitan.

"Akh, ini apa?" ringisnya. Silvia merangsek mundur perlahan hingga punggungnya menyentuh dinding yang dingin dan kasar. Menekuk kedua kaki dan memeluknya erat menghela napas frustasi. "Bagaimana caranya keluar dari sini?"

Tak lama, ia mendengar sebuah suara. Kali ini suara itu tampak nyata, bukan hanya berupa bisikan yang lewat di telinganya seperti yang lalu.

"Bagaimana rencana Xavier selanjutnya untuk mengecoh dan membunuh Xander?" tanya seorang lelaki. Suara lelaki itu terdengar berat.

"Xavier akan mengumpankan Belva untuk membunuh Xander. Mereka akan membunuhnya di—" Ucapan lelaki itu terpotong karena disela oleh orang lain.

"Sudah-sudah, diam kalian berdua! Lebih baik sekarang kita mulai rencana kedua pangeran Xavier untuk menjebak Xander," usul orang yang tadi menyela.

Setelahnya tak ada percakapan apapun. Suasana kembali hening dan sepi. Hanya langkah mereka yang semakin menjauh yang terdengar di telinga Silvia.

Gadis itu terkejut mendengar penuturan tiga orang tadi. "Jadi selama ini Xavier adalah .... "

"Xavier penjahatnya." Bibir Silvia bergetar ketika mengucapkannya.

Ia masih tak percaya dan tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Xavier. Bagaimana mungkin dia tega mencelakai saudaranya sendiri hanya demi tahta? Mengapa ia sekejam itu? Ia bukan manusia, melainkan hanyalah seorang iblis.

"Jadi selama ini yang kau ucapkan padaku hanyalah bualan belaka? Jadi kau yang selama ini mengincar nyawaku dan Xander?

Takkan kubiarkan kau menyentuh Xander, Xavier! Aku harus kabur dan mengatakan hal ini pada Xander. Tapi bagaimana?"

Silvia bingung, otaknya tak bisa diajak berpikir sama sekali. Semuanya kosong, ia terlalu kalut dan panik.

Seketika seberkas cahaya putih muncul dan mulai menerangi semua tempat itu. Silvia yang merasa silau memilih menutup kedua matanya. Setelahnya ia mengerjapkan matanya berulang kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinya.

Bola matanya mengelilingi ruangan yang ia pijaki. Sebuah ruangan kecil dan kosong yang sepertinya telah lama ditinggalkan oleh pemiliknya.

Ruangan yang tanpa ventilasi udara itu sedikit pengap. Dindingnya yang sedikit berlumut dan terdapat beberapa sarang laba-laba membuatnya terlihat angker dan mencekam.

Mata Silvia berbinar ketika melihat pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Gadis itu bergegas menghampiri pintu keluar, namun dirinya terpental hingga menabrak dinding. Membuat punggungnya terasa sangat sakit.

Silvia mengabaikan nyeri yang mulai menjalar, lalu kembali berjalan dengan pelan, meraba udara kosong, dan jemarinya kembali tersengat sesuatu, mirip seperti aliran listrik.

"Ah, barier transparan, pantas saja tak ada penjagaan ketat di tempat ini," monolognya.

Kini ia harus berpikir ekstra untuk memecahkan barier penghalang itu, dirinya tidak mempunyai sihir atau kemampuan semacam itu di sini. Hanya Xander dan Xavier yang memilikinya.

Silvia terperanjat ketika pintu tiba-tiba dibuka secara kasar hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Gadis itu sampai memegang dadanya, takut jika jantungnya terjatuh dari tempatnya.

Seorang lelaki masuk ke ruangan tempat Silvia diculik. "Halo, Sayang!" sapanya. Senyum remeh tersungging di wajah angkuhnya. Membuat Silvia semakin muak.

To Be Continue



Bagaimana dengan part ini?
Semoga suka dan ga bosen ya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro