Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17 : Teka-Teki Baru

Part ini sudah selesai direvisi
Jika masih ada kesalahan dalam penulisan segera beritahu penulis agar kembali diperbaiki
Terima kasih dan selamat membaca

*****






Silvia melihat bu Wanda membuka pintu kamar miliknya. Wanita itu tampak mengerutkan dahi saat melihat Silvia terduduk di lantai.

"Kamu ngapain duduk di lantai? Kotor, ayo berdiri!" titah wanita paruh baya itu.

Silvia yang tersadar jika dirinya masih terduduk, langsung berdiri.

"Ibu ngapain lagi ke kamar Via?" tanya gadis itu.

"Mau ngajak sarapan, yang lain udah pada sarapan, tinggal kamu yang belum. Ayo!" Silvia mengangguk.

Gadis itu berjalan mengekor di belakang bu Wanda. Namun pandangan matanya masih menelisik ke seluruh penjuru kamar miliknya.

Berusaha mencari bayangan hitam tadi, namun nihil hasilnya. Bayangan tadi telah lenyap seketika.

Silvia bergidik ngeri mengingat kejadian tadi. "Sebenarnya, tadi itu apa?" tanyanya pada diri sendiri.

Bu Wanda yang melihat Silvia melamun di depan pintu kamar, langsung menepuk pundak putrinya itu.

"Kamu mikirin apa, Nak?" tanyanya lembut.

Silvia menggeleng, "Gak kok, Bu. Via gak mikirin apa-apa."

Lalu keduanya kembali berjalan beriringan menuju ruang makan. Kedua retina Silvia berbinar melihat lauk kesukaannya dimasak hari ini.

"Wah, ada ayam bakar," celetuknya.

Ia dengan semangat, mengambil sebuah piring dan mengisinya dengan nasi tak lupa ayam bakar kesukaannya. Setelahnya ia menarik kursi dan duduk, memulai acara makannya.

Bu Wanda tersenyum melihat Silvia yang makan dengan lahap. Anak gadisnya itu memang sudah lama tidak makan makanan kesukaannya karena keadaan ekonomi mereka yang tengah krisis.

Setelah selesai makan, Silvia langsung membereskan sisa-sisanya dan mencuci piring yang kotor. Gadis itu memang rajin. Dan sifat itulah yang membuat bu Wanda sangat menyukai Silvia.

"Ibu mau balik jahit baju pesanan pelanggan dulu ya, kamu kalau mau keluar lagi, jangan pulang malem-malem," ujar bu Wanda.

"Via mau bantuin Ibu aja selesaiin baju pesanan. Via gak kemana-mana kok hari ini, Bu," sanggah si gadis.

Setelahnya, mereka berdua pergi ke ruangan khusus untuk menjahit. Di sana hanya ada satu mesin jahit yang bisa digunakan, karena dua yang lainnya tengah rusak.

Silvia memulai pekerjaannya. Ia mengambil kapur jahit, jarum pentul, meteran kain dan alat-alat lain yang diperlukan.

Setelahnya, ia bertanya pada bu Wanda mengenai ukuran baju dari pesanan si pelanggan.

"Dari sini nanti sampai ke lembar yang ini, semuanya belum diukur. Kamu yang ukur sama bikin polanya ya," kata bu Wanda sembari membolak-balik buku yang dipergunakan untuk mengukur ukuran pakaian.

Silvia mengangguk paham. Dengan lihainya, ia mulai menggambar di atas kertas, lalu ia tempelkan kertas itu menggunakan jarum pentul di kain yang akan dijahit nantinya. Lalu ia potong kain sesuai ukuran dan diberikan pada bu Wanda untuk dijahit.

Silvia yang sudah terbiasa membantu bu Wanda, mengerjakan tugasnya dengan cepat. Selama hampir satu jam mengerjakan tugasnya, sudah ada lebih dari empat pola yang ia selesaikan.

Gadis itu memutuskan untuk istirahat sejenak, terlalu banyak membungkuk membuat punggungnya sangat pegal.

"Kamu istirahat sana, biar Ibu yang selesaikan jahitannya hari ini, kamu jangan sampai kecapekan, nanti drop lagi," suruh bu Wanda pada Silvia.

Wanita paruh baya itu kasihan melihat anak gadisnya yang baru sembuh dari kecelakaan kelelahan.

"Via masih kuat kok, Bu. Cuma rada pegel dikit aja," jawab Silvia sambil terkekeh.

Bu Wanda hanya geleng-geleng kepala melihat Silvia. Gadis itu benar-benar baik dan jiwanya murni.

Bu Wanda bersyukur bisa menemukan dan merawat Silvia sedari bayi. Ia masih berpikir, siapa yang tega membuang anak sebaik dan secantik Silvia ke tepi jalan. Sungguh orang tua yang tega.

"Kalau Bu Wanda capek, bilang sama Via. Biar Via yang gantiin Ibu ngejahit bajunya," tawar si gadis. Bu Wanda hanya hanya tersenyum dan mengangguk untuk menyenangkan Silvia.

Selama di ruangan jahit, Silvia dan bu Wanda saling bertukar canda hingga mereka berdua tertawa seolah tanpa beban.

Silvia jadi melupakan masalahnya untuk sejenak dengan candaan yang ia dan bu Wanda lontarkan secara bergantian.

Namun setelahnya, semuanya hening. Bu Wanda kembali fokus dengan mesin jahitnya, sementara Silvia sibuk memandangi ibunya.

Ketukan pintu membuat keduanya menoleh, Silvia langsung saja berdiri dan berjalan untuk membukakan pintu.

"Ada apa, Mba?" tanya Silvia pada salah satu pegawai rumah panti.

"Ada tamu yang nyariin Via," balasnya.

Silvia mengernyit bingung. "Siapa, Mba?"

"Mba juga gak kenal, pokoknya cowok trus ganteng," ujar wanita itu sedikit malu.

Silvia langsung teringat akan Austin, hanya lelaki itu yang ia kenal, dan ya, harus Silvia akui lelaki itu memang tampan.

"Yaudah makasih, Mba. Nanti Via samperin, di ruang tamu kan?" Wanita tadi menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Silvia. Setelahnya ia pamit pergi.

Silvia berjalan ke arah bu Wanda. "Siapa, Vi?" tanya wanita paruh baya itu.

"Tadi mba Sela bilang ada tamu nyariin Via, Via ke sana dulu ya, Bu, buat nemuin orangnya," pamit si gadis pada bu Wanda.

Wanita paruh baya itu mengangguk mengizinkan. Setelahnya, Silvia berjalan keluar dari ruang jahit, sementara bu Wanda kembali meneruskan pekerjaannya.

Gadis itu tersenyum lebar karena mengira sang kekasih hati yang datang. Namun dugaannya meleset jauh.

Bukan Austin yang ia temui di ruang tamu, melainkan lelaki lain. Pemuda itu bertubuh tegap dan tinggi, Silvia bisa menebaknya meskipun lelaki itu masih terduduk di sofa.

Wajahnya sangat asing bagi Silvia, lelaki itu memang tampan, sama seperti yang mba Sela sebutkan tadi.

"Maaf, Anda siapa? Dan apa tujuan Anda bertemu dengan saya?" tanya Silvia spontan.

Gadis itu duduk di sofa yang jaraknya sedikit berjauhan dengan si lelaki.

"Kamu benar Silvia?" tanya si lelaki. Matanya tak lepas memandangi wajah Silvia, seolah lelaki itu sudah lama tak melihat wajah sang gadis.

Silvia mengangguk. "Anda tahu dari mana nama saya Silvia?" ulang si gadis.

"Benar-benar mirip dengan Belva, hanya saja ..., " lirih lelaki itu, ucapannya tak ia lanjutkan.

Silvia bisa mendengar apa yang diucapkan oleh pemuda di depannya itu walau samar. Dirinya sangat terkejut karena lelaki itu menyebut nama Belva.

"Aku sangat merindukanmu, Silvia," lirih lelaki itu yang membuat dahi Silvia berkerut.

"Maaf, tapi saya tidak mengenal Anda. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Lelaki tadi menganggukan kepalanya, lalu menggeleng pelan. Membuat Silvia semakin bingung dibuatnya.

"Kita memang tidak saling mengenal di masa ini. Namun kau adalah orang yang paling mengerti aku di masa lalu," jawab si lelaki.

Silvia semakin bingung. Ia bertanya-tanya dalam hati, siapa sebenarnya lelaki di hadapannya ini.

"Apa kau mengenal seseorang bernama Belva dan Xander?" tanya lelaki itu tiba-tiba.

Silvia tertegun. Ia sangat terkejut ketika si lelaki menanyakan hal itu. "Kenapa dia menanyakan hal itu padaku? Apa dia tahu jika aku sering memimpikan dua orang itu, namun apa hubungannya dengan dia?" batin Silvia resah.

"Siapa sebenarnya kamu?" Silvia sedikit gemetar ketika mengatakannya.

"Suatu saat kamu akan tahu siapa aku yang sebenarnya. Karena jika aku menjelaskannya padamu, kau juga tak akan percaya. Waktuku tidak banyak, aku harus segera pergi." Silvia hanya diam mendengarkan perkataan si lelaki.

"Satu hal yang harus kamu ingat, jangan terperdaya oleh kebaikan Austin. Dia tidak sebaik yang kau kira, aku pergi." Setelah mengatakan hal itu, lelaki tadi langsung pergi dari rumah panti.

Silvia yang bingung akan pesan dari lelaki itu, mencoba mengejarnya. Namun ia kehilangan jejak. Lelaki tadi sudah menghilang seolah lenyap ditelan bumi.

Namun yang membuat Silvia terkejut adalah, ia kembali melihat asap hitam yang mulai menghilang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Ia yang masih takut akan kejadian tadi pagi, langsung berlari menuju rumah dan menutup pintu.

Dirinya berdiri di balik pintu rumah yang telah tertutup. "Apa maksud lelaki tadi? Bagaimana ia bisa mengenal Austin? Siapa dia? Kenapa ia bertanya apa aku mengenal Belva dan Xander? Apa hubungan lelaki itu dengan Austin dan mimpi aneh yang aku alami?" Silvia mengacak rambutnya frustasi.

"Aku harus segera memecahkan teka-teki ini sebelum semuanya semakin bertambah rumit," tekad si gadis.




To Be Continue

Bagaimana dengan part ini?
Semoga suka dan gak bosen

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro