Lovest 7: Antara Curhat dan Penasaran
"Jangan pernah kau merasa kehilangan."
-Gita-
***
"Git, kau lagi ngapain? Bantuin aku yuk!"
Seketika, jantung Gita ingin berhenti berdetak sekarang juga. Siapa lagi kalau bukan Julian, yang selalu mengagetkan orang yang dijumpainya, padahal masih ada cara lain untuk mengajak ngobrol dengan orang yang diinginkan.
"Hei, bisakah kau tak usah menggangguku sejenak? Aku lagi merenung ini, merenung dan berpikir! Kau pikir orang suka diganggu dengan cara seperti yang kau lakukan padaku tadi? Sepertinya tidak ada yang menyukainya!" seru Gita dengan meluapkan kekesalannya kepada seorang lelaki seperti Julian.
Sedangkan Julian hanya tertawa geli ketika mendengar ucapan yang tadi. Bisa-bisanya lelaki itu menganggap remeh akan apa yang diucapkan oleh sang gadis. Sangat diremehkan. "Kau jangan seenaknya meremahkan aku, Jul. Nanti kalau misalnya kau masih berlaku demikian, aku takkan pernah menganggapm—"
"Iya iya ah, dasar bawel kamu Git. Kutak nyangka ketika berjumpa dengan orang yang galak seperti dirimu," kata Julian, masih saja mengejek sang gadis padahal sudah diperingati oleh orang yang sama, tetapi masih saja Julian mengelak dan tetap bersikukuh dengan sikapnya.
Gita hanya menggeleng-gelengkan kepala, tak tahu lagi akan apa yang harus dilakukan.
"Kau sama saja dengan kawan aku, suka mengajak orang bercanda padahal orang itu sama sekali tak ingin bermain-main denganmu. Dasar orang aneh," ucap Gita datar, yang cukup membuat hati Julian merasa goyah. Jleb!
Maka, apakah Julian akhirnya menyerah untuk meminta bantuan dari Gita? Kalau kalian memikirkan hal demikian, maka itu salah. Lelaki tersebut justru takkan pernah menyerah bukan main. "Hei, kembali ke topik dong! Aku ingin meminta bantuan darimu. Kau mau bantuin aku 'kan?"
"Memangnya kau mau minta tolong apa?" sahut Gita kemudian, yang akhirnya mulai membuka hatinya sekedar untuk menyenangkan hati Julian, yang kini berada di hadapannya. Maka, lelaki itupun langsung membalas, "Tolong berikan aku solusi. Kita sudah lama tak saling cerita. Maukah kau menjadi pendengar yang baik untukku?"
Gita pun hanya menghela napas sejenak. Memang sih, sudah cukup lama waktu berjalan, di mana Gita dan Julian kini tak lagi saling bercerita, menceritakan apa pun yang dikeluhkan oleh masing-masing individu, karena keduanya kini berada di kelas yang berbeda, dan letaknya terpisahkan oleh satu ruangan kelas di tengah-tengahnya. Jangankan cerita, tegur sapa saja tidak terlaksana, entah apa yang membuat sikap Gita mulai berubah 180 derajat.
"Baiklah, untuk kali ini saja," ucap Gita lirih, seakan-akan ini hanyalah kesempatan terakhir untuk Julian, yang tentu saja tak boleh disia-siakannya. Sebenarnya ingin sekali lelaki itu protes akan apa yang diucapkan oleh sang gadis, hanya saja daripada membuang-buang waktu, lebih baik dia hanya diam menurut saja.
Maka, mulailah Julian menceritakan keluhan yang dihadapinya.
"Kalau misalnya kau berteman dengan orang yang takut kehilangan seseorang, apa yang bakal kau jawab?"
Jleb! Pertanyaan itu tentu saja membuat hati Gita merasa sangat sakit. Lagipula, pertanyaan itu benar-benar sangat terasa dan gadis yang satu ini seakan-akan terdiam dan tak mampu menjawab apa pun. Hingga pada akhirnya ....
"Memangnya kau merasa takut kehilangan?" Gita bertanya balik pada Julian itu.
Julian pun tak dapat berkata apa-apa lagi. Dirinya merasa sangat kesal lantaran pikiran itu sama sekali mengganggunya. "Maafkan aku, Git. Kan aku hanya bertanya. Lagipula, perasaan itu sudah mulai tumbuh tapi hanya secuil saja, tidak sampai mendominasi hatiku. Aku yang tak punya pasangan saja bisa takut kehilangan, apalagi ketika sudah punya pasangan."
"Jangan seperti itu dulu, Jul. Lagipula, perasaan itu belum tumbuh sebagaimana mestinya. Jangan pernah kau merasa kehilangan, please. Kau masih punya aku. Kau masih menganggapku sebagai sahabat, bukan?"
"Ah ... entahlah, Git. Tapi yang jelas, hatiku merasa sangat kosong sekarang."
Seketika, suasana pun menjadi hening dan tak ada satu pun yang ingin melanjutkan pembicaraan.
***
"Excuse me, Sir. May i sit in front of you?" Begitulah yang diucapkan Martin dengan sangat sopan kepada guru yang sedari tadi ingin memanggil sang murid pindahan seperti dirinya. Sejujurnya, dia merasa tak enakan jikalau nantinya guru itu tak mengerti bahasa Inggris. Tetapi untung saja ... ada seorang penerjemah di sebelah beliau sehingga penerjemah itu dapat berbisik-bisik ke guru itu mengenai maksud yang diucapkan oleh sang murid itu dengan bahasa Indonesia, tentunya.
Maka, guru itupun berkata, "Silahkan duduk, Nak." Tanpa basa-basi lagi, Martin langsung duduk di kursi yang tersedia di hadapan guru yang bernama pak Handika itu. Beliau mengajar Kimia dan sampai sekarang ini, beliau mencari-cari keberadaan sang murid pindahan itu karena penasaran akan seluk-beluk kehidupannya.
"Sir, have you want to ask something to me before?" tanya Martin itu lagi.
Maka dengan bantuan sang penerjemah, pak Handika langsung menjawab, "Tentu saja, Nak. Bapak penasaran dengan sistem belajarmu di Inggris, karena kebetulan kamu datang dari sana, bukan?"
"Ehm ... actually ... yes, Sir. So, what is it?"
"Jadi selama ini kamu mengandalkan sistem belajar yang bagaimana? Apakah ini kamu merasa sangat bahagia akan sistemnya, dan mampu mengikutinya dengan baik?" tanya Handika kemudian, berharap siswa yang ada di hadapannya ini mampu menjawab pertanyaan yang barusan. Maka, apa yang akan Martin jawab? Haruskah dia memakai bahasa Inggris lagi?
Suasana pun seketika hening tak karuan.
***
"Hatimu kosong? Kau tak sadar jikalau sebenarnya banyak yang ingin berteman denganmu? Banyak cewek yang ingin berkenalan denganmu. Sedangkan aku apa? Beda sekali dengan kamu. Tak banyak orang yang memerdulikanku dan ingin menjadikanku sebagai temannya. Kau? Banyak lho di luar sana. Apakah kau tak bersyukur pada apa yang kau alami saat ini?"
Jleb! Lagi-lagi Julian merasa sangat tak enakan. Ya, sebenarnya dia juga sudah tahu jikalau selama ini sahabatnya itu tak memiliki banyak teman karena fisik yang dimilikinya. Dia hanya dekat dengan Clara, Erika, Julian, dan Martin. Itu saja, tidak yang lain. Eh tunggu dulu, mengapa Julian bisa tahu jikalau hubungan Martin dan Gita sudah lumayan dekat? Pasti karena dia tahu kalau siswa pindahan itu sudah ada di kelas sahabatnya.
"Maafkan aku, Git. Aku tak tahu jikalau kau mengalami kondisi di mana kau tak diinginkan oleh orang-orang yang di luar sana. Justru aku merasa bodoh karena tak pernah bersyukur, sedangkan ketika punya satu teman saja, kau sudah bersyukur," ucap Julian lirih.
Lantas, suasana pun seketika hening, lagi.
***
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro