Chapter 5
|Chapter 5|
-Distance taught us to believe. Distance taught us to be patient. Distance taught us the time. With the distance, we could see more clearly-
"Gue pikir lo gak jadi ikutan nongkrong, Van," sapa Al begitu Revan menarik kursi di kosong di salah satu meja La Tansa Kafe yang sering mereka bertiga jadikan tempat nongkrong bersama.
Suasana kafe malam minggu, temaram, banyak pasangan yang menghabiskan quality time di kafe ini. Ditemani live music yang apik, membuat pengunjung kafe ini selalu kembali dan kembali lagi ke sini.
"Jadi dong. Gue gak ketinggalan banyak kan ini? Bukannya tadi gak ada rencana mau nongkrong di sini?"
"Ghea nelpon Kalila. Si Agil lagi ngerusuh di rumah katanya, padahal Ghea lagi sibuk menyelesaikan karya tulis akhirnya itu. Kan gara-gara Agil juga akhirnya dia ngerjain," jelas Al.
"Oh...Agil jadi semacam lintah lagi begitu?"
"Kata Ghea begitu, nemplok mulu meringis-ringis mau nyanyi tapi nyuruh Ghea nontonin. Yang ada malahan Ghea gak bisa ngerjain. Makanya daripada begitu, mending gue geret dia ke sini."
"Terus dimana lelaki aneh yang ngidamnya kelewatan itu?" tanya Revan menahan tawa. Melupakan sejenak masalah rumah tangganya sendiri.
Sejak Ghea hamil, yang menunjukkan tanda-tanda mengidam justru Agil, suaminya. Ngidam yang kemauannya aneh-aneh, hampir merepotkan semua pihak. Dan biasanya yang kena batunya adalah Al, Revan, Kalila dan Alina yang harus mencari segala cara untuk mengabulkan permintaan Agil yang kadang tidak masuk akal. Mana mungkin mereka menyuruh Ghea dengan peru gendutnya untuk mencari nasi Jamblang khas Cirebon itu pada pukul tiga dinihari karena rengekan Agil yang tak kenal lelah misalnya. Al lah yang hampir selalu ketiban sial dan menyumpah-nyumpah jika Agil sudah mulai menyebutkan keinginan anehnya, karena Revan lebih sering di luar kota. Ditambah kedip-kedip manja dari Kalila agar Al memenuhi keinginan Agil yang semakin hari semakin tak manusiawi menyebabkan Al tambah nelangsa.
"Noh," tunjuk Al ke arah band pembawa live music. "Udah nyanyi tiga lagu dari tadi. Faletehan sampai jingkrak-jingkrak kesenengan. Gak biasanya Agil nyanyi lebih dari dua lagu."
"Hahaha...gue yakin anaknya si Agil ntar keren kalo nyanyi, Al."
"Ooh, bakat yang amat sangat berguna untuk mendapatkan cewek," gerutu Al terdengar iri. "Dulu gue mati kutu jaman ngejar Kalila. Kalila lebih nemplok sama Agil terus kayak duet maut Pantura."
Revan terkekeh, dia teringat pada saat pernikahannya, Kalila yang memang terkenal dengan suara diva ditambah Agil si keyboardis magis, paduan yang cemerlang, mempersembahkan lagu romantis untuk Revan dan Alina. Lagu yang membuat Al langsung menyeret Kalila begitu turun panggung dan mendeportasi paksa Kalila kembali ke Kalimantan. Bisa dibilang, walaupun dulu playboy yang senang berganti pasangan, soal urusan cemburu, Al juaranya.
"Pemain basket banyak gaya juga fansnya ampun-ampunan Al!" Revan mengingatkan masa lalu Al, si pemain basket cemerlang.
"Iya sih, tapi gak bisa bikin cewek sampai nangis terharu seperti yang bisa Agil lakukan. Coba kalo gue bisa nyanyi atau main alat musik sebagus dia."
"Waduh...bisa jadi berapa daftar mantan pacar lo sebelum nikah sama Kalila kalo gitu keadaannya?"
Al yang ditanya nyengir, "Seratusan kali, Van. Hahaha.... Tapi...ya mendinglah daripada cowok aneh berkacamata tebel yang doyannya menyepi mulu di sudut kelas. Kayak punya dunia lain," gumam Al menyindir Revan. "Main game. Huh...mainan anak-anak."
Revan tertawa dalam hati, jangankan Al yang cukup dekat dengannya, orang lain pun banyak yang mengecap Revan kurang kerjaan dengan dunia gamenya. Mainan anak-anak menurut mereka. Tapi ketika pendapatan Revan dari hasil memecahkan trik game selama bertahun-tahun itu mampu membeli separuh dari RS AlMedika Jaya—milik keluarga Al—maka semua orang, termasuk orang di dekat Revan bungkam tanpa suara. Kejeniusan Revan memang mampu membuat semua orang ternganga.
"Tapi, cowok aneh berkacamata itu yang akhirnya bisa mendapatkan sepupu kesayangan lo, Al."
"Alina khilaf kayaknya."
Agil yang sudah puas live show pun bergabung dan ber-highfive dengan Revan. Terlihat sangat normal dan datar, saat keinginan ngidamnya terpenuhi.
"Khilaf? Gue gak terima. Lo tau sendiri bagaimana galak dan rusuhnya Alina waktu SMA," balas Revan sengit.
"Dan deretan cewek gue jiper sama dia ya, Van," sambung Al mengenang. Revan mengangguk. "Gue inget banget, lo orang pertama yang dia anggep sebagai teman."
Revan mengamini. "Bahkan dia gak pernah punya temen cewek apalagi gank, bergerombol kesana kemari membicarakan cowok-cowok keren di sekolah, first date, first kiss, seperti layaknya para gadis di jaman itu," kata Revan terkekeh. "Bisa jadi juga Alina merasa gak perlu cowok karena ada kalian berdua yang bisa dia gandeng kapan aja."
"Dan kesempatan itu datang karena gue ditarik balik ke Pontianak. Sementara dokter mesum ini pacaran melulu," sahut Agil datar. "Alina kemana-mana mengintili si cowok culun berkacamata itu jadinya."
"Dan dulu cowok culun itu terganggu sama kehadiran Alina, memporak-porandakan kedamaian dunia khayal dengan si cowok culun dan Lara Croft sebagai tokoh utama," sahut Revan terbahak bahagia.
"Gil," tepukan di punggung membuat Agil tersentak. Dia sedang melamunkan kepindahannya yang kurang dari seminggu lagi. Dia segera memandangi Disty, temen sekelasnya sekaligus pelaku penepuk punggungnya, dengan pandangan bertanya, tapi tanpa suara.
"Pacar lo..."
Pacar?
Agil mengernyitkan dahinya.
"...di seret ke ruang BP lagi, abis mukulin Eja."
Eja bongsor anak kelas II IPA 2 itu?
Sederet kalimat dari Disty menyentakkan Agil ke kesadaran. Siapa lagi yang didefinisikan pacar oleh teman-teman sekelasnya dan punya kemungkinan tinggi untuk masuk ke ruang BP gara-gara berantem?
Hanya dia.
Agil berlari di sepanjang koridor kelas menuju ke ruang BP. Di tengah jalan, dia terpaksa berhenti karena koridor II IPA 7 sedang dipadati oleh puluhan siswa. Mau tak mau Agil harus melihat pemandangan menyebalkan tepat di depan matanya kali ini. Seorang laki-laki berseragam seperti dirinya, dengan seluruh pesonanya sedang berlutut dan mengacungkan setangkai bunga ke arah seorang gadis yang sedang berdiri tersipu-sipu.
"...terima...terima...terima...," begitu berulang-ulang kalimat yang menggema di koridor sempit yang dipenuhi oleh para siswa.
"Kalo lo mau nerima gue, lo boleh ambil bunga ini dan cium bunganya dengan idung lo yang bagus itu."
Cih! Kebanyakan nonton reality show 'Katakan Ngekngok' umpat Agil dalam hati.
Agil merangsek ke kerumunan dan merebut bunga yang sedang diacungkan oleh pria norak yang sedang berlutut itu--yang tak lain adalah sepupunya tersebut-- dan melemparnya ke udara. Al yang tak terima, langsung berdiri dan siap memaki Agil dengan kata-kata. Mulutnya mulai terbuka dan...
"Astaga, Gil. Belum juga gue dapetin ciuman dari Endah kalo dia nerima gue, lo malahan..."
Agil langsung merangkulkan lengannya ke leher Al sambil berbisik,"Ikut gue ke ruang BP. Alina mukulin anak orang lagi." Tubuh Al langsung menegang seketika dan akhirnya dia memilih melambai pada gadisnya yang berbalik empet karena rusaknya suasana romantis yang sudah ditunggu-tunggu Endah selama dua minggu masa pendekatan dari Al.
"Siapa lagi korbannya?"
"Eja. Temen sekelasnya."
"Waduh! Eja bongsor itu," pekik Al tak percaya. "Mereka sudah diamankan di ruang BP kan Gil? Udah gak gulat-gulatan kan?" tanya Al sambil melepaskan rangkulan Agil dan berlari dengan kecepatan penuh menuju ruang BP. Membayangkan Alina bonyok sanggup membuat Al melupakan siapapun yang sedang diincarnya.
"Alinaaaaaaaa...," teriak Al begitu pintu ruang BP yang didorong olehnya terbuka. Yang dipanggil namanya hanya melongok mesem-mesem.
"Budek gue, Al! Gak usah berisik napa."
Al masuk dengan langkah panjang-panjang diikuti Agil di belakangnya.
"Lo gakpapa?" tanya Al. "Lecet dikit. Awas aja si Eja! Mana dia?" gerutu Al memandangi Alina.
"Dibawa ke IGD," sahut Alina. "Gue sih cuman kebagian patah kuku, keburu dipisahin soalnya," kata Alina lagi menunjukkan jari telunjuknya ke arah Al dan Agil yang menepuk jidatnya kencang.
"Syukurlah. Gue udah mati aja ngebayangin Om Roery maki-maki gue," kata Al menoyor kepala Alina. "Untung lo jago taekwondo!"
"Gak ada yang namanya untung dalam berkelahi, Al!" seru Agil.
Al dan Alina berpandangan, kemudian menggumam bersama,"Dasar tidak punya selera humor," yang membuat Agil membuang napas keras.
"Habis diceramahin berapa lama, Lin?" tanya Al santai.
"Dua puluh menit full gue dirukyah ama Pak Hendi," sahut Alina nyengir.
"Al, Agil?" tanya Pak Hendi yang baru masuk ke ruangan, melihat kedua laki-laki itu merangsek mendekati Alina. "Ikut nyusul ke sini?"
"Maaf, Pak," kata Agil mengambil alih keadaan. "Tapi, apa yang sudah dilakukan oleh Alina sehingga lagi-lagi dia harus berada di ruangan ini," kata Agil pelan. Menekankan kata 'lagi'.
Pak Hendi yang mengetahui hubungan ketiganya cuma mengangkat bahu,"Seperti yang mungkin sudah kalian ketahui. Reza dan Alina berkelahi. Dan berakhir dengan Reza yang harus masuk rumah sakit, sementara Alina baik-baik saja seperti yang bisa kalian lihat."
"Itu karena Eja usil memaksa Revan memberikan contekan, Pak!" sela Alina langsung.
"Lalu kalo Reza memaksa harus kamu yang turun tangan gitu, Lina?"
"Ya...gak juga sih, cuman saya keki, Pak. Revan kek gak berdaya, saya kan empet ngeliatnya," sahut Alina sambil menerima formulir sanksi dari Pak Hendi yang langsung beranjak lagi keluar ruangan.
"Kembali ke kelasmu dan jangan bikin perkara lagi, Alina Wulandani Bachtiar!"
Saat Alina menunduk dan membaca tulisan di formulir sanksi tersebut bahwa dia lagi-lagi menambah perolehan 'angka peringatan' yang kalau jumlahnya mencapai 100 poin, maka pelakunya akan dikeluarkan. Jumlah poin Alina sampai saat ini sudah mencapai angka 68, padahal baru satu tahun lebih sedikit dia bersekolah di sini.
Sementara, Al dan Agil yang sedari tadi terfokus ke arah Alina baru menyadari ada satu lagi laki-laki berseragam putih abu-abu yang duduk diam di sudut. Si lelaki berkacamata tebal yang tampak cuek dengan kejadian yang ada di depan matanya.
"Revan kan?" kata Agil sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. "Agil."
Revan menyambut uluran tangan Agil, "Revan."
Alina dan Al berpandangan, tidak menyangka Agil yang dingin bisa mengenal Revan. Alina yang tinggi radar saja, baru menyadari ada makhluk bernama Revan setelah tugas kelompok pertama. Sedangkan Al, jangan ditanya...
"Lo kenal Revan, Gil?" tanya Alina shock.
"Revan ini sering mewakili sekolah kita dalam olimpiade Sains," kata Agil tenang. "Jelas gue tau, dan lo Al," kata Agil menunjuk Al dengan sadis,"Selama Revan gak pake rok, mana pernah lo memperhatikan," tutup Agil membuat wajah Al—yang kentara sekali penasaran bahwa Agil bisa mengenal makhluk ajaib berkacamata tebal bernama Revan itu—menjadi manyun.
"Dapet poin berapa, Lin?" tanya Al mengacuhkan.
"Gue lima. Eja tiga. Gak adil!"
"Gak adil dari Hongkong. Eja malah babak belur dilarikan ke rumah sakit lo masih bilang gak adil! Ckckck...," kata Al sambil keluar dari ruangan. Melihat sepupunya baik-baik saja membuat Al merasa kesal karena meninggalkan Endah sebelum menjawab tembakannya di koridor tadi.
"Jangan bikin masalah lain lagi, Lin. Terutama pas gue gak ada," kata Agil tajam kemudian ikut keluar dari ruang BP.
"Ish, dasar sepupu kurang peduli," gerutu Alina. Meskipun berat, akhirnya dia bisa merelakan Agil yang bakal pindah ke Pontianak.
"Sepupu?"
Alina menoleh ke arah Revan yang lagi-lagi memperbaiki letak kacamatanya dengan ujung kelingkingnya.
"Iya, dua-duanya sepupu gue. Kenapa?"
Revan memijit keningnya. Pantas saja beberapa kali dia sempat melihat Alina menggandeng kedua lelaki populer di sekolah itu secara bergantian. Meskipun cuek, Revan tahu bahwa lelaki dingin yang tadi menyapanya adalah mantan Ketua OSIS yang baru naik ke kelas 3. Dan yang satunya adalah atlet basket andalan SMA mereka, yang populer di kalangan para siswi.
"Gakpapa. Gak nyangka kalian sepupu dengan kepribadian jauh berbeda."
"Jelas. Yang satu dingin, yang satu playboy, cuman gue yang paling normal dan cantik."
Revan sukses tersedak mendengar kalimat terakhir Alina. Meskipun cantik, dia tak menyangka bahwa Alina akan senarsis itu bicara di depannya.
"Lain kali, lo gak usah ikut campur urusan gue."
"Ikut campur gimana? Lo lemah banget sih sama si Eja. Mau aja dijajah begitu!"
"Dijajah gimana?"
"Itu PR udah lo kerjain dengan susah payah kenapa lo kasi aja ke Eja buat di contek? Enakan di dia."
"Gakpapa, lagian gue ngerjainnya gak pake apa tadi kata lo? Susah payah? Gak!"
Alina berjengit. "Iya lo pinter, ngerjain begituan kecil buat lo. Tau gue," semburnya galak. "Tapi tetap aja, gue gak suka ngeliat lo di jajah begitu. Hari ini PR, besok apalagi?"
"Gue gak mau lo babak belur gara-gara gue, Alina. Ngerti gak sih! Kalo punya otak jangan kek udang banget lah," bentak Revan kesal. "Ngapain sih lo sok peduli!"
Alina memucat. Belum pernah seumur hidupnya disamakan dengan otak udang, "Karena lo temen gue," kata Alina dingin sambil membanting pintu tepat di depan hidung Revan.
Revan membatu, baru kali ini ada orang yang menyebutnya 'teman'. Dan dia juga menyadari bahwa Alina dengan segala yang dia punya, termasuk kedua sepupu dengan hubungan unik dan dalam diantara mereka itu bisa terjangkau olehnya. Sepertinya.
"Melamun melulu, Van," tepuk Agil di bahu Revan.
"Eh..nggak."
"Dipanggilin dari tadi gak nyahut, masih mau ngeles?" cibir Al.
"Nggak."
"Lo kenapa sih? Gak se-oke biasanya?"
"Gakpapa."
"Tapi menurut kita lo ada apa-apa," balas Agil telak.
"Dan lo tahu persis seberapa bisa lo nyembunyiin sesuatu dari kita-kita."
Revan melenguh. Masuk di lingkaran keluarga Bachtiar otomatis membuatnya jarang memiliki rahasia. Rasa kepekaan diantara mereka terlalu tinggi, radar mereka aktif serentak jika menyadari ada yang tidak beres. Revan bisa saja memilih berkelit, namun dia tahu kedua lelaki itu akan bertanya pada Alina. Membayangkan Alina mengadu dan menangis tersedu-sedu selain kepadanya mampu membuat Revan sakit kepala.
"Tadi gue sebelum berangkat, berantem sama Alina."
"Kenapa lagi?" tanya Agil santai. 'Lagi' yang disebutkan Agil mengindikasikan bahwa mereka berdua tahu bahwa pertengkaran kerap terjadi di antara Revan dan Alina.
"Lagi sensitif berat kayaknya. Setiap omongan gue salah terus. Ngomel terus, lama-lama kan gue bisa bête juga. Jauh-jauh pulang, cuma buat diambekin."
"Hahaha...bukannya harusnya lo udah kebal diambekin Alina? Udah latihan puluhan tahun juga," olok Al.
"Tapi kadang gue juga ngerasa abis kesabaran ngadepin dia."
"Itu karena lo belum ngerti...kalo lelaki emang diciptakan untuk selalu salah," kata Agil santai.
"Hah? Maksud lo?"
"Karena lelaki adalah bahan percobaan terbaik bagi wanita untuk kehidupannya kelak ke depan. Kalo lelaki sering disalahin, mau nerima disalahin, wanita gak akan ragu buat memperlihatkan sisi dia yang paling menyebalkan. Kalo lelaki itu tahan, maka lelaki itu lah yang tepat buat dia di masa depan."
"Woaw...Agil?"
"Kata Ghea," sahut Agil pendek.
"Tapi kadang dia nyalahin gue sampai gue...keliatan terlalu bodoh di depan dia."
"Lelaki emang harus bodoh, Van. Makin bodoh, makin bebal, makin berani ngambil risiko dan tanggung jawab. Tapi lelaki juga harus cerdas untuk mengambil pelajaran dari kesalahan, karena seorang lelaki sejati gak bakal membiarkan wanitanya merasakan sakit akibat kesalahan yang sama."
"Pelajaran dari ustadzah Ghea...," kata Al manggut-manggut. Agil langsung mendengus sebal.
"Gue gak punya teori seperti yang Ghea sampaikan ke Agil. Tapi gue tau persis, bahwa cara Alina menunjukkan kasih sayang dan peduli salah satunya memang lewat marah dan ngambek. Gak usah lo hitung berapa kali kami kena tendangan dan makian. Tapi lo tau, dibalik segala macam sikap Alina selama kami bertiga seatap tak pernah sedikit pun gue dan Agil kelimpungan dengan kebutuhan. Meski gue sering dimaki, tapi Alina tetap memastikan gue makan tiga kali sehari, beliin gue makan siang kalo pas gue langsung latihan basket buat turnamen, dan yang paling membekas di ingatan gue, Alina selalu ngingetin gue buat sholat tepat waktu dan doain orang tua. See...dibalik sikap manjanya yang mungkin kadang kelewatan, bisa gue bilang kehidupan gue dan Agil tertata sempurna karena adanya Alina."
Ganti Agil yang menepuk bahu Revan, "Lo liat Reval, segila apapun Reval dengan mainan baru yang lo kenalin, di waktu seharusnya Reval beristirahat, dia akan masuk ke kamarnya tanpa diminta. Secerewet apapun Gaza soal urusan makan, lo bisa liat usaha apapun bakal dilakukan Alina biar Gaza bisa makan sedikit lebih banyak, meski dia harus berdiri dan ngoceh seperti orang gila agar Gaza mau menelan makanannya."
Revan tahu, perkataan terakhir Agil membuatnya sesak napas dan susah menelan ludah. Tapi itu belum seberapa, ketika ponselnya bergetar dan Revan menyadari ada email yang baru masuk. Dadanya berdegup kencang, email dengan subject yang membuat Revan mengerutkan dahi dan gemetar yang tiba-tiba merasuk. Revan semakin merinding saat badan email terbuka sepenuhnya, dia mengeja perlahan beberapa baris kalimat. Tak sempat menarik napas, tanpa Revan sadari sudut matanya muai terasa basah saat dia bergumam seorang diri, "Ini mimpi?"
Note:
Saya senang part kemarin teman-teman bisa ikutan ngomel, sebel, gemes dan sebagainya. Itu artinya emosi tokoh yang coba saya sampaikan bisa diterima. Kita satu frekuensi namanya :p :p
Huaaaah...adrenalin saya lagi tinggi-tingginya...
Ada yang bisa nebak kenapa?
Yep, Dubai Super Series 2015. Hihi..
Saya baru saja selesai berkeringat dingin menyaksikan bagaimana perjuangan duo idola saya, Greysia Polii dan Nitya Krishinda Maheswari.
Buat kalian yang baca, tolong doakan perjuangan mereka, karena kalau seandainya tadi mereka kalah, tentu saya ngambek dan memilih gak nulis saja. Bwahaha...
Smooch..Smooch...:* :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro