Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

|Chapter 4|

-Together forever, never apart. Sometimes in distance, but never in heart-

"Berkembang dengan baik. Lihat," tunjuk Reina ke monitor USG. Alina langsung menghembuskan napas lega. Masih terngiang ucapan sang dokter bangkotan di benaknya, yang membuat syaraf panik Alina naik ke tingkat tertinggi.

Al langsung menanggapi rengekan panik Alina dengan menjemput Alina di bandara dan mengantarkannya ke pintu poli kandungan RS Almedika Jaya. Meskipun setelahnya Al harus kembali berlari ke ruang operasi dan meninggalkan Alina menunggu giliran sendirian di sana.

Reina, dokter kandungan yang masih muda, cekatan dan dapat meredakan kepanikan Alina yang luar biasa seketika dengan ucapannya barusan. Kentara sekali perbedaan pelayanan yang Alina dapatkan di sini dengan yang dia terima sebelumnya. Bukan hanya personal dokternya, tapi juga peralatan penunjang dan obat-obatan terbaik yang bisa dia dapatkan. Bahkan pilihan dokter pun tersedia di banyak di sini. That's why Alina still like Jakarta although the traffic jam kill the sanity inside.

Informasi dari Reina bisa sedikit mengobati rasa mengenaskan yang Alina rasakan begitu memasuki ruang tunggu antrian berobat di Poli Kandungan RS AlMedika. Bagaimana tidak, hampir setiap ibu muda dengan ukuran besar perut yang berbeda-beda didampingi oleh suaminya. Ada yang mengelus pelan menenangkan si bayi yang menendang, ada yang mengajak bicara perut si ibu muda walaupun terdengar monolog dan dibalas dengan tendangan pula, ada pula suami yang ikut berkeringat pucat sambil menggenggam tangan istri yang seringkali meringis kesakitan.

Alina tahu, dia bersyukur atas karunia seorang Revan junior yang sedang bertumbuh di dalam tubuhnya. Tapi dia pun tak bisa mengingkari, bahwa dia sangat iri melihat pemandangan di depannya.

Karena itu, jadwal pemeriksaan selanjutnya akan menyesuaikan cuti Revan saja, batinnya. Meskipun pada kenyataan akhirnya, saat kehamilan Gaza pun, yang kerap mendampinginya adalah Maika, Al maupun Agil yang susah payah meluangkan waktu di sela-sela jadwal operasi mereka.

-oo0oo-

"Udah landing?"

"Ponselku aktif sayang, jelas sudah dalam terminal dong. Kamu dimana?"

"Baru keluar dari parkiran nih."

"Oke, aku ngantri bagasi dulu bentar ya."

"Sip."

Empat tahun berlalu, hubungan long distance married mereka yang mungkin bagi beberapa orang terlihat sangat sempurna dan tanpa cobaan berarti. Hanya mereka dan beberapa orang terdekat yang tahu. Namun satu hal yang bisa Alina pastikan tidak berubah, jantungnya terus berdebar kencang setiap kali menjemput Revan ke bandara dan bertemu untuk pertama kali setelah beberapa minggu terpisah.

Jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama itu menyenangkan. Termasuk bisa melunturkan kekesalan sebagai kamuflase dari rindu yang menggunung yang biasanya terekspresi dengan satu tindakan khas Alina: ngambek berkepanjangan, gak jelas apa maunya dan baru mendingan jika diberi perhatian ekstra.

Alina tersenyum dan melambaikan tangannya ke kejauhan. Sosok Revan yang beberapa saat lalu hanya bisa diinderanya melalui suara sekarang bisa dilihat dan dirasakan secara nyata.

Revan langsung memindahkan kotak oleh-oleh ke tangan kiri dan menggunakan tangan kanannya untuk merangkul Alina, mengecup sebentar pelipis kirinya kemudian berjalan bersisian lagi seperti biasa. Revan pun ikut senang. Tak salah lagi, ini adalah rasa yang selalu Revan rindukan. Rasa 'pulang'.

Jarak memang sadis, memisahkan dua orang yang saling mencintai. Tapi jarak juga kadang membuat 'rasa' sebuah pertemuan jauh lebih berarti.

"Van, look at my outfit," kata Alina memutar badan dari sisi sebelah kanan Revan.

"Kenapa memangnya?"

"Cantik nggak? Hasil berburu sale minggu lalu."

"As always, Alina."

"Ngedapetin dress ini susah banget lho, Van. Perang online. Kamu tau ini koleksi siapa?" kata Alina masih mematut diri di hadapan Revan. Dress simple selutut berwarna khaki dengan aksen kerut di bagian dada.

"Siapa?"

"Victoria Beckham. Harganya...psst...psst," kata Alina mendekatkan mulutnya ke telinga Revan.

"Astagfirullah...," kata Revan gemas. "Baju begitu nyari di Mangga Dua juga ada kali, Lin."

"Yah...beda dong, Van."

"Apa bedanya sih? Dari dulu aku gak pernah ngerti mana yang kamu sebut dress, shirt, blus, bolero atau apapun jenis kamu sebutin. Semuanya bagi aku sama. Baju. Dan sebagai informasi tambahan, bagi aku kamu tetap paling cantik gak pake baju. Udah. Titik."

Muka Alina blushing. Memerah karena digoda dan kesal karena usahanya sepagian ini dalam berdandan tidak memiliki nilai lebih di mata Revan. Ketika seorang wanita blushing karena dipuji dan dibuat kesal pada saat bersamaan, maka tentu saja rasa kesal yang menang. Itu sudah rumus paten bagi wanita.

Harusnya Alina tahu, Revan akan menjawab demikian. Sekian lama bersama, ternyata rasa kebal Alina terhadap sikap cuek Revan belum terbentuk sempurna. Alina manyun dan berjalan menandak-nandak meninggalkan Revan di belakang.

Revan yang berjalan di belakang Alina hanya menggeleng tak percaya. Bukan sekali dua pertemuan mereka setelah sekian lama dipisahkan jarak di awali dengan peristiwa ngambeknya Alina.

"Memang susah menghadapi putri kesayangan semua orang ini...," gumam Revan pelan sambil mengekori Alina.

"Jadi, siapa yang harus kalian jaga?"

Tiga lelaki dewasa dengan tampilan berbeda—satu jas putih bersih, satu setelan jas elegan dan satu baju berscotlight plus celana jeans—sedang berhadapan dengan dua lelaki muda berseragam putih abu-abu dan seorang gadis cantik berkuncir dua yang juga mengenakan seragam putih abu-abu.

"Dia gak perlu dijaga, Yah!"

"Al!"

"Tendangannya jauh lebih super daripada tonjokan Al!"

"Al!"

"Alina," kata salah satu lelaki muda berseragam putih abu-abu itu pada akhirnya membuka suara. Nada suaranya terdengar mengalah. Dia lah Agil, lelaki pendiam yang merupakan sepupu tertua Alina.

"Baiklah...baiklah...Alinevil yang harus kita jaga," kata lelaki muda berseragam putih yang dari tadi ngeyel kepada ayahnya sendiri. Dia Al, lelaki tengil yang juga sepupu Alina.

Sementara itu, Alina yang disebut namanya sebagai orang yang akan dijaga tersenyum lebar seluas yang dia bisa. Masa-masa putih abu-abu sudah membentang di depan mata. Berbagai rencana indah sudah tersusun rapi dibenak Alina, menikmati masa SMA dengan dua sepupu lelaki yang selalu menuruti kehendaknya, rasanya tiba-tiba seperti dia baru saja mengambil alih kendali sebuah kerajaan dengan hulubalang terbaik di sisi kiri dan kanannya.

-oo0oo-

"Lagu, irama, dan nada-nada ini kupersembahkan untukmu, Alina Wulandani. Tanpamu, aku hampa," kata lelaki dengan raut wajah serius dan nada datar itu seperti membaca sesuatu di atas kertas. Lelaki tampan berkulit kecoklatan itu mulai memejamkan mata, mulai menekan-nekan tuts keyboard di depannya yang ia perlakukan tak ubahnya piano klasik dan ruangan seketika riuh dengan teriakan para gadis yang bercucuran air mata, sebagian malah memaki tak rela. Tak rela karena lelaki itu mempersembahkan lagu itu untuk Alina, yang notabene 'hanya' seorang murid baru di sekolah mereka.

Tapi walaupun begitu, tetap saja iringan tepuk tangan menggemuruh begitu lelaki itu mulai menyelesaikan introduksi lagu terkenal yang mengalun di ruangan. Tangan-tangan diangkat di mana-mana, mengayun ke atas mengiringi suaranya yang mulai terdengar masuk mengiringi nada-nada yang dimainkannya. Ajaib, ruangan ini sudah berubah dari sekedar malam keakraban pasca penerimaan siswa baru menjadi resital pianonya.

I wanna know

Who ever told you I was letting go

The only joy that I have ever known

Girl they were lying

Ruangan meledak. Padahal baru beberapa kata yang keluar dari mulutnya. Teriakan para siswi penggemarnya membahana, bahkan ada yang sampai terisak mengeluarkan air mata. Sementara Alina, hanya tertawa kecil. Karena ini bukan pertama kalinya Alina melihatnya begitu memesona. Tapi hei, lagu itu dipersembahkan untuk Alina, bukan untuk gadis lainnya! Dan seharusnya, Alina lah yang saat ini dalam posisi sedu sedan bahagia.

Just look around

And all of the people that we used to know

Just given up, they wanna let it go

But we're still trying

So you should know this love we shared

Was never made to die

I'm glad we're on this one way street,

Just you and I

Just you and I

Setelah tadi meledak, kali ini ruangan senyap. Tapi, tetap saja gadis-gadis kelebihan energi itu mengayun-ngayunkan tangan mereka tanda menikmati lagu. Bahkan, bisa Alina bisa melihat bahwa ada tetesan air mata tidak berhenti mengalir dari pipi-pipi mereka. Bisa dipastikan setelah ini, Alina akan langsung menjadi trending topic yang bakal di cari dan dibicarakan di seluruh penjuru sekolah barunya ini!

CHORUS

I'm never gonna say goodbye

'Cause I never wanna see you cry

I swore to you my love would remain

And I swear it all over again, and I

I'm never gonna treat you bad

'Cause I never wanna see you sad

I swore to share your joy and your pain

And I swear it all over again

All over again

(Swear it Again-Westlife)

Setelahnya, irama lagu yang tengah dinikmati tiba-tiba berhenti. Hampir semua yang ada di tempat itu kaget dan membuka mata tak rela. Ketika lelaki tampan itu mengakhiri lagunya dalam satu chorus. Tanpa melambai atau apa pun, dia berdiri dan meninggalkan panggungnya dengan tangan dimasukkan di saku celana. Menoleh pun tidak!

Semua gadis berteriak histeris tak rela, sosoknya yang begitu menjadi pusat perhatian teman-teman baru Alina di SMA itu memberikan kejutan dengan cara bermain piano solo dan berhenti di saat ternikmat. Di saat semua larut dalam lagu ini. "Sialan," maki Alina pelan.

Alina pun mengejarnya sampai ke ujung ruangan. Tentu saja diiringi segala macam makian dan sumpah serapah para gadis akan tindakan Alina yang berani mengejarnya, mengejar idola mereka sebenarnya. Tak rela, jika idola mereka kepincut Alina yang meskipun murid baru, tapi sudah mendapat perhatian dari ketua OSIS mereka yang biasanya dingin terhadap gadis-gadis di sekitarnya.

"Agiiiiiiiiiiiiil Raikaaaaaaaaan Bachtiaaaaaar," teriak Alina saat sosoknya sudah sampai di ujung ruangan. "Kampreeeeeeeet, ke sini lo!"

"Apa?" tanya lelaki yang baru saja memainkan lagu untuk Alina itu setelah berbalik. Ternyata lelaki itu Agil, sepupunya sendiri. Agil menunggu Alina menyejajari langkahnya.

"Kok cuman segitu doang nyanyinya?" tanya Alina kesal.

"Kan tadi lo ngomong cuman nyanyiin lagu romantis seolah gue muja-muja lo dan gak sanggup idup tanpa lo sambil baca tulisan yang lo kasih," kata Agil santai sambil mengangsurkan selembar kertas kecil yang bertuliskan 'lagu, irama dan nada-nada ini kupersembahkan untukmu, Alina Wulandani. Tanpamu, aku hampa. Awas kalo lo gak baca! Gue gorok!'

"Tapi kenapa nanggung?" tuntut Alina lagi.

"Kan lo gak bilang sampai selesai satu lagu," gumam Agil sambil menatap ke kejauhan. Mengabaikan segala macam protes Alina. Alina langsung manyun, tentu saja bukan seperti ini maksud dia. Malam ini, Alina ingin seluruh sekolah membicarakannya sebagai gadis paling beruntung di dunia. Paling tidak sampai mereka akhirnya mengetahui bahwa Agil melakukannya karena permintaan Alina dan hubungan sepupu di antara keduanya. Paling tidak, sampai saat itu dia dikenang sebagai the most lucky girl versi penggemar Agil.

Beberapa meter dari tempat Agil dan Alina konfrontasi, sesosok lelaki muda berkacamata tebal bergumam, "Cantik sekali. Tapi...tipikal anak manja, suka menuntut sepertinya."

-oo0oo-

"Jadi malem ini beli makan dimana?"

Alina yang tenggelam dalam lamunannya tergagap, "Eh?"

"Beli makan dimana Lin, biar tar malem gak usah keluar atau nelponin delivery lagi," jawab Revan tetap menatap fokus ke depan. Berkonsentrasi pada kemacetan yang sedikit demi sedikit terurai.

Kekesalan Alina yang baru menguap seakan disulut lagi sumbunya. Dia menatap dongkol kantong kertas berisi sayur mayur dan bahan dapur lainnya yang teronggok di kursi penumpang. Sengaja diletakkan mencolok agar Revan sadar dan bertanya tentang benda apa yang terdapat di dalam bungkus kertas coklat dan bungkus plastik besar dengan logo supermarket ternama.

Tapi tidak, sedikit pun Revan tidak bertanya, bahkan ketika meletakkan tas ransel dan kotak oleh-olehnya persis di samping si kantong kertas yang malang. Memang Alina tahu sama sekali bukan salah Revan dengan pertanyaannya, waktu yang Revan habiskan dalam mengenal Alina sudah cukup membuat Alina menyandang satu predikat abadi: gak ngerti urusan dapur.

Tapi, kata siapa orang tak bisa berubah? Bahkan Alina, si ratu tawuran dan tukang rusuh waktu zaman SMA itu sudah bertransformasi menjadi lebih dewasa. Tidak akan adegan menggampar orang sembarangan lagi hanya demi menuruti emosi yang menyesak di dada.

Demi kepulangan Revan kali ini, Alina di sisa waktu sempitnya memutuskan kursus kilat memasak dari Kalila. Belajar memasak sayur lodeh favorit Revan meskipun Alina sering ketukar menyebut kemiri adalah ketumbar dan sebaliknya. Terdengar penuh perjuangan bagi seorang Alina yang biasa berkutat dengan desain dan bangunannya.

"Aku...aku rencananya masak lho, Van," kata Alina pelan setelah bisa menguasai diri. Dia tahu bukan saatnya mengeluarkan kekesalan ke permukaan dan mengurangi quality time mereka dengan ngambek dan argumen panjang.

Revan yang mendengar sahutan Alina langsung menginjak rem pelan, menatap Alina ganjil dan kemudian memutuskan untuk tersenyum riang, "Masak apa? Nanti aku bantu ya?"

"Sayur lodeh kesukaan kamu." Alina mengangguk antusias. Bagi Revan , binar mata Alina yang senang akan selalu jauh lebih bernilai dibandingkan jika dia nanti harus masuk rumah sakit gara-gara keracunan. Keracunan bisa diselamatkan insyaAllah, tapi menyenangkan Alina tidak bisa ditebak waktunya kapan. Kuatlah hai perut, doa Revan dalam hatinya.

-oo0oo-

"Van..."

"Hmm?"

"Kamu sesekali ajak Reval ngapain gitu deh Van, masa depan monitor mulu."

"Ngapain misalnya?"

"Ajak dia main tukang-tukangan kek, main layangan kek, benerin genteng kek," sela Alina keki melihat mata Revan yang tak lepas dari monitor dengan kedua tangannya sibuk menekan tombol di stick gamenya.

Revan menghela napas. Mengganggu konsentrasi Revan saat sedang memecahkan trik kelemahan game di depannya adalah bakat lain dari Alina. Mungkin juga bakat lain dari setiap perempuan. Meskipun ada, tapi hanya sedikit perempuan yang bisa mengerti dan larut dalam dunia game, setidaknya begitu menurut Revan.

Seandainya pose mereka berdua saat ini di foto candid oleh seseorang, maka Revan akan memastikan untuk mengunggah foto tersebut dengan hastag deritagamer, perempuantakpernahmengerti, dan sahutindaripadangambeklagi.

"Emang kenapa tiba-tiba kamu nyuruh kita main tukang-tukangan? Mending kita berdua aja main tukang-tukangan, Lin. Tukang bahagian kamu gitu misalnya," kata Revan menahan tawa menyiratkan arti.

"Ish...Revan, diajak bicara serius malah melantur dan ngegombal. Kemarin itu Reval aku ajakin kerumah Kalila."

"Trus?"

"Si Al kan lagi ngenalin peralatan pertukangan gitu sama Kaka dan Dede. Dan kamu tau Reval taunya apa?"

Revan mengangkat bahu, begitu matanya mulai fokus ke monitor lagi, cubitan maut Alina beraksi kembali. Haish...kapan kelarnya ini game, batin Revan.

"Apa?"

"Anakmu itu lebih tau sutil dibandingin gergaji, Van!" jerit Alina kesal.

Mata Revan membelalak tak percaya. Bahkan hal sederhana begini mampu membuat Alina kesal dan meradang. Dia tidak mengerti mengapa wanita justru suka mempermasalahkan hal-hal kecil, memikirkannya sampai pusing dan kemudian menceritakannya dengan penuh drama.

"Apa salahnya dengan tau sutil? Siapa tau tar besar dia jadi koki."

"Vaaan...yang bener aja. Kamu mau anakmu itu sama sekali gak ngerti alat-alat maskulin kayak palu, tang, gergaji gitu-gitu."

"Ya gakpapa, kamu yang perempuan toh juga tau alat begituan. Malah akrab bukan? Sampai hapal jenis kayu dan bahan apa yang cocok buat sebuah ruangan kan?"

"Ya beda kali Van!"

"Beda apanya, tinggal kamu jelasin lah sama Reval. Benda ini namanya palu, Bang. Gunanya buat memukul paku bukan kepala orang," sahut Revan sambil lalu dan kembali fokus menatap monitor.

"Van...orang ngomong dengerin napa! Lama-lama aku banting juga ni PS4!"

"Yee...napa sih, Lin? Kerjaanmu sekarang suka banget marah-marah? Ngomel-ngomel? PMS lagi?"

"Enggaaaak, Vaaan. Tapi coba deh, beda kali kalo cowok yang nerangin hal begituan ke anak lelakinya ketimbang aku yang nerangin."

"Alaaaah...sama aja kali Lin, itu alasan kamu aja. Coba kamu lah, luangin sedikit waktu buat nerangin hal kecowok-cowokan gitu sama Reval. Jangan asyik sendiri aja sama desain kamu."

"Luangin waktu sedikit? Ngelawak kamu Van," kali ini intonasi bicara Alina sudah mulai meninggi.

"Aku kan udah jauh. Aku kerja jauh juga demi siapa? Karena apa?" tanya Revan menyindir Alina yang dari dulu mengumpankan Revan ke Ayahnya agar Alina tak perlu belajar manajemen perusahaan.

"Jadi kamu gak ikhlas ngurusin Optima?"

"Bukan gitu, Lin. Maksud aku gak perlu jadi cowok kalo cuman buat nerangin itu ke Reval, Lin. Lagian, dengan kemampuan berantemmu yang dulu itu juga menunjukkan kalo kamu sebenarnya ngerti juga soal beginian pastinya kan?"

"Kamu tau Van? Di detik ke tiga puluh aku nyoba nerangin mana obeng plus mana obeng minus dan gunanya buat apa, baut itu yang mana, dengan bahasa aku sendiri, detik itu juga Reval menguap lebar dan membalikkan badannya memunggungiku," jawab Alina dingin dan membanting pintu ruang favorit Revan di rumah itu, ruang yang penuh dengan peralatan gamenya.

Revan menggaruk kepalanya. Mengenal sedemikian lama, tak menjamin rumah tangga aman damai sentosa. Semakin lama bersama, maka semakin canggih pula bertengkarnya, karena kedua pihak semakin terasah dalam melemparkan bom atau melayangkan serangan balasan.


Note :

Ketika saya belajar update yang rajin, malah jadi pertanyaan...Tumben? Kesambet ya mak? Wkwkwkwk...Percayalah, ada masanya saya kembali nongol dwimingguan.

Setting waktu RevAlina persis dimulai setelah pernikahan Agil-Ghea ya. Jadi kalo yang udah pernah baca BME dan AIYC pasti bisa mengerti jalinannya waktunya.

Terus, kok rasanya beda kak?

Ya iya, Agil-Ghea dengan segala kekonyolan romantic comedy ala mereka, jadi tumpahan parodi dan dagelan yang jadi salah satu jiwa dalam diri saya. Wkwkwkwk..Sedangkan RevAlina anggap saja saya sedang belajar membuat sesuatu yang berbeda, yang gak selalu bisa dieksekusi dengan tertawa ngakak melainkan cucuran air mata.

Tapi justru saya senang dengan pasangan ini, terasa lebih real dan dekat dengan keseharian saya. Bukan berarti saya LDM loh sama suami, tapi banyak temen-temen di sekitar saya yang mengalami itu.

Buat temen-temen yang sedang menjalani LDM, boleh dong inbox saya, jadi saya ada temen diskusi merangkap narasumber yang oke punya? :D

Smooch :* :*




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro