Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1

|Chapter 1|

-Keep Calm and Fight the Distance. More Patient, More Trust and of course More Waiting-


"Huaaah...," kuap Alina begitu keluar dari ruang meeting salah satu perusahaan yang menjadi klien teamwork-nya selama sebulan ini.

Kebiasaan Alina untuk begadang menonton film berseri semalaman saat Revan baru saja kembali ke site adalah wajib. Bagaimana tidak, biasa ada yang ngajak 'perang bintang' di malam hari, ada yang melukin dari belakang, ada yang di ajak ngobrol habis anak-anak tidur. Namun partner of her life itu sudah kembali ke sarangnya. Jadilah akhirnya Alina melakukan ritualnya. Mengoceh dan mengomentari sendiri tentang tokoh yang sedang berlaga di layar laptopnya. Biar sepinya gak terlalu kerasa, batin Alina.

Kembali ke soal pekerjaan. Selama sebulan ini, Alina dan teamwork-nya sedang menggarap proyek pembangunan sebuah rumah sakit swasta di Solo. Kota yang selalu diidentikkan dengan masyarakatnya yang lemah lembut, tutur kata yang teratur, sopan, dan anggun. Alina merasa mungkin dia akan menjadi spesies unik jika tinggal di sana. Mengingat tabiat dan karakter Alina yang sangat 'dekat' dengan kata lemah lembut.

Hari ini, dia sudah menyelesaikan presentasi untuk laporan awal progress desain yang dikerjakan oleh timnya. Berawal dari laporan tim survey sebelumnya, wawancara dengan sang pemilik hajat pembangunan rumah sakit dan sekarang desain perdana sebagai bagian dari masterplan Grand Tulip Hospital Solo sudah dipaparkan. Tinggal menunggu feedback dan proses revisi di sana sini sebelum digulirkan ke tangan team sipil yang akan mengeksekusinya. Alina yang terlibat dalam pembangunan rumah sakit megah AlMedika Jaya beberapa tahun lalu terpilih sebagai kepala suku tim arsitek kali ini.

Tantangan terbesar bagi sebuah pekerjaan desain itu rata-rata sama. Bagaimana caranya dapet bangunan dengan spesifikasi bagus, tata rancang yang memenuhi syarat, setiap sudutnya fungsional, sedap di pandang mata, tetap memperhatikan aspek kesehatan dan berbagai kriteria lainnya tapi... dengan low budget pula. Hanya itu. Tapi, yang hanya itu tadi membuat Alina harus sering-sering meng-upgrade ilmu, melihat dan membandingkan setiap bangunan dengan fungsi serupa kemudian memodifikasinya sesuai dengan kebutuhan. Tetap disertai embel-embel...low budget pula.

Alina merapikan rambut panjangnya di toilet khusus perempuan. Merapikan blazer warna khaki yang agak terlipat di salah satu sisi. Mungkin karena posisi duduk dan berdiri selama meeting berlangsung. Alina mengecek sekali lagi penampilannya sebelum mengeluarkan ponselnya. Menekan lama salah satu angka di ponselnya.

Telepon tersambung, "Hallo, Nak?"

"Hallo, Bun. Reval ama Gaza lagi apa?" tanya Alina langsung.

"Ini lagi main, kebetulan Kaka sama Dede juga ke sini," sahut Maika, Bunda Alina yang tadi pagi terpaksa diculik dari rumahnya untuk menjaga kedua putranya. Pasalnya, asisten rumah tangga dan baby sitter mereka entah sedang apes atau apa, sama-sama membeli dan menyantap rujak keliling yang mungkin kurang terjaga kebersihannya sehingga sekarang Ijah dan Oni—ART dan baby sitter kedua putranya—harus pergi berobat ke rumah sakit terdekat.

"Oh, siapa yang nganterin Kaka sama Dede?" tanya Alina. Kaka dan Dede merupakan putra dari Aldebaran, sepupu Alina.

"Ini sama Kalila. Habis meeting di The Raikan's terus mampir ke sini. Kalila lagi bikin puding itu di belakang," sahut Maika menyebutkan nama istri dari sepupunya tersebut.

Ah...kapan aku bisa gape masak kayak Kalila, batin Alina.

"Oh, ya udah. Aman kalo rame begitu, jadi gak nyariin Alin. Salam cium aja kalo gitu buat empat-empatnya."

"Muach juga dari mereka. Kamu pulang nanti jangan terlalu sore ya, Lin. Stok ASI Gaza tinggal sedikit tadi Bunda liat di kulkas."

"Gak kok Bun. Palingan jam 3 udah di rumah kalo gak kejebak macet," jawab Alina. "Tadi nyempetin merah kok sebelum presentasi. Udah di simpen di freezer kantor. Tinggal di ambil nanti sebelum pulang."

"Ya udah, ati-ati Nak ya."

"Iya, Bun. Alina tutup dulu."

Sambungan telepon terputus. Alina melirik jam di pergelangan tangannya. Masih sempat memutar balik ke kantornya untuk mengambil hasil perahan ASI dari freezer di ruangannya sebelum pulang. Dia lagi-lagi tenggelam dalam lamunan.

Kondisi psikologis ibu yang sedang berbahagia jelas menghasilkan volume ASI yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang sedang stres. Begitu yang dibaca Alina dari artikel di internet beberapa bulan lalu. Gimana gak stres, kangen laki euy, desah Alina. LDR also means Lemah Disiksa Rindu. Kam to the Pret!

Begitu Alina melangkahkan kaki keluar toilet, terdengar suara tertahan di belakangnya. What? Siang bolong begini ada hantu berkeliaran. Biar kata ada jiwa preman, tapi hantu tak bisa dihadapi dengan kepalan tangan.

Alina sudah memutuskan untuk lari tunggang langgang sebelum menyadari bahwa suara di belakangnya itu adalah isakan tertahan. Datangnya dari pintu toilet yang tertutup. Suara lirih yang tampak familier di telinganya. Suara isakan yang berhasil menghentikan niat Alina untuk segera terbang keluar dari toilet.

Selama hampir seperempat jam dia terdiam. Menunggu si empunya suara bereaksi. Namun selama seperempat jam itu hanya isakan lirih yang lagi-lagi terdengar.

Alina memberanikan diri untuk mengetuk pintu toilet. Isakan itu langsung berhenti seketika.

"Maaf?"

Tidak ada jawaban.

"Are you OK?"

Masih belum ada jawaban.

Alina terdiam sesaat dan berpikir untuk menjebol pintu toilet dengan tendangannya. Tapi, merusak fasilitas umum di kantor kliennya bukan termasuk dalam tindakan bijak sampai kapanpun juga.

Beberapa saat kemudian, pintu toilet terbuka. Si penghuni yang tidak menyangka bahwa Alina masih di sana terkejut bukan kepalang.

"Bu Li-na...," katanya terbata.

"Dyah," kata Alina mendekati dan memeluk si penghuni toilet yang ternyata merupakan salah satu stafnya.

"Bu...maaf...," kata Dyah masih terputus-putus.

"Tak apa," kata Alina menepuk punggung Dyah berulang-ulang. "Kamu boleh nangis kalo masih belum puas. Saya temani."

"Enggak, Bu. Tadi saya...," Dyah terdengar kesusahan menyelesaikan kalimat.

"Kamu mau cerita sama saya?"

"Bu...."

"Kalau ada salah satu rekan kerja saya mengalami masalah, tidak ada salahnya bagi saya untuk menanyakan. Apalagi saya lihat akhir-akhir ini kamu sering murung."

"Ba...baiklah, Bu," kata Dyah lemah. Tahu pasti bahwa atasan yang sangat dihormatinya itu takkan mampu dibantah. Alina tak pernah menyebut Dyah dan teman-temannya sebagai anak buah, tapi dia selalu memperkenalkan mereka sebagai rekan kerja atau teamwork-nya.

Mereka kembali ke kantor Alina setengah jam kemudian, dengan Dyah yang masih sering terisak dari kursi penumpang di mobil Alina. Selama perjalanan, Alina memilih diam dan membiarkan Dyah menuntaskan segala rasa sesak di dada.

Memang dengan mendengarkan cerita Dyah nanti berpotensi Alina mungkin akan pulang terlambat lebih satu jam yang sudah dijanjikannya. Tapi, membiarkan salah satu stafnya tidak dalam kondisi fokus untuk bekerja karena masalah yang menghinggapinya juga bukan pilihan yang bakal diambil oleh Alina.

"Jadi ada apa Dyah? Mungkin ada yang bisa saya bantu?"

"Hmm...saya juga nggak tau, Bu. Ini hanya...hanya masalah yang gak akan bisa diselesaikan."

"Wah, kok bisa begitu? Setidaknya mungkin beban kamu lebih ringan setelah bercerita ke saya?"

"Nanti Bu Lina marah sama saya."

"Lho, kenapa saya harus marah. Emangnya kamu bikin salah?"

Dyah menggeleng cepat. "Nanti Bu Lina ngejauhin saya."

"Baiklah, saya putuskan untuk denger cerita kamu dulu sebelum memutuskan ngejauhin kamu apa enggak," kata Alina tersenyum menguatkan.

"Ini tentang ibu saya yang baru meninggal dua minggu yang lalu, Bu."

Ah...cerita lain tentang kehilangan dan yang ditinggalkan. Jadi ingat Ghea, pikir Alina. Sebelum menikah dengan sepupu Alina yang satunya lagi—Agil namanya—Ghea ini pernah kehilangan calon suaminya dalam kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu.

"Terus?"

"Ibu saya sempat di rawat di rumah sakit selama hampir tiga minggu, Bu. Kondisinya parah sekali. Seperti yang pernah ibu liat." Alina ingat dia menyempatkan diri menjenguk ibu dari Dyah sekitar sebulan yang lalu. Memang terlihat kondisi beliau sangat lemah. Bahkan di umurnya yang mungkin belum setua Bunda Maika, keadaan beliau termasuk sangat memprihatinkan. Bahkan Alina sempat berpikir agar lebih baik beliau meninggal daripada terus menanggung rasa kesakitan dan tidak nyaman sepanjang hidupnya. Terdengar sadis, tapi kadang kala jika berhadapan dengan rasa sakit tak berkesudahan maka meninggal terasa lebih baik akhirnya.

"Beliau sudah gak sakit lagi Dyah, sekarang tugas kamu adalah merelakan. Memang berat, tapi memangnya kamu punya pilihan lain selain merelakan?"

"Itu yang saya gak bisa, Bu," kata Dyah tiba-tiba dengan nada naik beberapa oktaf.

"Kenapa?"

"Ibu saya sakit karena Bapak Tiri saya, Bu."

"Hmm...kok bisa?"

"Ibu mau ngerahasiain kan?"

"Sejauh kamu mengenal saya, apa saya bisa dipercaya?" tanya Alina retoris.

Dyah terdiam selama beberapa saat sebelum melanjutkan ceritanya. "Ibu saya...didiagnosa HIV/ AIDS, Bu," lirih Dyah. Alina bahkan sampai harus menajamkan kupingnya agar tak salah dengar.

"Oh..., begitu." Alina tak tahu harus menanggapi seperti apa. Pilihan terbaik hanya menunggu dan mendengarkan.

"Bapak Tiri saya bekerja sebagai supir truk angkutan antar kota, Bu. Pulangnya bisa sebulan sekali atau dua bulan sekali," Dyah memberi jeda. Alina masih menunggu untuk mendengarkan. "Mungkin diantara sela-sela waktu pekerjaannya itulah Bapak Tiri saya itu mampir-mampir dan berbuat gila dengan wanita tak jelas. Hingga akhirnya menulari ibu saya yang adalah wanita baik-baik dan tak mungkin jajan sembarangan," kata Dyah dengan nada meninggi.

What the f*ck! umpat Alina dalam hati.

"Lalu Bapak Tirimu?"

"Sudah meninggal setaun yang lalu dengan gejala yang hampir sama," lirih Dyah lagi disertai isakan.

"Dan saya merasa bersalah kenapa dulu saya merelakan ibu menikah dengan lelaki jahanam itu!"

Dyah benar. Ini masalah yang tak pernah bisa diselesaikan. Penyelesaiannya hanya bisa datang dari dalam diri Dyah yang mampu merelakan. Dan tampaknya hal itu masih cukup jauh mengingat sifat dan reaksi Dyah terhadap masalah selama ini.

"Dyah...," panggil Alina. "Saya sebenarnya gak tau harus ngomong apa. Tapi satu-satunya hal yang kamu bisa adalah merelakan..."

"Nggak bisa, Bu!"

"Sekarang kamu gak bisa, tapi suatu saat kamu pasti bisa. Hanya kamu perlu waktu."

"Tapi saya tetap nggak rela, Bu."

"Iya, saya ngerti. Kamu perlu waktu, Dyah. Untuk memaafkan semuanya, untuk menerima diri kamu sendiri juga. Sama sekali bukan salah kamu karena merelakan ibumu menikah dengannya." Pilihan Bapak Tirimu lah untuk tidak setia, tambah Alina dalam hati.

Sama seperti setia, tidak setia itu adalah pilihan. Perselingkuhan itu tabiat, tidak ditentukan oleh seberapa jauh terpisahnya pasangan. Betapa banyaknya berita masa kini yang mencantumkan seorang lelaki berselingkuh dengan tetangganya sendiri. Miris, tapi kenyataan.

Tapi dalam kasus ibunya Dyah, mungkin jarak juga berperan. Once again, even with internet, email, telephone, text, long distance relationship isn't a cake! Sama sekali gak enak untuk dimakan.

"Mungkin terdengar aneh, hanya saja kamu juga harus mengecek darah kamu," lanjut Alina pelan. Dyah terkesiap. "Bukan...saya bukan mau nge-judge kamu, tapi penyakit itu bisa menular melalui kontak darah kan. Siapa tau kamu gak sengaja terpapar aja."

"Bu...."

"Tidak Dyah, saya gak berpikir buat ngejauhin atau memecat kamu. Tapi kalau memang hasilnya nanti tidak oke, kita bisa melakukan pencegahan agar kondisi tidak seburuk apa yang dialami ibu kamu," sambung Alina lebih pelan.

"Ma...makasih, Bu."

-oo0oo-

"Hei sayang, maaf seharian sibuk jadi gak sempat balas chat kamu," kata Revan begitu sambungan dari Alina di angkatnya.

"Sibuk atau kamu keasyikan main game lagi, Van?" suara Alina terdengar sinis.

"Oh...kangen banget ya jadi aku disinisin kayak gini?" tanya Revan malah balik menggoda.

"Vaaaan...."

"Yes, Bunda?"

"Ditanya apa jawabnya apa," gerutu Alina.

"Sibuk beneran sayang. Tadi aku lagi ngumpulin data audiometri karyawan."

"Untuk?"

"Evaluasi alat pelindung diri telinga. Jadi ada beberapa karyawan yang mengeluhkan mulai merasakan penurunan fungsi pendengaran gitu," cerita Revan. Audiometri adalah hasil pengukuran tingkat pendengaran pada manusia dengan alat yang disebut audiometer.

"Terus...terus?" Memang kebiasaan Revan dan Alina untuk berbagi kisah tentang apa saja saat mereka kembali ke dunia jarak jauh.

"Yah...jadinya aku ngecekkin ulang hasil audiometri mereka taun lalu sama tingkat kebisingan di unit kerja mereka. Apa iya kebisingannya melebihi standar seharusnya, terus juga mengontak vendor APD itu soal earmuff dan earplug yang mereka klaim mampu menurunkan sekian desibel dari kebisingan." Earmuf atau earplug merupakan sejenis alat pelindung diri bagian telinga yang berfungsi meredam kebisingan berlebih saat bekerja.

"Oh...jadi gimana? Emang alatnya gak bisa meredam ya?"

"Belum...belum sampai tahap situ. Baru sampai ngecekkin berapa decibel kebisingan di unit kerja itu. Hasilnya kamu tau Lin?"

"Berapa?"

"Di atas 94,5 desibel. Dengan kata lain mereka harus memakai earplug ataupun earmuff yang mampu meredam 30 desibel paling tidak jika mau bekerja lebih dari delapan jam di area itu."

"Wow...sumbat telinga yang ada?"

"Baru mampu menurunkan sekitar 15 desibel untuk pemakaian pertama dan tentu saja kemampuannya semakin menurun seiring usia earplug atau earmuff itu."

"Wew...pantesan orang tambang kadang budek-budek ya, Van?" ledek Alina.

"Asal masih bisa denger kamu bilang cinta it's enough for me."

"Dih...ngegombal."

"Kata siapa? Kalo ditujukan oleh playboy ke inceran itu namanya gombalan, Lin."

"Kalo kamu?"

"Namanya ngerayu."

"Halah...sama aja."

"Hahaha...jadi gimana kamu hari ini? Anak-anak baik?"

"Baik meski tadi sempat minta bala bantuan Bunda ngejagain."

"Lho, Ijah sama Oni kenapa?"

"Sakit perut, mungkin gara-gara rujak keliling kemarin itu. Ya udah aku suruh berobat aja daripada nularin anak-anak."

"Oh...tapi sekarang mereka sudah baikan."

"Udah membaik sih."

"Terus Reval sama Gaza gimana hari ini?"

"Asik main sama Kaka dan Dede. Tadi mereka ke sini bareng Kalila."

"Rame dong?"

"Iya, Reval bilang pudding bikinan Tante La enak buanget...sampe pakai jempol segala, Van."

"Emang jago masak dia," puji Revan sekilas. Namun entah kenapa hati Alina yang sensitif sedikit merasa tersindir.

"Nanti aku belajar."

"Belajar apa?"

"Masak!"

"Hmm...," Revan menggumam. "Yah, sebelum kamu suguhin nanti dicoba dulu tapi. Mana tau yang makan bakal kejang-kejang."

"Ih...Revan..."

"Becanda sayang, kamu masak telor ceplok sama nasi goreng aja aku habisin kan biasanya."

"Huuh."

"Kamu kenapa sih, kok jadi rada sensi gini? Belum jadwal buat pms kan?" kata Revan mengingat-ingat kapan terakhir Alina menstruasi. Masa-masa menjelang datangnya tamu bulanan bagi Alina bisa mengubah Alina manis menjadi serigala. Karenanya, Revan harus awas dengan tanda-tanda. Menghindari lima panggilan tak terjawab di ponselnya misalnya. Selalu mengangkat telepon pada kesempatan pertama atau membalas text dari Alina dengan kecepatan cahaya misalnya.

"Tadi di kantor ada temenku curhat...," kata Alina memulai kisah. Meluncurlah kisah pilu yang dibumbui dengan sumpah serapah khas Alina jika sedang kesal. Sumpah serapah yang hanya boleh di dengar oleh orang-orang terdekatnya minus anak-anak di bawah umur. "Jadi kamu kalo ngedaratin burung jangan sembarangan, Van!" ucap Alina mengakhiri cerita versi singkatnya.

"Waduh! Harus dikurung berarti ini burung. Gimana dong, kandangnya ketinggalan di Jakarta."

"Revan Stephano Mahardhika!"

"Yes, Alina Wulandani Bachtiar. Becanda sayang, ngapain juga ngedaratin burung sembarangan. Wong kandang yang ada aja gak abis dipake."

"Hari ini ngomong gini, besok mana tau."

"Astaga Alina...kamu tau kenapa burung bisa tetap aman di dalam sangkar?"

"Kenapa?"

"Karena aku merasa kandang terbaik sudah aku punya. Kandang yang selalu bikin aku merasa ingin pulang. Kandang yang selalu aku rindukan...."

"Uhuk...Uhuk."

"Selama aku masih bisa menyebut kata pulang kandang, mana mungkin aku kepikiran untuk mendarat di landasan orang. Karena bagiku, kamu, Reval dan Gaza adalah tempat terbaik aku untuk pulang, Lin."

"Van..."

"Aku tau kalo ini gak bakal mudah. Tapi risiko ini udah kita ketahui jauh sebelum kita menikah kan, Lin? Bahwa aku harus belajar mengenai manajemen perusahaan Ayah. Siapa lagi yang bisa megang perusahaan ini saat Ayah memutuskan pensiun?" tanya Revan retoris. Memang, Revan bekerja di perusahaan mertuanya sendiri. Sebuah perusahaan pertambangan yang dulu dirintis oleh Ayah Alina bersama teman-temannya, PT Bachtiar Roelan Optima.

Alina menyadari, keberadaan Revan di sana juga tak lepas dari keputusan Alina. Alina yang lebih memilih menjadi team arsitek di sebuah kantor konsultan pembangunan proyek sampai sekarang menjadi salah satu kepala team di kantor tersebut ketimbang belajar manajemen perusahaan.

"Tapi beda cerita kalo aku udah gak bisa merasakan kalian lagi sebagai rumah, Lin," goda Revan karena diamnya Alina.

"Maksudmuuuuuuuuuu?" teriak Alina di ujung telepon.

-oo0oo-

Maaf...saya unpublish aja yang 4 kemarin. InsyaAllah saya sisipkan di flashback mereka nanti. Biar jalinan ceritanya enak dibaca. Hehehe...

Oke...ini jatah weekend dari saya. Mau cus jadi ibu negara rumah tangga dulu..

Muach...muach...





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro